Jjaejaepeach

Lelaki berusia dua puluh tahun itu terdiam di balik pintu kamarnya kala ia mendengar percakapan kedua orang tuanya yang untuk pertama kalinya sang ayah bilang jika ia mempunyai anak selain dirinya.

“Iko punya adek?” Gumam Jerico sambil diam-diam mendengar percakapan kedua orang dewasa itu.

Entah mengapa, Jerico malah merasa hangat saat mendengar kabar ini. Meskipun ada kemarahan yang tiba-tiba saja terasa begitu meluap.

Adik

Kata itu yang selalu Jerico harapkan dari dulu. Kata itu yang selalu ingin Jerico sebutkan dengan lantangnya.

Iya, Jerico selalu ingin mempunyai adik sejak dulu.

Hidup sebagai anak tunggal selalu membuat dirinya merasa kesepian. Apalagi kedua orang tua Jerico ini selalu saja sibuk berkerja. Entah itu ayah atau mama.

Jerico menghela napasnya.

Rasanya sungguh aneh. Disatu sisi ia merasa senang sekaligus hangat saat ia tahu jika dirinya ini adalah seorang kakak. Tapi, disisi lain dirinya juga marah, apalagi saat ia tahu, jika anak yang dimaksudnya ayahnya itu bukan berasal dari rahim yang sama.

Dua tahun berlalu, semenjak terakhir kali Jerico mendengar kabar itu. Dan sudah hampir satu tahun ini Jerico akhirnya bisa satu atap dengan Haikal-adiknya.

Jujur saja, saat Jerico mendengar kabar jika Haikal akan tinggal bersama mereka dalam satu rumah, ada sedikit perasaan senang.

Akhirnya, setelah sekian lama. Ia bisa melihat sosok lain yang seharusnya ia sebut adik.

Namun anehnya, saat Jerico melihat Haikal, bukan kata sayang yang selalu ia lontarkan. Tapi amarah.

Jerico bahkan tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia ingin merangkul Haikal, ia senang bisa menjadi kakak. Tapi satu sisinya yang lain selalu menolak fakta bahwa sekarang ia adalah seorang kakak.

Egonya ini terlalu tinggi.

“Anjing!” Umpat Jerico frustasi.

“Kenapa harus sakit sih!” Gumamnya dengan nada khawatir.

“Adek ....” ucapnya beberapa kali, sambil fokus mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.

Lelaki berusia dua puluh tahun itu terdiam di balik pintu kamarnya kala ia mendengar percakapan kedua orang tuanya yang untuk pertama kalinya sang ayah bilang jika ia mempunyai anak selain dirinya.

“Iko punya adek?” Gumam Jerico sambil diam-diam mendengar percakapan kedua orang dewasa itu.

Entah mengapa, Jerico malah merasa hangat saat mendengar kabar ini. Meskipun ada kemarahan yang tiba-tiba saja terasa begitu meluap.

Adik

Kata itu yang selalu Jerico harapkan dari dulu. Kata itu yang selalu ingin Jerico sebutkan dengan lantangnya.

Iya, Jerico selalu ingin mempunyai adik sejak dulu.

Hidup sebagai anak tunggal selalu membuat dirinya merasa kesepian. Apalagi kedua orang tua Jerico ini selalu saja sibuk berkerja. Entah itu ayah atau mama.

Jerico menghela napasnya.

Rasanya sungguh aneh. Disatu sisi ia merasa senang sekaligus hangat saat ia tahu jika dirinya ini adalah seorang kakak. Tapi, disisi lain dirinya juga marah, apalagi saat ia tahu, jika anak yang dimaksudnya ayahnya itu bukan berasal dari rahim yang sama.

Dua tahun berlalu, semenjak terakhir kali Jerico mendengar kabar itu. Dan sudah hampir satu tahun ini Jerico akhirnya bisa satu atap dengan Haikal-adiknya.

Jujur saja, saat Jerico mendengar kabar jika Haikal akan tinggal bersama mereka dalam satu rumah, ada sedikit perasaan senang.

Akhirnya, setelah sekian lama. Ia bisa melihat sosok lain yang seharusnya ia sebut adik.

Namun anehnya, saat Jerico melihat Haikal, bukan kata sayang yang selalu ia lontarkan. Tapi amarah.

Jerico bahkan tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia ingin merangkul Haikal, ia senang bisa menjadi kakak. Tapi satu sisinya yang lain selalu menolak fakta bahwa sekarang ia adalah seorang kakak.

Egonya ini terlalu tinggi.

“Anjing!” Umpat Jerico frustasi.

“Kenapa harus sakit sih!” Gumamnya dengan nada khawatir.

“Adek ....” ucapnya beberapa kali, sambil fokus mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.

