Nuraga
“Sini duduk,” ucap Haikal pada Ralita.
Perempuan itu terkekeh, pasalnya, Haikal bertingkah seolah Ralita-lah yang tamu, bukan Haikal.
“Ini rumah aku,” ucap Ralita membuat Haikal tersenyum.
Ralita duduk disamping Haikal. “Bang do kemana, Ta?” Tanya Haikal.
“Kuliah, gatau pacaran kali,” ucap Ralita acuh.
“Oh,”
“Katanya mau cerita,” ucap Ralita yang kini tengah bersandar pada pundak Haikal.
Ah, rasanya sudah lama Ralita tidak seperti ini pada Haikal.
Haikal terkekeh pelan, membiarkan Ralita bersandar dipundaknya.
Haikal suka wanginya.
Jemari lelaki itu bergerak memainkan helaian rambut hitam kecoklatan milik Ralita.
“Pake shampo apa sih?” Tanya Haikal tiba-tiba.
“Biasa, anti ketombe. Haha,” Ralita tertawa tanpa sebab, karena ia rasa ini sangat lucu.
Haikal hanya terkekeh pelan.
“Serah lo lah,” ucapnya yang kemudian kembali bermain-main dengan helaian rambut Ralita dan sesekali ia mengusapnya.
“Kangen, Ta,” ucap Haikal.
Ralita menengadah, mencoba menatap netra milik Haikal.
“Kangen, kangen, tapi kerjaannya nyuekin aku terus,” ucap Ralita yang lagi-lagi dibalas kekehan oleh Haikal.
“Biar gak manja,” ucapnya.
Ralita hanya berdecak sebal.
Dasar Haikal.
“Ta,”
“Hmm?”
“Banyak banget hal yang pengen gue ceritain ke lo. Banyak hal yang pengen gue bagi sama lo, Ta.”
Haikal berbicara dengan posisi ia yang masih bermain-main dengan rambut Ralita, sedangkan Ralita bersandar sambil meminkan ujung baju Haikal.
“Hmm, terus?”
“Maaf ya, Ta,” ucap Haikal.
“Gue enggak bisa bagi semua kekhawatiran gue, keresahan gue, ketakutan gue. Maaf karena gue gak pernah mau berusaha buat terbuka sama lo,”
Ralita terdiam.
“Ta, dari dulu, gue gak pernah tau gimana caranya buat ngungkapin apa yang gue rasain, Ta.”
“Dari dulu, gue selalu dipaksa buat diem. Keadaan yang selalu bikin gue mendem semuanya,”
Haikal menghela napasnya.
“Gue takut banget, Ta,” ucap Haikal.
“Takut kenapa?” Sela Ralita.
“Gue takut dianggap pecundang, gue takut dianggap lemah kalo gue bilang sama lo bahwa gue gak baik-baik aja.”
“Gue ....”
“Gue cuma enggak tau gimana cara ngungkapinnya, Ta .....”
“Haikal ....”
Jemari Ralita bergerak meraih lengan Haikal, kemudian ia mengusapnya lembut.
“Haikal, namanya manusia. Wajar kok kalo emang enggak baik-baik aja, wajar juga kalo kamu ngerasa gak bisa apa-apa. Kamu bukan superhero yang tahan banting, Haikal.”
“Coba liat aku,” ucap Ralita yang dituruti oleh Haikal.
“Aku disini tuh buat apa kalo bukan buat jadi penguat kamu, Kal?”
Haikal terdiam.
“Oke maafin aku, ya? Maafin aku kalo kesannya aku maksa kamu buat cerita,”
“Haikal, aku gak pengen apa-apa dari kamu. Aku gak pernah minta aneh-aneh, kan?” Tanya Ralita yang dibalas anggukan oleh Haikal.
“Aku cuma pengen kamu baik-baik aja, Haikal. Aku cuma pengen kamu ngerasa, kalau di dunia ini kamu gak sendirian.”
“Ada aku Haikal.”
“Aku gak peduli, mau kamu anak siapa, kamu gimana. Asalkan itu kamu, aku gak pernah malu, aku gak pernah mau kamu kenapa-napa, Kal.”
Ralita menghele napasnya, ia kemudia merubah posisinya agar bisa menatap jelas wajah Haikal.
Perempuan itu kemudian menangkup kedua wajah Haikal.
“Tau artinya Nuraga, gak?”
Haikal menggeleng.
“Nuraga itu artinya berbagi rasa, Kal,” ucap Ralita kemudia ia mengusap pelan wajah Haikal yang masih terlihat ada memar disana.
“Jadi ayo bagiin semuanya sama aku. Rasa bahagia kamu, rasa sakit kamu, khawatir kamu, ketakutan kamu. Ayo bagi ke aku, ya?”
“Kita nanti obatin sama-sama lukanya, kita sama-sama perbaikin kesalahannya, kita sama-sama atasin keresannya, ok?”
Ralita tersenyum.
Ah, sampai kapan-pun, Ralita tidak akan pernah bisa marah pada Haikal.
“Ta .....”
“Apa?”
“Gue sayang banget sama lo,” ucap Haikal tiba-tiba.
Ralita terkekeh.
“Sayang, sayang. Tapi kerjaannya ninggalin mulu, kerjaannya nyuekin mulu, kerjaa—“ ucapan Ralita terpotong kala Haikal mengecup bibir Ralita sekilas.
“Bawel,” ucapnya Haikal.
“IH GAK SOPAN!” Teriak Ralita sambil memukul pelan lengan Haikal.
“Enak, Ta.” Ucap Haikal.
“HAIKAL!”
“HAHAHA, BECANDA IH,” Haikal tertawa sedangkan Ralita hanya cemberut kesal.
“Sini,” Haikal merentangkan kedua tangannya.
“Lo bilang tadi mau peluk yang lama, sini. Gue mau meluk,”
Ralita hanya menatap Haikal kesal.
Haikal terkekeh, dan tanpa basa-basi ia menarik tubuh Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.
“Gini dulu yang lama, ya. Gue kangen, hehe.” Ucap Haikal yang kini tengan mendekap erat perempuannya.
“Makasih banyak. Ta.”