Jjaejaepeach

Haikal menghampiri Caca yang tengah bermain di ruang tengah.

“Lagi apa cantik,” tanya Haikal sedangkan Caca hanya terkekeh sambil menunjukan boneka yang tengah ia pegang.

“Caca suka bonekanya?” Tanya Haikal.

Caca mengangguk sambil menampilkan senyum manisnya membuat Haikal terkekeh.

“Yayah, nda mana,” tanya Caca membuat Haikal terdiam. Kemudian jemari lelaki itu bergerak mengusap pucuk kepala Caca dengan lembut.

“Caca mau ketemu bunda?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Caca.

“Nda gak pulang teyus, caca mau nda yayah ....” ucap Caca cemberut.

Demi apapun, melihat Caca yang seperti ini Haikal merasakan sakit luar biasa.

Haikal lalu bergerak untuk membawa tubuh Caca ke pelukannya, kemudian ia mengecup pucuk kepala anak itu.

“Bundanya masiH kerja, nanti bunda pulang ketemu Caca, ya? Nanti Caca dipeluk bunda. Maafin ayah ya gak bisa bawa Bunda buat Caca ...“ ucap Haikal sambil mengusap anak itu, sedangkan Caca memeluk leher Haikal erat.

Haikal menghela napasnya.

Seandainya saja Haikal lebih hebat dari Reno perihal kebahagiaan Bina. Seadandainya saja Haikal lebih mampu memberikan segalanya untuk Bina. Mungkin Caca tidak akan merasa kehilangan sosok ibu seperti ini dalam hidupnya.

Seharusnya Haikal lebih mampu memberi rumah bagi Bina. Seharusnya Haikal lebih kuat melebihi siapapun untuk mempertahankan keluarga kecilnya.

Berkali-kali Haikal menyalahkan dirinya perihal kepergian Bina. Berkali-kali juga Haikal menyelahkan dirinya perihal dirinya yang selalu gagal dalam mengambil keputusan.

Kepergian Bina ini adalah kesalahannya, dan Haikal selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semuanya.

“Cantiknya ayah, maafin ayah ya. Karena ayah kamu ini payah, maafin ayah karena kamu harus punya sosok ayah yang payah ....” gumam Haikal pelan.

“Ayah sayang Caca”

“Aku pulang!” teriak Bina. Haikal yang memanh sedang duduk di ruang tengah itu tersenyum.

Bina berlari kecil menghampiri Haikal, kemudian ia mengecup kening lelaki itu dan memeluknya sekilas, “maaf lama ya pulangnya,” ucap Bina.

Haikal tersenyum kemudian mengangguk, “gapapa, makan gih, udah aku siapin,” ucap Haikal.

Mata perempuan itu berbinar, “kamu masak?”

Haikal mengangguk, “iya sayang, tadi aku masak sama Caca,” ucap Haikal tersenyum.

Bina lalu duduk di meja makan dan mulai menyantap hidangan buatan Haikal.

Benar, sebelum Bina pulang, Haikal juga Caca pergi berbelanja berniat memasak untuk kepulangan Bina.

Haikal menatap wajah perempuan yang tengah duduk di hadapannya ini. Lalu diam-diam menghela napasnya.

“Adek mana?” Tanya Bina disela makannya.

“Adek udah pules tidur dari tadi,” ucap Haikal.

Bina hanya mengangguk, lalu menyantap kembali masakan Haikal.

Haikal tersenyum tipis kala memperhatikan istirnya itu.

“Gimana hari ini? Pemotretannya lancar?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan antusias oleh Bina.

“Tadi aku pemotretan buat majalah baru yah, seru banget. Terus tadi juga ngomongin perihal beberapa brand yang mau kerja sama,” ucap Bina, sedang Haikal hanya tersenyum.

“Tadi abis kerja aku nganter Syifa, makanya lama, maaf, ya?”

“Dia kan mau nikah ya yah, terus di minta tolong aku buat nganter nyariin gaun.”

“Abis nyari gaun aku makan sama dia, ngobrol lama,” oceh Bina.

“Udah?” Ucap Haikal.

Bina menatap Haikal.

“Apa?”

“Udah bohongnya?” Ucap Haikal membuat Bina terdiam.

“Maksudnya apa?”

Haikal tersenyum.

“Bohong apasih?” Ucap Bina terheran.

Haikal menghela napasnya.

“Seneng ketemu Reno?”

Bina terdiam mendengar ucapan Haikal.

“Apasih ka—“

“Aku tau,” Haikal memotong ucapan Bina.

