Runtuh
“Masuk!” Ucap lelaki paruh baya itu dengan suara tegasnya.
“Ayah ....” lirih Ralita yang masih berdiri disamping Haikal.
“Ayah bilang masuk, Ralita!” Ucapnya lagi.
Dengan ragu, Ralita melangkah masuk sambil menoleh pada Haikal. Lelaki itu hanya tersenyum menandakan bahwa ia akan baik-baik saja.
“Aya—“
“Masuk.”
Haikal hanya menatap daksa Ralita yang mulai menghilang dari pandangannya. Kemudian netranya menatap sekilas sosok lelaki paruh baya yang masih berdiri di hadapannya.
“Sudah punya apa kamu sampai berani bawa putri saya kabur dari sekolah?”
Haikal terdiam.
Lelaki paruh baya itu menatap Haikal dari atas sampai bawah. Ia bahkan berdecih kala melihat penampilan Haikal yang memang sedikit berantakan.
“Anak berandalan mana kamu?”
“Anak sekolah atau geng motor? Berantakan sekali penampilanmu.” Ucapnya pada Haikal.
Haikal hanya menunduk, “maaf om ....” cicitnya tanpa berani menatap wajah lelaki dihadapannya ini.
“Sudah berapa lama kamu dekat dengan putri saya?”
“Satu tahun, om”
Lelaki paruh baya itu menghela napasnya, “saya gak mau putri saya jatuh ke tangan orang yang salah.”
Deg!
Jantung Haikal berdetak sangat kencang kala mendengar ucapan lelaki paruh baya itu.
“Jauhin Ralita.” Ucapnya tegas.
“Om ....”
“Saya gak tidak mengizinkan putri saya jatuh sama orang seperti kamu.”
Sungguh, dunia Haikal rasanya benar-benar runtuh saat ini juga.Bagaimana bisa ia menjauhi Ralita? Sedangkan separuh dunianya itu ada pada Ralita.
“Om, saya minta maaf kalau tadi saya membawa Ralita bolos sekolah, maaf ini salah saya. Tapi om saya mohon jangan larang saya untuk bertemu Ralita, saya mohon om ....” ucap Haikal dengan nada bicara yang terdengar ketakutan.
“Jauhin putri saya mulai sekarang, jangan coba-coba kamu dekatin Ralita lagi. Dari awal saya lihat kamu, saya memang sudah tahu kalau kamu bawa pengaruh buruk bagi putri saya.” Ucapnya tanpa menatap Haikal sedikitpun.
“Om saya mohon,” ucap Haikal yang tiba-tiba saja berlutut dihadapan lelaki itu.
“Saya cuma punya Ralita om, saya gak punya siapa-siapa la—“
“Pergi!”
“Pergi dari sini, jangan pernah kamu coba-coba dekati putri saya lagi. Pergi sebelum saya bertindak kasar.”
“Om saya moh—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Lelaki paruh baya itu melangkah pergi membanting pintu gerbang. Meninggalkan Haikal yang tengah berlutut disana.
Jika saja kalian tahu, seberapa besar Haikal takut untuk kehilangan Ralita. Ia benar-benar setakut itu.
Dari atas sana, Ralita hanya bisa menangis sambil menatap Haikal dari balik jendela kamarnya.
“Haikal maaf,” ucap Ralita terisak.
-
Haikal hanya bisa tertawa miris, mengingat kejadian beberapa menit lalu, saat ia dipaksa untuk pergi dari sana.
“Tolol lo Kal!” Umpatnya pada diri sendiri.
Haikal menghela napasnya, berusaha menahan sesak yang meluap di ruang dadanya.
Kenapa harus seperti ini? Kenapa Haikal harus merasa kehilangan lagi disaat ia sudah menjatuhkan seluruh dunianya pada Ralita.
Kenapa semua orang ingin Haikal pergi? Kenapa?
“Anjing!” Umpat Haikal sambil berusaha menahan tangis.
Haikal sadar, ia sangat sadar kalau dirinya belum cukup baik untuk Ralita. Bahkan dari awal pun ia tahu, jika sebenernya ia tidak pantas bersanding dengan Ralita.
Ralita itu salah satu murid paling berprestasi di sekolah. Ia bahkan banyak dikagumi oleh guru-guru di sekolah.
Tapi, dengan tidak tahu dirinya. Haikal berani menjatuhkan dunianya pada Ralita. Dengan tidak tahu dirinya, ia membuat Ralita jatuh pada haikal. Dan dengan tidak tahu dirinya, ia berani menyebut bahwa ia manusia paling beruntung karena mempunyai Ralita.
Haikal ini hanya lelaki berusia sembilan belas tahun yang bahkan tidak pernah tahu bagaimana cara menjadi bahagia.
Dari kecil, Haikal selalu dipaksa untuk jadi kuat. Dari kecil, Haikal selalu dipaksa untuk menjadi seseorang yang tidak boleh mengenal kata lelah. Dan dari kecil, keadaan yang selalu memaksanya untuk bersikap seolah ia baik-baik saja.
Padahal sebenarnya, Haikal juga manusia yang kadang ingin menyerah pada ketidakadilan takdirnya.
Baru saja kemarin Haikal merasa bahwa ia manusia paling bahagia. Baru saja kemarin Haikal merasa bahwa bersama Ralita ia akan selalu baik-baik saja.
Tapi sekarang, ia bahkan dipaksa untuk pergi sebelum sempat ia mengatakan bahkan dunianya ini hanya pada Ralita.
“Ta, kalau bukan sama lo, harus sama siapa lagi biar gue bisa bahagia?” Lirih Haikal sesaat sebelum ia menjatuhkan dirinya di tepi jalan.