Lagi dan lagi

Ralita terkekeh kala mendengar ucapan Haikal mengenai ia yang keringat dingin saat melihat ayah Ralita tadi.

“Lagian siapa yang gak kaget coba, ayah kamu tiba-tiba manggil terus pake baju item berdiri di belakang aku,” ucap Haikal.

“Aku juga kaget sumpah, hahaha.”

“Ayah kamu serem,” ucap Haikal sambil menyeruput es kelapa muda miliknya.

Sedangkan Ralita fokus menghabiskan semangkuk baksa Malang kesukaannya.

“Tadi aku tuh lagi minum, terus bunda bilang ayah ada di depan. Aku langsung lari keinget kamu mau dateng, eh beneran malah udah dateng,” ucap Ralita yang dibalas kekehan oleh Haikal.

“Gapapa, calon mertua,” ucap Haikal santai membuat Ralita tersedak.

Haikal hanya tersenyum. Ia benar-benar menyukai suasana seperti ini. Menghabiskan waktu berdua bersama perempuannya, sambil memperhatikan orang-orang yang tengah berlalu-lalang.

“Ta,” ucap Haikal.

“Hmm,” ucap Ralita yang tengah fokus pada semangkuk bakso miliknya.

“Udah lama ya kita enggak kayak gini,” ucap Haikal.

Ralita menoleh pada Haikal, “Gini gimana?”

“Ya gini, berduaan aja sama lo sambil nyari jajanan, sambil ketawa. Gue seneng, Ta” ucap Haikal dengan jemarinya yang mulai mengusap surai kecoklatan perempuan itu.

Ralita terkekeh, “iya.”

“Iya apa?”

“Aku juga suka kayak gini,” ucap Ralita.

Haikal tersenyum, “maafin gue ya, Ta.”

“Maaf buat apa?”

“Maaf aja, kadang gue egois. Gue masih suka sibuk sama urusan gue sendiri, gue masih suka seenaknya sama lo,” ucap Haikal.

Ralita menjauhkan mangkuk bakso itu, kemudian ia merubah posisinya menghadap pada lelaki disampingnya ini.

“Haikal ....”

“Enggak perlu minta maaf, gak ada yang harus dimaafin.”

Haikal menatap Ralita.

“Ta,”

“Lo kenapa sih gampang banget ngasih maaf?”

Ralita mengendikkan bahunya pelan.

“Gak tau, hehe.”

Haikal hanya tersenyum pelan.

Haikal beruntung.

Beruntung karena mempunyai Ralita yang selalu siap menjadi penguatnya dikala semua orang membencinya.

Beruntung karena Ralita selalu siap menjadi pendengar yang baik untuk Haikal. Walau memang kenyataannya, Haikal belum pernah sekalipun membagi semua rasa sakit serta kerasahannya pada Ralita

Beruntung karena Ralita selalu bersedia memberi pelukan paling menenangkan untuk Haikal.

Haikal beruntung mempunyai Ralita.

“Ta,”

“Apa?”

“Kalau suatu saat nanti gue ngelakuin hal fatal yang bisa nyakitin lo, gimana?” Tanya Haikal tiba-tiba.

Ralita menaikkan sebelah alisnya.

“Hal fatal apa dulu?”

“Apa aja, semua yang bisa bikin lo patah.”

Ralita menatap Haikal.

“Gapapa,” Ucap Ralita tersenyum.

“Kenapa gapapa?”

“Gapapa Haikal. Karena dari awal aku juga udah siap.”

“Maksudnya?”

“Dari awal aku jatuh cinta sama kamu, aku udah siap, Kal. Siap bahagia, siap sakit, dan siap patah.” ucap Ralita sambil mengusap punggung tangan lelaki dihadapannya ini.

“Kalo kita mau jatuh cinta, kalo kita mau bahagia. Terus, kenapa kita harus takut buat patah, Kal?”

“Patah hati bukan berarti akhir dari segalanya, kan?”

Kalau saja Ralita tahu, saat ini pikiran Haikal tengah berkecamuk.

”Kenapa Ralita seperti ini?”

“Ta, gue gak ngerti.”

Ralita terkekeh.

“Apanya yang gak ngerti Haikal?”

Haikal terdiam.

“Ah tau lah gue pusing”

Lagi-lagi Ralita terkekeh.

“Mau minjem peluk enggak?” Tanya Ralita.

Haikal menatap Ralita, kemudian mengangguk.

“Boleh?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Ralita.

Haikal tersenyum.

Dan untuk kesekian kalinya, Haikal kembali jatuh cinta pada Ralita, lagi dan lagi.

“Jangan sakit ya Haikal,” ucap Ralita mengusap pelan pundak lelaki itu.

“Iya enggak,” ucap Haikal.

Baru saja Haikal menenggelamkan wajahnya di pundak Ralita, tiba-tiba saja terdengar teriakan.

“Aduh si mas enak banget pelukannya euy,” teriak bapak-bapak penjual bakso Malang yang tak jauh dari sana.

Haikal serta Ralita terkekeh.

“Enak mang euy!” Teriak Haikal.