Sesak

Napas Haikal memburu, tangannya terkepal, menahan amarah yang sedari tadi ia tahan.

“Lo bisa diem disini, gak, sih? Lo denger, di bawah banyak kolega ayah!” Ucap lelaki yang umurnya terpaut tiga tahun lebih tua dari Haikal.

“Ya terus urusannya sama gue apa?” Tanya Haikal.

“Lo mau bikin ayah malu?”

Lagi.

Ayah, ayah, selalu ayah.

“Dengan lo muncul, itu bisa bikin orang-orang curiga, Haikal.”

“Lo diem disini, sampe semuanya pergi baru lo boleh keluar.”

Haikal berdecih.

“Gue gak peduli, dan gue gak akan pernah peduli.” Ucap Haikal.

“Lo bisa gak sih? Nurut aja jadi anak?”

“Pantes aja lo ditinggal sendirian sama mama lo, lo susah di atur, gak tau diri. Untung ay—“

Haikal menatap lelaki dihadapannya dengan tatapan sangat marah.

“Jerico Anjing!” Umpat Haikal kemudian ia melayangkan sebuah pukulan pada wajah lelaki yang ia panggil dengan nama Jerico itu.

“Gak usah bawa-bawa mama anjing!” Satu pukulan kembali melayang.

Jerico tersungkur, sudut bibirnya bahkan terluka akibat pukulan yang dilayangkan oleh Haikal.

“Kenapa? Gak terima lo?”

“Lo emang gak tau diri, kehadiran lo juga bikin hancur semuanya. Sekarang, dari pada lo bikin semuanya makin rumit, daripada lo bikin reputasi ayah hancur di depan koleganya, mending lo diem!” Ucap Jerico yang kini beranjak berdiri menghadap Haikal.

“Reputasi tai anjing!” Umpat Haikal.

“Gue bahkan gak pernah minta buat jadi anak ayah lo!”

“Bangsat!” Umpat Haikal sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari kamar itu.

Demi apapun, Haikal benci sekali berada disini.

Haikal berjalan keluar dengan terburu-buru.

Dari lantai atas, netranya menangkap jika di ruang tamu banyak orang, yang katanya kolega sang ayah.

Persetan dengan reputasi ayah

Haikal melangkah keluar melewati ruangan itu.

Belum sempat Haikal meninggalkan rumah, sebuah suara mengintrupsinya, membuat Haikal menoleh.

“Haikal?” Ucap orang itu dengan suara berat.

Haikal menoleh.

Semua orang disana menatap Haikal, termasuk sang ayah.

“Kamu Haikal, kan?” Ucap orang itu lagi.

Dengan ragu, Haikal mengangguk pelan.

“Ngapain disini?” Tanyanya lagi.

Haikal terdiam, matanya bergerak menatap sang ayah.

Haksara—ayah Haikal. Ia menatap Haikal kemudian menatap orang yang bertanya tadi.

“Dia ....”

“Teman anak saya,”

Bak terhantam benda tajam, hati Haikal terasa ngilu kala mendengar jawaban dari Haksara.

“Oh.” Ucap orang itu.

Teman anak saya

Kalimat itu tiba-tiba saja berputar dikepala Haikal.

Haikal hanya tersenyum canggung.

“Saya permisi,” ucapnya yang langsung melangkah keluar.

“Haha, anjing!” Umpatnya sambil menahan sesak yang entah kenapa terasa begitu sakit.

Lihat, bahkan di depan teman-teman sang ayah, Haikal tidak dianggap. Lalu, kenapa pria itu bersikeras membawa Haikal pulang ke rumah ini?