Jea sayang Ayah
Sudah dua hari semenjak Jea kembali bersama Janu, dan selama dua hari itu Janu tidak pernah berhenti memberi perhatian pada Jea.
“Ayah, ayah, katanya mau ketemu bunda?” Tanya Jea yang tengah memakan cemilan yang sebelumnya Janu beli.
Janu tersenyum, lalu jemarinya bergerak mengusap sayang pucuk kepala anak perempuannya itu.
“Iya mau, nanti, ya?” Ucap Janu.
“Ayah!” Teriak si bungsu dari arah kamar, membuat Janu serta Jea menoleh.
“Ih adek jangan lari!” Teriak Jea.
“Ayah! Celana adek robek,” ucap Jae sambil memperlihatkannya pada Janu.
Janu terkekeh pelan, ia kemudian mensesejajarkan tubuhnya dengan si bungsu.
“Ini adek kenapa celana yang ini dibawa?” Ucap Janu sambil meraih celana itu.
“Enggak tau, waktu ayah bilang mau jemput kakak, adek langsung masukin semuanya, hehe,” Jae menyerengeh.
Janu tersenyum, ia kemudian mengacak pelan pucuk kepala anak lelaki itu.
“Ya sudah, jangan dipake, ya? Nanti ayah benerin. Sana cari yang bagus,” ucap Janu yang dibalas anggukan oleh Jae.
Janu beranjak, kemudian ia menatap sekelilingnya.
Terlihat jelas lengkungan di wajahnya itu terangkat, membuat matanya menyipit.
Rasanya sudah lama sekali Janu tidak pulang ke rumah ini.
Rumah yang ia beli ketika ia masih mengharapkan kehadiran Senjani disisinya.
Rumah yang ia hidupkan kehangatannya, ketika ia berhasil membawa Senjani ke dalam pelukannya.
Janu rindu sekali.
Lelaki itu menghela napasnya, berusaha menahan sesak akibat kerinduan serta kekosongan yang selalu menyelimutinya.
“Ayah ....” ucap Jea tiba-tiba membuat Janu menoleh.
Lelaki itu kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Jea.
“Hmm? Apa sayang?”
“Jea sayang ayah,” ucap Jea yang langsung memeluk erat tubuh Janu.
Janu tersenyum, “ayah juga sayang Jea”