“Aku tau Bun, aku tau. Aku tau semuanya.

“Sejak satu tahun lalu aku tau.”

“Yah ....” Bina beranjak dari duduknya.

Haikal menghela napasnya, “kenapa, bun?” Tanya Haikal lirih.

“Kamu masih enggak bahagia ya sama aku? Aku masih belum bisa bikin kamu bahagia, ya? Bahkan setelah Caca lahir?”

“Kamu salah paham,” ucap Bina menyangkal.

“Apanya?”

“Apanya yang salah paham?”

“Aku tau semuanya bun, dari mulai kamu yang mengiyakan ajakan Reno buat balik sama dia sampai kamu yang diam-diam suka ketemu Reno. Salah paham sebelah mana? Ayo kasih aku jawaban,” ucap Haikal membuat Bina lagi-lagi terdiam.

“Kenapa bun? Kenapa harus kayak gini ....” lirih Haikal.

“Kamu masih belum bahagia sama aku? Iya? Samp—“

“Iya.”

“Aku enggak pernah bahagia sama kamu, puas?” Demi apapun ini terasa sesak bagi Haikal.

Haikal terdiam, sedang Bina menatap Haikal dengan tatapan marahnya.

“Aku gak pernha bahagia sama kamu.”

“Kamu selalu nuntut aku buat jadi apa yang kamu mau. Kamu gak ngebebasin aku buat lakuin apa yang aku mau,”

“Aku capek, Kak. Aku capek. AKU CAPEK!” Tiba-tiba saja Bina berteriak.

Haikal menatap Bina, “nuntut? Kapan aku nuntut kamu, hah?!”

“Apa pernah aku minta kamu buat berubah? Kamu sendiri yang selalu berusaha buat jadi apa yang kamu pikir baik padahal kenyataannya aku gak pernah minta kamu buat ngelakuin itu.”

Haikal menghela napasnya, berusaha menahan sesak yang sejak tadi meluap.

“Hal apalagi yang bikin kamu ngerasa aku nuntut, hah? Apa karena aku nyuruh kamu berhenti minum? Apa karena aku larang kamu buat berhenti ngerokok? Atau karena aku larang kamu buat berhenti kerja?”

“Salah, ya? Salah kalo aku cuma mau yang terbaik? Salah kalo aku larang kamu buat kebaikan?”

“Reno selalu ngasih semuanya, apapun itu. Reno gak pernah batasin aku buat ngelakuin apa yang aku mau. Dia ngertiin aku, dia selalu paham perasaan aku.” Ucap Bina membuat Haikal terdiam.

Haikal menunduk lalu menghela napasnya, “maaf ... maaf karena aku gak bisa jadi apa yang kamu harapkan, tapi kenapa kamu harus kayak gini bun, bahkan setelah caca lahir ...” lirih Haikal.

“Kita udah bukan anak remaja lagi. Aku minta maaf kalo kenyataannya selama ini aku gak pernah bisa ngertiin kamu. Tapi Demi Tuhan, aku berusaha buat ngasih yang terbaik bun ....”

“Kamu gak pernah punya waktu buat aku. Sibuk kerja, kamu gak pernah ngertiin aku. Aku capek harus selalu ngertiin kamu, harus selalu maklum sama pekerjaan kamu.” Ucap Bina lagi.

Haikal menatap Bina, lalu lagi-lagi ia menghela napasnya, “Bun, aku kerja juga buat kamu, buat anak kita, buat masa depan kita.” Ucap Haikal.

“Kenapa bun? Kenapa harus kayak gini? Disaat aku udah ngasih semuanya buat kamu, kenapa harus kayak gini? Kenapa kamu harus kayak gini disaat kita udah punya Caca. Pikirin Caca bun ...” lirihnya.

“Aku tau, aku sadar, aku udah nyakitin kamu. Aku banyak salahnya, aku enggak sesempurna apa yang kamu mau. Tapi, bun, aku juga udah berusaha, aku berusaha bun. Aku berusaha buat ngasih dunia aku buat kamu, aku juga berusaha keras buat gak pergi, aku berusaha bun AKU BERUSAHA!“

“Disini bukan cuma kamu yang capek, tapi aku juga.”

“Aku bertahan karena aku sayang kamu, aku berusaha bun aku berusaha jadi yang terbaik buat kamu, AKU BERUSAHA! Ya Tuhan ....”

