Jjaejaepeach

Entah apa yang membawa mereka untuk sampai disini, tempat paling indah, tempat dua orang insan menyalurkan segala perasaannya.

Netra Reyna berbinar kala ia menatap kerlap-kerlip bintang serta lampu-lampu gedung yang terlihat sangat kecil dari sana.

“Indah, ya?” Ucap Ragaf yang kini duduk di samping Reyna.

Ragaf membuka jaketnya, kemudian ia mengaitkannya pada pundak perempuan itu, guna memberi hangat.

“Pake, dingin.”

Reyna menoleh, kemudian tersenyum.

Diam-diam perempuan itu menatap lekat lelaki yang kini tengah duduk disampingnya.

Entah sudah berapa kali ia memikirkan, tentang bagaimana ia bisa jatuh ke dalamnya. Tatapannya, senyumannya, dan segala hal tentang lelakinya ini, Reyna sangat menyukainya.

Reyna hanya bisa terkekeh pelan, jikalau ia mengingat bagaimana perjuangannya waktu itu hanya untuk mendapatkan perhatian seorang Ragaf.

“Kenapa ketawa?” Ragaf menoleh saat ia mendengar kekehan kecil dari perempuan itu.

Reyna mengggeleng pelan.

“Lucu aja, sekarang aku lagi sama kamu,” ucapnya.

“Emang kenapa?” Tanya Ragaf.

Lagi-lagi Reyna terkekeh, “ya dulu kamu galak banget, kalo liat aku kayak orang pengen ngebunuh,” ucap Reyna yang membuat telinga Ragaf memerah.

“Ih, jangan diinget!” Ucap Ragaf.

Lagi-lagi Reyna terkekeh. Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan wajah lelaki di sampingnya ini.

“Aku sayang banget sama kamu, Gaf .....” ucap Reyna.

Ragaf menatap netra perempuan itu, terlihat banyak sekali keindahan di dalamnya.

“Ragaf ....” Reyna berucap pelan.

“Hmm, apa sayang?” Ucap Ragaf lembut, sambil mengusap pelan surai kecoklatan itu.

“Mau peluk ....” ucap Reyna sambil merentangkan kedua tangannya.

Ragaf terkekeh kecil, kemudian ia bergerak untuk merengkuh tubuh kecil perempuannya.

Hangat.

Ragaf menyukainya.

Reyna menenggelamkan wajahnya pada dada bidang itu. Berusaha merasakan detak jantung yang terasa menenangkan baginya.

Reyna menyukainya.

Pelukan Ragaf, irama jantungnya, serta aroma tubuh yang selalu menjadi candu.

Ragaf memejamkan matanya, berusaha menyalurkan semua perasaannya lewat pelukan itu.

Ia benar-benar tidak ingin kehilangan lagi.

“Rey ....” Ragaf berucap dalam pelukan itu.

“Kalau aku harus memilih antara lepasin semua yang aku punya sama kamu. Aku bakal milih lepasin semua yang aku punya, Rey.”

“Kenapa?” Reyna berucap pelan.

“Sekarang bagi aku, kamu itu segalanya, Rey. Aku bahkan rela ngasih semua yang aku punya demi kamu, aku rela ngelakuin apa aja buat kamu, Rey. Demi apapun, aku bahkan Rela nyerahin dunia aku cuma buat kamu.”

Dalam pelukan itu Reyna tersenyum pelan, kemudiania berucap.

“Termasuk melepaskan?”

Ragaf menggeleng.

“Kecuali melepaskan.”

Reyna tersenyum pelan.

Perihal melepaskan, itu adalah salah satu hal yang Ragaf benci, sampai kapanpun itu.

“Aku, rela ngelakuian apapun buat kamu, Rey. Asal jangan melepaskan, asal jangan kehilangan.”

“Aku ....”

“Gak mau ....” Ragaf kemudian ia memperkuat rengkuhannya, seolah ia tidak ingin kehilangan perempuannya ini.

