Jjaejaepeach

Haikal terduduk rapuh kala membaca pesan terakhir yang dikirimkan perempuannya.

Jadi, ia benar-benar ditinggalkan tanpa tahu kepastian?

Jujur saja, rasanya sangat sesak, terlalu sesak sampai Haikal tidak bisa merasakan apa-apa.

“Jahat lo, Ta ....” gumamnya yang masih terus memperhatikan ponsel miliknya.

Haikal terdiam, ia benar-benar tidak mengerti dengan rencana semesta.

Memang betul, setiap pertemuan itu harus selalu siap dengan perpisahan. Tapi, bukan seperti ini yang Haikal ingin.

Haikal menghela napasnya, berusaha meredakan sesak yang membuncah di ruang dadanya.

Baru saja ia ingun berniat tidur, guna melupakan rasa sakitnya. Terdengar suara ketukan pintu, membuatnya terpaksa beranjak ke arah ketukan itu.

Haikal menghela napasnya kala ia tak sengaja melihat dirina di cermin.

Kacau.

Lagi, Haikal menghela napasnya. Kemudian ia kembali melangkah untuk membuka pintu.

“Ya sebentar!” Ujar Haikal.

Baru saja Haikal membuka pintunya sedikit, tiba-tiba saja dari arah luar pintu itu terdorong, membuat Haikal sedikit terhuyung.

“SELAMAT ULANG TAHUN ADEK ABANG!” Teriak Jerico yang tiba-tiba saja masuk sambil membawa balon di tangannya.

Haikal menatao Jerico, “SELAMAT ULANG TAHUN ADEKNYA ABANG!” Lagi, Jerico berteriak dihadapan Haikal kemudian ia menarik tubuh Haikal ke dalam pelukannya.

Haikal terdiam sejenak, lalu kemudian tersenyum.

Saat sedang dipeluk, fokus Haikal teralihkan pada suara dari arah pintu.

Haikal tersenyum, kala melihat siapa yang datang.

Itu .... Ibu.

Ibu yang datang sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan tangannya yang memegang sebuah kue berwarna putih bertuliskan namanya.

”Happy birthday adek, happy birthday adek, happy birthday, happy birthday, happy birthday adek ....” Prameswati bernyani dengan lembut, membuat Haikal melepaskan pelukan Jerico lalu melangkah mendekat ke arah perempuan paruh baya itu.

Haikal menatap lekat perempuan dihadapannya ini. Sorot matanya benar-benar menunjukan keteduhan dan kehangatan.

“Ayo tiup lilinnya.” Ucap Prameswati tersenyum pada si bungsu.

Di samping Haikal, ada Jerico yang juga tengah tersenyum memperhatikan raut wajah sang adik.

“Ayo tiup, lama bener.” Ucap Jerico yang dibalas tatapan sinis oleh Haikal.

“Sabar!” Ucapnya membuat Jerico serta Prameswati terkekeh.

“Haikal boleh minta harapanlu sebelum tiup lilinnya?” Tanya Haikal pada Prameswati yang kemudian dibalas anggukan.

Haikal tersenyum, ia kemudian memejamkan matanya.

Tak banyak yang Haikal minta. Ia hanya berdoa semoga setelah apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah terulang.

Tak banyak yang Haikal minta. Ia hanya berdoa semoga kebaikan selalu datang bersamanya.

Dan juga ia berdoa, semoga setelah semua rasa sakitnya ini, ia selalu diberi kebahagiaan bersama orang-orang tersayangnya.

Haikal hanya meminta, semoga semestanya kali ini selalu baik.

Haikal membuka matanya kemudian ia meniup lilin itu.

“Selamat hari lahir anak baik,” ucap Prameswati yang kemudia mengecup pelan kening si bungsu.

“Makasih ibu,” ucapnya tersenyum.

Wih adek abang udah gede,” ucap Jerico.

Haikal terkekeh, “berisik lo bang.”

“sini lah peluk dulu.” Ucap Jerico menarik tubuh Haikal dalam pelukannya.

“Selamat hari lahir ya adeknya abang ....” ucap Jerico dengan nada suara yang terdengar sangat lembut.

Ah, rasanya hangat.

Setelah sekian kali Haikal berulang tahun, baru kali ini ia merasakan hangat yang begitu hangat.

Tapi, ada satu yang kurang.

Tidak ada mama juga tidak ada Ralita. Dua perempuan kesayangannya. Mereka tidak ada disini.

Kosong, ada perasaan kosong karena kehilangan mereka.

Haikal menghela napasnya, kemudian berusaha mengalihkan kesedihannya agar tidak terlihat oleh Jerico serta Prameswati.

“Ibu, ayah kemana?” Tanya Haikal. Karena sejak pagi Haikal tidak bertemu dengan sang ayah.

“Ayah? Ayah a—“

“Ayah disini,” potong Haksara yang tiba-tiba berdiri dari arah pintu.

Haikal terdiam, Haksara tersenyum.

Iya, Haksara tersenyum pada Haikal. Senyum ini, senyum yang selalu Haikal inginkan.

Haksara mendekat pada Haikal, kemudian jemarinya bergerak mengusap sayang pucuk kepala anak itu.

“Selamat hari lahir anak ayah ....” ucap Haksara yang entah kenapa membuat air matanya jatuh.

“Ayah ....”

Haksara tersenyum, kemudian tanpa aba-aba ia mendekap erat tubuh Haikal.

Haikal terdiam, merasakan perasaan aneh ini.

Perasaan ini, perasaan hangat serta bahagia yang selalu ia dambakan dari sosok ayah.

“Selamat hari lahir anak ayah, terima kasih sudah lahir dan jadi putra ayah. Maaf, ya? Maaf ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat Haikal. Ayah minta maaf ....” ucap Haksara dalam pelukan itu.

Tanpa menjawab sepatah katapun, Haikal hanya menyembunyikan wajahnya di pundak sang Ayah, kemudian ia mendekap tubuh ayah dengan sangat erat.

Haikal menyayangi ayah.

“Abang juga mau dipeluk ....” ucap Jerico yang kemudian langsung memeluk Haikal serta Haksara, membuat Haikal tersenyum pelan.

Hangat, rasanya hangat.

Dalam pelukan itu, Haksara menoleh pada Prameswati yang tengah berdiri sambil tersenyum, kemudian Haksanya mengisyaratkan Prameswati agar ia ikut memeluk Haikal.

Lalu dengan perlahan Prameswati memeluknya.

Dalam pelukan itu Haikal tersenyum.

Rasanya benar-benar sehangat ini. Haikal menyukainya.

“Selamat ulang tahun anak baik .....” bisik Prameswati pada si bungsu.

Kini, semestanya Haikal sudah membaik, semuanya sudah sembuh, semuanya sudah berdamai dengan keadaan.

Haikal beruntung, ia sangat beruntung.

Selamat bertemu dengan kebahagiaan Haikal.

Baru saja Haikal akan melangkahkan kaki menuju kamarnya, tiba-tiba saja terdengar suara yang memanggil namanya.

