Rintik hujan terdengar begitu nyaring, membuat saya terbangun dari mimpi indah saya.
Ah, ternyata saya ketiduran.
Saya terdiam sambil memandangi jendela kamar saya. Terlihat derai air hujan yang menghantam tanah. Aromanya pun sangat menusuk indra penciuman saya. Membuat saya sedikit menghela napas.
Saya meraih ponsel saya, ternyata sekarang pukul empat sore. Tapi, langit sangat gelap.
Saya terdiam ketik saya tidak sengaja melihat tanggal ini.
Tiga belas Agustus.
Saya lagi-lagi menghela napas. Rasanya sesak sekalu setiap kali saya melihat tanggal ini.
Hujan semakin deras, dan langit pun terlihat sangat mendung.
Lihat, bahkan langitpun tahu, jika ini adalah hari yang paling saya benci.
Saya benci setiap kali saya bertemu dengan tanggal ini, di bulan Agustus. Saya benci sekali.
Tanpa sadar, air mata saya jatuh. Dada saya terasa sangat sesak, seperti ada sesuatu di dalam sana yang berusaha mendorong saya untuk menangis.
Tangan saya bergerak, menepuk-nepuk dada sebelah kiri saya guna meredakan sesak yang tiba-tiba saja meluap.
Demi apapun saya benci sekali.
Saya menangis, begitu juga dengan langit. Ia juga menangis semakin deras di luar sana.
Setiap saya bertemu dengan tanggal ini, di bulan yang sama. Itu selalu mengingatkan saya pada satu sosok manusia luar biasa.
Namanya, Na Jaemin.
Lelaki dengan senyum paling manis yang pernah saya temui.
Lelaki dengan tatapan paling teduh yang pernah saya temui.
Lelaki dengan peluk paling hangat yang pernah saya temui.
Dia Na Jaemin. Laki-laki yang saya temui di rumah sakit.
Satu-satunya laki-laki setelah ayah yang berhasil membuat saya memutuskan untuk memberikan dunia saya pada dirinya.
Dia Na Jaemin. Laki-laki yang setiap kali bertemu saya, dia akan selalu melebarkan tangannya untuk memeluk saya dengan begitu hangat.
Saya masih sangat ingat, bahkan masih melekat dalam pikiran saya, saat pertama kali saya tidak sengaja bertemu dengannya di taman rumah sakit.
Waktu itu, saya tengah menangis di ayunan, sebab sebelumnya saya baru saja bertemu dengan dokter.
Saya menangis, sebab harapan hidup saya tidak lama lagi.
Waktu itu, Jaemin tiba-tiba saja duduk di ayunan sebelah saya. Sambil memberikan sepucuk bunga matahari dan juga permen coklat pada saya.
”kata ibu saya, perempuan kalau menangis beri saja bunga dan coklat,” ucapnya kala itu membuat saya menoleh.
Jaemin tersenyum pada saya, kemudian ia tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
Saya hanya terdiam.
Jaemin kemudian meraih tangan saya dan menggerakkan jemari saya agar saya mengenggam bunga dan permen coklat itu.
Saya lagi-lagi hanya terdiam.
Jaemin terkekeh pelan, kemudian ia menggerakkan ayunan itu sambil menghela napas.
Saya masih ingat, saat Jaemin tersenyum pada saya dan mengatakan, ”nama saya Jaemin. Na Jaemin,” ucapnya.
Mendengar itu, entah kenapa saya refleks dan mengatakan, ”saya April,” ucap saya yang langsung membuat Jaemin tersenyum.
”Namanya cantik ya? Sama seperti orangnya,” ucap Jaemin pada saya.
“Saya tahu ini berat. Tapi tolong jangan menangis, ya? Lihat, kamu gak sakit sendirian kok, saya juga sama. Dokter bilang harapan hidup saya bentar lagi, haha.”
Dia tertawa kala itu. Namun, saya bisa melihat kehancuran dari sorot matanya.
Katakan saja saya gila, sebab saya langsung jatuh hati pada lelaki yang baru saja saya lihat beberapa menit lalu kala itu.
Katakan saha saya gila, sebab setelah saya mengenal Jaemin, saya semakin tidak tahu diri dan berharap jika saya bisa hidup lebih lama.
Hari demi hari berlalu, dan waktu itu entah kenapa saya semakin dekat dengan Jaemin. Bahkan para perawat dan dokter disana pun tahu, dan menyebut jika saya ini adalah kekasih Jaemin.
Saya masih ingat betul. Waktu itu, sehari setelah saya melakukan kemoterapi, Jaemin datang ke kamar saya, dengan infus yang menancap di lengan kanannya.
Lelaki itu tersenyum dengan bibirnya yang terlihat pucat.