“Masuk!” Ucap lelaki paruh baya itu dengan suara tegasnya.

“Ayah ....” lirih Ralita yang masih berdiri disamping Haikal.

“Ayah bilang masuk, Ralita!” Ucapnya lagi.

Dengan ragu, Ralita melangkah masuk sambil menoleh pada Haikal. Lelaki itu hanya tersenyum menandakan bahwa ia akan baik-baik saja.

“Aya—“

“Masuk.”

Haikal hanya menatap daksa Ralita yang mulai menghilang dari pandangannya. Kemudian netranya menatap sekilas sosok lelaki paruh baya yang masih berdiri di hadapannya.

“Sudah punya apa kamu sampai berani bawa putri saya kabur dari sekolah?”

Haikal terdiam.

Lelaki paruh baya itu menatap Haikal dari atas sampai bawah. Ia bahkan berdecih kala melihat penampilan Haikal yang memang sedikit berantakan.

“Anak berandalan mana kamu?”

“Anak sekolah atau geng motor? Berantakan sekali penampilanmu.” Ucapnya pada Haikal.

Haikal hanya menunduk, “maaf om ....” cicitnya tanpa berani menatap wajah lelaki dihadapannya ini.

“Sudah berapa lama kamu dekat dengan putri saya?”

“Satu tahun, om”

Lelaki paruh baya itu menghela napasnya, “saya gak mau putri saya jatuh ke tangan orang yang salah.”

Deg!

Jantung Haikal berdetak sangat kencang kala mendengar ucapan lelaki paruh baya itu.

“Jauhin Ralita.” Ucapnya tegas.

“Om ....”

“Saya gak tidak mengizinkan putri saya jatuh sama orang seperti kamu.”

Sungguh, dunia Haikal rasanya benar-benar runtuh saat ini juga.Bagaimana bisa ia menjauhi Ralita? Sedangkan separuh dunianya itu ada pada Ralita.

“Om, saya minta maaf kalau tadi saya membawa Ralita bolos sekolah, maaf ini salah saya. Tapi om saya mohon jangan larang saya untuk bertemu Ralita, saya mohon om ....” ucap Haikal dengan nada bicara yang terdengar ketakutan.

“Jauhin putri saya mulai sekarang, jangan coba-coba kamu dekatin Ralita lagi. Dari awal saya lihat kamu, saya memang sudah tahu kalau kamu bawa pengaruh buruk bagi putri saya.” Ucapnya tanpa menatap Haikal sedikitpun.

“Om saya mohon,” ucap Haikal yang tiba-tiba saja berlutut dihadapan lelaki itu.

“Saya cuma punya Ralita om, saya gak punya siapa-siapa la—“

“Pergi!”

“Pergi dari sini, jangan pernah kamu coba-coba dekati putri saya lagi. Pergi sebelum saya bertindak kasar.”

“Om saya moh—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Lelaki paruh baya itu melangkah pergi membanting pintu gerbang. Meninggalkan Haikal yang tengah berlutut disana.

Jika saja kalian tahu, seberapa besar Haikal takut untuk kehilangan Ralita. Ia benar-benar setakut itu.

Dari atas sana, Ralita hanya bisa menangis sambil menatap Haikal dari balik jendela kamarnya.

“Haikal maaf,” ucap Ralita terisak.

-

Haikal hanya bisa tertawa miris, mengingat kejadian beberapa menit lalu, saat ia dipaksa untuk pergi dari sana.

“Tolol lo Kal!” Umpatnya pada diri sendiri.

Haikal menghela napasnya, berusaha menahan sesak yang meluap di ruang dadanya.

Kenapa harus seperti ini? Kenapa Haikal harus merasa kehilangan lagi disaat ia sudah menjatuhkan seluruh dunianya pada Ralita.

Kenapa semua orang ingin Haikal pergi? Kenapa?

“Anjing!” Umpat Haikal sambil berusaha menahan tangis.

Haikal sadar, ia sangat sadar kalau dirinya belum cukup baik untuk Ralita. Bahkan dari awal pun ia tahu, jika sebenernya ia tidak pantas bersanding dengan Ralita.

Ralita itu salah satu murid paling berprestasi di sekolah. Ia bahkan banyak dikagumi oleh guru-guru di sekolah.

Tapi, dengan tidak tahu dirinya. Haikal berani menjatuhkan dunianya pada Ralita. Dengan tidak tahu dirinya, ia membuat Ralita jatuh pada haikal. Dan dengan tidak tahu dirinya, ia berani menyebut bahwa ia manusia paling beruntung karena mempunyai Ralita.

Haikal ini hanya lelaki berusia sembilan belas tahun yang bahkan tidak pernah tahu bagaimana cara menjadi bahagia.

