Jjaejaepeach

Benar saja, kali ini Haikal benar-benar pulang ke rumah.

Iya rumah.

Katanya.

Baru saja Haikal melangkah masuk, suara pria paruh baya sudah terdengar jelas masuk ke telinganya.

“Duduk, Haikal!” Pria itu berucap tegas, membuat Haikal mau tidak mau duduk di hadapannya.

Netra Haikal menatap pria dihadapannya itu sekilas.

Muak.

Haikal sangat muak melihatnya.

“Apalagi?” Tanya Haikal.

“Kamu ini mau jadi apa?” Pria itu berucap.

“Berantem? Ribut? Bolos? Apalagi, Haikal?” ucapnya pada Haikal.

“Bukan urusan, gak perlu tau.” Jawab Haikal tanpa menatap.

“Haikal!”

“Saya ini ay—“

Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, Haikal sudah lebih dulu berdiri.

“Saya gak pernah punya ayah!” Ucap Haikal lalu melangkah pergi membuat pria yang disebut ayah itu mengepalkan tangannya.

“Kalau bukan karena ayah, kamu gak bakal pernah ada, Haikal! Jangan bertingkah seolah kamu bisa segalanya!” Teriaknya.

“Kalau bukan karena saya, kamu dan ibumu gak bakal pernah bisa bertahan!”

Napas haikal tesenggal-senggak kala ia mendengar ucapan pria itu.

Haikal terkekeh sejenak.

“Apa pernah saya minta buat dilahirin?” Ucap Haikal sembari melangkah mendekati ayahnya itu.

Matanya memerah, tangannya terkepal.

Ia benci, sangat membencinya

“SAYA. GAK. PERNAH. MINTA. BUAT. DILAHIRIN!” Haikal berteriak sambil menekan setiap katanya.

“Jangan pernah bawa-bawa mama! Gara-gara kamu, kelakuan bejatmu mama saya sengsara, mama saya dibuang!” Ucap Haikal.

Pria dihadapan Haikal itu menatapnya dengan tatapan amarah, begitu pula dengan Haikal.

“Dari dulu saya sama mama cuma hidup berdua, dari dulu saya sama mama gak pernah tau rasanya dinafkahi. Lalu sekarang kamu bicara seolah kamu sudah berkontribusi banyak untuk hidup saya sama mama.”

“Mama kerja, mama mati-matian besarin saya sendirian. Dia sendirian, kita sendirian. Sembunyi, hidup saya sama mama gak pernah tenang!”

“Itu semua karena apa? Karena keluarga kamu yang selalu mengancam hidup mama. Terus sekarang kenapa? Kenapa kamu bertingkah seolah kamu sudah melakukan banyak hal untuk mama sama saya?”

Haikal benar-benar merasakan sesak luar biasa.

“Jaga ucapan kamu, Haikal. Saya gak pernah nelantarin kalian.” Ucap pria itu.

Haikal terkekeh.

“Tai anjing!”

“HAIKAL!” Teriak pria itu kemudian ia menampar wajah Haikal dengan keras.

Haikal menatapnya dengan tatapan bengis.

“Jaga bicara kamu! Saya ini ayah kamu!”

Lagi.

Haikal benci ini.

Haikal benci ketika orang ini dengan bangganya bilang jika ia itu ayahnya. Padahal jelas-jelas Haikal tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapatkan kasih sayang dari sosok ayah.

Dari dulu, yang Haikal tahu hanya mama, yang Haikal ingat hanya perjuangan mati-matian dari mama, bukan ayah.

Haikal benci ini.

“Kemana kamu?!” Teriak Pria itu saat Haikal melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu.

“Haikal!” Teriaknya lagi.

“Bukan urusan!”

Ralita benar-benar pergi menghampiri Haikal ke warung belakang sekolah. Tidak peduli dengan dia yang masih mempunyai jadwal pelajaran. Yang Ralita pikirkan saat ini hanya Haikal.

Seperti biasa, disana banyak sekali anak-anak sekolah Ralita ataupun dari luar sekolah. Ralita mengenal beberapa anak disana, karena kebetulan mereka ini sekelas dengan Haikal.