“Haikal, sini,” ucap perempuan paruh baya itu pada Haikal.

Haikal terdiam sejenak, lalu dengan sedikit ragu, Haikal melangkahkan kakinya mendekati Prameswari—perempuan paruh baya yang memanggilnya barusan.

“Iya, ibu?” Ucap Haikal dengan canggung.

Perempuan paruh baya yang disapa ibu itu pun tersenyum, kemudian menepuk tempat kosong disampingnya, “sini duduk sama ibu,” ucapnya.

Haikal menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Lalu dengan canggungnya Haikal duduk di sebelah Prameswati.

Perempuan itu menatap Haikal lekat-lekat, kemudian dengan perlahan jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala Haikal lembut.

“Udah makannya?” Tanyanya yang dibalas anggukan oleh Haikal.

“Banyak gak makannya?”

“Banyak bu, hehe” ucap Haikal canggung.

“Enak?”

Haikal mengangguk pelan, “enak ibu, makasih ....” ucapnya pelan yang lagi membuat Prameswati tersenyum.

Entahlah, ada perasaan ngilu saat Prameswati memperhatikan anak ini.

“Haikal gapapa?” Tanyanya lembut, membuat Haikal yang tadinya hanya menunduk langsung menatap Prameswati sekilas.

Demi apapun, Prameswati merasakan sesak luar biasa ketika ia semakin dalam memperhatikan Haikal.

Anak ini rapuh, anak ini tidak baik-baik saja.

Dengan perlahan jemari Prameswati bergerak merapikan beberapa helaian rambut Haikal yang hampir menutupi matanya.

Haikal terdiam.

Perasaan ini. Perasaan yang selalu Haikal rindukan.

Sentuhan seorang ibu pada putranya, Haikal merindukan ini.

Haikal ini bahkan tidak mengerti, kenapa Prameswati tidak membencinya? Kenapa saat ia menatap Haikal rasanya selalu teduh? Kenapa?

Seharusnya Prameswati membencinya, karena kehadirannya ini sudah membuat keluarganya tak hangat lagi.

“Ibu, maaf ....” ucap Haikal tiba-tiba.

Prameswati mengangkat sebelah alisnya bingung. “Kenapa minta maaf?” Tanyanya.

“Maaf karena Haikal harus lahir dan bikin keluarga ibu enggak baik lagi.”

Sungguh, mendengar ini perasaan Prameswati benar-benar terasa sakit.

Prameswati menggeleng, “enggak jangan minta maaf, ya, nak? Haikal enggak salah, kehadiran Haikal enggak pernah salah.”

Tanpa aba-aba, Prameswati menarik tubuh Haikal agar masuk ke dalam pelukannya. Lalu Prameswati terisak pelan dan mengeratkan pelukan itu pada Haikal.

“Dengerin ibu.”

“Haikal ini enggak pernah jadi kesalahan, gak ada anak yang salah, gak ada.”

“Justru, lahirnya Haikal ini bawa kebahagiaan buat oran-orang. Buat mama Haikal, buat ayah, buat ibu, sama abang ....” ucap Prameswati sembari menahan sesak luar biasa.

Perempuan itu kemudian melepas pelukannya, ia menatap lekat Haikal, lalu jemarinya mengusap wajah Haikal lembut.

“Haikal gak pernah jadi kesalahan. Kelahiran seorang anak itu gak pernah ada yang disebut kesalahan. Meskipun caranya salah, seorang anak itu tetap anugerah sayang ....” ucap Prameswari mengusap Haikal.

“Ibu ....”

“Boleh Haikal tau alasan kenapa ibu gak pernah benci sama hadirnya Haikal? Padahal ibu tau, Haikal ini anak dari perempuan yang udah ngambil ayah dengan cara yang salah.”

Prameswati terdiam sejenak, kemudian ia tersenyum.

“Perempuan itu, perempuan yang udah lahirin Haikal enggak pernah rebut ayah dari ibu ....” ucap Prameswati.

“Maksudnya?”

“Mama Haikal itu enggak pernah ngerebut siapapun. Justru ibu yang udah ambil ayah dari mama kamu ....”

Haikal terdiam.

Maksudnya ini apa? Apa yanh tidak Haikal tau selama ini?

Prameswati tersenyum.

“Ibu ini cuma perempuan yang dijodohkan dengan ayah kamu. Bahkan sebelum kami menikah, dunia ayah itu cuma mama Haikal ....”

Ada perasaan sesak saat mengingat ini.

Prameswati, perempuan yang dipaksa merenggut kebahgiaan perempuan lain demi kepentingan keluarga.

Prameswati, perempuan yang dijodohkan dengan Haksara. Perempuan yang selalu merasa kalau apa yang ia punya sekarang ini tidak seharusnya menjadi milik dia.

“Ibu ...” ucap Haikal yang memang masih tidak menyangka dengan fakta ini.

Prameswati lagi-lagi tersenyum.

“Haikal tau? Waktu ayah bilang ingin membawa Haikal pulang ke rumah ini, ibu senang sekali. Karena sejak dulu, ibu selalu ingin mempunyai putra lagi, tapi sayangnya ibu enggak bisa.”

“Kenapa, bu?”

“Setelah kelahiran kakakmu itu, ibu gak baik-baik saja yang mengharuskan rahim ibu di angkat.”

Haikal lagi-lagi terdiam.

“Kakakmu itu selalu ingin mempunyai seorang adik, karena dia kesepian.”

“Kesepian?”

Prameswati mengangguk, “Kakakmu dulu, selalu ditinggalkan sama ayah sama ibu untuk kerja. Makanya dulu kakak minta adik sama ibu. Tapi sayangnya, ibu gak bisa ngasih.”

“Ibu ....”

“Tapi harusnya ibu benci Haikal ....”

Prameswati menggeleng, ia kembali mengusap pucuk kepala Haikal.

“Ibu yang menyuruh ayahmu menikah lagi, ibu yang menyuruh ayahmu kembali lagi bersama mama Haikal.”

Lagi, Haikal tidak mengerti. Kenapa bisa serumit ini.

“Haikal ini bukan anak simpanan, Haikal bukan anak dari hasil kesalahan.”

“Ibu ...”

“Kenapa ibu gak pisah aja sama ayah. Ini sakit bu, kenapa ibu milih tinggal sedangkan ibu tahu, dari dulu perasaan ayah gak pernah ada buat ibu, kenapa bu?”

Prameswati lagi-lagi tersenyum.

“Karena ibu sayang ayah kamu, karena ibu punya kakak kamu, jadi ibu enggak boleh nyerah ....” lirihnya dengan sorot mata yang menyiratkan banyak kesakita.!

“Haikal ...”

“Ayah itu menikah dengan mama Haikal, hanya saja semuanya ini kami sembunyikan.”

Demi apapun, Haikal hanya terdiam, berusaha mencerna semua ini.

“Haikal tau? Kenapa ayah enggak pernah nemuin Haikal?”

“Karena ayah gak suka ....”

Prameswati menggeleng.

“Karena keadaan yang memaksa ayah untuk terus menjauh dari Haikal.”