Dari kecil, Haikal selalu dipaksa untuk jadi kuat. Dari kecil, Haikal selalu dipaksa untuk menjadi seseorang yang tidak boleh mengenal kata lelah. Dan dari kecil, keadaan yang selalu memaksanya untuk bersikap seolah ia baik-baik saja.

Padahal sebenarnya, Haikal juga manusia yang kadang ingin menyerah pada ketidakadilan takdirnya.

Baru saja kemarin Haikal merasa bahwa ia manusia paling bahagia. Baru saja kemarin Haikal merasa bahwa bersama Ralita ia akan selalu baik-baik saja.

Tapi sekarang, ia bahkan dipaksa untuk pergi sebelum sempat ia mengatakan bahkan dunianya ini hanya pada Ralita.

“Ta, kalau bukan sama lo, harus sama siapa lagi biar gue bisa bahagia?” Lirih Haikal sesaat sebelum ia menjatuhkan dirinya di tepi jalan.

Ralita menghela napasnya saat melihat wajah lebam lelaki dihadapannya ini. Sedangkan yang ditatap hanya bisa memalingkan wajahnya.

Jemari Ralita bergerak membenarkan helaian rambuh yang menutupi kening Haikal. Perempuan itu kemudian meraih kapas dan membersihkan luka pada wajah Haikal.

Haikal meringis “sakit, Ta.” Ucapnya.

Ralita terus fokus mengobati lebam dan beberapa luka di wajah Haikal tanpa mengindahkan ringisin yang dikeluarkan oleh Haikal.

“Ta ih, sakit!” Ucap Haikal.

Ralita menghela napasnya, “kalo sakit ngapain berantem?”

“Ya itu salah si Gilang lah,”

Ralita terdiam, membiarkan Haikal berbicara sepuasnya.

“Siapa yang mau sih, Ta? Dipermaluin depan anak-anak tentang masa depan gue?”

“Dia bilang kalo gua gak bakal pernah bisa maju, dia bilang kalo gue ini anak bandel yang gak punya masa depan cerah, gue cuma bisa nyusahin orang tua gue, Ta.”

“Gue gak suka, Ta. Setiap kali gue ada masalah, kenapa orang-orang selalu nyangkut pautin sama orang tua?”

“Si Gilang emang anjing. Guru apaan yang selalu nyudutin muridnya buat dipermaluin, Ta?”

“Gue emang berandalan, tapi kenapa orang-orang selalu nganggap kalo gue gak bakalan punya masa depan? Apa harus mereka selalu bilang kayak gitu cuma gara-gara gue nakal, Ta?”

“Hidup gue emang udah gak jelas, tap—“ ucapan Haikal terpotong kala Ralita mengecup pelan bibirnya.

Haikal terdiam.

Lalu dengan pelan Ralita mengusap punggung tangan Haikal, berusaha memberikan ketengangan pada lelaki ini.

“Menang enggak berantemnya?” Ucap Ralita menatap netra Haikal teduh.

“Ta ....”

“Menang enggak? Kalo gak menang mah ah, cemen,”

Entah kenapa, tapi ucapan Ralita ini membuat Haikal tersenyum.

“Menang! Si Gilang tadi gue pukul aja, payah dia. Bisa ngehina tapi gak bisa berantem,” ucap Haikal dengan lantang membuat Ralita tersenyum.

“Makasih ya, Kal,” ucap Ralita.

Haikal menaikkan sebelah alisnya, “makasih kenapa?”

Ralita menggeleng “gak tau sih, cuma mau bilang makasih.”

“Gak jelas,” ucap Haikal yang dibalas kekehan oleh Haikal.

“Ta, lo gak malu?”

“Apa?”

“Punya cowok nakal kayak gue,”

Ralita menatap Haikal, “kamu gak nakal kok, Kal. Aku tau itu.”

Haikal terdiam.

“Dari awal aku paham kok, ini cara kamu biar keliatan kuat dan gak rapuh. Aku tau Haikal. Kamu ini selalu bersikap seolah kamu orang paling kuat dan gak takut apapun.”

“Ralita ....”

“Gapapa, Haikal, aku gak masalah. Asal aku minta satu hal sama kamu.” Ucap Ralita.

Haikal menatap Ralita, “apa?”

“Tolong jangan nyakitin diri sendiri, ya, Kal? Apapun yang mau kamu lakuin, tolong jangan sakit, ya, Kal?”

Lagi, Ralita kembali mengusap pelan punggung tangan lelaki itu.

“Kalo kamu sakit, siapa yang bakal bikin kamu kuat kalo bukan diri sendiri? Meskipun ada aku yang katanya selalu bisa bikin kamu kuat. Aku ini gak bakal selalu ada buat kamu, Haikal.”