“Haikal mana, Dra?” Tanya Ralita pada Indra-teman kelas Haikal yang juga ada disana.

“Di dalam tuh, anaknya abis ribut” ucap Indra membuat Ralita menghela napasnya.

Belum sempat Ralita melangkah masuk, netranya menangkap Haikal yang sudah lebih dulu keluar menghampirinya.

Tanpa aba-aba lelaki itu menarik lengan Ralita, menuntunnya agar ia ikut dengan Haikal pergi dari sana.

Tanpa bicara sepatah kata, Haikal memasangkan helm kumbang yang memang selalu ia bawa untuk Ralita.

“Haikal,” ucap Ralita.

“Naik, Ta,” ucap Haikal.

Tanpa lama-lama Ralita menuruti perkataan Haikal. Entah akan dibawa kemana Ralita saat ini.

Sepanjang perjalanan, Haikal pun hanya terdiam, sambil sesekali menahan sakit yang muncul tiba-tiba.

“Turun, Ta,” ucap Haikal ketika sampai.

“Ngapain kesini?” Tanya Ralita heran.

Lagi, Haikal hanya terdiam lalu meraih lengan Ralita agar ikut dengannya.

“Duduk aja disini,” ucap Haikal.

Tempat ini.

Tempat dimana Ralita pertama kali bertemu Haikal.

Taman kota.

Tempat dimana Ralita dan Haikla pertama kali saling berpandangan satu sama lain.

“Hai—“

“Gue berantem,” ucap Haikal tiba-tiba.

“Tau,”

“Tadi gue kena tonjok, Ta,”

“Mata gue kena tonjok Bagas anjing,”

“Perut gue tadi ditendang,”

“Anjing emang, beraninya ramean.”

Oceh Haikal.

“Gue tadi mau ngelawan, cuma ditahan. Terus, mereka keroyokan,”

“Tadi g—“

“Mana aja yang sakit?” Potong Ralita.

“Gak a—“

Ralita menghela napasnya, kemudian ia memeriksa setiap bagian tubuh Haikal yang terlihat memar.

“Gue gapapa Ralita,” ucap Haikal.

Tanpa menjawab apapun, jemari Ralita bergerak mengusap beberapa memar yang ada di wajah, serta lengan Haikal. Sesekali ia mengusap perut yang katanya terkena tendangan.

“Ta, gue ga—“

“Haikal jangan sakit ....” ucap Ralita pelan.

Haikal terdiam.

“Lo nangis?”

Ralita menggeleng pelan sambil menunduk.

“Lo nangis, Ta. Astaga,” ucap Haikal.

“Kenapa nangis elah,”

Ralita hanya menggeleng pelan.

“Liat gue ga—“

Tanpa basa-basi Ralita memeluk tubuh Haikal.

“Huhu, Haikal jangan sakit ....” Ralita terisak.

“Haikal mah, jangan berantem. Aku gak suka. Liat, kamunya jadi sakit, kan!” Ucap Ralita yang menangis sambil memeluk Haikal.

Haikal terkekeh pelan.

“Ralita, gue gapapa serius,”

Isakan Ralita semakin kencang.

“Gapapa, gapapa! Buktinya ini apa!”

Lagi, Haikal terkekeh.

Lelaki itu kemudian mengusap pundak Ralita, guna menenangkannya.

“Aku tuh khawatir, Kal!” Ucap Ralita yang masih terisak.”

“Iya, maaf.”

“Maaf, ya? Bikin khawatir,” ucap Haikal.

“Jangan sakit, jangan luka, aku gak suka.” Ucap Ralita.

“Iya maaf ya, udah jangan nangis”

Lalu, dengan langkahnya yang tergesa-gesa, Ralita segera menghampiri Haikal yang tengah terduduk lemah disana.

Ada beberapa orang, termasuk teman-teman Haikal disana.

“Ta,” Ucap Zidan sambil menunjukkan keberadaan Haikal.

Ralita kemudia berlari kecil dan langsung memeluk tubuh lelaki itu.

“Haikal tenang ....” ucap Ralita sambil menepuk pelan pundak Haikal.