“Sampai akhirnya aku pikir, aku udah ngelakuin yang terbaik buat kamu, buat bikin kamu bahagia”

Berkali-kali aku minta maaf. berkali-kali aku bilang kalo aku banyak kurangnya. Aku juga selalu nanya kamu kan perihal kita? Tapi jawaban kamu apa? Kamu juga kan yang selalu bilang kalo mau seberat apapun masalahnya, bakal kita laluin bareng-bareng.”

“Aku udah berusaha buat jadi yang terbaik bun ....” lirih Haikal dengan suaranya yang terdengar sangat menyakitkan sambil menarik rambut kepalanya frustasi. Sedangkan Bina hanya menunduk.

“Apalagi yang harus lakuin buat bisa bikin kamu bahagia? Apalagi bun?” Tanya Haikal.

“Kamu tau gak, kenapa selama ini aku diem aja disaat sebenernya aku tau apa yang kamu lakuin dibelakang aku. Kamu tau gak alesannya?”

“Karena aku percaya kalo kamu enggak bakal milih orang lain, aku percaya dan selalu percaya kalau kamu gak bakal ngecewain aku. Aku terlalu percaya sampai-sampai aku lupa kalo ternyata kehadiran aku ini gak cukup buat bahagianya kamu.”

“Aku diem karena aku pikir, kamu butuh waktu buat akhirin semuanya sama masa lalu kamu. Tapi ternyata aku salah, ya?”

“Aku salah, karena nyatanya sejak kedatangan dia ke hidup kamu. Hati kamu memang bukan buat aku lagi, iya, kan? Kamu bertahan cuma karena caca, kan? Tapi sekarang kamu sering ninggalin caca bun.”

“Oke, kalo emang ternyata kamu udah gak sayang sama aku gapapa. Mungkin juga ini balasan aku. Tapi tolong pikirin Caca, bun ...” lirih Haikal.

“Aku izinin kamu kerja karena aku mau bikin kamu seneng, tapi lagi-lagi semua keputusan yang aku bikin salah. Aku gagal, disini aku yang gagal. Aku gagal karena gak pernah bisa bikin keputusan yang baik perihal kita,”

Demi apapun, sesak benar-benar menghantam seluruh ruang dadanya. Terlalu menyesakkan sampai Haikal.

Bina menatap Haikal.

“Karena nyatanya kamu bukan rumah, kak.”

“Aku pikir kehadiran kamu itu yang terbaik. Tapi aku salah. Kamu memang bisa jadi penopang, tapi kamu gak bisa jadi rumah,” ucap Bina membuat Haikal terdiam.

“Aku capek kak ....” Bina menghela napasnya. Kemudian ia melangkah pergi dari hadapan Haikal.

Sebelum tubuh Bina menghilang dari pandangan Haikal, lelaki itu kemudian beranjak dari duduknya, ia lalu menarik napasnya dalam.

“Ayo akhirin semuanya ....” ucap Haikal pada Bina.

“Ayo akhirin semuanya biar kamu bahagia sama dia.”

“Ayo akhirin semuanya biar kamu bisa dapet lagi bentuk kebahagiaan yang kamu mau.”

“Ayo akhirin semuanya, Bin ....”

Haikal menghela napasnya berat sesaat setelah mendengarkan penjelasan dari dokter mengenai kemungkinan Bina yang harus melakukan tindak operasi saat melahirkan nanti.

Haikal memukul kepalanya keras

“Bisa-bisanya anjing,” umpat Haikal pada dirinya sendiri.

Demi apapun, Haikal benar-benar menyesal karena terlalu mementingkan pekerjaannya.

Lelaki itu kemudian melangkah masuk ke ruang rawat Bina, fokusnya menatap Bina yang tengah tertidur pulas.

Haikal menatap istrinya itu dengan sayang, ia lalu mengusap dan membernarkan selimut Bina.

“Sakit, ya? Maaf, maaf, harusnya aku gak teledor buat ninggalin kamu sendiri,” ucap Haikal sambil mengusap pelan punggung tangan Bina.

“Sehat ya Bu—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja Bina bergerak dari tidurnya.

Haikal terdiam, takut Bina terganggu.

“Mama ....”

“Papa ....” lirih Bina terdengar sangat menyakitkan.

Haikal mengusap pucuk kepala Bina, “sayang aku disini,” ucap Haikal pelan.

Terdengar suara isakan dari Bina yang tengah tertidur.

“Mama, papa, adek. Bina kangen ....” lirih Bina menangis dengan mata yang masih terpejam.

Demi apapun, rasa sesak ikut menyeruak pada ruang dada Haikal. Lantas lelaki itu beranjak dan mulai mengusap Bina, “Hei bun, bangun aku disi—“

“Reno ....” ucapan Haikal terputus kala Bina mengucapkan nama itu.