Haikal terdiam berusaha mencerna ucapan Ralita. “Meskipun ada aku, kamu juga harus kuat buatbisa berdiri sendiri, ya? Jadi aku cuma minta, apapun yang bakal lakuin nanti, tolong jangan sakit, Haikal.” Ucap Ralita.

Ralita beranjak, kemudian ia mengecup pelan pipi Haikal.

“Ayo ajak aku bolos sekali, mau jalan-jalan aja, gak?” Ajak Ralita yang dibalas anggukan oleh Haikal.

Ralita tersenyum saat netranya menatap lelaki dihadapannya tengah berdiri dengan tatapan letihnya.

“Hai ....” ucap Ralita.

Haikal menatap Ralita, kemudian tanpa aba-aba, ia menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Ralita.

Ralita terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menepuk-nepuk pundak lelaki itu.

“Gapapa Haikal, gapapa ....” ucap Ralita pelan.

“Gini ya sebentar ....” ucap Haikal lirih.

Demi apapun, Ralita bahkan bisa merasakan sakitnya hanya dengah mendengar nada suara Haikal.

Sesak sekali.

“Ta ....” lirih Haikal.

“Dunia jahat banget sama gue,” ucapnya sambil mengeratkan pelukanya pada Ralita.

“Dunia gak pernah adil sama gue, Ta ....”

“Kenapa, ya?”

“Kenapa hadirnya gue gak pernah bikin orang lain bahagia ....”

Sungguh, Ralita benar-benar bisa merasakan sakit luar biasa. Dadanya sesak, hatinya perih. Lelakinya ini sedang tidak baik-baik saja.

“Haikal ....” ucap Ralita pelan. “Kata siapa hadirnya kamu gak pernah bikin bahagia?” Ralita melepas pelukannya, kemudian ia menatap wajah lelah dari lelaki ini.

Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan setiap sudut wajah Haikal.

“Kamu itu kebahagiaan Haikal, jangan kayak gini, ya?”

“Kamu itu kesayangannya mama, kamu kesayangannya aku, Kal. Kamu gak pernah sendirian,” ucap Ralita yang kembali mendekap tubuh rapuh Haikal.

“Capek, ya, Kal?”

Dalam pelukan itu, Haikal hanya bisa memejamkan matanya sambil mengangguk pelan.

“Kalau mau nangis gapapa, ya? Aku gak bakal ngomong apa-apa,”

Tanpa Ralita sadari, dalam pelukan itu, Haikal menangis.

“Ta ....” ucapnya dengan nada suara bergetar.

“Hmm?”

“Dia bilang ....”

“Aku ini anaknya,”

Ralita terdiam. Rasanya ngilu sekali.

“Aku anak ayah, Ta. Untuk pertama kalinya aku baca kalimat itu, Ta.”

“Haikal anak ayah.”

“Ralita, Haikal yang bandel ini anak ayah,” ucap Haikal yanh semakin terisak.

Ralita semakin mengencangkan pelukannya, berusaha menyalurkan ketenangan.

“Ralita ....”

“Aku anak ayah ....” lagi, Haikal terisak.

Sungguh, selama satu tahun Ralita bersama Haikal. Baru kali ini ia melihat Haikal sangat rapuh. Bahkan tangisannya terdengar begitu menyakitkan.

“Keluarin semuanya, aku disini, Kal.” Ralita mengusap pundak Haikal.

“Keluarin rasa sakitnya sama aku, semuanya keluarin. Biar nanti aku yang pukul rasa sakitnya biar pergi.”

Dalam pelukan itu Haikal terkekeh pelan saat ia mendengar ucapan Ralita.

“Makasih.”

“Makasih banyak, Ta.” Ucap Haikal.

Ralita melepas pelukannya, kemudian ia menatap wajah Haikal dengan teduh. Jemarinya kembali mengusap wajah Haikal.

“Haikal, makasih udah lahir, ya?”

“Ta ....”

Ralita tersenyum, “makasih udah lahir ke dunia, makasih udah jadi kuat, makasih udah jadi hebat dengan segala lukanya,” ucap Ralita.

“Aku sayang kamu, Kal. Makasih ya karena gak pernah milih buat nyerah,” ucap Ralita yang kembali mendekap tubuh rapuh itu.

Napas Haikal memburu, tangannya terkepal, menahan amarah yang sedari tadi ia tahan.

“Lo bisa diem disini, gak, sih? Lo denger, di bawah banyak kolega ayah!” Ucap lelaki yang umurnya terpaut tiga tahun lebih tua dari Haikal.

“Ya terus urusannya sama gue apa?” Tanya Haikal.

“Lo mau bikin ayah malu?”

Lagi.

Ayah, ayah, selalu ayah.

