Payah

Haikal menghampiri Caca yang tengah bermain di ruang tengah.

“Lagi apa cantik,” tanya Haikal sedangkan Caca hanya terkekeh sambil menunjukan boneka yang tengah ia pegang.

“Caca suka bonekanya?” Tanya Haikal.

Caca mengangguk sambil menampilkan senyum manisnya membuat Haikal terkekeh.

“Yayah, nda mana,” tanya Caca membuat Haikal terdiam. Kemudian jemari lelaki itu bergerak mengusap pucuk kepala Caca dengan lembut.

“Caca mau ketemu bunda?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Caca.

“Nda gak pulang teyus, caca mau nda yayah ....” ucap Caca cemberut.

Demi apapun, melihat Caca yang seperti ini Haikal merasakan sakit luar biasa.

Haikal lalu bergerak untuk membawa tubuh Caca ke pelukannya, kemudian ia mengecup pucuk kepala anak itu.

“Bundanya masiH kerja, nanti bunda pulang ketemu Caca, ya? Nanti Caca dipeluk bunda. Maafin ayah ya gak bisa bawa Bunda buat Caca ...“ ucap Haikal sambil mengusap anak itu, sedangkan Caca memeluk leher Haikal erat.

Haikal menghela napasnya.

Seandainya saja Haikal lebih hebat dari Reno perihal kebahagiaan Bina. Seadandainya saja Haikal lebih mampu memberikan segalanya untuk Bina. Mungkin Caca tidak akan merasa kehilangan sosok ibu seperti ini dalam hidupnya.

Seharusnya Haikal lebih mampu memberi rumah bagi Bina. Seharusnya Haikal lebih kuat melebihi siapapun untuk mempertahankan keluarga kecilnya.

Berkali-kali Haikal menyalahkan dirinya perihal kepergian Bina. Berkali-kali juga Haikal menyelahkan dirinya perihal dirinya yang selalu gagal dalam mengambil keputusan.

Kepergian Bina ini adalah kesalahannya, dan Haikal selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semuanya.

“Cantiknya ayah, maafin ayah ya. Karena ayah kamu ini payah, maafin ayah karena kamu harus punya sosok ayah yang payah ....” gumam Haikal pelan.

“Ayah sayang Caca”