Haikal terdiam, “Bun, bangun”

Lagi, Bina terisak dalam tidurnya, “Reno jangan tinggalin gue lagi,” gumam Bina.

Haikal menghela napasnya, dan tanpa memperdulikan ucapan Bina, kemudian ia memeluk erat tubuh itu. “aku disini sayang, bangun, aku disini ...” ucap Haikal

“Mana yang sakit? Ini? Atau ini? Bun .... sakit, ya? Maaf, harusnya aku tadi gak matiin teleponnya,” lirih Haikal sambil menggenggam meraba beberapa bagian pada perut perempuan itu. Berusaha mengusap guna menghilangkan rasa sakitnya. sedangkan perempuan itu memalingkan wajahnya.

“Aku sakit, perutku sakit banget tadi. Terus kamu malah susah di hubungin ...” tiba-tiba saja Bina terisak.

Haikal menghela napasnya, “maaf ...” lirih Haikal.

Demi apapun, saat ini Haikal benar-benar menyesal karena lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang sang istri.

“Kamu pulang aja, aku disini sama kak adel aja,” ucap Bina.

Haikal menggeleng pelan, lalu ia mendekatkan wajahnya kemudian ia mengecup pelan pucuk kepala Bina.

“Aku tunggu di luar ya bun, kalo ada apa-apa panggil aku. Aku gak bakal pulang,” ucap Haikal kemudian ia pergi keluar dari ruangan itu.

Dengan bangganya, Haikal berdiri dihadapan perempuan itu, sambil mengenakan jas hitam dan membawa sebuah bucket bunga di tangannya.

“Selamat ulang tahun sayang ....” lirih Haikal sambil mengecup lembut keningnya lembut.

“Makasih ayah,” ucap Bina sambil memejamkan matanya.

Haikal menatap wajah istirnya itu dengan teduh, “cantik ...” ucap Haikal sambil mengusap wajah Bina.

“Selamat ulang tahun ya? Selamat menjadi dewasa. Terima kasih karena sudah hadir. Maaf, karena sejauh ini aku belum banyak ngasih kamu bahagia.”

Bina hanya tersenyum kemudian mengangguk pelan, “gapapa,” ucapnya tersenyum.

Malam ini, Haikal benar-benar memberikan sesuatu romantis pada istrinya.

Sejak tadi, netra Haikal tidak lepas dari Bina yang terlihat cantik.

“Suka enggak?” Tanya Haikal, sedang yang ditanya mengangguk.

“suka, makasih, ya ....” Ucap Bina.

“Kamu mau hadiah apalagi dari aku?”

Bina menatap Haikal, “apa aja dikasih enggak?” Tanya Bina membuat Haikal mengangguk.

“Apa aja sayang.”

Bina terdiam sejenak, “emm ...”

“Kalo aku minta kamu biar gak sering kerja boleh?” Pinta Bina membuat Haikal terdiam.

“Kenapa?”

Bina menghela napasnya, “aku gak suka kamu terus-terusan kerja apalagi hampir setiap hari kamu pulang malem ....” lirih Bina.

“Sayang ...” haikal mengusap pelan punggung tangan perempuan itu.

“Kalo bukan aku yang kerja, kantor di handle sama siapa? Kan kamu tau, semenjak Yara resign, gak ada yang bisa handle lagi kecuali aku. Apalagi sekarang ayah juga kan udah mulai nyuruh aku buat ngurusin cabangnya yang lain,” ucap Haikal.

Bina menghela napasnya, lalu sedetik kemudian ia tersenyum, “yaudah gapapa, maaf,” ucap Bina.

Haikal tersenyum, lalu kembali menarik perempuan itu kepelukannya, “aku usahain buat banyak luangin waktu lagi buat kamu ya, maaf karena aku maish banyak kurangnya ....” ucap Haikal memeluk Bina dengan hangat

Haikal tersenyum sambil memperhatikan wajah Bina yang tengah tertidur. Lalu jemarinya bergerak mengusap wajah Bina dengan hati-hati.

“Cantik ....” gumam Haikal.

Fokus lelaki itu bahkan tidak lepas dari Bina.

“Capek ya harus bawa adek kemana-mana?” Gumam Haikal.

“Maaf ya, maaf karena gak selalu ada di samping kamu, maaf juga karena aku kadang gak bisa ngertiin keadaan kamu,” gumam Haikal lagi.