“Dengan lo muncul, itu bisa bikin orang-orang curiga, Haikal.”

“Lo diem disini, sampe semuanya pergi baru lo boleh keluar.”

Haikal berdecih.

“Gue gak peduli, dan gue gak akan pernah peduli.” Ucap Haikal.

“Lo bisa gak sih? Nurut aja jadi anak?”

“Pantes aja lo ditinggal sendirian sama mama lo, lo susah di atur, gak tau diri. Untung ay—“

Haikal menatap lelaki dihadapannya dengan tatapan sangat marah.

“Jerico Anjing!” Umpat Haikal kemudian ia melayangkan sebuah pukulan pada wajah lelaki yang ia panggil dengan nama Jerico itu.

“Gak usah bawa-bawa mama anjing!” Satu pukulan kembali melayang.

Jerico tersungkur, sudut bibirnya bahkan terluka akibat pukulan yang dilayangkan oleh Haikal.

“Kenapa? Gak terima lo?”

“Lo emang gak tau diri, kehadiran lo juga bikin hancur semuanya. Sekarang, dari pada lo bikin semuanya makin rumit, daripada lo bikin reputasi ayah hancur di depan koleganya, mending lo diem!” Ucap Jerico yang kini beranjak berdiri menghadap Haikal.

“Reputasi tai anjing!” Umpat Haikal.

“Gue bahkan gak pernah minta buat jadi anak ayah lo!”

“Bangsat!” Umpat Haikal sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari kamar itu.

Demi apapun, Haikal benci sekali berada disini.

Haikal berjalan keluar dengan terburu-buru.

Dari lantai atas, netranya menangkap jika di ruang tamu banyak orang, yang katanya kolega sang ayah.

Persetan dengan reputasi ayah

Haikal melangkah keluar melewati ruangan itu.

Belum sempat Haikal meninggalkan rumah, sebuah suara mengintrupsinya, membuat Haikal menoleh.

“Haikal?” Ucap orang itu dengan suara berat.

Haikal menoleh.

Semua orang disana menatap Haikal, termasuk sang ayah.

“Kamu Haikal, kan?” Ucap orang itu lagi.

Dengan ragu, Haikal mengangguk pelan.

“Ngapain disini?” Tanyanya lagi.

Haikal terdiam, matanya bergerak menatap sang ayah.

Haksara—ayah Haikal. Ia menatap Haikal kemudian menatap orang yang bertanya tadi.

“Dia ....”

“Teman anak saya,”

Bak terhantam benda tajam, hati Haikal terasa ngilu kala mendengar jawaban dari Haksara.

“Oh.” Ucap orang itu.

Teman anak saya

Kalimat itu tiba-tiba saja berputar dikepala Haikal.

Haikal hanya tersenyum canggung.

“Saya permisi,” ucapnya yang langsung melangkah keluar.

“Haha, anjing!” Umpatnya sambil menahan sesak yang entah kenapa terasa begitu sakit.

Lihat, bahkan di depan teman-teman sang ayah, Haikal tidak dianggap. Lalu, kenapa pria itu bersikeras membawa Haikal pulang ke rumah ini?

Sudah dua hari semenjak Jea kembali bersama Janu, dan selama dua hari itu Janu tidak pernah berhenti memberi perhatian pada Jea.

“Ayah, ayah, katanya mau ketemu bunda?” Tanya Jea yang tengah memakan cemilan yang sebelumnya Janu beli.

Janu tersenyum, lalu jemarinya bergerak mengusap sayang pucuk kepala anak perempuannya itu.

“Iya mau, nanti, ya?” Ucap Janu.

“Ayah!” Teriak si bungsu dari arah kamar, membuat Janu serta Jea menoleh.

“Ih adek jangan lari!” Teriak Jea.

“Ayah! Celana adek robek,” ucap Jae sambil memperlihatkannya pada Janu.

Janu terkekeh pelan, ia kemudian mensesejajarkan tubuhnya dengan si bungsu.

“Ini adek kenapa celana yang ini dibawa?” Ucap Janu sambil meraih celana itu.

“Enggak tau, waktu ayah bilang mau jemput kakak, adek langsung masukin semuanya, hehe,” Jae menyerengeh.

Janu tersenyum, ia kemudian mengacak pelan pucuk kepala anak lelaki itu.

“Ya sudah, jangan dipake, ya? Nanti ayah benerin. Sana cari yang bagus,” ucap Janu yang dibalas anggukan oleh Jae.

Janu beranjak, kemudian ia menatap sekelilingnya.

Terlihat jelas lengkungan di wajahnya itu terangkat, membuat matanya menyipit.

Rasanya sudah lama sekali Janu tidak pulang ke rumah ini.

