katanya
“Adek, kakak pulang,” ucap Juang ketika ia memasuki rumahnya.
Juang melangkahkan kakinya ke dalam kamar miliknya. Karena biasanya, jika Wira kesini, ia selalu masuk kedalam kamarnya.
Juang terkekeh pelan saat melihat Wira yang sedang fokus bermain game.
Ah ya, perihal Wira. Lelaki itu sudah mengetahui dimana Juang atau Bundanya menyimpan kunci rumah. Sehingga setiap kali ia kesana dan tidak menemukan siapapun, ia langsung saja mencari kunci rumah yang diselipkan di atas ventilasi udara.
“Dek,” ucap Juang.
“Hmm,” Wira hanya bergumam dengan mata yang fokus pada layar ponsel.
“Nih, makan dulu,”
“Hmm,” gumam Wira lagi.
Juang menghela napasnya, ia kemudian mendekat lalu meraih ponsel adiknya itu.
“Makan dulu,” ucap Juang.
Wira menatap Juang, kemudian terkekeh pelan.
“Kalem kak,” ucapnya.
Mereka berdua kemudian beranjak ke ruang makan.
“Nih makan,” ucap Juang sambil memberikan sebungkus pecel lele pada adiknya itu.
Juang tersenyum memperhatikan betapa lahapnya Wira makan.
Pecel lele itu, makanan kesukaan Wira. Dari kecil Juang selalu ingat apa saja yang Wira suka dan tidak suka.
Tangannya terulur kemudian mengacak pelan pucuk kepala Wira.
Entah kenapa tiba-tiba saja hati Juang terasa sakit.
Melihat Wira yang tumbuh dengan sangat baik tanpa kekurangan apapun, membuat Juang sedikit merasakan sesak.
Jujur saja, kadang kala, Juang iri pada Wira yang mempunyai segalanya.
Iya memang, Wira dan Juang adalah saudara kandung. Tapi dari kecil, Juang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dijadikan sosok jagoan oleh seorang ayah.
Juang bahkan tidak mengerti, kenapa ayahnya selalu saja melihat Juang selayaknya orang asing.
Ayah bahkan rela memberikan apapun demi Wira, tapi tidak untuk Juang.
Juang masih ingat, dulu waktu Juang masih kecil, ayah selalu bilang,
”jangan jadi lemah, kamu laki-laki. Ayah gak bakal manjain kamu.”
”harus kuat, jagain adeknya, jangan lemah,”
Selalu saja ayah bilang itu pada Juang, tanpa tahu kalau sebenarnya anak sulungnya ini tidak pernah bisa sekuat itu.
Juang itu rapuh, tapi dipaksa kuat oleh keadaan.
“Kenapa ngelamun?” Tiba-tiba saja Wira menyadarkan lamunan Juang.
Juang menggeleng pelan. Ia kemudian beranjak untuk perg masuk kedalam kamar.
“Kakak ke kamar dulu, mau beresin deadline,” ucapnya.
Bohong, Juang bohong.
Dia tidak mempunyai deadline apapun malam ini.
Juang hanya ingin menangis, tanpa Wira lihat.
Juang menjatuhkan tubuhnya dibalik pintu yang tertutup rapat.
Sesak rasanya.
Berkali-kali ia memukul kepalanya sendiri.
“Bunda ....” lirihnya pelan.
“Juang harus gimana?” Juang bergumam.
“Katanya Juang harus kuat,”
“Katanya Juang harus tangguh,”
“Katanya Juang gak boleh cengeng,”
“Bunda bilang Juang harus kuat buat lawan keadaan,”
“Tapi bun, gimana bisa Juang kuat kalau bunda gak ada disini?”
Lagi dan lagi, sesak menyeruak ke seluruh ruang dadanya.
“Bunda, Juang juga cape ....” lirihnya sambil terisak pelan.