Jjaejaepeach

Setelah membaca pesan dari Dinda sahabatnya, Serena lalu menghela napasnya. Kemudian tak lama ia beranjak dari duduknya, memilih pergi untuk pulang ke kosan.

Hari ini, cuaca sedikit panas. Perempuan itu fokus pada layar ponselnya, berniat memesan ojek online, sebab Serena tidak mempunyai kendaraan.

Serena memainkan jemarinya kala menunggu ojek online di depan gerbang kampus. Lama sekali, ditambah cuaca panas, membuat peluh mengucur sedikit dari dahi perempuan itu.

Entah kenapa, setelah bertukar pesan dengan ayah sebelumny, hati Serena terasa sangat ngilu.

Serena rindu ayah.

Ingin sekali rasanya ia menangis ketika mengingat kenyataan jika sudah lama sekali Serena kehilangan sosok ayah dan ibu dalam hidupnya akibat perceraian.

Perempuan itu menghela napasnya. Hingga tiba-tiba saja sebuah motor berhenti di hadapannya. Serema pikir itu ojek online pesanannya, tapi ternyata, “sendiri aja mbaknya?” Ucap seseorang yang tersengar tidak asing. Kemudian Serena menoleh menatap wajah itu.

Serena sedikit terkejut, sebab dihadapannya saat ini ada Pradipa dengan helm kumbang dan motor vespa miliknya.

“Dipa?” Ucap Serena membuat lelaki itu menampilkan senyu sabitnya.

“Mau pulang? Ayo, saya anter,” ucap Pradipa yang langsung dibalas gelengan oleh Serena.

“Eh enggak, saya lagi nunggu ojek online, hehe,” ucap Serena.

“Yaudah, nanti pas ojolnya dateng, suruh pulang aja, kamu pulang sama saya, ok?” Ucap Pradipa yang kini turun dari motornya.

“E-eh, gak usah ...” ucap Serena.

Tak lama, ojek online pesanan Serena datang. Belum sempat Serena mengatakan apapun, Peadipa sudah lebih dulu menghampiri dan memberikkan selembar uang kepada bapak ojol itu. “Makasih ya pak, maaf banget,” ucap Pradipa sambil tersenyum, lalu tak lama ojek online itu pergi dari sana.

Pradipa melangkah, kemudian memberikan helm miliknya pada Serena.

Serena terdiam kala melihat Pradipa memberikan helm itu.

Pradipa tersenyum, kemudian tangannya bergerak untuk mengambil alih helmnya dan kemudian memasangkannya pada kepala Serena, membuat perempuan itu terdiam.

“Nah, ayo!” Ucap Pradipa tersenyum kala melihat Serena memakai helm kumbang miliknya.

Wajahnya terlihat kebingungan, ramhutnya sedikit acak, serta tatapan matanya yang polos lagi-lagi membuat Pradipa terkekeh.

Menggemaskan sekali pikir Pradipa.

Serena terdiam tanpa mengatakan sepatah kata apapun, ia lalu menaiki vespa itu.

“Berangkat!!” Ucap Pradipa yang tanpa sadar membuat Serena tersenyum pelan.

Pradipa, saat ini lelaki itu benar-benar sedang bersama perempuan yang sebelumnya ia ajak untuk melihat bintang.

“Bener, kan? Saya bilang juga bintangnya banyak,” ucap Pradipa pada perempuan yang tengah menatap langit malam itu.

Netra Pradipa menatap perempuan yang tengah fokus memperhatikkan langit malam dengan lekukkan yang menyinggung di wajahnya.

“Saya enggak pernah tau, kalo bintang malam kayak gini keliatan indah banget,” ucapnya membuat Pradipa tersenyum.

Serena nama perempuan ini. Tapi entah kenapa, Pradipa lebih suka memanggilnya Anulika, sebab menurutnya nama itu sangat cantik.

Sebut saja Pradipa aneh, sebab ia terlihat sangat terburu-buru, padahal ia dan perempuan ini belum lama kenal.

Terkadang Pradipa bersyukur, jika bukan karena buku, mungkin Pradipa tidak akan bertemu dengan perempuan ini.

Ada sedikit perasaan aneh ketika ia ada di dekat Anulika. Entah apa, tapi yang jelas, Pradipa menyukai perasaan ini. Entah ini perasaan suka atau hanya penasaran saja.

“Ih ada yang jatuh,” ucap Serena sambil menunjuk bintang jatuh.

Pradipa terkekeh saat mendengar ucapan Serena yang terdengar sangat takjub, “ayo buat permintaan!” Ucap Pradipa membuat Serena menoleh pada lelaki itu.

