jangan kemana-mana
Saat ini kandungan Bina sudah memasuki usia ke-6 bulan. Akhir-akhir ini juga Haikal sering menghabiskan waktu di rumah dibandingkan kantor. Katanya ia ingin lebih memperhatikan Bina lebih dekat.
“Yah, mau apel gak?!” Teriak Bina dari arah dapur pada Haikal yang tengah fokus menonton tv.
“Mau bun!” Balas Haikal.
Sekarang pukul tujuh malam. Biasanya Haikal sedang dalam perjalanan pulang, tapi semenjak Bina menginjak usia kehamilan enam bulan, lelaki yang sebentar lagi menjadi seorang ayah ini selalu pulang lebih awal.
“Nih ...” ucap Bina tiba-tiba sambil memberikan satu piring berisi beberapa potong apel.
Haikal tersenyum kala Bina duduk di sampingnya.
“Ih, ini episode kemarin gak sih, yah?” Ucap Bina dengan fokusnya ke arah tayangan yang sedang mereka tonton.
“Bukan dih, episode ini belum ditonton, tau,” balas Haikal.
Memang, sudah hampir satu minggu setiap jam tujuh malam mereka selalu menghabiskan waktu dengan menonton film, sambil sesekali mereka bercerita.
“Bun, nanti adek mukanya kayak siapa, ya?” Tanya Haikal pada Bina yang tengah memeluknya dari samping.
“pastinya mirip aku sih yah,” ucap Bina.
Haikal terkekeh, “katanya, anak perempuan itu biasanya banyak mirip ke ayah. Adek juga pasti mirip aku,” ucap Haikal membuat Bina ikut terkekeh.
“Mirip siapa ajalah, asal jangan mirip tetangga,” ucap Bina membuat Haikal tertawa.
“Heh, ngomongnya.”
Bina hanya tertawa kecil, sedang Haikal, ia mengusap perut buncit Bina.
“Eh, gerak bun ...” ucap Haikal sedikit terkejut.
“Iya, kayaknya adek pengen ikut ngobrol,” ucap Bina.
Mendengar itu, Haikal langsung mendekatkan wajahnya ke perut Bina. “adek .... ini ayah ...” ucap Haikal.
Bina lagi-lagi hanya terkekeh, sambil memperhatikan dialog Haikal bersama satu nyawa dalam perutnya.
“Kenapa sayang? Mau ikut ngobrol, ya?” Ucap Haikal sambil mengusap dan mendengarkan perut itu.
“Ih gerak lagi!”
Haikal terdengar sangat senang, “bun adek gerak lagi bun,” ucap Haikal.
“Haha, iyaa ayah, adeknya itu pengen main sama ayahnya.”
Tiba-tiba saja Haikal terdiam, lalu sedetik kemudian ia terisak pelan.
“Loh kok nangis?” Ucap Bina terkejut.
Haikal menatao Bina, lalu tanpa aba-aba ia menarik Bina ke dalam pelukannya.
“Bun, makasih ya karena udah bawa satu nyawa di perutnya. Maaf, maaf karena aku masih banyak kurangnya. Aku masih banyak salahnya, aku belum sebaik suami lain di luar sana perihal bikin bahagia. Aku banyak bikin kecewanya ...” lirih Haikal dalam pelukan itu.
“Ayah ...”
“Tolong, jangan ninggalin aku ya ....” ucap Haikal memeluk Bina erat.
Dalam pelukan itu Bina terdiam, kemudian perlahan jemarinya bergerak mengusap Haikal.
“Aku gak kemana-mana, jangan takut,” ucap Bina lembut.
Demi apapun, Haikal sudah benar-benar memberikan dunianya pada Bina. Ia bahkan rela melakukan apaouj untuk Bina juga buah hati yang sebentar lagi hadir.
Haikal sudah berusaha untuk memberikan semestanya pada seseorang yang kini ada di sampingnya.
Meskipun pada kenyataannya, masih ada beberapa luka yang memang tidak kunjung sembuh, sekeras apapun Haikal berusaha menyembuhkannya.