Entah sudah menangis berapa lama, wajah Haikal sangat kacau. Bahkan kepalan tangannya terdapat beberapa luka.

Ralita menghela napasnya. Ia meringisi ngeri.

Lelakinya ini terlalu rapuh.

“Ralita ....” lirih Haikal.

“Iya aku disini, Kal,” ucap Ralita mengusap wajah lelaki itu.

“Mama ....”

“Mama udah enggak ada ....” lirihnya yang terdengar sangat menyakitkan.

“Tadi pagi mama masih nelepon, tadi pagi mama masih bawel, tadi pagi mama ....” ucapan Haikal terjeda, ia kembali terisak pelan.

“Mama ....”

“Mama sekarang gak ada,” ucap Haikal.

“Kenapa, Ta?”

“Kenapa harus mama?”

“KENAPA HARUS MAMA YANG DIAMBIL TUHAN?! JAWAB TA!” Teriak Haikal pada Ralita.

Ralita tersentak, namun ia berusaha tetap tenang.

Jemari perempuan itu berusaha menggenggam Haikal, memeluknya, menenangkannya.

“KENAPA HARUS MAMA!” Teriaknya lagi.

“Haikal ....” lirih Ralita yang juga ikut merasakan sakitnya Haikal.

“Ta, gue bahkan belum sempet banggain mama. Gue belum sempet ngasih kebahagiaan buat mama. Ralita ....”

“Gue harus gimana?”

“GUE HARUS GIMANA ANJING!” Teriaknya lagi.

Ralita hanya bisa terdiam sambil mendekap erat tubuh Haikal.

“Gue bahkan belum bilang maaf sama mama, gue belum bilang kalau gue sayang mama, gue belum ngasih kebahagiaan apa-apa buat mama, Ta.”

“Gue ....” lagi, Haikal terisak.

“Gue mau mama, Ta .....” lirihnya lagi.

Demi apapun, sakit sekali melihat Haikal yang seperti ini.

Ralita paham, sangat paham.

Dari awal ia mengenal Haikal, ia sangat paham, jika jauh di dalam diri Haikal yang terlihat dingin dan angkuh. Lelaki ini sebenarnya menyimpan banyak lukanya sendirian.

Sekalipun, Haikal tidak pernah mau membagi lukanya pada Ralita.

Ia hanya memendamnya sendirian.

“Haikal, mama bangga sama kamu. Mama selalu bangga sama kamu ....”

“Mama gak minta lebih, mama cuma mau Haikal sehat.”

“Mama kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu itu anugerah Tuhan yang berhasil bikin hidup mama bahagia, Haikal.”

“Kamu hebat Haikal, kamu selalu hebat dimata mama,”

“Tapi nyatanya kehadiran gue bikin mama terbuang.”

“Haikal, ga—“

“Ta ....” Haikal memotong ucapan Ralita.

“Jangan kemana-mana ....”

“Jangan bilang udahan lagi kayak tadi, ya?”

“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”

“Haikal maaf,” ucap Ralita.

Haikal mendekap erat tubuh perempuan itu, sangat erat seolah ia tidak ingin kehilangan hangat ini.

“Jangan kemana-mana, gue mohon ....”

Lalu, dengan langkahnya yang tergesa-gesa, Ralita segera menghampiri Haikal yang tengah terduduk lemah disana.

Ada beberapa orang, termasuk teman-teman Haikal disana.

“Ta,” Ucap Zidan sambil menunjukkan keberadaan Haikal.

Ralita kemudia berlari kecil dan langsung memeluk tubuh lelaki itu.

“Haikal tenang ....” ucap Ralita sambil menepuk pelan pundak Haikal.

Entah sudah menangis berapa lama, wajah Haikal sangat kacau. Bahkan kepalan tangannya terdapat beberapa luka.

Ralita menghela napasnya. Ia meringisi ngeri.

Lelakinya ini terlalu rapuh.

“Ralita ....” lirih Haikal.

“Iya aku disini, Kal,” ucap Ralita mengusap wajah lelaki itu.

“Mama ....”

“Mama udah enggak ada ....” lirihnya yang terdengar sangat menyakitkan.