Rumah yang ia beli ketika ia masih mengharapkan kehadiran Senjani disisinya.

Rumah yang ia hidupkan kehangatannya, ketika ia berhasil membawa Senjani ke dalam pelukannya.

Janu rindu sekali.

Lelaki itu menghela napasnya, berusaha menahan sesak akibat kerinduan serta kekosongan yang selalu menyelimutinya.

“Ayah ....” ucap Jea tiba-tiba membuat Janu menoleh.

Lelaki itu kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Jea.

“Hmm? Apa sayang?”

“Jea sayang ayah,” ucap Jea yang langsung memeluk erat tubuh Janu.

Janu tersenyum, “ayah juga sayang Jea”

Ralita terkekeh kala mendengar ucapan Haikal mengenai ia yang keringat dingin saat melihat ayah Ralita tadi.

“Lagian siapa yang gak kaget coba, ayah kamu tiba-tiba manggil terus pake baju item berdiri di belakang aku,” ucap Haikal.

“Aku juga kaget sumpah, hahaha.”

“Ayah kamu serem,” ucap Haikal sambil menyeruput es kelapa muda miliknya.

Sedangkan Ralita fokus menghabiskan semangkuk baksa Malang kesukaannya.

“Tadi aku tuh lagi minum, terus bunda bilang ayah ada di depan. Aku langsung lari keinget kamu mau dateng, eh beneran malah udah dateng,” ucap Ralita yang dibalas kekehan oleh Haikal.

“Gapapa, calon mertua,” ucap Haikal santai membuat Ralita tersedak.

Haikal hanya tersenyum. Ia benar-benar menyukai suasana seperti ini. Menghabiskan waktu berdua bersama perempuannya, sambil memperhatikan orang-orang yang tengah berlalu-lalang.

“Ta,” ucap Haikal.

“Hmm,” ucap Ralita yang tengah fokus pada semangkuk bakso miliknya.

“Udah lama ya kita enggak kayak gini,” ucap Haikal.

Ralita menoleh pada Haikal, “Gini gimana?”

“Ya gini, berduaan aja sama lo sambil nyari jajanan, sambil ketawa. Gue seneng, Ta” ucap Haikal dengan jemarinya yang mulai mengusap surai kecoklatan perempuan itu.

Ralita terkekeh, “iya.”

“Iya apa?”

“Aku juga suka kayak gini,” ucap Ralita.

Haikal tersenyum, “maafin gue ya, Ta.”

“Maaf buat apa?”

“Maaf aja, kadang gue egois. Gue masih suka sibuk sama urusan gue sendiri, gue masih suka seenaknya sama lo,” ucap Haikal.

Ralita menjauhkan mangkuk bakso itu, kemudian ia merubah posisinya menghadap pada lelaki disampingnya ini.

“Haikal ....”

“Enggak perlu minta maaf, gak ada yang harus dimaafin.”

Haikal menatap Ralita.

“Ta,”

“Lo kenapa sih gampang banget ngasih maaf?”

Ralita mengendikkan bahunya pelan.

“Gak tau, hehe.”

Haikal hanya tersenyum pelan.

Haikal beruntung.

Beruntung karena mempunyai Ralita yang selalu siap menjadi penguatnya dikala semua orang membencinya.

Beruntung karena Ralita selalu siap menjadi pendengar yang baik untuk Haikal. Walau memang kenyataannya, Haikal belum pernah sekalipun membagi semua rasa sakit serta kerasahannya pada Ralita

Beruntung karena Ralita selalu bersedia memberi pelukan paling menenangkan untuk Haikal.

Haikal beruntung mempunyai Ralita.

“Ta,”

“Apa?”

“Kalau suatu saat nanti gue ngelakuin hal fatal yang bisa nyakitin lo, gimana?” Tanya Haikal tiba-tiba.

Ralita menaikkan sebelah alisnya.

“Hal fatal apa dulu?”

“Apa aja, semua yang bisa bikin lo patah.”

Ralita menatap Haikal.

“Gapapa,” Ucap Ralita tersenyum.

“Kenapa gapapa?”

“Gapapa Haikal. Karena dari awal aku juga udah siap.”

“Maksudnya?”

“Dari awal aku jatuh cinta sama kamu, aku udah siap, Kal. Siap bahagia, siap sakit, dan siap patah.” ucap Ralita sambil mengusap punggung tangan lelaki dihadapannya ini.

“Kalo kita mau jatuh cinta, kalo kita mau bahagia. Terus, kenapa kita harus takut buat patah, Kal?”

“Patah hati bukan berarti akhir dari segalanya, kan?”

Kalau saja Ralita tahu, saat ini pikiran Haikal tengah berkecamuk.

”Kenapa Ralita seperti ini?”