“Karena keluarga ayah tahu, karena keluarga ayah enggak pernah setuju dengan hubungan ayah dengan mama Haikal.”

Prameswati kembali memeluk Haikal.

“Terlalu banyak hal yang belum kamu juga kakak kamu tau. Terlalu banyak hal rumit Haikal.”

“Maaf, ya? Maaf karena ibu enggak bisa ngasih tau semuanya.”

“Tapi, satu hal yang harus Haikal tau. Ibu sama ayah enggak pernah benci sama Haikal. Jangan pernah ngerasa kalau Haikal ini enggak pantes untuk hadir, jangan, ya?” Ucap Prameswati lembut.

“Ibu sayang sekali sama Haikal. Terima kasih karena Haikal sudah mau pulang dan tinggal disini bersama ayah, ibu, kakak.”

“Maaf ya sayang, karena dari dulu ibu enggak berani nunjukin rasa sayang ibu sama kamu, maaf ....”

“Sekarang Haikal enggak sendirian lagi, Haikal punya ibu, Haikal punya ayah, Haikal punya kakak. Jangan pernah ngerasa kalau dunia enggak adil lagi, ya?

Haikal memejamkan matanya dalam pelukan itu. Kemudian tanpa sadar setetes air mengalir dari pelupuk matanya.

“Makasih ya, karena Haikal udah lahir, makasih karea Haikal udah jadi anak yang kuat,”

“Ibu sayang sekali sama Haikal, terima kasih banyak ....” ucap Prameswati yang semakin mengeratkan pelukannya pada Haikal.

Lihat.

Semesta milik Haikal perlahan membaik.

Semesta Haikal perlahan membaik, karena sekarang ia mendapat kehangatan yang selalu ia dambakan dari dulu.

Meskipun ada sebagian dirinya yang hilang bersama kepergian Ralita. Setidaknya rumah Haikal sekarang hangat.

Haikal mengeratkan pelukannya pada Prameswati, sangat erat, seolah ia tidak ingin kehilangan hangatnya peluk seorang ibu.

“Ibu, makasih ba—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Terdengar suara Jerico.

“Wah, wah, apa nih. Pelukan gak ajak-ajak.” Ucapnya dari arah pintu belakang, membuat Prameswati serta Haikal menoleh.

“ABANG JUGA MAU DIPELUK!” Teriak Jerico yang dibalas tawa oleh Prameswati.

“Sini ....” ucap Prameswati, sedangkan Haikal hanya tersenyum.

Perempuan itu kemudian merentangkan tangannya dan memeluk Jerico serta Haikal.

“Ghibahin apa kalian hayo?!” Tanya Jerico dalam pelukan itu.

“Ghibahin lo bang.” Sahut Haikal yang dibalas tawa oleh Prameswati.

Dalam pelukan itu, Haikal tersenyum.

Ternyata, rasanya sehangat ini.

Hangat sekali.

Haikal menyukainya.

Dan tanpa mereka sadari, sejak tadi. Ada Haksara yang tengah memperhatikan mereka sambil terduduk rapuh di balik pintu masuk rumah itu.

“Maafin ayah Haikal ....” lirihnya.

Haikal beranjak dari tidurnya, tak peduli sesakit apa tubuhnya saat ini. Yang Haikal mau cuma satu, Ralita.

“Kemana heh?” Tanya Jerico yang memang tengah memainkan ponsel di samping Haikal.

“Bandara,” ucap Haikal sambil mencari hoodie miliknya.

“Ngapain adek?”

“Ralita abang, Ralita pergi,” ucap Haikal yang tengah sibuk mencari kunci motor miliknya.

Jerico berdecak, “gue anter ayo cepet.” Ucap Jerico yang diikuti Haikal dibelakangnya.

“Ah anjing,” umpat Haikal yang terlihat sangat khawatir.

“Abang cepet bang,” pinta Haikal.

Jerico menatap adiknya ini, sangat terlihat jelas bahwa sekarang banyak sekali ketakutan dimata anak ini.

Jerico menghela napasnya.

Mereka berdua langsung berangkat menuju bandara. Bilang saja Jerico gila, tapi ia benar-benar seperti hilang akal saat mengendarai mobilnya ini.

“Please jangan pergi dulu,” gumam Haikal yang terdengar jelas oleh Jerico.

Aneh, Jerico bahkan bisa merasakan ketakutan yang dirasakan adiknya ini.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di bandara.

Haikal buru-buru turun dan berlari mencari pintu masuk penerbangan ke negara tujuan Ralita.

Lagi, ia tak peduli sesakit apa tubuhnya saat ini. Haikal berlari kesana-kemari mencari keberadaan Ralita.

Di belakanganya Jerico juga berlari mengikuti Haikal.

“Please, Ta ....” gumam Haikal.

Netranya bahkan menelisik setiap sudut tempat itu.

Ia berlari kesana-kemari, sampai akhirnya netra kecoklatan itu menangkap sosok yang sedari tadi ia cari.

Ralita disana, berdiri menunggu antrian masuk.

Dengan sekuat tenaga Haikal berlari.

“RALITA!” Teriaknya membuat beberapa orang disana termasuk Ralita menoleh pada Haikal.

Yang dipanggil benar-benar kaget, saat melihat Haikal berlari ke arahnya.

Baru saja Ralita ingin berlari pada Haikal, ayah menahannya dengan tatapan melarang.

Ralita menangis, “ayah ....”

“Sekali aja, ya? Terakhir kalinya ....” ucap Ralita yang entah mengapa dengan perlahan ayah melepaskan genggamannya.

Ralita berlari ke arah Haikal, begitupun sebaliknya.

“TA!” Teriak Haikal lagi, membuat Ralita semakin menangis.

“Haikal ....” lirih Ralita yang kini berapa di hadapan Haikal.

Tanpa aba-aba, Haikal menarik tubuh Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.

Ralita kemudian mendekap balik tubuh ini. Tubuh yang sebentar lagi akan ia rindukan.

“Maaf ...” lirih Ralita.

Haikal memejamkan matanya, berusaha menyalurkan ketakutannya dalam pelukan itu perihal kehilangan.

“Haikal maaf, maaf ....” lagi, ucap Ralita lirih.

Entahlah, Haikal ini rasanya seperti mati rasa, ia sangat takut, takut sekali.

Jika boleh, Haikal ingin egois. Haikal ingin melarang Ralita agar tidak meninggalkannya, Haikal ingin egois untuk kesekian kalinya.

Tapi, ini bukan tentang dirinya dan ketakutannya. Ini tentang mereka berdua.

Tidak, Haikal tidak bisa egois, meskipun dirinya selalu memaksa untuk egois, tapi ia tidak bisa.

Haikal paham, Haikal sadar, ini semua bukan keinginan Ralita, ini semua bukan kehendak Ralita.

Haikal melepas pelukan itu, kemudia ia menangkup wajah mungil milik perempuannya.

Jemarinya bergerak mengusap air mata yang membasahi wajah cantik perempuannya ini.

Demi apapun, rasanya sangat sakit.