“Tadi pagi mama masih nelepon, tadi pagi mama masih bawel, tadi pagi mama ....” ucapan Haikal terjeda, ia kembali terisak pelan.

“Mama ....”

“Mama sekarang gak ada,” ucap Haikal.

“Kenapa, Ta?”

“Kenapa harus mama?”

“KENAPA HARUS MAMA YANG DIAMBIL TUHAN?! JAWAB TA!” Teriak Haikal pada Ralita.

Ralita tersentak, namun ia berusaha tetap tenang.

Jemari perempuan itu berusaha menggenggam Haikal, memeluknya, menenangkannya.

“KENAPA HARUS MAMA!” Teriaknya lagi.

“Haikal ....” lirih Ralita yang juga ikut merasakan sakitnya Haikal.

“Ta, gue bahkan belum sempet banggain mama. Gue belum sempet ngasih kebahagiaan buat mama. Ralita ....”

“Gue harus gimana?”

“GUE HARUS GIMANA ANJING!” Teriaknya lagi.

Ralita hanya bisa terdiam sambil mendekap erat tubuh Haikal.

“Gue bahkan belum bilang maaf sama mama, gue belum bilang kalau gue sayang mama, gue belum ngasih kebahagiaan apa-apa buat mama, Ta.”

“Gue ....” lagi, Haikal terisak.

“Gue mau mama, Ta .....” lirihnya lagi.

Demi apapun, sakit sekali melihat Haikal yang seperti ini.

Ralita paham, sangat paham.

Dari awal ia mengenal Haikal, ia sangat paham, jika jauh di dalam diri Haikal yang terlihat dingin dan angkuh. Lelaki ini sebenarnya menyimpan banyak lukanya sendirian.

Sekalipun, Haikal tidak pernah mau membagi lukanya pada Ralita.

Ia hanya memendamnya sendirian.

“Haikal, mama bangga sama kamu. Mama selalu bangga sama kamu ....”

“Mama gak minta lebih, mama cuma mau Haikal sehat.”

“Mama kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu itu anugerah Tuhan yang berhasil bikin hidup mama bahagia, Haikal.”

“Kamu hebat Haikal, kamu selalu hebat dimata mama,”

“Tapi nyatanya kehadiran gue bikin mama terbuang.”

“Haikal, ga—“

“Ta ....” Haikal memotong ucapan Ralita.

“Jangan kemana-mana ....”

“Jangan bilang udahan lagi kayak tadi, ya?”

“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”

“Haikal maaf,” ucap Ralita.

Haikal mendekap erat tubuh perempuan itu, sangat erat seolah ia tidak ingin kehilangan hangat ini.

“Jangan kemana-mana, gue mohon ....”

Jemari anak perempuan itu bertaut pada jemari lain yang tidak lebih besar dari miliknya. Ia Jea, seorang anak perempuan dengan tatapan teduh yang dimiliknya. Seorang anak perempuan dengan segala kelembutan yang sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil.

“Gian, kamu jangan murung terus,” ucap Jea pada anak laki-laki yang dipanggil Gian itu.

Gian hanya menunduk, “papa enggak mau ngobrol sama Gian,” ucap anak itu pelan.

Jea paham, ia sangat paham.

Pasalnya, sejak mereka sampai di tempat ini, Biru hanya menggandeng dirinya, Biru hanya berbicara padanya, tapi tidak pada Gian.

Jea itu sudah cukup dewasa untuk mengerti situasi, entah naluri darimana, tapi ia tahu. Jika saat ini Gian sedang terluka.

“Papa cuma suka sama kamu aja, papa enggak suka sama Gian,” ucap anak lelaki itu.

“Papa tadi kan bilang mau ketemu nenek dulu, nanti Gian tunggu, ya? Papa pasti bakalan ngomong sama Gian,” ucap Jea meyakinkan.

Sudah hampir setengah jam kedua anak itu menunggu diluar, namun Azri serta Biru belum kunjung keluar dari ruangan yang katanya ada nenek di dalamnya.

“Gian, kamu tau wajah nenek enggak?” Ucap Jea tiba-tiba.

Gian menggeleng, “gak tau .....” ucap Gian.

Jea mengerucutkan bibirnya.