“Emang bisa?” Tanya Serena.

Pradipa mengangguk, kemudian lelaki itu memejamkan matanya seolah ia tengah membuat permintaan.

Serena menatap wajah lelaki itu dari samping, lalu tanpa sadar ia tersenyum.

Serena lalu mengarahkan pandangannya pada langit, lalu ikut memejamkan matanya.

Hanya hening untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Pradipa membuka matanya dan menoleh pada Serena yang masih memejamkan matanya.

Gila, kenapa rasanya seperti ada kupu-kupu pada perut Pradipa? Hanya karena ia memperhatikan wajah mungil perempuan yang belum lama ia kenal ini.

“Udah?” Ucap Pradipa sesaat setelah Serena membuka matanya.

Serena mengangguk kemudian tersenyum, “udah,” ucapnya.

“Apa nih harapannya?” Ucap Pradipa penasaran.

Serena tersenyum, “mau tau?”

“Boleh?”

Perempuan itu terkekeh, “saya cuma minta biar orang-orang disekitar saya dikasih bahagia luar biasa,” ucap Serena yang terdengar tulus.

Pradipa menatap Serena yang tengah tersenyum, “terus harapan buat diri sendiri, apa?”

Serena menoleh pada Pradipa, kemudian ia menggeleng, “gak ada,” ucapnya.

“Kenapa?”

“Karena bahagia orang-orang yang saya sayang, itu juga bahagianya saya,” ucap Serena membuat Pradipa kembali menatap.

“Anulika ....” Pradipa berucap kemudian menghela napasnya.

Belum sempat Pradipa melanjutkan ucapannya, Serena sudah lebih dulu beranjak dari duduknya.

“Dipa, ayo pulang!”

Perempuan yang akrab disapa Serena itu mengerutkan keningnya kala ia membaca pesan terakhir dari laki-laki bernama Pradipa itu.

“Apasih?” Gumamnya, sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ponselnya pada tas kecil dihadapannya.

Serena menghela napas sesaat setelah ia menatap kembali layar laptop di hadapannya.

ini benar-benar memuakkan

Serena menyeruput ice cappucino kesukaannya.

“Boleh saya duduk disini?” Ucap seseorang membuat Serena menoleh.

Serena terkejut saat melihat lelaki dengan senyumnya itu tengah berdiri di hadapannya. “Pradipa?” Ucap Serena yang dibalas anggukan olehnya.

“Gimana? Saya boleh duduk?”

Dengan cepat Serena membereskan mejanya yang sedikit berantakkan, lalu kemudian mempersilahkan Pradipa agar duduk dihadapannya.

Pradipa terkekeh pelan, “gapapa, saya cuma numpang duduk sebentar kok,” ucap Pradipa.

“Bukannya tadi kamu bilang ngelewat aja?”

Pradipa mengangguk, “iya,” ucapnya.

“Terus kok balik lagi?” Tanya Serena.

“Gak tau sih,” ucap lelaki itu yang dibalas tatapan heran oleh Serena.

“Saya nemenin kamu aja disini, boleh?” Tanya Pradipa membuat Serena kebingungan.

Pradipa terkekeh saat melihat wajah kebingungan dari perempuan di hadapannya.

“Becanda, saya kebetulan lagi nunggu temen di sekitar sini,” ucap Pradipa dengan senyum yang membuat lengkung matanya hampir tertutup.

“Boleh ya saya nunggunya disini, hehe.”

Serena mengangguk, “iya boleh,” ucap Serena tersenyum canggung.

Pradipa, lelaki itu sesekali memperhatikan wajah serius Serena yang tengah fokus pada layar di depannya. Kemudian ia diam-diam tersenyum.

“Anulika ...” ucap Pradipa, membuat perempuan itu bergumam, “hmm?”

Pradipa terkekeh, “gapapa, semangat!” Ucap Pradipa sambil menggerakkan membuat gesture menyemangati.

Serena lalu terkekeh pelan.

cantik” batin Pradipa.

Netra perempuan itu menelisik setiap sudut cafe itu. Mencari seseorang yang katanya akan datang.

Hampir sepuluh menit ia terduduk disana.

“Lama banget,” gumamnya sambil melirik jam tangan miliknya.

Perempuan berambut kecoklatan itu menghela napasnya, sampai tiba-tiba saja seseorang menepuknya.

“Mbak buku?” Ucapnya dengan suara berat, membuat perempuan itu menoleh.

Ia menatap kaget, “siapa?”

“MAS BUKU?!” Tiba-tiba saja perempuan yang akrab disapa Serena itu berteriak, membuat lelaki dihadapannya terlonjak kaget.