Lelaki itu lalu menghela napasnya, kemudian ia mendekatkan wajahnya dan mengecup tulus kening Bina.

love you Bun tidur nyenyak sayangnya Haikal ....” lirih Haikal kemudian ia melangkah keluar dari kamarnya.

Saat ini kandungan Bina sudah memasuki usia ke-6 bulan. Akhir-akhir ini juga Haikal sering menghabiskan waktu di rumah dibandingkan kantor. Katanya ia ingin lebih memperhatikan Bina lebih dekat.

“Yah, mau apel gak?!” Teriak Bina dari arah dapur pada Haikal yang tengah fokus menonton tv.

“Mau bun!” Balas Haikal.

Sekarang pukul tujuh malam. Biasanya Haikal sedang dalam perjalanan pulang, tapi semenjak Bina menginjak usia kehamilan enam bulan, lelaki yang sebentar lagi menjadi seorang ayah ini selalu pulang lebih awal.

“Nih ...” ucap Bina tiba-tiba sambil memberikan satu piring berisi beberapa potong apel.

Haikal tersenyum kala Bina duduk di sampingnya.

“Ih, ini episode kemarin gak sih, yah?” Ucap Bina dengan fokusnya ke arah tayangan yang sedang mereka tonton.

“Bukan dih, episode ini belum ditonton, tau,” balas Haikal.

Memang, sudah hampir satu minggu setiap jam tujuh malam mereka selalu menghabiskan waktu dengan menonton film, sambil sesekali mereka bercerita.

“Bun, nanti adek mukanya kayak siapa, ya?” Tanya Haikal pada Bina yang tengah memeluknya dari samping.

“pastinya mirip aku sih yah,” ucap Bina.

Haikal terkekeh, “katanya, anak perempuan itu biasanya banyak mirip ke ayah. Adek juga pasti mirip aku,” ucap Haikal membuat Bina ikut terkekeh.

“Mirip siapa ajalah, asal jangan mirip tetangga,” ucap Bina membuat Haikal tertawa.

“Heh, ngomongnya.”

Bina hanya tertawa kecil, sedang Haikal, ia mengusap perut buncit Bina.

“Eh, gerak bun ...” ucap Haikal sedikit terkejut.

“Iya, kayaknya adek pengen ikut ngobrol,” ucap Bina.

Mendengar itu, Haikal langsung mendekatkan wajahnya ke perut Bina. “adek .... ini ayah ...” ucap Haikal.

Bina lagi-lagi hanya terkekeh, sambil memperhatikan dialog Haikal bersama satu nyawa dalam perutnya.

“Kenapa sayang? Mau ikut ngobrol, ya?” Ucap Haikal sambil mengusap dan mendengarkan perut itu.

“Ih gerak lagi!”

Haikal terdengar sangat senang, “bun adek gerak lagi bun,” ucap Haikal.

“Haha, iyaa ayah, adeknya itu pengen main sama ayahnya.”

Tiba-tiba saja Haikal terdiam, lalu sedetik kemudian ia terisak pelan.

“Loh kok nangis?” Ucap Bina terkejut.

Haikal menatao Bina, lalu tanpa aba-aba ia menarik Bina ke dalam pelukannya.

“Bun, makasih ya karena udah bawa satu nyawa di perutnya. Maaf, maaf karena aku masih banyak kurangnya. Aku masih banyak salahnya, aku belum sebaik suami lain di luar sana perihal bikin bahagia. Aku banyak bikin kecewanya ...” lirih Haikal dalam pelukan itu.

“Ayah ...”

“Tolong, jangan ninggalin aku ya ....” ucap Haikal memeluk Bina erat.

Dalam pelukan itu Bina terdiam, kemudian perlahan jemarinya bergerak mengusap Haikal.

“Aku gak kemana-mana, jangan takut,” ucap Bina lembut.

Demi apapun, Haikal sudah benar-benar memberikan dunianya pada Bina. Ia bahkan rela melakukan apaouj untuk Bina juga buah hati yang sebentar lagi hadir.

Haikal sudah berusaha untuk memberikan semestanya pada seseorang yang kini ada di sampingnya.

Meskipun pada kenyataannya, masih ada beberapa luka yang memang tidak kunjung sembuh, sekeras apapun Haikal berusaha menyembuhkannya.

Bagi seseorang seperti Bina, hidup dalam kebebasan merupakan caranya menjalani hidup setiap hari. Mempunyai uang dan semua hal tentu saja merupakan point penting yang harus selalu Bina pertahankan.

