biar aku yang pukul rasa sakitnya
Ralita tersenyum saat netranya menatap lelaki dihadapannya tengah berdiri dengan tatapan letihnya.
“Hai ....” ucap Ralita.
Haikal menatap Ralita, kemudian tanpa aba-aba, ia menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Ralita.
Ralita terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menepuk-nepuk pundak lelaki itu.
“Gapapa Haikal, gapapa ....” ucap Ralita pelan.
“Gini ya sebentar ....” ucap Haikal lirih.
Demi apapun, Ralita bahkan bisa merasakan sakitnya hanya dengah mendengar nada suara Haikal.
Sesak sekali.
“Ta ....” lirih Haikal.
“Dunia jahat banget sama gue,” ucapnya sambil mengeratkan pelukanya pada Ralita.
“Dunia gak pernah adil sama gue, Ta ....”
“Kenapa, ya?”
“Kenapa hadirnya gue gak pernah bikin orang lain bahagia ....”
Sungguh, Ralita benar-benar bisa merasakan sakit luar biasa. Dadanya sesak, hatinya perih. Lelakinya ini sedang tidak baik-baik saja.
“Haikal ....” ucap Ralita pelan. “Kata siapa hadirnya kamu gak pernah bikin bahagia?” Ralita melepas pelukannya, kemudian ia menatap wajah lelah dari lelaki ini.
Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan setiap sudut wajah Haikal.
“Kamu itu kebahagiaan Haikal, jangan kayak gini, ya?”
“Kamu itu kesayangannya mama, kamu kesayangannya aku, Kal. Kamu gak pernah sendirian,” ucap Ralita yang kembali mendekap tubuh rapuh Haikal.
“Capek, ya, Kal?”
Dalam pelukan itu, Haikal hanya bisa memejamkan matanya sambil mengangguk pelan.
“Kalau mau nangis gapapa, ya? Aku gak bakal ngomong apa-apa,”
Tanpa Ralita sadari, dalam pelukan itu, Haikal menangis.
“Ta ....” ucapnya dengan nada suara bergetar.
“Hmm?”
“Dia bilang ....”
“Aku ini anaknya,”
Ralita terdiam. Rasanya ngilu sekali.
“Aku anak ayah, Ta. Untuk pertama kalinya aku baca kalimat itu, Ta.”
“Haikal anak ayah.”
“Ralita, Haikal yang bandel ini anak ayah,” ucap Haikal yanh semakin terisak.
Ralita semakin mengencangkan pelukannya, berusaha menyalurkan ketenangan.
“Ralita ....”
“Aku anak ayah ....” lagi, Haikal terisak.
Sungguh, selama satu tahun Ralita bersama Haikal. Baru kali ini ia melihat Haikal sangat rapuh. Bahkan tangisannya terdengar begitu menyakitkan.
“Keluarin semuanya, aku disini, Kal.” Ralita mengusap pundak Haikal.
“Keluarin rasa sakitnya sama aku, semuanya keluarin. Biar nanti aku yang pukul rasa sakitnya biar pergi.”
Dalam pelukan itu Haikal terkekeh pelan saat ia mendengar ucapan Ralita.
“Makasih.”
“Makasih banyak, Ta.” Ucap Haikal.
Ralita melepas pelukannya, kemudian ia menatap wajah Haikal dengan teduh. Jemarinya kembali mengusap wajah Haikal.
“Haikal, makasih udah lahir, ya?”
“Ta ....”
Ralita tersenyum, “makasih udah lahir ke dunia, makasih udah jadi kuat, makasih udah jadi hebat dengan segala lukanya,” ucap Ralita.
“Aku sayang kamu, Kal. Makasih ya karena gak pernah milih buat nyerah,” ucap Ralita yang kembali mendekap tubuh rapuh itu.