“Jangan nangis ...” ucap Haikal tersenyum pelan.

“Lo kalo nangis jelek,” Haikal terkekeh, membuat Ralita semakin terisak.

Haikal kembali mendekap tubuh kecil Ralita.

“Enggak, jangan minta maaf. Jangan minta maaf, Ta,” ucap Haikal.

Lagi, Haikal kembali melepas pelukannya, kemudia jemarinya kembali mengusap sayang wajah Ralita.

“Maaf, ya, Ta? Karena selama ini gue gak pernah bisa ngasih yang terbaik buat lo, buat kita.”

Sesak, Haikal bahkan kesulitan untuk bernapas.

“Gue ...”

“Gue seneng bisa kenal lo, Ta.” Ucap Haikal semakin menbuat Ralita terisak.

“Gue seneng bisa ngabisin waktu sama lo, gue seneng bisa jadi bagian hidup lo, gue seneng banget, Ta.”

“Haikal ....”

Ralita menatap Haikal. Sedangkan yang ditatap menampilkan senyum tulus, yang benar-benar tulus.

“Gapapa ...” ucap Haikal tersenyum.

“Jangan nangis, gue gapapa, Ta,” ucapnya pelan.

Haikal bohong, ia berbohong.

Ia tidak baik-baik saja.

“Ta, mungkin ini jalannya. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Gapapa, Ta, gue gapapa ....” ucap Haikal lembut.

“Janji sama gue, Ta.” Ucap Haikal.

“Janji kalo lo akan selalu bahagia disana, janji sama gue kalo lo harus baik-baik aja disana. Jangan sakit, ya?” Ucap Haikal yang kini tengah mengusap pelan pucuk kepala Ralita.

Ralita hanya terisak.

“Gue selalu sayang sama lo, Ta.” Ucap Haikal.

Ralita tiba-tiba saja mendekap Haikal, ia menggeleng pelan. Ia tidak ingin pergi, sungguh.

“Haikal ....” lirih Ralita terdengar begitu menyakitkan.

“Makasih, ya, Ta?”

“Karena lo udah ngajarin gue banyak hal, termasuk merelakan.”

“Makasih karena selalu berhasil bikin gue jatuh cinta, makasih karena lo selalu berhasil ngasih kebahagiaan walau itu kecil. Makasih, Ta. Makasih karena lo udah ngerubah hidup gue, lo hebat, Ta. Lo selalu ngajarin gue banyak hal, tentang mencintai, memaafkan, juga kehilangan.”

“Karena lo, gue jadi paham, Ta ....” ucap Haikal sambil menahan sesak.

“Karena lo, gue jadi paham. Kalau sebaik-baiknya mencintai adalah merelakan.”

“Makasih, ya, Ta. Makasih untuk semuanya,” ucap Haikal mengecup pelan pucuk kepala perempuan itu.

Lalu dengan perlahan Haikal melepaskan pelukannya.

Ia menatap netra teduh Ralita.

“Cantik, lo selalu cantik ....” ucap Haikal.

“Gih, ayah lo udah nunggu,” ucap Haikal tersenyum.

Ralita benar-benar tidak bisa mengatakan apapun selain kata maaf.

“Aku ....”

“Aku pamit, ya Kal?” Lirihnya yang dibalas anggukan kecil oleh Haikal.

Dengan pelan, Ralita melangkah pergi menjauh dari hadapan Haikal.

Lalu, dengan tangguhnya Haikal tersenyum.

Ia berhasil.

Ia berhasil merelakan kepergian.

Haikal tidak menangis, walaupun sejak tadi, rasa sesak selalu berusaha keluar.

Di sebrang sana, Ralita menoleh pada Haikal.

Haikal tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Ralita.

Demi apapun, Haikal ini hancur, sangat hancur.

“RALITA!” Teriak Haikal sebelum daksa Ralita menghilang.

Ralita menoleh dari kejauhan.

“GUE SAYANG SAMA LO, MAKASIH BANYAK!” Teriaknya pada Ralita sebelum akhirnya Ralita menghilang dari pandangannya.

Haikal tersenyum, kemudian ia menjatuhkan dirinya. Tidak peduli jika saat ini orang-orang tengah memperhatikannya.

“Adek abang hebat ....” ucap Jerico yang kini tengah menepuk pelan pundak Haikal.

Lelaki itu menoleh, kemudia terkekeh pelan.

“Gue hebat, ya bang?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Jerico.

“Ayo pulang,” ucap Jerico menuntun tubuh Haikal.

Ternyata akhirnya seperti ini? Haikal bahkan belum sempat menghabiskan banyak hal bersama Ralita. Rasanya terlalu singkat.

Semesta ini selalu pandai membalikan rencana. Haikal bahkan tidak pernah berpikir, jika suatu hari ini akan bertemu dengan kehilangan lagi.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Haikal menatap langit, memperlihatkan sebuah pesawat yang tengah terbang di atasnya. Haikal menghela napasnya, kemudian ia berteriak.

“RALITA!”

“SAMPAI JUMPA DI WAKTU PALING BAIK MENURUT TAKDIR SEMESTA.”

“GUE SAYANG SAMA LO!”

Haikal berteriak dengan air yang mengalir dari pelupuk matanya.

Haikal menghela napasnya, berusaha menahan sesak yang membuncah di ruang dadanya.

“Sampai ketemu lagi kisah yang tak selesai, bahagia selalu ....” lirih Haikal.

Selamat merayakan kehilangan Haikal.

Benar saja, Haikal benar-benar pergi menemui Ralita ke kediamannya. Tidak peduli jika saat ini hujan tengah mengguyurnya.

Lihat, bahkan langit saja tiba-tiba menangis, seolah mereka ini tahu jika ada manusianya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Ralita!” Teriak Haikal dari depan gerbang.

Sungguh, suara Haikal benar-benar terdengar sangat keras, membuat Ralita langsung beranjak untuk keluar menemuinya.

Ralita berlari, namun belum sempat ia keluar, sang Ayah menahannya.

“Masuk ke kamar, jangan keluar.” Titahnya dengan nada tegas.

“Ayah ...”

“Ayah bilang masuk, Ralita.” Lagi, sang ayah berkata lebih tegas.

“Haikal ayah .... dia kehujanan,”

“Masuk!” Ayah berteriak membuat Ralita memundurkan langkahnya dengan pelan.

Setelah berkata seperti itu, ayah melangkah keluar rumah menemui Haikal yang tengah menunggu Ralita.

“Ralita gue m—“

“Masih berani kamu nemuin anak saya?” Suara tegas itu terdengar dari balik gerbang, membuat Haikal terdiam sejenak.

“Pergi!”

“RALITA KELUAR, GUE MINTA MAAF!” Haikal berteriak, tidak peduli dengan ucapan lelaki paruh baya itu.

“RALI—“ Belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, badannya terhuyung kala ayah melayangkan sebuah pukulan pada Haikal.

“Saya bilang pergi ya pergi!”

Haikal berdecih, sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

Haikal bangun, entah keberanian dari mana, ia mengabaikan eksistensi ayah Ralita disana.