Lahir dari keluarga ternama dan terpandang media pun merupakan salah satu keberuntungan hidup perempuan itu.

Bina panggilannya, gadis yang mempunyai kepribadian ceria, keras, dan bahkan keras kepala.

Bina ini merupakan seorang putri pertama dari keluarga Asika, keluarga yang terjun di bidang fashion dan entertaiment.

Sejak kecil, Bina ini selalu hidup dengan kemewahan, apapun yang ia mau pasti ia dapat. Ditambah lagi, sejak Bina kecil, orang tuanya selalu memberikan apapun untuk Bina, mereka bilang kalau materi itu adalah bentuk kasih sayang.

Beranjak dewasa, Bina menjadi perempuan cantik, juga pintar. Banyak sekali lelaki yang ingin dekat dengannya, ditambah ia adalah putri Asika. Lelaki mana yang tidak ingin bersama dengan wanita seperti Bina. Meskipun Bina tumbuh dengan kebebasan.

Club malam dan semacamnya adalah bagian dari hidup Bina sejak ia berusia enam belas tahun, bersama dengan sahabatnya yaitu Reno, mereka berdua tumbuh bersama.

Semakin dewasa entah kenapa Bina semakin berontak dan keras, ia selalu saja berdebat dengan kedua orang tuanya. Entah itu perihal masalah kecil atau besar sekalipun, Bina selalu berontak, sebab ia tidak suka dengan cara orang tuanya dalam mendidik.

Waktu itu, Bina yang berusia delapan belas tahun memiliki seorang adik kecil, ia senang sekali karena ia merasa bahwa hidupnya tidak akan lagi kesepian. Namun entah kenapa ibu Bina selalu saja menitipkan sang adik agar di asuh oleh orang lain yang bekerja di rumahnya. Ia makin sadar jika ternyata selama ini, materi saja tidak akan cukup untuk memenuhi kasih sayang. Dan bisa dibilang, Bina merupakan anak yang kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

ya gak gitu ma, LIAT ADEK! DIA MASIH KECIL, PLEASE LAH BERHENTI DULU URUS KERJAAN!” teriak Bina kala itu pada ibunya.

Namun bukannya pembelaan yang ia dapat, Bina justru mendapat tamparan dari sang ayah, ”anak kurang ajar!” ucap sang Ayah pada Bina.

Kala itu, Bina hanya terkekeh pelan, kemudian ia menatap benci pada kedua orang tuanya dan setelah itu ia memutuskan untuk tinggal sendirian. Namun meskipun begitu, kedua orang tuanya masih selalu memberikan uang pada Bina.

Hidup Bina berjalan seperti biasa, ditemani dengan Reno sahabatnya, ia selalu merasa aman. Sebab, Reno ini selalu mampu memberi hangat bagi Bina yang diam-diam terluka. Sebab, Reno ini selalu mampu memberi tenang perihal keresahan juga ketakutan Bina.

Sampai akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menjalin kasih pada usia dua puluh tiga tahun.

Bina bahagia, apalagi setiap hari ia bersama Reno, dan apapun yang ia inginkan dan ia lakukan, Reno akan selalu memberikannya, apapun itu.

Waktu berjalan sesuai apa yang Bina harapkan, meskipun ia sudah jarang pulang kecuali menemui sang adik.

Hingga saat Bina berusia dua empat tahun, tiba-tiba saja berita mengenai kebangkrutan dari bisnis orang tuanya mulai tersebar. Bina yang memang tidak pernah ingin tahu pun lantas terkejut, apalagi saat tiba-tiba saja semua kartu miliknya tidak bisa digunakan.

Hampir satu tahun lamanya keluarga Asika hidup dalam kerugian akibat hutang sang ayah. Bahkan Bina pun tidak pernah tahu hutang apa dan untuk apa itu.

Kehilangan masa kejayaan orang tua, memang menjadi dampak besar bagi kehidupan Bina. Apalagi enam bukan setelah kabar itu, tiba-tiba saja Bina mendapat kabar bahwa Ibu, Ayah, serta Adiknya mengalami kecelakaan pesawat saat akan pergi ke luar negeri, dan ya, sejak saat itu Bina hancur sehancur-hancurnya.

Meskipun Bina selalu bersikap seolah ia membenci, tapi jauh di dalam hatinya ia sangat menyayangi kedua orang tua serta adiknya, namun sayang, mereka justru meninggalakan Bina sendirian.