Lama sekali.

“Gian keluar, yuk? Tadi aku liat ada ayunan di depan,” ucap Jea dan langsung dibalas anggukan oleh Gian.

“Ayo!”

_

Kedua anak itu berlarian kesana kemari, tertawa serta bercanda bersama.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang memandang mereka berdua dari jauh.

Ah, rasanya sudah lama Jea tidak tertawa lepas seperti ini.

“Gian, kejar aku!” Teriak Jea sambil tertawa, begitupun dengan Gian.

“Jea aku tangkap kamu!” Ucap Gian seolah ia ingin menerkam Jea.

Menyenangkan sekali.

Dan lagi, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sejak tadi hanya tersenyum kala melihat tawa kedua anak itu.

“Ayah ....” Tiba-tiba saja panggilan itu menyadarkan lamunannya.

“Itu ....”

“Kakaknya Jae, itu kakak Jea,” ucap anak itu.

Lelaki dewasa itu mensejajarkan tubuhnya.

“Ayo, ketemu kakak,” ucapnya sambil tersenyum.

Anak itu kemudian langsung berlari.

“KAKAK JEA!” Teriaknya membuat Jea serta Gian menoleh.

Jea terdiam sejenak.

“JAE?! ADEK?!” Ucap Jea yang langsung berlari memeluknya.

“KAKAK!” Ucap anak bernama Jae itu.

“Adek!” Ucap Jea memeluk hangat tubuh kecil yang selama hampir setahun ini ia rindukan.

Netra Jea beralih pada seseorang yang berdiri di belakang sang adik.

Itu ....

Ayah ....

“AYAH?!” Teriak Jea yang langsung memeluk erat tubuh itu.

“Iya, ini ayah ....” ucapnya yang sama-sama memeluh erat tubuh sang anak yang selalu ia rindukan kepulangnnya.

“Ayah .....” ucap Jea terisak.

“Jea kangen ayah ....” ucapnya lagi.

Sakit sekali mendengar ucapan Jea.

“Maafin ayah baru datang ya cantik,” ucapnya.

Ia Janu, sosok ayah yang selalu Jea rindukan, soaok ayah yang selalu Jea harapkan kehadirannya. Ayah disini, ia disini memeluk Jea.

“Ayah, Jea mau sama ayah, jea mau sama ayah,” ucap Jea terisak.

Janu tersenyum, hangat.

Jemarinya bergerak mengusap helaian hitam anak perempuannya itu.

“Ayah disini, kita pulang, ya?” Ucap Janu.

Jea mengangguk senang.

Dan lagi, dua insan itu kembali memeluk, kembali menyalurkan kerinduan.

“Jea mau pulang, Jea enggak suka papa Biru,”

Benar saja, lelaki itu benar-benar datang kesana, berdiri tepat dihadapan pintu masuk rumah Ralita. Dengan tatapannya yang menyiratkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Haikal menatap perempuan dihadapannya ini. Jujur saja, sejak ia memutuskan untuk menjatuhkan semestanya pada perempuan ini satu tahun lalu, Haikal merasa sangat beruntung. Pasalnya, meskipun selama ini Haikal bersikap dingin pada Ralita, namun tetap saja. Ralita akan selalu memberi peluk jika Haikal terluka.

“Kal, gapapa?” ucap Ralita menyadarkan Haikal dari lamunannya.

Tanpa berbicara sepatah kata apapun, Haikal membawa tubuhnya untuk masuk ke dalam peluk perempuan ini.

Ralita terdiam saat Haikal tiba-tiba saja memeluknya dengan erat.

Ralita menghela napasnya.

Lelakinya ini sedang tidak baik

Perlahan, jemarinya bergerak mengusap pundak Haikal, berusaha menyalurkan ketenangan agar Haikal merasa aman.

“Haikal, enggak apa-apa. Semuanya bakal baik-baik aja,” ucap Ralita lembut. Meskipun pada dasarnya ia tidak tahu apa yang menjadi penyebab Haikal seperti ini.

Haikal tidak menjawab, ia hanya menyembunyikan wajahnya dileher perempuan itu, tak lupa ia semakin mempererat pelukannya.

