ego

Lelaki berusia dua puluh tahun itu terdiam di balik pintu kamarnya kala ia mendengar percakapan kedua orang tuanya yang untuk pertama kalinya sang ayah bilang jika ia mempunyai anak selain dirinya.

“Iko punya adek?” Gumam Jerico sambil diam-diam mendengar percakapan kedua orang dewasa itu.

Entah mengapa, Jerico malah merasa hangat saat mendengar kabar ini. Meskipun ada kemarahan yang tiba-tiba saja terasa begitu meluap.

Adik

Kata itu yang selalu Jerico harapkan dari dulu. Kata itu yang selalu ingin Jerico sebutkan dengan lantangnya.

Iya, Jerico selalu ingin mempunyai adik sejak dulu.

Hidup sebagai anak tunggal selalu membuat dirinya merasa kesepian. Apalagi kedua orang tua Jerico ini selalu saja sibuk berkerja. Entah itu ayah atau mama.

Jerico menghela napasnya.

Rasanya sungguh aneh. Disatu sisi ia merasa senang sekaligus hangat saat ia tahu jika dirinya ini adalah seorang kakak. Tapi, disisi lain dirinya juga marah, apalagi saat ia tahu, jika anak yang dimaksudnya ayahnya itu bukan berasal dari rahim yang sama.

Dua tahun berlalu, semenjak terakhir kali Jerico mendengar kabar itu. Dan sudah hampir satu tahun ini Jerico akhirnya bisa satu atap dengan Haikal-adiknya.

Jujur saja, saat Jerico mendengar kabar jika Haikal akan tinggal bersama mereka dalam satu rumah, ada sedikit perasaan senang.

Akhirnya, setelah sekian lama. Ia bisa melihat sosok lain yang seharusnya ia sebut adik.

Namun anehnya, saat Jerico melihat Haikal, bukan kata sayang yang selalu ia lontarkan. Tapi amarah.

Jerico bahkan tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia ingin merangkul Haikal, ia senang bisa menjadi kakak. Tapi satu sisinya yang lain selalu menolak fakta bahwa sekarang ia adalah seorang kakak.

Egonya ini terlalu tinggi.

“Anjing!” Umpat Jerico frustasi.

“Kenapa harus sakit sih!” Gumamnya dengan nada khawatir.

“Adek ....” ucapnya beberapa kali, sambil fokus mengendarai mobilnya menuju rumah sakit.