“Jangan kemana-mana, ya, Rey?”

Mata lelaki itu melengkung seperti sabit, kala dirinya melihat perempuan kecil kesayangannya tengah berlari kecil ke arahnya.

“Jangan lari,” ucap Ragaf pada Reyna.

Perempuan itu hanya terkekeh pelan sesaat setelah ia berdiri tepat dihadapan lelakinya.

“Mendung ih, makanya lari. Takut keburu hujan,” ucap Reyna.

Ragaf hanya menggeleng pelan, kemudian jemarinya beralih mengusap pelan pucuk kepala perempuan itu.

“Yaudah, mau pulang sekarang?” Ucap Ragaf.

Reyna terdiam sejenak.

“Mmhh, jangan pulang dulu, deh.”

Ragaf mengangkat sebelah alisnya, “katanya tadi nelepon mau pulang,”

Reyna terkekeh pelan, “gak jadi.”

“Mau jalan-jalan aja,” ucapnya sembari menampilkan senyum kecil pada Ragaf.

Lagi-lagi Ragaf hanya tersenyum.

Apapun akan ia turuti, untuk membuat perempuan kesayangannya ini tersenyum.

“Tapi kalo nanti kehujanan gimana?” Ucap Ragaf.

“Gapapa! Sesekali hujan-hujanan naik motor berdua,” Reyna terkekeh.

Ragaf hanya menggeleng pelan, kemudian mengusak surai perempuan itu gemas.

“Ayo!”

Ragaf tersenyum pelan, saat daksa perempuan itu tenggelam di dalam dekapannya. “Kangen ....” ucap Reyna pada Ragaf. Yang didekap hanya bisa terkekeh pelan.

Jemari Ragaf kemudian terangkat untuk merapikan surai kecoklatan milik perempuannya ini. “Kamu ini kenapa,” ucap Ragaf, yang ditanya hanya bisa menggeleng pelan dalam dekapan lelaki itu.

Lagi-lagi Ragaf terkekeh, ia kemudian mempererat dekapannya sambil sesekali menyesap aroma dari perempuannya.

“Kamu kecil banget,” ucap Ragaf saat menyadari jika Reyna benar-benar sangat mungil jika masuk kedalam dekapannya.

“Kamunya kegedean,” ucap Reyna yang masih setia menautkan pelukannya pada tubuh lelaki kesayangannya ini.

Entahlah, memeluk perempuan ini merupakan rutinitas baru yang sangat Ragaf sukai. Dipeluk Reyna, Ragaf itu selalu merasa hangat. Ia benar-benar jatuh kedalamnya.

Jika disuruh memilih antara masa depan dan masa lampau. Ragaf pasti akan memilih memutarbalikkan waktu ke masa dimana ia baru pertama kali mengenal Reyna.

Ragaf hanya bisa meringis pelan, jika mengingat bagaimana brengseknya ia dulu pada perempuan yang sekarang selalu jadi kesukaannya.

“Sayang ....” ucap Ragaf yang masih setia mengusap pucuk kepala perempuan itu.

“Ayo jalan-jalan aja, yuk?”

Reyna menggeleng pelan.

“Sebentar lagi, gini dulu, ya? jangan gerak ....” u

Ragaf mengangkat sebelah alisnya saat merasakan jika perempuannya ini semakin erat memeluknya.

“Kamu kenapa, hei?” Ragaf berusaha melihat wajah Reyna, namun perempuan itu malam menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu.

“Aku gapapa, aku cuma ....”

“kangen, hehe”

Perihal Ragaf, dia itu lelaki paling keras kepala. Dari dulu, Ragaf itu tidak pernah ingin mengalah.

Perihal Ragaf, dia itu lelaki paling lembut. Dari dulu, Ragaf itu selalu suka memeluk.

Perihal Ragaf, dia itu lelaki paling menggemaskan. Dari dulu, Ragaf selalu menjadi kesayangan semua orang.

