Selamat Hari Lahir
Haikal terduduk rapuh kala membaca pesan terakhir yang dikirimkan perempuannya.
Jadi, ia benar-benar ditinggalkan tanpa tahu kepastian?
Jujur saja, rasanya sangat sesak, terlalu sesak sampai Haikal tidak bisa merasakan apa-apa.
“Jahat lo, Ta ....” gumamnya yang masih terus memperhatikan ponsel miliknya.
Haikal terdiam, ia benar-benar tidak mengerti dengan rencana semesta.
Memang betul, setiap pertemuan itu harus selalu siap dengan perpisahan. Tapi, bukan seperti ini yang Haikal ingin.
Haikal menghela napasnya, berusaha meredakan sesak yang membuncah di ruang dadanya.
Baru saja ia ingun berniat tidur, guna melupakan rasa sakitnya. Terdengar suara ketukan pintu, membuatnya terpaksa beranjak ke arah ketukan itu.
Haikal menghela napasnya kala ia tak sengaja melihat dirina di cermin.
Kacau.
Lagi, Haikal menghela napasnya. Kemudian ia kembali melangkah untuk membuka pintu.
“Ya sebentar!” Ujar Haikal.
Baru saja Haikal membuka pintunya sedikit, tiba-tiba saja dari arah luar pintu itu terdorong, membuat Haikal sedikit terhuyung.
“SELAMAT ULANG TAHUN ADEK ABANG!” Teriak Jerico yang tiba-tiba saja masuk sambil membawa balon di tangannya.
Haikal menatao Jerico, “SELAMAT ULANG TAHUN ADEKNYA ABANG!” Lagi, Jerico berteriak dihadapan Haikal kemudian ia menarik tubuh Haikal ke dalam pelukannya.
Haikal terdiam sejenak, lalu kemudian tersenyum.
Saat sedang dipeluk, fokus Haikal teralihkan pada suara dari arah pintu.
Haikal tersenyum, kala melihat siapa yang datang.
Itu .... Ibu.
Ibu yang datang sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan tangannya yang memegang sebuah kue berwarna putih bertuliskan namanya.
”Happy birthday adek, happy birthday adek, happy birthday, happy birthday, happy birthday adek ....” Prameswati bernyani dengan lembut, membuat Haikal melepaskan pelukan Jerico lalu melangkah mendekat ke arah perempuan paruh baya itu.
Haikal menatap lekat perempuan dihadapannya ini. Sorot matanya benar-benar menunjukan keteduhan dan kehangatan.
“Ayo tiup lilinnya.” Ucap Prameswati tersenyum pada si bungsu.
Di samping Haikal, ada Jerico yang juga tengah tersenyum memperhatikan raut wajah sang adik.
“Ayo tiup, lama bener.” Ucap Jerico yang dibalas tatapan sinis oleh Haikal.
“Sabar!” Ucapnya membuat Jerico serta Prameswati terkekeh.
“Haikal boleh minta harapanlu sebelum tiup lilinnya?” Tanya Haikal pada Prameswati yang kemudian dibalas anggukan.
Haikal tersenyum, ia kemudian memejamkan matanya.
Tak banyak yang Haikal minta. Ia hanya berdoa semoga setelah apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah terulang.
Tak banyak yang Haikal minta. Ia hanya berdoa semoga kebaikan selalu datang bersamanya.
Dan juga ia berdoa, semoga setelah semua rasa sakitnya ini, ia selalu diberi kebahagiaan bersama orang-orang tersayangnya.
Haikal hanya meminta, semoga semestanya kali ini selalu baik.
Haikal membuka matanya kemudian ia meniup lilin itu.
“Selamat hari lahir anak baik,” ucap Prameswati yang kemudia mengecup pelan kening si bungsu.
“Makasih ibu,” ucapnya tersenyum.
“Wih adek abang udah gede,” ucap Jerico.
Haikal terkekeh, “berisik lo bang.”
“sini lah peluk dulu.” Ucap Jerico menarik tubuh Haikal dalam pelukannya.
“Selamat hari lahir ya adeknya abang ....” ucap Jerico dengan nada suara yang terdengar sangat lembut.
Ah, rasanya hangat.
Setelah sekian kali Haikal berulang tahun, baru kali ini ia merasakan hangat yang begitu hangat.
Tapi, ada satu yang kurang.
Tidak ada mama juga tidak ada Ralita. Dua perempuan kesayangannya. Mereka tidak ada disini.
Kosong, ada perasaan kosong karena kehilangan mereka.
Haikal menghela napasnya, kemudian berusaha mengalihkan kesedihannya agar tidak terlihat oleh Jerico serta Prameswati.
“Ibu, ayah kemana?” Tanya Haikal. Karena sejak pagi Haikal tidak bertemu dengan sang ayah.
“Ayah? Ayah a—“
“Ayah disini,” potong Haksara yang tiba-tiba berdiri dari arah pintu.
Haikal terdiam, Haksara tersenyum.
Iya, Haksara tersenyum pada Haikal. Senyum ini, senyum yang selalu Haikal inginkan.
Haksara mendekat pada Haikal, kemudian jemarinya bergerak mengusap sayang pucuk kepala anak itu.
“Selamat hari lahir anak ayah ....” ucap Haksara yang entah kenapa membuat air matanya jatuh.
“Ayah ....”
Haksara tersenyum, kemudian tanpa aba-aba ia mendekap erat tubuh Haikal.
Haikal terdiam, merasakan perasaan aneh ini.
Perasaan ini, perasaan hangat serta bahagia yang selalu ia dambakan dari sosok ayah.
“Selamat hari lahir anak ayah, terima kasih sudah lahir dan jadi putra ayah. Maaf, ya? Maaf ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat Haikal. Ayah minta maaf ....” ucap Haksara dalam pelukan itu.
Tanpa menjawab sepatah katapun, Haikal hanya menyembunyikan wajahnya di pundak sang Ayah, kemudian ia mendekap tubuh ayah dengan sangat erat.
Haikal menyayangi ayah.
“Abang juga mau dipeluk ....” ucap Jerico yang kemudian langsung memeluk Haikal serta Haksara, membuat Haikal tersenyum pelan.
Hangat, rasanya hangat.
Dalam pelukan itu, Haksara menoleh pada Prameswati yang tengah berdiri sambil tersenyum, kemudian Haksanya mengisyaratkan Prameswati agar ia ikut memeluk Haikal.
Lalu dengan perlahan Prameswati memeluknya.
Dalam pelukan itu Haikal tersenyum.
Rasanya benar-benar sehangat ini. Haikal menyukainya.
“Selamat ulang tahun anak baik .....” bisik Prameswati pada si bungsu.
Kini, semestanya Haikal sudah membaik, semuanya sudah sembuh, semuanya sudah berdamai dengan keadaan.
Haikal beruntung, ia sangat beruntung.
Selamat bertemu dengan kebahagiaan Haikal.