malam sepi

Sudah berlalu 2 minggu semenjak Esa memutuskan untuk melepaskan Saras.

Ah, ternyata seperti ini rasanya?

Saras hanya tersenyum sambil menatap kosong langit malam.

Jika ditanya, perihal Saras yang baik-baik saja atau tidak. Jawabannya tentu tidak.

Bahkan sejak awal. Sejak Esa mulai jarang menghubunginya, Saras tidak pernah baik-baik saja.

Memang benar, Saras terlihat baik, terlihat tidak peduli. Tapi, semenjak Esa memilih pergi, Saras selalu tidur diatas jam dua belas malam. Entah kenapa.

Fokus perempuan itu terganggu kala ia mendengar suara pemberitahuan dari ponselnya. Kemudian ia menghela napasnya.

“Ulang tahun mama Esa ....”

“Jalan-jalan sama Esa ....”

Saras bergumama, membaca pemberitahuan itu.

Lagi-lagi Saras tersenyum tipis, sambil menghapus pengingat yang memang sudah lama ia tuliskan di ponselnya.

Saras menghela napasnya ketika menyadari, masih banyak keinginan-keinginan yang belum ia laksanakan bersama lelaki itu.

Ah, lagi-lagi Saras hanya bisa tersenyum miris. Apalagi jika mengingat kenyataan bahwa ia sekarang sendirian.

Biasanya, dijam seperti ini, akan ada panggilan masuk berkali-kali pada ponselnya.

Biasanya, dijam seperti ini. Saras sedang tersenyum kala lelakinya memberi candaan lewat panggilan video.

Biasanya, dijam seperti ini. Saras sedang mendengarkan petikan gitar dari lelaki kesayangannya.

Ah Saras merindukannya.

“Esa ....” gumamnya, sambil sesekali ia menghela napas guna menahan sesak yang menyeruak.

Esa itu laki-laki kedua setelah ayah, yang berhasil membuat Saras jatuh cinta.

Kenapa? Kenapa Esa harus menginggalkan perempuan ini?

Saras sangat menyayangi Esa. Tapi kenapa harus berakhir? Ia bahkan belum mengatakan jika seluruh hatinya hanya untuk Esa.

Saras bahkan tidak ingin berpisah.

Saras itu tidak suka sendiri.

Tapi lihat sekarang, ia sendirian.

Lelaki kesayangan sekaligus teman baiknya. Mereka semua sekarang pergi.

Saras marah.

Saras kecewa.

Saras sakit.

Tapi Saras tidak ingin egois.

Ibu Saras bahkan pernah bilang.

”gapapa, semua orang itu datang dan pergi. Gapapa kalau nanti kamu disakitin. Tapi jangan kamu balas nyakitin, ya, sayang? Ibu gak mau kamu jadi orang jahat. Cukup bersikap biasa saja, jangan dendam, ya cantik?”

Saras selalu tersenyum jika mengingat perkataan ibu.

“Ibu ....”

“Liat, gak? Saras udah kuat, kan? Ibu liat di atas, kan?”

“Ibu ....”

“Saras sayang sama Esa, tapi Esa udah nyakitin Saras. Jadi Saras harus kuat, kan, bu?” Gumamnya sambol menatap langit.

Tanpa sadar, air mata perempuan itu jatuh.

Saras rindu Ibu.

Saras rindu Ayah.

Dan Saras rindu Esa.

Saras kesepian, sangat kesepian.