“Ta, gue tau gue salah. Maaf, gue minta maa—“ lagi sebuah pukulan mendarat di wajah Haikal.

“Jangan bikin saya bertindak makin jauh!” Tegas ayah pada Haikal.

“Sudah berapa kali saya ingatkan untuk jangan bertemu Ralita!”

Haikal beranjak, kemudian ia melangkah mendekati ayah Ralita.

“Saya gak pernah sudi Ralita jatuh kepada orang seperti kamu.”

Haikal tersenyum simpul.

“Salah saya dimana om?”

“Apa karena saya anak dari wanita simpanan keluarga Haksara, iya?”

Mata Haikal memerah.

“Kamu enggak akan pernah pantas untuk putri saya.”

“Sebelum saya bertindak lebih kasar, pergi!” Ucap ayah.

“Om saya c—“

Keras baju Haikal ditarik kasar, lalu dengan tatapan marahnya. Ayah Ralita menunjuk wajah Haikal. “Pergi. Dari. Sini. Saya. Gak. Akan. Pernah. Sudi. Ralita. Bertemu. Dengan. Anak. Berandalan. Seperti. Kamu.” Ucapnya menekan setiap kata yang keluar.

Setelah itu Haikal tersungkur.

brak!

Suara bantingan pintu pagar terdengar sangat nyaring.

Lagi, Haikal berdecih. Ia kembali berdiri, tidak peduli sudah sebasah apa ia akibat air hujan yang terus berjatuhan.

Tidak peduli sesakit apa tubuh Haikal saat ini.

“SAYA BUKAN ANAK BERANDALAN!” Teriak Haikal lantang.

“SAYA INI JUGA PUNYA MASA DEPAN!” Lagi, Haikal berteriak.

Rasanya sesak sekali.

Dirinya sudah kacau.

“SAMPAI KAPAN PUN SAYA GAK BAKALAN PERNAH NYERAH!”

“RALITA!”

“GUE SAYANG SAMA LO, MAAFIN GUE RALITA!”

“TUNGGU ...”

“TUNGGU SAMPAI GUE BISA BUKTIIN KALO GUE INI JUGA LAYAK BUAT ADA DISAMPING LO!”

“RALITA GUE SAYANG SAMA LO, GUE MINTA MAAF. TA, SAMPAI KAPAN PUN GUE SAYANG SAMA LO!” Teriak Haikal sebelum akhirnya ia menjatuhkan dirinya dan terisak pelan.

Malam ini, dunianya Haikal benar-benar hancur.

Sehancur itu Haikal sampai-sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa.

“Ta ...” lirih Haikal pelan.

“Maaf ....” lirihnya lagi.

Benar saja, Haikal benar-benar pergi menemui Ralita ke kediamannya. Tidak peduli jika saat ini hujan tengah mengguyurnya.

Lihat, bahkan langit saja tiba-tiba menangis, seolah mereka ini tahu jika ada manusianya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Ralita!” Teriak Haikal dari depan gerbang.

Sungguh, suara Haikal benar-benar terdengar sangat keras, membuat Ralita langsung beranjak untuk keluar menemuinya.

Ralita berlari, namun belum sempat ia keluar, sang Ayah menahannya.

“Masuk ke kamar, jangan keluar.” Titahnya dengan nada tegas.

“Ayah ...”

“Ayah bilang masuk, Ralita.” Lagi, sang ayah berkata lebih tegas.

“Haikal ayah .... dia kehujanan,”

“Masuk!” Ayah berteriak membuat Ralita memundurkan langkahnya dengan pelan.

Setelah berkata seperti itu, ayah melangkah keluar rumah menemui Haikal yang tengah menunggu Ralita.

“Ralita gue m—“

“Masih berani kamu nemuin anak saya?” Suara tegas itu terdengar dari balik gerbang, membuat Haikal terdiam sejenak.

“Pergi!”

“RALITA KELUAR, GUE MINTA MAAF!” Haikal berteriak, tidak peduli dengan ucapan lelaki paruh baya itu.

“RALI—“ Belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, badannya terhuyung kala ayah melayangkan sebuah pukulan pada Haikal.

“Saya bilang pergi ya pergi!”

Haikal berdecih, sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

Haikal bangun, entah keberanian dari mana, ia mengabaikan eksistensi ayah Ralita disana.

“Ta, gue tau gue salah. Maaf, gue minta maa—“ lagi sebuah pukulan mendarat di wajah Haikal.

“Jangan bikin saya bertindak makin jauh!” Tegas ayah pada Haikal.

“Sudah berapa kali saya ingatkan untuk jangan bertemu Ralita!”

Haikal beranjak, kemudian ia melangkah mendekati ayah Ralita.

“Saya gak pernah sudi Ralita jatuh kepada orang seperti kamu.”

Haikal tersenyum simpul.

“Salah saya dimana om?”

“Apa karena saya anak dari wanita simpanan keluarga Haksara, iya?”

Mata Haikal memerah.

“Kamu enggak akan pernah pantas untuk putri saya.”

“Sebelum saya bertindak lebih kasar, pergi!” Ucap ayah.

“Om saya c—“

Keras baju Haikal ditarik kasar, lalu dengan tatapan marahnya. Ayah Ralita menunjuk wajah Haikal. “Pergi. Dari. Sini. Saya. Gak. Akan. Pernah. Sudi. Ralita. Bertemu. Dengan. Anak. Berandalan. Seperti. Kamu.” Ucapnya menekan setiap kata yang keluar.

Setelah itu Haikal tersungkur.

brak!

Suara bantingan pintu pagar terdengar sangat nyaring.

Lagi, Haikal berdecih. Ia kembali berdiri, tidak paduli sudah sebasah apa ia akibat air hujan yang terus berjatuhan.

Tidak peduli sesakit apa tubuh Haikal saat ini.

“SAYA BUKAN ANAK BERANDALAN!” Teriak Haikal lantang.

“SAYA INI JUGA PUNYA MASA DEPAN!” Lagi, Haikal berteriak.

Rasanya sesak sekali.

Dirinya sudah kacau.

“SAMPAI KAPAN PUN SAYA GAK BAKALAN PERNAH NYERAH!”

“RALITA!”

“GUE SAYANG SAMA LO, MAAFIN GUE RALITA!”

“TUNGGU ...”

“TUNGGU SAMPAI GUE BISA BUKTIIN KALO GUE INI JUGA LAYAK BUAT ADA DISAMPING LO!”

“RALITA GUE SAYANG SAMA LO, GUE MINTA MAAF. TA, SAMPAI KAPAN PUN GUE SAYANG SAMA LO!” Teriak Haikal sebelum akhirnya ia menjatuhkan dirinya dan terisak pelan.

Malam ini, dunianya Haikal benar-benar hancur.

Sehancur itu Haikal sampai-sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa.

“Ta ...” lirih Haikal pelan.

“Maaf ....” lirihnya lagi.

Ralita segera bergegas ke kamarnya ketika sampai di rumah. Ia kemudian terisak.