“Ta, gue gak ngerti.”

Ralita terkekeh.

“Apanya yang gak ngerti Haikal?”

Haikal terdiam.

“Ah tau lah gue pusing”

Lagi-lagi Ralita terkekeh.

“Mau minjem peluk enggak?” Tanya Ralita.

Haikal menatap Ralita, kemudian mengangguk.

“Boleh?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Ralita.

Haikal tersenyum.

Dan untuk kesekian kalinya, Haikal kembali jatuh cinta pada Ralita, lagi dan lagi.

“Jangan sakit ya Haikal,” ucap Ralita mengusap pelan pundak lelaki itu.

“Iya enggak,” ucap Haikal.

Baru saja Haikal menenggelamkan wajahnya di pundak Ralita, tiba-tiba saja terdengar teriakan.

“Aduh si mas enak banget pelukannya euy,” teriak bapak-bapak penjual bakso Malang yang tak jauh dari sana.

Haikal serta Ralita terkekeh.

“Enak mang euy!” Teriak Haikal.

Malam itu, Haikal benar-benar datang ke rumah Ralita. Walau sebenarnya banyak ketakutan perihal bertemu orang tua perempuan itu.

Haikal menghela napasnya kala ia berdiri di depan pintu rumah itu.

Entahlah, tapi jantung Haikal saat ini bener-benar berdetak sangat cepat.

Baru saja Haikal akan mengetuk pintu, fokusnya teralihkan saat mendengar seseorang.

“Siapa?” Ucap orang itu dengan suara beratnya membuat Haikal menoleh.

sialan

Ini ayah Ralita yang tengah berdiri di belakang Haikal.

Haikal menelan salivanya. Ia terdiam.

“Mau nyari siapa?” Ucap Pria itu.

“S-say—“

Belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja Ralita muncul dengan cardigan berwarna coklat yang sempat ia beli bersama Haikal waktu itu.

“Ayah!” Ucap Ralita.

“Ini Haikal, hehe” ucapnya lagi pada sang Ayah.

Haikal hanya menatap Ralita.

“Siapa? Pacar?” Ucap lelaki paruh baya itu.

Ralita terdiam.

“Iya, om,” ucap Haikal spontan membuat Ralita menoleh.

Lelaki paruh baya itu hanya diam menatap Haikal dari atas sampai bawah.

“Mau kemana malam-malam begini?”

“Itu yah, ma—“

“Maaf om, saya izin ngajak Ralita makan, boleh? Enggak jauh-jauh kok, cuma ke depan sana aja,” ucap Haikal.

Demi apapun, entah keberanian dari mana Haikal berani menjawab. Padahal sebelumnya ia sangat takut.

Ralita menatap sang ayah.

“Boleh, yah?”

Lelaki paruh baya itu lagi-lagi menatap Haikal dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Ya, jangan sampai malam.”

Ralita tersenyum kala mendengae izin dari sang Ayah.

“Enggak! Sebentar aja kok,” ucap Ralita tersenyum.

“Ayo Kal!” Ucap Ralita sambil menarik Haikal agar menjauh dari sang ayah.

“Makasih, om,” ucap Haikal.

Sebelum sempat mereka pergi, lelaki paruh baya itu berucap.

“Haikal,”

Haikal menoleh.

“Jangan macam-macam dengan putri saya.”

“Sini duduk,” ucap Haikal pada Ralita.

Perempuan itu terkekeh, pasalnya, Haikal bertingkah seolah Ralita-lah yang tamu, bukan Haikal.

“Ini rumah aku,” ucap Ralita membuat Haikal tersenyum.

Ralita duduk disamping Haikal. “Bang do kemana, Ta?” Tanya Haikal.

“Kuliah, gatau pacaran kali,” ucap Ralita acuh.

“Oh,”

“Katanya mau cerita,” ucap Ralita yang kini tengah bersandar pada pundak Haikal.

Ah, rasanya sudah lama Ralita tidak seperti ini pada Haikal.

Haikal terkekeh pelan, membiarkan Ralita bersandar dipundaknya.

Haikal suka wanginya.

Jemari lelaki itu bergerak memainkan helaian rambut hitam kecoklatan milik Ralita.

“Pake shampo apa sih?” Tanya Haikal tiba-tiba.

“Biasa, anti ketombe. Haha,” Ralita tertawa tanpa sebab, karena ia rasa ini sangat lucu.

Haikal hanya terkekeh pelan.

“Serah lo lah,” ucapnya yang kemudian kembali bermain-main dengan helaian rambut Ralita dan sesekali ia mengusapnya.

“Kangen, Ta,” ucap Haikal.

Ralita menengadah, mencoba menatap netra milik Haikal.