“Eh maaf mas,” ucap Serena canggung, sedangka lelaki itu hanya terkekeh pelan.

Serena terdiam kala menatap orang itu.

“Mbak, ini bukunya,” ucap lelaki itu sambil tersenyum.

Serena masih terdiam.

“Mbak, halo ....” ucapnya lagi sambil melambaikan pelan jemarinya di depan wajah Serena.

“eh mas aduh,” ucap Serena tersadar dari lamunannya.

Sial, senyumnya indah sekali

Lelaki itu terkekeh, “gapapa mbak. Ini bukunya, ya. Gak saya baca kok tenang,” ucapnya sambil memberikan buku berwarna coklat itu.

Serena lalu mengambil alih bukunya dan membungkung sambil mengucap terima kasih, “makasih banyak mas, saya pikir bakal hilang,” ucap Serena yang lagi dibalas kekehan kecil oleh lelaki itu.

“Lain kali, hati-hati ya mbak,” ucapnya tersenyum, Serena lalu mengangguk.

“Oh iya, kenalin mbak.” Lelaki itu mengasongkan tangannya untuk berjabat dengan Serena.

“Saya Pradipa,” lelaki itu tersenyum manis.

“Salam kenal, mbak?”

“Serena,” ucap Serena sambil menjabat tangan kekar lelaki itu.

“Salam kenal mbak Serena,” lagi, lelaki itu tersenyum manis.

Demi apapun, baru kali ini Serena melihat senyum semanis ini. Benar-benar manis dan indah.

“Terima kasih banyak mas Pradipa,” ucap Serena yang dibalas anggukan oleh lelaki itu.

Gila, berlama-lama melihat senyum ini bisa membuat Serena gila.

Maka dari itu, buru-buru ia pamit, “mas Pradipa, kalau begitu saya duluan, ya. Terima kasih banyak mas, mar—“

“Eh mbak,” belum sempat Serena melangkah, Pradipa memotong ucapannya.

“Mau saya antar?”

Serena menggeleng, “gak usah mas gapapa, deket kok hehe. Mari mas,” ucap Serena lalu ia segera beranjak pergi dari sana.

Lelaki itu hanya tersenyum kala melihat daksa Serena yang mulai menghilang dari pandangannya. Lalu tak lama ia juga beranjak pergi dari sana.

Orang-orang berlalu lalang, saling menatap dan bercengkrama dengan orang terdekatnya. Sedang saya, hanya duduk sambil sesekali menatap iri.

Saya menghela napas, kemudian memilih untuk menyeruput satu gelas americano. Pahit memang, tapi saya suka.

Hampir satu jam saya duduk di tempat ini, memikirkan apa yang akan terjadi di hari esok.

Katanya, menjadi dewasa itu mudah Katanya, menjadi dewasa itu tidak rumit. Dan katanya, menjadi dewasa itu menyenangkan.

Tapi kenyataannya, menjadi dewasa adalah salah satu hal yang paling saya benci.

Saya tidak ingin menjadi dewasa.

Saya masih ingin menjadi buah hati kecil kesayangan ibu dan ayah. Saya masih ingin bermain-main tanpa memikirkan bagaimana cara menjalani hari esok tanpa beban.

Sebab, dewasa ini terlalu menyakitkan. Sebab, dewasa ini terlalu melelahkan.

Ah, berbicara soal pendewasaan meman tidak ada habisnya.

Maka dari itu, saya memilih untuk duduk di sebuah cafe, sekedar melepas dahaga juga penat

Lagi-lagi saya menghela napas, lalu kemudian saya beranjak dan pergi dari tempat ini. Sebab, rasanya semakin bising dan ramai.

Haikal tersenyum sesaat setelah mengambil beberapa foto pada kamera ponsel miliknya. Lelaki itu lalu melangkah mendekati dua orang perempuan yang sedang terduduk tak jauh dari tempat Haikal berdiri.

“Kayaknya seneng banget, ngobrol apa sih?” Tanya Haikal sambil meraih Caca kedalam pelukannya.

“Yayah, Caca abis main sama tante cantik,” ucap Caca dengan pelafalan yang terdengar sangat menggemaskan.

Haikal terkekeh, lalu kemudian ia menoleh pada perempuan di sampingnya. Sedangkan yang ditatap memeberikan senyum manisnya.

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya. Senyum ini selalu menjadi kesukaan Haikal.

“Caca mirip kamu banget,” ucapnya terkekeh.

“Iyalah, kan gue ayahnya, Ta.” Ucap Haikal.

“Iya sih,” ucap Ralita.