Tidak, bukan ini yang Ralita mau.

Rasanya terlalu sesak, sampai-sampai untuk bernapas pun rasanya terlalu sulit.

Netra Ralita menatap jaket hitam milik Haikal, yang sebelumnya diberikan oleh Indra.

Awalnya ia tidak berniat membuka saku jaket itu, tapi mengingat perkataan Indra tadi jemarinya bergerak merogoh saku itu.

Ralita tercekat, kala mendapati kotak berwarna merah mudah disana, beserta satu kertas kecil yang terlihat kusut.

Perlahan Ralita membuka kotak itu.

Sakit.

Rasanya sakit.

Haikal memberinya sebuah kalung liontin dengan foto mereka berdua di dalamnya.

Ralita terisak pelan.

“Kenapa sih, Kal ....” lirih Ralita.

“Jahat banget.” Ralita terisak.

Ralita semakin merasakan sesak luar biasa kala ia membaca kertas yang berada di dalam kotak itu. Isi kertas itu bertuliskan

Selamat tanggal 24 yang kedua, ya cantik. Hehe

Udah 2 tahun kita, makasih banyak, ya? Semoga dihari-hari berikutnya, kita ini selalu ada buat satu sama lain

Maaf, ya? Cuma bisa ngasih kalung ini.

Gue sayang banget sama lo, Ta. Sayang banget.

Sekali lagi, selamat hari jadi, bahagia selalu buat kita berdua. Makasih banyak

Ralita kembali terisak sambil meremat kertas itu.

“Bodoh, Haikal bodoh”

Dengan langkah cepatnya, Ralita segera bergegas menuju tempat yang diberitahukan. Saat ini ia benar-benar marah.

Tak butuh waktu lama, Ralita tiba disana. Terlihat beberapa orang yang tengah mengerubuni seseorang yang ternyata itu Haikal.

Tanpa basa-basi, ia melewati beberapa orang disana dengan amarahnya.

Netra Ralita menangkap Haikal yang tengah terduduk sambil menahan sakit dengan memar dan luka di wajahnya.

Semua orang disana menatap Ralita, kemudian perlahan menjauh seakan paham akan situasi yang tengah terjadi.

“Ngapain lagi?” Tanya Ralita datar.

Jujur Haikal sangat kaget melihat Ralita yang kini ada dihadapannya.

“Aku tanya, abis ngapain lagi? Abis bikin ulah apalagi?” Ucap Ralita dengan nada bicara yang terdengar sangat marah.

Haikal menghela napasnya, kemudian menarik Ralita agar mereka berdua menjauh dari kerumunan disana.

Setelah dirasa jauh, Haikal melepaskan genggaman tangannya pada lengan Ralita.

Lelaki itu menatap Ralita, sedangkan yang ditatap terlihat memerah.

“Abis ngapain aku tanya.” Lagi, Ralita bertanya.

Haikal menghela napasnya. “Maaf,” ucapnya menunduk.

Entah kenapa, rasanya saat ini Ralita benar-benar sangat marah pada Haikal.

“Kenapa sih, Kal?”

“Kenapa selalu kayak gin, hah?”

“Gak capek? Kamu gak capek selalu babak belur kayak gini?”

“Aku gak tau, Ta.” Ucap Haikal yang masih menunduk.

“Abis bikin ulah apalagi, Haikal?”

“Aku gak bikin ul—“ belum sempat Haikal menyelesaikan ucapanya, Ralita memotong.

“Gak usah bohong!”

“Aku gak bohong.” Lirih Haikal yang memang tengah menahan sakit akibat luka pukulan beberapa waktu lalu.

“Kamu tuh kenapa sih, Kal? Kenapa selalu bikin ulah, hah?! Udah berapa kali aku bilang buat enggak ngelakuin hal yang nyakitin kamu. Kenapa kamu selalu kayak gini? KENAPA HAIKAL!” Teriak Ralita yang kini tengah terisak.

“Gue gak ngelakuin apapun, Ta.”

“Kalo gak ngelakuin apapun kenapa bisa gini? Gak mungkin kamu tiba-tiba dikeroyok!”

Haikal menghela napasnya.

“Ta dengerin gue dulu, ya? Bukan gue yang m—“ ucapan Haikal terpotong.

“Aku gak suka, Kal.”

“Aku capek banget liat kamu kayak gini,”

Haikal terdiam.

“Capek?”

“Lo bilang capek, Ta?”

“Iya, aku capek. Aku capek liat kamu yang selalu bikin ulah kayak gini, aku cap—“

“GUE GAK BIKIN ULAH RALITA! BUKAN GUE YANG MULAI! LO DENGERIN DULU PENJELASAN GUE BISA GAK SIH?!” Bentak Haikal tiba-tiba.

“YA TERUS KENAPA BISA KAYAK GINI KALO GAK BIKIN ULAH, HAH?”

Haikal mengacak rambutnya frustasi.

“BUKAN GUE YANG MULAI, BUKAN GUE!” Lagi, Haikal berteriak.

Napas Ralita tak beraturan begitu juga Haikal. Mereka berdua sama-sama menahan amarah.

“Lo kenapa sih, Ta? Lo bahkan gak nanya keadaan gue ini baik atau enggak.”

“Kenapa lo tiba-tiba marah gak jelas. Kayak anak kecil tau gak.” Ucap Haikal sambil memalingkan pandangannya dari Ralita.

Perempuan itu menatap Haikal, “anak kecil? Kamu bilang anak kecil?”

“Aku marah gini karena aku gak suka liat kamu kesakitan Haikal. AKU GAK SUKA!”

“YA INI JUGA BUKAN KEHENDAK GUE RALITA!”

Ralita terdiam, rasanya sesak sekaligus marah melihat keadaan Haikal yang saat ini terlihat sangat kacau.

“Aku gak ma—“

“Gue juga capek, Ta. GUE CAPEK!” Lagi, Haikal mengacak rambutnya frustasi.

“Lo pikir gue mau kayak gini, hah? Enggak, Ta. Gue juga gak mau!”

“Bukan cuma lo yang capek, GUE JUGA!”

Napas Haikal tak beraturan, ia kemudian menatap Ralita.

“Ayo putus, Ta.” Ucap Haikal tiba-tiba membuat Ralita seketika terdiam.

“Haikal ....”

“Lo capek kan sama gue?Gue cuma bisa malu-maluin lo. Jadi ngapain? Ayo putus, gue juga capek.”

“Lo bahkan gak mau percaya sama apa yang gue bilang.” Ucap Haikal yang kini beranjak menjauh dari Ralita.

“Kekanakan lo, Ta.”

Haikal hanya memainkan kuku jarinya saat suara sambungan telepon terdengar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Sedih, senang, takut, resah, semuanya jadi satu.

“Halo?” Ucap Ralita dari sebrang sana.

Haikal terdiam sejenak, berusaha menenangkan pikirannya.

“Halo,” balas Haikal dengan hangat.

”Kenapa Ikal?” Ralita berbicara sangat lembut, membuat Haikal tersenyum.

Ikal

Panggilan yang selalu Haikal sukai.