Ragaf itu penuh kejutan. Banyak sekali hal yang selalu ia sembunyikan. Banyak sekali hal yang ia pendam sendirian.

Termasuk lukanya.

Jika kalian ingin tahu. Empat kebelakang, bagi Ragaf, itu adalah tahun-tahun paling menyenangkan. Ia tidak pernah tahu apa itu luka serta kehilangan.

Rayya namanya, perempuan dengan paras cantik serta pemilik senyum paling hangat yang pernah Ragaf tahu.

Cinta pertamanya, perempuan kesayangannya.

Ragaf itu sangat mencintai Rayya, ia bahkan rela sakit hanya demi menjemput perempuan itu.

Dua tahun mereka bersama, dan selama itu pula mereka merangkai semua kisah-kasih yang bisa dibilang sangat menyenangkan.

Ragaf selalu ingin menghabiskan seluruh waktunya bersama Rayya. Ragaf ingin memberikan segalanya pada Rayya.

Semuanya berjalan lancar, hingga tiba-tiba saja. Malam itu, Ragaf tidak sengaja melihat Rayya yang tengah pergi bersama lelaki lain.

Ragaf kalap, ia benar-benar kalap.

Malam itu, Ragaf bahkan tidak segan menarik paksa Rayya.

Ragaf marah. Ia marah melihat perempuannya bersama lelaki lain. Bahkan Ragaf tidak peduli dengan apapun yang perempuan itu coba katakan.

Yang ia rasakan malam itu hanya kemarahan.

Entah kenapa malam itu, saking marahnya Ragaf, ia bahkan rela meninggalkan Rayya sendirian. Padahal malam itu hujan sangat deras.

Namun, belum sempat Ragaf menjauh, teriakan perempuan itu menghentikannya.

Ragaf terpaku kala itu. Menyaksikan perempuannya terkapar di tengah jalanan dengan luka parah di kepalanya.

Rayya, terhantam sebuah mobil.

Demi apapun, Ragaf seperti orang kesetanan malam itu. Ia berlari memeluk tubuh Rayya, ia menangis meminta pertolongan.

Ragaf masih ingat, perempuan itu tersenyum sambil mengusap wajah Ragaf yang basah akibat air mata serta guyuran air hujan.

”Maaf, ya? Maaf ngecewain kamu ....” ucap perempuan itu sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri sepenuhnya.

Hanya kalimat itu yang selalu Ragaf ingat, bahkan sampai sekarang.

Ragaf berteriak, Ragaf menangis kala itu.

Harusnya Ragaf tidak egois malam itu. Harusnya ia mendengar semua penjelasan perempuannya. Harusnya Ragaf tidak meninggalkan perempuannya malam itu, dan seharusnya Ragaf tetap disamping perempuan itu.

Banyak hal yang Ragaf sesali.

Tentang kemarahannya, keegoisannya, dan keras kepalanya.

Jika saja ia tidak marah malam itu, mungkin perempuan kesayangannya ini masih ada disini, bersama Ragaf.

Ah, terlalu panjang cerita tentang Ragaf juga Rayya.

Yang pasti, Ragaf disini juga terluka. Bahkan semenjak kepergian Rayya, tidak ada yang pernah mencoba memahami posisinya.

Yang mereka tahu, Ragaf baik-baik saja. Padahal sebenarnya, ia yang paling terluka.

Mereka selalu saja meminta Ragaf untuk melupakan, tapi tidak pernah tahu bagaimana caranya menyembuhkan.

Ragaf itu terlalu takut.

Terlalu takut untuk kehilangan, lagi.

Reyna menghela napasnya. Netranya menelisik setiap sudut ruangan itu.

Berantakan.

Langkah kakinya terarah menuju sebuah kamar. Dengan pelan ia membuka kamar itu, dan lagi-lagi ia menghela napasnya.

beneran sakit?

Dengan ragu, Reyna melangkah mendekati Ragaf yang tengah terbaring. “Bangun, gaf,” ucap Reyna sembari membawa semangkuk bubur.