Haikal menatap pemandangan di hadapannya, lalu kembali menoleh pada Caca serta Ralita.

Sial.

Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah Haikal lihat.

Bersamaan dengan dua orang berarti dalam hidupnya.

Katakan saja Haikal brengsek dan tidak berpendirian. Sebab, lagi-lagi Haikal kembali jatuh pada orang ini. Meskipun beribu kali ia menyangkal.

“Ta ....” ucap Haikal pelan.

“Hmm?”

“Aneh gak sih kita bisa ketemu kayak gini lagi setelah beberapa tahun? Seolah gak terjadi apa-apa? Gue pikir, pertemuan kemarin di panti, itu yang terakhir,” ucap Haikal membuat Ralita menoleh.

Perempuan itu menatap Haikal, lalu ia tersenyum.

“Haikal, gak ada yang tau rencana semesta. Berapa kali aku bilang, kalo rencana semesta itu sulit ditebak. Kita manusia cuma bisa berencana,” ucapnya membuat Haikal mengangguk.

Haikal lalu kembali menatap Ralita yang tengah menikmati semilir angin sore itu.

“Ta,”

“Hmm?”

“Lo cantik, selalu cantik”

Ralita terkekeh, “kata-kata andalan kamu itu,” ucap Ralita membuat Haikal hanya tersenyum.

“Ya emang faktanya gitu. Padahal wajah lo udah mulai keriput.”

“IH!” Ralita memukul lengan Haikal pelan, sedangkan Haikal hanya tertawa.

“NGACA!” Ucap perempuan itu.

“Gue selalu ganteng sih maaf aja,” Balas Haikal membuat perempuaj itu memutar bola matanya malas.

“Iyain deh,” ucap Ralita yang lagi-lagi membuat Haikal tertawa.

Demi apapun, bagi Haikal, ini merupakan hari paling baik dari semua hari yang pernah ia lalui.

Perempuannya kini tengah duduk disampingnya lagi. Padahal sudah berkali-kali mereka berdua dipisahkan, namun selalu saja ada cara bagi mereka untuk bertemu.

Dan pertemuan kali ini.

Mereka sudah dalam keadaan baik-baik saja.

Haikal rela, ia rela menghabiskan ribuan tahun hanya untuk menunggu perempuan ini pulang. Bahkan jika harus terluka lagi.

Sebab kenyataannya, mau sekeras apapun ia menolak dan menyangkal, ia masih mencintai perempuan ini.

“Yayah, ngantuk!” Tiba-tiba saja Caca merengek membuat dua orang dewasa itu menoleh lalu terkekeh pelan melihat wajah menggemaskan milik Caca.

“Utututu anak ayah ngantuk? Ayo pulang.” Ucap Haikal yang kini membawa Caca kedalam gendongannya.

Ralita tersenyum, kemudian tangannya bergerak mengusap pucuk kepala Caca yang kini tengah bersandar pada punda Haikal.

Mereka berdua beranjak, lalu melangkah menuju mobil.

Mereka berdua tertawa, sebab pertemuan kali ini benar-benar terasa sangat damai.

“Ta ....” ucap Haikal dalam langkahnya.

“Iya Haikal?”

Haikal berhenti sejenak, kemudian membalikkan badanny agar bisa menatap perempuan itu.

“Ta,” ucap Haikal lagi.

Yang dipanggil menatap netra Haikal dengan teduh, sangat teduh, seperti sejak pertama mereka bertemu. Membuat hati haikal menghangat untuk kesekian kalinya.

“Iya?”

Haikal tersenyum.

“Ta, ayo mulai semuanya dari awal. Ayo perbaikin semuanya sama-sama. Ayo, ayo bangun lagi rumah yang sempet hancur, Ta....” ucap Haikal membuat Ralita terdiam.

“Ayo, Ta ....”

“Ayo ulang lagi kisahnya dari awal Ta, mau, ya?”

Perempuan itu terduduk di tempat dimana dulu ia sering datangi. Kemudian ia menghela napasnya.

Lagi, semestanya ternyata masih belum sepenuhnya memihak.

Ralit, perempuan itu. Hanya terduduk sambil memperhatikan beberapa orang di hadapannya yang tengah saling bercengkrama dengan orang tersayanganya.

Ralita terkekeh pelan.

Perempuan itu lalu menatap langit sore itu, dan lagi-lagi sesak tiba-tiba menyeruak.

Setelah perjalanannya selama ini, kesakitannya, pada akhirnya ia kembali sendirian.