Awalanya Bina tidak terlalu khawatir, sebab ia mempunyai saudara juga teman-teman yang ia pikir peduli. Namun ternyata, setelah kebangkrutan itu, temean bahkan keluarga dekat pun menjauh dan seolah tutup mata akan kehadiran Bina, dan waktu itu hanya Reno yang ada disampingnya.

Reno yang merangkul dan memberi semua hal pada Bina.

Bina memasuki usia dua puluh lima tahun, tepatnya satu tahun setelah kejadian itu. Hidup Bina masih dibilang cukup baik karena mempunyai Reno. Namun entah kenapa, hari itu, mereka berdua bertengkar hebat. Reno marah pada Bina lantaran ia pikir, Bina sudah bermain dibelakangnya dengan laki-laki lain, sebab sebelum kemarahan ini, Reno melihat Bina pergi ke sebuah hotel.

Mereka bertengkar hebat sampai-sampai Reno hilang kendali dan berakhir menampar Bina. Dan sejak saat itu Bina selalu takut akan kehadiran Reno. Ia takut sangat takut, namun jauh di dalam hatinya ia ingin terus bersama Reno.

anjing lo!” umpat Bina sesaat setelah Reno menamparnya kala itu.

Reno hanya terdiam, ia lalu bergegas pergi meninggalkan Bina sendirian di pinggir jalan, ”jangan harap gue nemuin lo lagi, Bin.” ucap Reno lalu pergi meninggalakan Bina.

Bina saat itu hanya bisa menangis. Lantaran satu-satunya tumpuannya pergi akibat kesalah pahaman yang tidak pernah sempat Bina katakan.

Bina bahkan tidak mengerti kenapa Reno dengan mudahnya meninggalkan Bina dan memilih pergi ke luar negeri hanya untuk mengindari sosok Bina.

Dan setelah kepergian Reno juga Bina kembali hancur. Ia tidak punya apa-apa, bahkan untuk sekedar mengeluh pun ia tidak punya tempat.

Tiba saat Bina menginjak usia dua puluh enam tahun, tepatnya saat ia selalu dikejar-kejar perihal tagihan, Bina memutuskan untuk mencari pekerjaan demi bisa menghidupi dirinya sendiri. Meskipun pada kenyataannya ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya bekerja dibawah orang lain, sebab selama ini Bina lah yang selalu memerintah.

Tapi mungkin namanya takdir, akhirnya Bina diterima oleh perusahaan Adhiwijaya lebih tepatnya perusahaan milik seseorang yang sekarang menjadi rumahnya.

Kehadiran Haikal di hidup Bina kala itu sangat-sangat membuat Bina bersyukur, sebab ia merasa mempunyai seseorang yang akan menopang hidupnya. Bina merasa jika kehadiran Haikal ini adalah takdir Tuhan yang akan memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik.

Dan juga, perihal Haikal. Secara tidak sadar, Bina sudah menggantungkan hidupnya pada Haikal, tidak peduli perihal apa yang terjadi pada hidup Haikal dulunya. Yang ia mau hanyalah rumah dalam diri Haikal untuk dirinya mengeluarkan segala beban dan rasa sakit.

Hari ini rasanya cukup melelahkan bagi Haikal, entahlah mungkin efek dari banyaknya masalah di kantor hari ini.

Dengan langkahnya yang terasa lemah, Haikal melangkah masuk ke dalam rumah, sambil menenteng satu kantung berisi makanan.

Haikal menghela napasnya kala merasakan suasana sepi di dalam rumah itu.

“Bun! ” teriak Haikal memanggil Bina.

“Aku di atas!” Teriak Bina dari lantai atas.

“Aku pulang,” ucap Haikal kemudian ia melangkah ke arah meja makan.

“Bun! temenin aku makan dong,” teriak Haikal lagi.

Terdengar suara langkah kaki dari atas menuju lantas bawah. “Jangan lari!” Teriak Haikal.

Bina dengan langkah cepatnya menghampiri Haikal.

“Sini temenin ma—“ Bukannya duduk, Bina malah melangkah ke arah lemari pendingin. “Aku lagi nonton film seru, kamu makannya di atas aja yuk,” ucap Bina yang kini tengah menyiapkan sebotol jus jeruk yang akan ia bawa.

Haikal menatap Bina, “bun, akunya baru pulang loh, masa dicuekin? Sini temenin, aku mau cerita. Tadi di kantor aku marah-marah,” ucap Haikal berniat menceritakan kejadiannya hari ini.

Bina hanya terkekeh, kemudian ia mendekat dan mengecup pucuk kepala Haikal, “love you, ceritanya nanti aja ya. Aku mau nonton dulu,”” ucap Bina, lalu ia kembali berlari kecil menuju lantai atas.