“Jangan gerak, Ta. Gini aja, ya? Sebentar,” ucap Haikal pelan.

“Iya,” ucap Ralita.

Dan untuk kesekian kalinya, peluk Ralita ini selalu mampu membuat tenang Haikal, untuk apapun itu masalahnya.

“Gue sayang lo, Ta.”

Biru menghela napasnya kala ia memasuki mobil Azri.

“Gih kamu duduk di belakang ya sayang, papa di depan,” ucap Biru lembut pada Jea.

Azri hanya menghela napasnya. Ia merasa dejavu. Sorot mata yang Biru pancarkan pada Gian, sangat mengingatkannya pada sang ayah dahulu.

“Biru,” ucap Azri kala Biru duduk di kursi samping kemudi.

“Apaan?”

“Jangan kayak gitu sama Gian,” ucapnya pelan.

Biru menghela napasnya. “Dia bukan a—“

“Dia darah daging lo.” Ucap Azri sembari langsug melajukan mobilnya.

Dibelakang Biru sera Azri. Gian—anak lelaki yang penuh dengan pancaran kerinduan hanya bisa diam-diam memperhatikan pundak sang Ayah dari belakang.

“Papa ....” gumamnya pelan, sangat pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.

Disamping anak itu, ada Jea, yang juga diam-diam memperhatikan Gian.

“Hei, kamu gapapa?” Ucap Jea berbisik yang membuat Gian menoleh.

Yang dipanggil hanya menggeleng pelan.

Entah naluri darimana, tanpa sadar Jea menggerakan jemarinya hanya untuk mengusap punggung tangan anak lelaki ini.

“Papa ....” ucap Jea membuat Biru menoleh.

“Nanti Jea mau main sama Gian, ya?”

Biru menatap Jea, kemudian berganti menatap Gian.

Biru menghela napasnya, kemudian ia mengangguk pelan, “iya boleh.”

Sorot mata Jea berbinar kala mendengar ucapan Biru.

Begitu juga dengan Gian.

“Papa, papa enggak marah sama aku?” Ucap Gian takut.

Entah sadar atau tidak sadar, Biru menggeleng pelan.

“Papa gak marah sama Gian, jangan takut.” Ucap Biru, sangat lembut.

“Gian sayang papa!” Ucap Gian berbinar, yang tanpa diketahui siapapun membuat ngilu ulu hati Biru.

“Iya” ucap Biru tanpa kembali menoleh pada Gian.

Hii hii hii

Hii

Sudah berlalu hampir tiga jam gadis itu terduduk sambil menunggu kedatangan sang Ayah.

Berkali-kali ia mengecek ponselnya, berharap satu notifikasi terpampang dari sang Ayah.

Gadis itu menghela napasnya.

“Ayah kem—“ belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, fokusnya teralihkan kala pesan masuk kedalam ponselnya itu.

Buru-buru ia membukanya.

Ah, Gadis itu tersenyum pelan kala membaca pesan singkat dari sang Ayah, kemudian ia segera beranjak darisana.

Sambil membawa sekotak kue yang sudah susah payah ia buat. Dengan perasaan bahagianya, gadis ini berjalan membuka pintu.

“Ayah selamat ulang t—“ Kalimatnya terpotong kala Sang ayah menepis kue yang ia pegang dengan kasar.

Kue-nya jatuh.

Tanpa rasa berdosa, lelaki itu bahkan melangkah pergi tanpa sedikitpun melihat bagaimana tatapan sedih dari anak itu.

“A-ayah ....” lirihnya.

Langkah lelaki itu terhenti.

“Ayah se-enggak suka itu, ya, sama aku?” Ucapnya dengan mata yang terus melihat ke arah kue yang sudah hancur tak berbentuk itu.

Sambil berusaha menahan sesak yang kian menyeruak, perempuan itu terisak pelan.

“Ayah, selamat ulang tahun. Jane sayang ayah .....” lirihnya yang kini tengah memungut kue itu.

Tanpa menjawab ucapan putrinya, lelaki itu memilih untuk berlalu.

“Sehat selalu ayah ....” lirih Gadis itu pelan.