Tapi, kalau kalian pikir ini tidak adil, memang benar terkesan sangat jahat dan tidak adil. Namun, memang benar. Sejauh apapun harapan yang kita bangun, setinggi apapun harapan yang kita pupuk, kalau memang Tuhan belum mengizinkan, kita, manusia hanya bisa pasrah.

Memang, semesta itu jahat dan tidak adil pada sebagian orang. Karena hidup memang seperti itu.

Definisi bahagia menurut manusia memang terkadang sulit dan rumit.

Namun, jika dilihat dari semua perjalanannya. Pasti akan selalu ada bahagia, walau memang terkadang kebahagiaan kecil itu kadang tidak pernah disadari dan disyukuri.

Baik Ralita, juga Haikal. Mereka ini sudah bahagia dengan jalan yang mereka pilih masing-masing.

Meskipun kenyatannya, kisah mereka akan tetap ada dan tinggal di ruang hati masing-masing.

Jika dipikir, manusia memang kadang suka egois perihal bahagia, ya?

Haikal dan Ralita pernah menaruh harap sebegitu besar pada manusia lain.

Haikal dan Ralita pernah berusaha memberi hangat pada manusia lain.

Haikal dan Ralita, mereka pernah menaruh kepercayaan besar pada manusia lain perihal membahagiakan. Hingga akhirnya, manusia-manusia itu kembali memperlihatkan keegoisannya.

Memang benar kata orang.

Jangan terlalu banyak menaruh harapan pada manusia lain.

Karena pada dasarnya, hati manusia sangat mudah untuk berbalik.

Bisa saja hari ini ia mengatakan jika ia sangat mencintai. Namun, bisa juga esok harinya manusia itu menjadi sosok paling jahat yang pernah ditemui.

Hati juga pikiran manusia memang tidak akan pernah bisa ditebak, bahkan oleh dirinya sendiri.

Sebaik apapun manusia, tetap saja. Akan ada waktu dimana ia menjadi egois untuk dirinya sendiri. Bahkan mungkin sampai tega menyakiti orang-orang terdekat demi memuaskan keegoisannya.

Ah, berbicara mengenai manusia memang kadang serumit itu.

Kata sebagian orang cinta pertama itu memang selalu berhasil menggores tinta yang tidak akan pernah hilang, sekalipun keduanya sudah tidak saling menggenggam. Termasuk Haikal dan juga Ralita, mereka adalah dua insan yang masing-masing saling memberi tempat di dalam hati.

Memang sakit, namun jika kenyatannya Tuhan tidak memberikan garis takdir untuk mereka berdua. Pada akhirnya memang hanya perpisahan yang lagi-lagi mereka temui.

Sebab, sejak awal, mereka hanya dua orang yang saling memberi hangat. Sebab, sejak awal, mereka hanya rumah yang tidak akan selamanya menjadi rumah. Sebab mereka, hanya dua orang yang sama-sama pernah mencintai sebegitu dalamnya, walau pada akhirnya hanya perpisahan yang selalu mereka dapatkan.

Cinta itu jahat.

Semesta itu sulit ditebak.

Maka dari itu, baik Haikal dan Ralita. Mereka berdua memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Meskipun banyak kesempatan untuk kembali.

Banyak hal yang sudah mereka lalui, perihal mencintai, perihal memperjuangkan, dan perihal melepaskan, untuk kesekian kalinya.

Dan lagi.

Mereka hanya sebatas kisah. Kisah yang hanya akan selalu menjadi pernah.

Terlalu indah untuk dilupakan dan terlalu sakit untuk dilepaskan.

Hidup memang suka sebecanda itu.

Ralita lagi-lagi menghela napasnya, hingga tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya.

“Ih kaget.” Ucap Ralita membuat lelaki itu terkekeh.

“Lagian aku tinggal bentar bengong terus,” ucap lelaki itu membuat Ralita tersenyum.

“Ayo pulang,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

Ralita menatap lelaki itu, lalu menggenggamnya dengan erat.

“Ayo ...”

Dan kini, semuanya telah usai.

Mereka sudah memilih jalannya masing-masing untuk bahagia.

Maka dari itu.

Selamat jalan kisah yang hanya akan menjadi pernah.

Selamat jalan kisah indah yang akan selalu menjadi hangat dalam diri masing-masing.

Selamat berbahagia, ya? Terima kasih untuk semua luka serat perjuangannya.

Sampai jumpa lagi, kisah indah yang akan selalu menjadi indah.

fin

Lagi-lagi semesta suka sekali bercanda. Setelah berdarah-darah, setelah banyak sekali perjuangan yang dilalui. Dengan mudahnya semesta mempertemukan mereka kembali di tempat yang tidak pernah mereka sangka.