Haikal yang melihat hal itu hanya menghela napasnya, “jangan lari, nanti jatuh!” Teriak Haikal.

“Iya!” Teriak Bina yang suaranya terdengar sudah berada di lantai atas.

Lagi, Haikal hanya menghela napasnya. Padahal harapannya kali ini adalah bisa mendapat sambutan hangat dari istrinya guna melepas penat, tapi ternyata ia salah.

Haikal berjalan ke arah meja makan sambil membawa beberapa kantung keresek berisi susu dan beberapa buah yang ia beli.

Netra lelaki itu menelisik setiap bagian rumahnya, ia kemudian menghela napasnya.

Baru saja Haikal ingin mengambil minum, tiba-tiba saja Bina berjalan melalui Haikal tanpa menyapa, ujung mata lelaki itu bergerak mengikuti Bina yang kini tengah membersihkan beberapa buah yang Haikal beli sebelumnya.

“Tuh makanan udah siap,” ucap Bina tanpa menoleh pada Haikal.

“Iya ....” jawab Haikal pelan, kemudian ia melangkah dan duduk di meja makan.

“Kamu gak makan?” Tanya Haikal pada Bina.

Perempuan yang tengah mencuci itu hanya menggeleng.

Diam-diam Haikal terkekeh melihat sikap Bina yang terlihat cemberut.

“Udahan dong, kan udah ak—“

Ucapan Haikal terpotong. “Makan.”

Haikal meneguk salivanya, saat mendengar ucapan Bina.

“Nih.” Ucap Bina lagi sambil memberikan beberapa potong buah dan segelas air minum untuk Haikal.

Haikal kembali memperhatikan Bina yang kini tengah berjalan merapikan lemari pendingin sambil memasukan buah yang sebelumnya ia bersihkan.

Tiba-tiba saja terdengar suara isakan tangis. Mendengar itu, Haikal langsung menoleh pada Bina kemudian ia menghampirinya, “loh kena—“”

“Maafin ....” lirih Bina sambil terisak.

Haikal terdiam, lalu kemudian terkekeh, “kenapa loh?”

Bina menggeleng, “jangan marah ...” lirihnya lagi.

“Kenapa sih?”

“Kamu tadi jawabnya Y doang, padahal yang marah aku, tapi kamu juga ikut marah ....” ucap Bina sambil terisak memeluk Haikal.

Lagi, Haikal terkekeh, “kan udah aku jelasin, itu ketinggalan huruf I sama A-nya” jelas Haikal membuat Bina memukulnya pelan.

“Sakit eh,” ringis Haikal.

“Ngeselin! Malem-malem bau parfume cewek, aku mau marah juga kamunya pulang kerja. Maafin ....” lirih Bina lagi dengan wajahnya yang menggemaskan menurut Haikal.

Haikal terkekeh lagi, kemudian ia memeluk kepala perempuan itu dan mengecupnya, “maaf, ya? Harusnya aku bilang. Kemarin itu Yola pingsan pas lagi di pok bensin, terus aku sama Wangsa ngegotomh dia, mungkin parfumenya Yola nempel. Tapi sumpah, aku sama Wangsa loh bun, bukan berduaan aja,” jelas Haikal panjang lebar.

Bina mengeratkan pelukannya, “takut ....”

“Aku sekarang jelek, terus kamu punya karyawan yang masih muda, liat aku gen—“

Tiba-tiba saja Haikal membungkam Bina dengan satu kecupan, “dah, jangan overthinking kayak gitu,” ucapnya, lalu jemari Haikal bergerak merapikan helaian rambut Bina yang sedikit berantakan.

“Maaf ya ....” lirih Haikal yang kembali memeluk Bina.

Haikal tiba-tiba saja mensejajarkan tubuhnya agar bisa melihat perut Bina yang terlihat membesar. “Halo jagoan ayah, cantiknya ayah ....” ucap Haikal sambil mengecup perut hamil Bina.

“Tadi pagi bunda marahin ayah ....” ucap Haikal.

“Adek marah juga enggak sama ayah?” Tanya Haikal pada perut buncit Bina. Bina terkekeh kemudian mengusap rambut Haikal.

“Maafin ayah ya udah bikin bunda marah sama nangis barusan ....” Haikal terkekeh pelan, kemudian ia mengusap dan mengecup perut itu. Haikal kemudian beranjak dan kembali memeluk Haikal.

“Maaf ya, harusnya aku tadi gak balik marah, maaf ....” ucap Haikal.