“Gapapa sih, gue pengen denger suara lo aja, gak boleh emang?”

Dari sebrang sana terdengar kekehan kecil, ”ya boleh lah, kaget aja, udah lama gak nelepon”

“Lah, kemarin malem kan nelepon?” Ucap Haikal.

”Apaan, itu video call, kalo ini telepon.”

“Bedanya apa astaga,” ucap Haikal heran.

”bedanya ini mah gak bisa liat muka kamu, hahaha” Ralita tiba-tiba saja tertawa.

Mendengar tawa itu, Haikal hanya tersenyum.

“Ta,”

”Hmm?” gumam Ralita dari sebrang sana.

“Lo mau apa dari gue?”

Ralita terdiam.

“Ta?”

Terdengar suara helaan napas dari sebrang sana, ”perlu disebutin satu-satu?” tanya Ralita.

“Iyalah,” sahur Haikal.

Lagi, helaan napas terdengar.

”nih ya ....”

”mau main, mau makan, mau jalan-jalan, mau ngambil foto banyak-banyak sama kamu, mau cerita banyak-banyak sama kamu, mau stargazing, mau ke puncak, mau maskeran bareng, mau peluk, mau cium, mau dielus kepalanya sama kamu, mau liat senyum kamu, mau kamu bahagia, ma—“

“Stop,” ucap Haikal memotong ucapan Ralita.

Di sebrang sana Rakita terkekeh, “banyak, kan? Makanya jangan nyuruh nyebutin semua.”

“Ta,”

”Apa Haikal apa?”

“Ayo kabulin satu per satu,” ucap Haikal.

Ralita terdiam mendengar jawaban dari Haikal. Entahlah, tapi saat ini pikiran Ralita sangat kacau.

“Haikal,”

“Hmm?”

”Kamu mau apa dari aku?” tanya Ralita lembut.

“Apa ya ....”

“Gue mau ....”

”Apa?”

“Gue mau lo terus ada di samping gue, Ta. Udah itu aja, gue gak bakal minta apapun lagi sama Tuhan.”

Ralita lagi-lagi terdiam mendengar ucapan Haikal. Begitu pula dengan Haikal, ia pun kini sedang terdiam. Pikirannya saat ini kemungkinan tentang skenario apalagi yang akan ia hadapi nanti.

”Kal,”

”Are you ok?”

Haikal tersenyum simpul mendengar pertanyaan Ralita.

Enggak, Ta

Ingin sekali Haikal mengucapkan kata itu sekarang juga.

“Gue baik, gue ok, selalu ok.”

Bohong, Haikal berbohong.

Disebrang sana lagi-lagi Ralita menghela napas.

Ini terlalu menyesakkan.

“Gue yang nanya sekarang,”

“Lo baik-baik aja, kan?”

”Aku baik terus lah, gak liat nih kerjaan aku kalo ketemu kamu suka ketawa?” Ucap Ralita yang tanpa sepengetahuan Haikal ia kini sedang menangis.

Haikal terkekeh, “kenapa ya, Ta? Gue bisa sayang banget sama lo?”

“Lo pasti ngasih gue pelet? Rasanya gue mau gila kalo gak ada lo, hahaha”

“Ih gue jadi takut sama lo, beneran pake pelet, gak?”

“Soalnya ini rasa sayang gue ke lo gak pernah berkurang, malah bertambah, Ta. Aneh banget sumpah,” ucap Haikal tanpa henti.

“Ta ....” ucap Haikal saat ia tak mendengar jawaban dari Ralita.

”Hallo, Kal? Maaf abis ngambil minum, hehe”

Bohong, Ralita berbohong.

Haikal mengetahuinya, Ralita berbohong.

Karena sejak tadi Haikal bisa mendengar isakan kecil dari Ralita. Namun ia bersikap seolah tidak ada yang terjadi.

Mereka ini terlalu pandai.

Iya pandai. Pandai memainkan perannya masing-masing.

Pandai menyembunyikan rasanya. Pandai menyembunyikan ketakutannya. Pandai menyembunyikan keresahannya. Pandai menyembunyikan lukanya. Dan pandai bersandiwara seolah mereka ini baik-baik saja.

Mereka ini terlalu pandai memainkan peran, sampai akhirnya tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan ini hanya akan saling menyakiti satu sama lain.

Mereka ini terlalu pandai memainkan peran, sampai akhirnya lupa, bahwa tidak seharusnya mereka bertingkah seolah semestanya ini sedang baik-baik saja. Padahal kenyataannya tidak.

Semuanya palsu, senyum mereka berdua ini palsu. Tidak ada yang baik-baik saja diantara keduanya.

Mereka ini terlalu naif untuk menyadari bahwa saat ini mereka sedang melarikan diri dari kata luka.

“Ta ....”

“Apa Haikal?”

“Makasih banyak udah jadi bagian paling indah dalam hidup gue. Gue janji gak bakal lepasin lo, mau sesulit apapun nanti kedepannya.”

“Makasih, ya, Ta?”

Haikal tersenyum kala melihat Ralita yang tengah duduk disampingnya saat ini.

Cantik.

Ralita selalu cantik bagi Haikal.

“Apa ih liatin terus?” Ucap Ralita yang hanya dibalas senyum singkat dari Haikal.

Duduk di bangku taman, sambil memperhatikan beberapa ekor bebek yang tengah berjalan, dengan udara sore yang sedikit sejuk. Membuat Haikal betah berada disini. Apalagi ada Ralita bersamanya.

“Ta ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh.

“Apa?”

“Tau gak sih?”

Ralita menggeleng.

“Gak tau.”

Haikal menoleh sekilas “Ya kan ge belum cerita.” Ucap Haikal membuat Ralita terkekeh.

“Ya kamu ngapain nanya tau atau enggak. Kan aku gatau.”

Lagi, Haikal menghela napasnya. Kemudian ia mengacap pelan pucuk kepala Ralita.

“Berantakan tau,” sambil membenarkan helaian rambut yang sedikit berantakan.

“Ta,”

“Hmm?”

“Lo tau gak?”

“Apa Haikal apa?”

“Gue sayang banget sama lo,” ucap Haikal yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada pundak kecil Ralita.

Ralita hanya terkekeh, lalu jemarinya bergerak menggenggam jemari milik Haikal.

“Gue serius.”

“Kemarin pas ayah lo marah, gue kayak hancur banget,” ucap Haikal.

Jujur saja, ada sedikit sesak saat Haikal membicarakan ini.

“Lo tau gak sih, Ta? Sebenernya gue emang gak pantes sama lo.” Haikal berucap sambil memainkan jari mungil milik Ralita.

“Gue takut banget, gue beneran setakut itu,”

“Haikal ....”

“Satu yang selalu gue takutin, Ta.”

“Kehilangan lo.”

“Itu yang selalu gue takutin.”

Haikal lalu mengubah posisinya menghadap Ralita.

“Ta ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh.

Haikal tersenyum saat ia menatap wajah milik perempuannya ini.

“Cantik,” ucap Haikal yang kini tengah mengusap pelan pucuk kepala Ralita.