Haikal dan Ralita, mereka berdua sekarang tengah terduduk di bangku takan panti asuhan.

Saling tatap dan memaku.

“Apa kabar?” Ucap Haikal dengan nada suaranya yang pelan.

Ralita menunduk, “aku baik, kal ....” lirihnya.

Dengan hati-hati Haikal mulai menatap wajah Ralita.

Entah kenapa, bahkan setelah bertahun-tahun ia masih terlihat cantik di mata Haikal.

Cantik Ta, selalu cantik

Haikal menatap Ralita yang sedang menunduk. Ada beberapa yang berubah terutama rambutnya.

Ralita yang ia tahu, selalu memiliki rambut panjang kecoklatan. Namun sekarang Ralita hanya perempuaj berambut pendek.

Ralita mengangkat kepalanya, dan menatap Haikal.

Demi apapun, bahkan setelah bertahun-tahun pun tembok yang susah payah Ralita bangun hancur begitu saja setelah melihat netra lelaki dihadapannyaini.

Ia masih sangat indah.

Mereka berdua saling menatap, lalu tiba-tiba saja jemari Ralita bergerak begitu saja untuk mengusap wajah Haikal.

Haikal memejamkan matanya merasakan usapan yang sudah lama hilang dari hidupnya.

“Anak baik ....” lirih Ralita.

Haikal membuka matanya dan menatap Ralita.

“Ta ...”

Ralita tiba-tiba saja terisak sedetik kemudian ia terkekeh.

“Semesta emang aneh, ya, Kal?” Ucapnya terkekeh.

Begitu juga Haikal.

“Kamu baik, Ta?”

“Arkanata disini juga? Anak kamu gimana kabarnya?” Tanya Haikal. Namun Ralita terdiam, dan kemudian ia menggeleng pelan.

Perempuan itu menghela napasnya.

“Haikal ...”

“Aku enggak pernah baik-baik aja. Arkanata sudah menikah lagi, dan anak aku ....”

Ralita menatap langit, “dia udah di atas sana bahkan sebelum aku sempet liat dia lahir ke dunia,” ucap Ralita dengan tatapan penuh luka.

Demi apapun, jika ada nominasi orang paling gila, mungkin Haikal pemenangnya. Sebab, saat ini ia tengah memeluk erat tubuh Ralita.

Setelah ia berpikir, jika perempuan ini bahagia, namun nyatanya ia penuh luka.

Perempuannya ini penuh luka, begitu pula dirinya.

Ralita terdiam dalam pelukan itu, mendengarkan setiap detak jantung lelaki ini.

“I’m sorry, Ta. aku gatau ...“ lirihnya.

Ralita terkekeh, lalu ia melepaskan pelukan Haikal.

“Eh maaf maaf, Ta ...” lirih Haikal.

Ralita hanya tersenyum, dan lagi, ia menatap Haikal dengan tatapannya yang selalu terasa teduh.

“Kamu baik, kan? Caca sehat, kan?” Tanya Ralita.

Haikal terdiam, “kamu tau, Caca?”

Rakita tersenyum, “aku pernah lihat postingan kamu di twitter, dia cantik ya mirip kamu ...” ucap Ralita.

Haikal menghela napasnya.

“Ta ...”

“Kita berdua ini gak pernah baik-baik aja ya kayaknya?”

Ralita hanya tersenyum, lalu ia kembali mengusap wajah Haikal yanh sedikit kurus itu.

“Kamu kurusan, Kal,” ucap Ralita.

“Kamu juga, Ta.”

Haikal menatap netra Ralita. Terlihat banyak sekali kerinduan di dalamnya.

Haikal tidak mengerti, kenapa semesta suka sekali mempertemukan mereka dalam keadaan tidak terduga?

“Ta,”

“Iya?”

“Raka berarti bukan anak kamu?”

Ralita menggeleng, “bukan kok, hehe. Dia anak panti disini,” ucap Ralita.

Mereka berdua lalu saling terdiam.

Ah sial.

Rasanya Haikal ingin sekali menceritakan semua hal pada Ralita, begitu juga sebaliknya.

“Ta ...”

“Kal ...”

Ucap mereka berbarengan, lalu mereka terkekeh.

“Kamu duluan,” ucap Ralita.

Haikal menghela napasnya.

Do you miss me, Ta?” Tanya Haikal membuat Ralita terdiam.

Karena nyatanya Haikal sangat merindukan Ralita, sangat.

Ralita menghela napasnya berusaha menahan sesak yang tiba-tiba saja menyeruak.

Gila, Gila. Haikal Gila.

“Haikal ...”