Ragaf menoleh dengan lemah.

“Makan,” ucap Reyna.”

Ragaf menggeleng.

Reyna kemudian mengarahkan tangannya untuk memeriksa suhu tubuh lelaki itu.

“Gila, panas banget badannya,” ucap Reyna panik.

Ragaf hanya berbaring memejamkan matanya.

Buru-buru Reyna mencari kain dan air untuk mengompres lelaki itu.

“Kamu ngapain sih bisa sakit?” Ucap Reyna dengan nada khawatirnya.

“Ken dokter mau?” Tanya Reyna yang dibalas gelengan oleh Ragaf.

“Gak usah,” ucap Ragaf.

“Gak, lo harus kedokter!”

Baru saja Reyna berniat menelepon rumah sakit, tangannya ditahan oleh Ragaf.

“Gue bilang gak usah,”

Reyna terdiam menatap Ragaf.

“Tapi lo sak—“

“Disini aja,” lirih Ragaf.

Lagi-lagi Reyna terdiam.

“Gue .... pusing,” ucap Ragaf dengan matanya yang terpejam.

“Jangan kemana-kemana, Ray ....”

Reyna terdiam mendengar ucapan Ragaf.

Siapa?

Perempuan itu menghela napasnya sesaat setelah ia selesai makan dengan keluarganya.

Entahlah, percakapan dua keluarga tadi benar-benar membuatnya tidak karuan. Apalagi saat kedua keluarga itu meminta agar Reyna serta Ragaf melaksanakan pertunangannya sesegera mungkin.

Sebenarnya, Reyna ingin menolak. Hanya saja, tatapan bahagia yang terpancar dari kedua orang tuanya benar-benar mampu meluluhkan egonya sendiri.

Reyna menghela napasnya, sambil menatap lampu-lampu kota dari rooftop restaurant itu.

Perempuan itu terkekeh pelan.

“Becanda banget hidup gue ....” lirihnya.

Reyna menunduk, berusaha menahan tangisnya agar tidak keluar. Hingga tiba-tiba sebuah tangan kekar terlihat dihadapannya sambil memberikan sebotol air mineral pada Reyna.

“Minum.” Ucapnya tanpa bada basi membuat Reyna menoleh.

Sesaat setelah netra mereka bertemu, Reyna menghela napasnya, kemudian ia menambah jarak diantara mereka berdua.

“Gak usah cengeng.”

Reyna lagi-lagi menghela napasnya.

“Aku ga—“

“Mana tangan lo?” Potong Ragaf.

Reyha mengangkat sebelah alisnya.

“Tangan lo mana, Rey?”

Dengan ragu, Reyna menunjukkan kedua tanyannya pada Ragaf, kemudian tanpa di duga lelaki itu mengusap pelan pergelangan tangan Reyna.

“Gue tadi narik tangan lo kenceng?”

Reyna terdiam, kemudian ia mengagguk pelan.

“Lain kali lo jangan ngehindar.”

“Sorry gue tadi emosi,” ucap Ragaf yang masih terus mengusap pergelangan tangan Reyna.

Reyna kemudian menarik tangannya.

“Jangan kayak gini, Gaf,” ucap Reyna.

Ragaf mengernyitkan dahinya.

“Kalo emang kamu gak peduli, sekalian aja jangan peduli. Jangan setengah-setangah, Gaf.”

Ragaf menghela napasnya.

“Gue cum—“

“Aku balik duluan, tolong bilangin ke mereka.” Ucap Reyha sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Ragaf disana.

Benar saja, Ragaf kini datang ke unit apartement milik perempuan itu. Sambil membawa sekantung kresek berisikan martabak dan minuman yang ia beli.

Beberapa kali Ragaf memencet bel, namun Reyna tak kunjung keluar.