Tanpa sadar, Haikal memajukan wajahnya, mengikis jarak antara mereka berdua.

Kening keduanya beradu, Haikal lalu menatap lekat netra Ralita.

Seolah mengerti, Ralita hanya bisa mengangguk pelan.

Bibir mereka bertemu, lalu dengan pelan Haikal mencoba menyalurkan seluruh rasa yang ia pendam selama ini. Ralita kemudia memejamkan kedua matanya, merasakan benda kenyal itu bertemu dengan benda kenyal miliknya.

Ralita hanya bisa tersenyum pelan, merasakan semua ini dalam diamnya.

Rasanya aneh sekaligus menyenangkan.

Haikal melepaskan tautan itu, kemudian jemarinya bergerak untuk membenarkan helaian rambut Ralita yang menutupi wajahnya.

“Manis, Ta.” Ucap Haikal yang kini tengah menatap Ralita teduh.

Wajah Ralita memerah, kemudian ia menunduk.

“Jangan gitu!” Ucap Ralita yang dibalas kekehan oleh Haikal.

“Mau lagi, gak?”

Ralita menatap tajam Haikal, kemudian memukulnya pelan.

“APASIH!”

Haikal tertawa, “enggak becanda.”

“Maaf, ya?”

Ralita hanya terdiam sejenak, kemudian ia mengangguk pelan.

“Sini deh,” ucap Haikal yang kini menarik Ralita kedalam dekapannya.

“Rambut lo wangi,” ucap Haikal yang kini tengah mengendus wangi rambut milik perempuannya.

Ralita terkekeh, “Iyalah, emangnya kamu. Bau.”

“Heh! Sembarangan lo, ketek gue aja wangi!” Ucap Haikal membuat Ralita tertawa.

Haikal mengeratkan dekapan itu, seolah hanya ada dia dan Ralita disana.

Haikal menyayangi Ralita, sangat.

“Makasih, ya, Ta.”

“Makasih karena gak pernah nyerah buat ada disini sama gue,”

Ralita hanya mengangguk pelan dalam dekapan itu.

“Haikal maaf ....” gumamnya pelan, bahkan nyaris tak terdengar.

Persetan dengan keegoisan, yang Jerico mau saat ini adalah Haikal.

Lelaki itu berlari menuju kamar rawat yang dimana terdapat Haikal di dalamnya. Entah kenapa, hatinya terasa perih kala ia membaca pesan balasan dari Haikal sebelumnya.

Tak butuh waktu lama, Jerico sudah berdiri di depan pintu kamar itu, netranya berhasil menangkap Haikal yang tengah memeluk dirinya sendiri di dalam kamar ih.

Dengan ragu, Jerico membuka pintu itu, membuat netranya bertabrakan dengan netra Haikal.

“Adek ....” lirihnya.

Tatapan Haikal saat ini benar-benar terlihat sangat marah, bahkan jemarinya mengepal berusaha menahan amarah yang terus memaksa untuk keluar.

“Keluar.” Ucap Haikal sambil memalingkan pandangannya dari Jerico.

“Kel—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Jerico sudah lebih dulu mendekap tubuh rapuh itu, membuat Haikal terdiam.

Sakit.

Sakit sekali.

“Adek ....” lirih Jerico mendekap erat Haikal.

Rasanya hangat sekaligus ngilu.

Untuk pertama kalinya, Jerico berhasil mengalahkan ego yang selama ini selalu membuatnya terlihat jahat. Untuk pertama kalinya, Jerico berhasil melakukan satu hal yang selalu ia tahan. Dan untuk pertama kalinya Jerico berhasil mengutarakan kata itu langsung di hadapan Haikal.

Adik

Ia berhasil mengatakan itu setelah sekian lama.

Entah apa yang Haikal rasakan saat ini. Rasanya terlalu aneh, ia merasa hangat sekaligus sesak.

“Maaf, gue udah nyakitin lo ....” lirih Jerico.

“Lepasin gue,” ucap Haikal.

Jerico enggan melepas pelukan itu, yang ia mau hanya kata maaf dari Haikal.

“Lepasin anjing!” Umpat Haikal.

“Enggak!” Balas Jerico.

“Maafin kakak ....”

Haikal berdecih kala mendengar Jerico menyebut dirinya sebagai kakak.

“Kakak tai anjing!” Umpat Haikal.

“Lo tau gak? Sesakit apa gue, hah?!” Ucap Haikal yang masih berada pada posisi dekapan Jerico.

“Lo tau gak, gimana rasanya jadi gue? Lo tau gak anjing!” Teriaknya.

Jerico hanya terdiam sambil terus mendekap Haikal.

“Gue sakit, gue kesepian, gue gak punya siapa-siapa. GUE SENDIRIAN BANGSAT!” Teriak Haikal yang terdengar sangat menyakitkan.

“Lo tau gak gimana rasanya dipandang sebelah mata sama semua orang? Lo tau, gak? Gue sakit, gue sakit kak!” Ucap Haikal yang kini tengah terisak dalam pelukan Jerico.

“Gue emang kesalahan, kehadiran gue emang kesalahan. Tapi tolong ....”

“Tolong jangan nyakitin gue lebih jauh lagi, kak. Gue juga manusia yang bisa capek ...” Lirih Haikal.

“Gue ini enggak punya siapa-siapa, gue sendirian. GUE SENDIRIAN KAK!” Haikal kembali berteriak, mengeluarkan segala sesak yang selama ini ia tahan.

“Lo semua selalu bilang kalo gue ini kesalahan. Tapi gue juga gak pernah tahu dan gak pernah minta buat jadi kesalahan.”

“Kalau pun bisa, gue juga gak pengen kayak gini. GUE GAK PENGEN KAK, GUE SAKIT DISINI, GUE SENDIRIAN!” Lagi-lagi Haikal terisak.

Ia serapuh ini.

“Adek .... maaf ....” lirih Jerico yang juga tengah menahan tangis.

“Gue juga pengen dianggap ....”

“Gue juga pengen ngerasain gimana hangatnya keluarga. Tapi gue gak bisa, dan gak akan bis—“

“BISA! Lo adek gue, lo adek gue. Maaf, maafin gue adek, maaf ....” potong Jerico sambil berusaha meyakinkan Haikal.

“Pukul gue, ayo, pukul gue. Keluarin semua rasa sakitnya” ucap Jerico yang kini tengah merentangkan tangannya di hadapan Haikal, berharap Haikal memberinya sebuah pukulan.

“Pukul gue ...”

“Pukul gue adek. PUKUL!” Teriaknya yang juga terisak.

Haikal memalingkan pandangannya dari Jerico. Ia benci, sangat benci.

Entahlah, perasaan Haikal saat ini benar-benar tidak karuan. Disatu sisi ia benci melihat ini, tapi disisi laik ia juga ingin merasakan dekapan Jerico lagi.

Hangat rasanya.

Jerico menjatuhkan tubuhnya di hadapan Haikal. Kemudian ia terisak.

“Adek ....”

“Maaf ....”