“Ta ...”

can i hug you?” pinta Haikal.

Ralita terdiam.

sure,” perempuan itu tersenyum.

Haikal lalu menarik Ralita ke dalam pelukannya.

“Anak baik ....” ucap Ralita menepuk pundak lelaki itu.

Demi apapun, pelukan ini selalu mampu memberi hangat bagi Haikal.

Haikal melepas pelukan itu, lalu terkekeh.

“Masih sama, Ta,” ucapnya.

“Apa?”

“Masih sama kayak dulu, hangat banget ....” lirihnya.

Ralita hanya tersenyum, lalu ia menghela napasnya. Memori tentang ia dan Haikal tiba-tiba saja terlintas.

Anak baiknya kini berada di hadapannya, dengan keadaan yang baik.

“Hidup aneh Kal. Aku yang ngira gak bakal ketemu kamu lagi ternyata kita ketemu disini.” Ralita terkekeh.

“Aku yang ngira kalau kamu udah sepenuhnya bahagia, tapi ternyata kamu juga penuh luka,” ucap Ralita membuat Haikal terkekeh.

“Namanya hidup, Ta. Mungkin juga ini pelajaran buat aku atau kamu karena sempat menyia-nyiakan seseorang karena keegoisan diri kita, hati kita,” ucap Haikal yang dibalas anggukan oleh Ralita.

Kedua sama-sama menghela napas, berusaha menahan sesak yang terus-terusan memaksa untuk keluar.

Rumahnya yang dulu pernah sehangat mentari, kini ada dihadapannya, datang dengan tiba-tiba hanya untuk saling mengingat dan menatap.

Ralita beranjak dari duduknya.

Lalu tiba-tiba saja terdengar suara teriakan memanggil Haikal.

“Ayah!” Teriak anak perempuan itu berlari ke arah Haikal dan mememluknya.

“Aduh anak ayah,” ucap Haikal.

Ralita yang memang masih berdiri di hadapan Haikal menatap hal itu, kemudian ia tersenyum.

“Mana ne—“

“Ya ampun, Caca larinya cepet banget,” ucap seseorang yang kini ada di hadapan Haikal.

Haikal menatap orang itu, begitu juga Ralita.

Haikal beranjak lalu meraih lengan orang itu agar mendekat, “Ta ....”

Ralita menatap Haikal.

“Kenalin ...”

“Ini Sarah,” ucap Haikal.

Perempuan yang dipanggil Sarah itu lantas menatap Ralita dengan senyummya yang terlihat sangat cantik.

Raliat menatap Sarah, lalu tersenyum.

“Halo, kenalin aku Sarah,” ucap perempuan itu.

“Aku Ralita,” ucap Ralita.

Haikal menatap Ralita, lalu tersenyum.

“Dia, calon tunangan aku, Ta,” ucap Haikal, sedangkan Ralita hanya mengangguk.

“Ah, iya,” ucapnya.

“Ayah, ayo pulang!” Ucap Caca pada Haikal sambil menarik lengan sang ayah.

Sarah lalu menggendong Caca, “Ayo sama mama ....” ucap Sarah kemudian perempuan itu menatap Haikal.

“Aku tunggu di mobil,” ucapnya sambil memberikan isyarat pada Haikal.

Haikal mengangngguk.

Sepeninggalan mereka berdua, Haikal menghela napasnya.

“Ta ...”

“Hmm?” Ralita menatap Haikal.

“Aku duluan, ya?” Ucap Haikal lalu dibalas anggukan oleh Ralita.

Haikal menatap Ralita, lalu ia mendekat, dan kembali mendekap tubuh perempuan itu.

“Senang bisa ketemu lagi, dalam keadaan baik ....” ucap Haikal.

Ralita tersenyum, “senang bisa ketemu kamu lagi dalam keadaan baik,” ucapnya sambil mengusap wajah Haikal.

Haikal menarik napasnya dalam, sebelum akhirnya ia melangkah pergi dari hadapan Ralita.

Ralita menatap daksa Haikal yang mulai menjauh, lalu sedetik kemudian ia menarik napasnya dalam.

Dan lagi, semesta memang suka sebecanda ini.

Ia pikir, pertemuan ini adalah salah satu jalan semesta untuk menuntunnya kembali pulang pada rumah yang sejak lama ia tinggalkan. Tapi ternyata salah, rumah itu sudah terisi kembali oleh orang lain.

Ponsel Ralita tiba-tiba saja berbunyi, menandakan panggilan masuk.

iya, aku jalan kesana, tunggu ya” ucap Ralita lalu ia menutup panggilan itu.