Ragaf menghela napasnya. Baru saja ia membuka ponsel berniat mengirimkan pesan, tiba-tiba saja pintu terbuka. Menampakkan Reyna yang tengah tersenyum sambil memakai baju tidur beruang kesukaannya.

Ragaf menatap Reyna beberapa saat, dengan tatapan sinisnya.

“Apa? Kenapa?”

Ragaf menggeleng, ia kemudian menyerahkan kantung kresek yang ia bawa.

“Makan.” Ucap Ragaf.

Reyna tersenyum manis.

“Baik banget ih,” ucapnya membuat Ragaf berdecih.

“Gue emang baik.”

Reyna terkekeh, “iya, Ragaf baik.”

“Mau masuk dulu, gak?” Ucap Reyna yang dibalas gelengan oleh Ragaf.

“Gak,” ucapnya.

“Gue pulang.” Ucap Ragaf tanpa basa-basi dan langsung pergi darisana.

Reyna menatap daksa Ragaf yang perlahan menghilang dari pandangannya. Kemudian ia tersenyum.

“Cowok aneh ....” ucapnya sambil terkekeh.

Ragaf sedang terduduk di motornya, sambil menunggu Reyna keluar dari rumahnya.

Sejujurnya, kalau bukan Bunda yang meminta. Enggan sekali Ragaf menjemput perempuan yang bahkan ia saja tidak pernah tahu yang mana orangnya.

Bunda aneh.

Kalau kata Ragaf, setiap kali Bunda meminta Ragaf untuk lebih dekat dengan perempuan ini.

Ragaf sedang memainkan ponselnya, sambil beberapa kali berdecak karena perempuan bernama Reyna itu tidak kunjung keluar.

Baru saja Ragaf akan menyalakan motornya, berniat pergi. Tiba-tiba saja fokusnya teralihoan saat terdengar suara pintu gerbanh yang terbuka. Menampakkan seorang perempuan dengan kemeja berwarna navy, serta tas yang menggantung di lengan sebelah kanannya.

Netra Ragaf menelisik dari bawah hingga atas, saat perempuan itu berdiri di hadapannya.

“Maaf lama,” ucapnya pada Ragaf.

Ragaf terdiam sejenak.

“Lo Reyna?”

Perempuan itu mengangguk.

“Iya, siapa lagi, dong?” Ucapnya.

Ragaf bedecak, lalu tanpa basa-basi ia memberikan helm yang ia bawa pada Reyna.

“Pake.”

Reyna terdiam memperhatikan wajah Ragaf yang baginya terlihat sangat menakutkan sekaligus lucu.

“Pake, Rey. Lelet banget.”

Reyna tersadar, lalu segera meraih helm yang Ragaf berikan.

“Eh, maaf,” ucap Reyna sambil menyerengeh.

“Naik.”

“Galak amat ....” bisik Reyna pelan. Sebelum akhirnya mereka pergi darisana.

masih kamu

Arunika menghela napasnya sesaat setelah ia membaca pesan terakhir dari Jaren, rekan kerjanya.

Ia kemudian menutup ponselnya.

Lagi-lagi, seseorang berusaha masuk ke dalam hatinya.

Tidak, Arunika tidak sebodoh itu untuk mengetahui maksud dari permintaan Jeran itu. Arunika sangat tahu kemana arah pembicaraannya itu.

Aneh.

Selama tujuh belas tahun terakhir, Arunika bahkan kehilangan ketertarikannya untuk jatuh cinta lagi.

Selama tujuh belas tahun, hatinya hilang. Bersamaan dengan kepergian lelaki terkasihnya kala itu.

Arunika masih menginginkan sosok yang dulu.

Arunika hanya menginginkannya pulang kembali ke pelukannya.

Bahkan selama tujuh belas tahun kepergian lelaki itu. Arunika masih selalu berharap jika suatu saat ia bisa memeluknya kembali.

Perempuan itu kemudian menghela napasnya.

“Bahkan selama ini, aku masih ingin kamu, Dam ....”

#masih kamu,

Katanya

#malam itu,