“Kangen, kangen, tapi kerjaannya nyuekin aku terus,” ucap Ralita yang lagi-lagi dibalas kekehan oleh Haikal.

“Biar gak manja,” ucapnya.

Ralita hanya berdecak sebal.

Dasar Haikal.

“Ta,”

“Hmm?”

“Banyak banget hal yang pengen gue ceritain ke lo. Banyak hal yang pengen gue bagi sama lo, Ta.”

Haikal berbicara dengan posisi ia yang masih bermain-main dengan rambut Ralita, sedangkan Ralita bersandar sambil meminkan ujung baju Haikal.

“Hmm, terus?”

“Maaf ya, Ta,” ucap Haikal.

“Gue enggak bisa bagi semua kekhawatiran gue, keresahan gue, ketakutan gue. Maaf karena gue gak pernah mau berusaha buat terbuka sama lo,”

Ralita terdiam.

“Ta, dari dulu, gue gak pernah tau gimana caranya buat ngungkapin apa yang gue rasain, Ta.”

“Dari dulu, gue selalu dipaksa buat diem. Keadaan yang selalu bikin gue mendem semuanya,”

Haikal menghela napasnya.

“Gue takut banget, Ta,” ucap Haikal.

“Takut kenapa?” Sela Ralita.

“Gue takut dianggap pecundang, gue takut dianggap lemah kalo gue bilang sama lo bahwa gue gak baik-baik aja.”

“Gue ....”

“Gue cuma enggak tau gimana cara ngungkapinnya, Ta .....”

“Haikal ....”

Jemari Ralita bergerak meraih lengan Haikal, kemudian ia mengusapnya lembut.

“Haikal, namanya manusia. Wajar kok kalo emang enggak baik-baik aja, wajar juga kalo kamu ngerasa gak bisa apa-apa. Kamu bukan superhero yang tahan banting, Haikal.”

“Coba liat aku,” ucap Ralita yang dituruti oleh Haikal.

“Aku disini tuh buat apa kalo bukan buat jadi penguat kamu, Kal?”

Haikal terdiam.

“Oke maafin aku, ya? Maafin aku kalo kesannya aku maksa kamu buat cerita,”

“Haikal, aku gak pengen apa-apa dari kamu. Aku gak pernah minta aneh-aneh, kan?” Tanya Ralita yang dibalas anggukan oleh Haikal.

“Aku cuma pengen kamu baik-baik aja, Haikal. Aku cuma pengen kamu ngerasa, kalau di dunia ini kamu gak sendirian.”

“Ada aku Haikal.”

“Aku gak peduli, mau kamu anak siapa, kamu gimana. Asalkan itu kamu, aku gak pernah malu, aku gak pernah mau kamu kenapa-napa, Kal.”

Ralita menghele napasnya, ia kemudia merubah posisinya agar bisa menatap jelas wajah Haikal.

Perempuan itu kemudian menangkup kedua wajah Haikal.

“Tau artinya Nuraga, gak?”

Haikal menggeleng.

“Nuraga itu artinya berbagi rasa, Kal,” ucap Ralita kemudia ia mengusap pelan wajah Haikal yang masih terlihat ada memar disana.

“Jadi ayo bagiin semuanya sama aku. Rasa bahagia kamu, rasa sakit kamu, khawatir kamu, ketakutan kamu. Ayo bagi ke aku, ya?”

“Kita nanti obatin sama-sama lukanya, kita sama-sama perbaikin kesalahannya, kita sama-sama atasin keresannya, ok?”

Ralita tersenyum.

Ah, sampai kapan-pun, Ralita tidak akan pernah bisa marah pada Haikal.

“Ta .....”

“Apa?”

“Gue sayang banget sama lo,” ucap Haikal tiba-tiba.

Ralita terkekeh.

“Sayang, sayang. Tapi kerjaannya ninggalin mulu, kerjaannya nyuekin mulu, kerjaa—“ ucapan Ralita terpotong kala Haikal mengecup bibir Ralita sekilas.

“Bawel,” ucapnya Haikal.

“IH GAK SOPAN!” Teriak Ralita sambil memukul pelan lengan Haikal.

“Enak, Ta.” Ucap Haikal.

“HAIKAL!”

“HAHAHA, BECANDA IH,” Haikal tertawa sedangkan Ralita hanya cemberut kesal.

“Sini,” Haikal merentangkan kedua tangannya.

“Lo bilang tadi mau peluk yang lama, sini. Gue mau meluk,”

Ralita hanya menatap Haikal kesal.

Haikal terkekeh, dan tanpa basa-basi ia menarik tubuh Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Gini dulu yang lama, ya. Gue kangen, hehe.” Ucap Haikal yang kini tengan mendekap erat perempuannya.

“Makasih banyak. Ta.”