Dan tanpa berlama-lama Ralita melangkah pergi dari panti asuhan.

Sudah berbulan-bulan berlalu, dan hidup Haikal perlahan membaik. Ia bahagia karena mempunyai Caca di sampingnya.

Seperti biasanya, setiap weekend, Haikal selalu mengajak Caca untuk berkunjung ke panti asuhan. Namun kali ini, Haikal pergi untuk menjemput Caca yang tengah pergi bersama ibu ke panti. Lantaran sebelumnya, ibu menelepon Haikal dan memeberitahukan jika mereka nerdua sedang berada di panti.

Haikal suka panti asuhan ini, rasanya hangat, ditambah Caca yang senang karena memiliki teman.

Haikal melangkahkan kakinya untuk sekedar mengelilingi tempat yang cukup luas itu. Lelaki itu selalu tersenyum dan menyapa anak-anak yang mendekatinya.

Sampai tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang tengah menangis di dekat ayunan. Buru-buru Haikal menghampirinya, lalu ia berjongkok, “halo jagoan, kenapa nangis?” Tanya Haikal sambil membantu anak itu untuk bangun.

Anak lelaki yang usianya tidak jauh berbeda dengan Caca itu menangis.

“Bunda pelginya lama ....” ucapnya sambil menangis.

Haikal terkekeh, kemudian ia mengusap air mata anak lelaki itu.

“Tadi bundanya bilang mau kemana, hmm?” Tanya Haikal, lalu anak lelaki itu menunjuk ke arau gerbang.

“Bunda bilang mau beli minum, tapi lama ....” lirih anak itu yang lagi membuat Haikal terkekeh.

“Nama kamu siapa?”

Anak itu menatap Haikal.

“Raka ...” ucap anak itu menunduk.

Haikal tersenyum, lalu ia kembali menghapus air mata anak itu. “Mau ikut main kesana enggak, yuk?” Tanya Haikal yang kini berdiri dengan tangan yang terulur untuk menggenggam lengan kecil anak itu.

Anak itu mengangguk lalu ia meraih tangan Haikal.

Baru saja beberapa langkah, tiba-tiba saja seseorang memanggil anak itu.

“Raka!” Teriaknya membuat Raka juga Haikal menoleh.

“BUNDAA!!!” Teriak Raka melepaskan genggaman Haikal dan berlari mendekati orang itu.

Haikal menatap orang itu dengan tubuhnya yang memaku, begitu juga sebaliknya.

Setelah sekian lama.

“Ta ....” Lirih Haikal.

Setelah membaca pesan dari mantan istirnya itu Haikal memilih untuk membawa Caca ke panti asuhan yang sudah satu tahun terakhir ini ia datangi.

Haikal baru saja sampai disana. Sebenarnya, Haikal sudah cukup sering membawa Caca kesana, sehingga tiap kali Caca datang, ia akan langsung berlari menghampiri teman-temannya.

“Hati-hati adek,” ucap Haikal sambil memperhatikan putri kecilnya berlari.

Haikal tersenyum pelan, kemudian ia duduk di bangku taman panti itu bersama dengan seorang perempuan paruh baya pemilik panti.

“Sehat, nak?” Tanya Ibu Pratiwi pada Haikal.

Haikal mengangguk, “sehat bu,” balas Haikal tersenyum.

“Caca sudah besar ya sekarang,” ucap ibu Pratiwi yang langsung membuat Haikal terkekeh.

“Iya bu, udah gede, dia bawel banget sekarang,” ucap Haikal.

Netra Haikal fokus memperhatikan keadaan panti itu, sampai tiba-tiba saja fokusnya berhenti memperhatikan seseorang yang tengah berjongkok sambil mengasuh beberapa anak, tak jauh dari tempat Haikal duduk.

“Bu, itu pengasuh baru, ya?” Tanya Haikal menunjuk ke arah orang yang mengalihkan fokusnya itu.

Ibu Pratiwi ikut menoleh saat Haikal menunjuk ke arah orang tadi.

“Oh bukan, tapi sudah hampir dua bulan ini dia sering kesini. Rutin bawa makan sama mainan kalau kesini,” jelas ini Pratiwi membuat Haikal mengangguk.

“Kamu kenal?” Tanya Ibu Pratiwi pada Haikal.

Haikal memperhatikan lagi orang itu, lalu menggeleng pelan.

“Enggak bu, tapi kayak gak asing aja” ucapnya lalu terkekeh.

Setelah berbicara dengan Ibu Pratiwi, fokus Haikal kembali pada orang yang itu. Lalu sedetik kemudian ia menggeleng, berusaha menepis pikirannya.