Waktu itu dia datang sambil membawa sekantung kresek berisikan buah melon kesukaan saya.
Dengan telaten, dia menyuapi saya sambil tersenyum.
”Cantik banget,” ucapnya sambil terkekeh pelan, sedangkan saya hanya tersenyum malu.
”Hebat banget sih kamu, pasti bentar lagi sembuh,” ucapnya.
Saya menggeleng dan mengatakan, ”kalau saya sembuh, kamu pun harus sembuh ya, Na?” ucap saya kala itu.
Jaemin terkekeh, kemudian ia mengangguk, ”iya dong. Kalau kita sembuh, kan kita janji mau keliling Eropa sama-sama,” ucap Jaemin membuat saya tersenyum.
Jaemin kemudian menatap saya hangat saat itu, begitu hangat sampai saya tidak sadar jika ternyata tatapan itu adalah tatapan terakhir yang saya lihat.
Jaemij menatap saya, kemudian ia mengusap saya dengan penuh kehangatan.
”April, kamu harus sembuh, ya? Aku juga bakalan sembuh kok. Terus nanti kita pulang sama-sama ke rumah, ya? Kita nanti liburan ke Eropa. Saya bakalan kasih semuanya buat kamu, semua yang kamu mau bakalan saya kasih April,” ucap Jaemin kala itu.
Saya menatapnya kemudian saya mengatakan. “Saya cuma mau kamu, Na. Saya mau kamu terus ada di samping saya sampai nanti saya menua,” ucap saya yang lagi-lagi membuat Jaemin tersenyum.
”Iya, saya janji. Kita bakalan sama-sama sampai menua nanti ya.”
”Saya sayang kamu April, sangat.”
Ucapnya kala itu, sebelum akhirnya saya sadar jika itu adalah pertemuan terakhir saya dengan dirinya. Sebab, dua malam setelah Jaemin menemui saya, dia ternyata jatuh pingsan di ruang rawat inapnya.
Andaikan saja saya tahu, jika itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Jaemin. Tidak akan saya biarian Jaemin pergi dari ruangan saya hari itu.
Jika saja saya tahu, jika itu adalah pelukan terakhir saya dengan Jaemin. Saya tidak akan pernah membiarkan Jaemin melepaskan pelukannya pada saya.
Jaemin berbohong.
Dia berbohong pada saya.
Kenapa dia mengatakan janji, jika ternyata dia yang lebih dulu meninggalkan saya?
Jaemin berbohong. Sebab kenyataannya dia memilih menyerah daripada memenuhi janji-janjinya perihal hidup bahagia bersama saya.
Dan bodohnya, saya percaya, jika Jaemin akan memenuhi semua ucapannya.
Bodoh, Jaemin sangat bodoh.
Terlalu bodoh sebab dengan mudahnya ia memberikan miliknya pada.
Jaemin sangat bodoh. Sebab ia hanya meninggalkan selembar surat yang dipenuhi dengan kata-kata hangatnya.
Dalam surat itu ia menuliskan.
halo April, ini Jaemin
Maaf ya kalau saya tiba-tiba pergi hehe. Tapi saya ada hadiah untuk kamu dan sebelum kamu memakai hadiah dari saya, tolong ingat ya April. Saya gak pernah pergi dari sisi kamu. Meskipun nanti raga saya pergi, tapi jiwa saya ada bersama kamu.
April terima kasih ya karena kehadiran kamu membuat saya bertahan lebih lama dari perkiraan, hehe.
Saya sangat mencintai kamu. Maka dari itu, saya tinggalkan hati saya untuk kamu.
Jaga baik-baik ya cantik, karena dengan itu kamu bisa hidup.
Sampai jumpa, sampai bertemu lagi.*
Dari saya Na Jamein, lelaki yang mencintai kamu walau hanya sekejap.
Saya menangis sangat keras saat membaca surat itu.
Jaemin jahat, dia jahat sekali. Sebab dia meninggalkan saya tepat pada hari ulang tahunnya.
Saya bahkan belum sempat memberikan apapun untuk Jaemin.
Belum sempat saya membagi kebahagiaan saya pada Jaemin. Tapi kenapa Tuhan harus mengambilnya lebih dulu?
Haha, semesta memang kadang tidak adil, ya?
Waktu itu saya juga sakit. Tapi, kenapa Tuhan malah mengambil Jaemin lebih dulu?
Kenapa Tuhan memilih mengambil manusia luar biasa hangat seperti Jaemin?
Saya rindu, saya rindu Jaemin.
Terlalu rindu, sampai-sampai saya mati rasa.
Selamat,
Selamat ulang tahun,
Selamat panjang umur,
Untukmu Na Jaemin, si hebat yang akan selalu hebat.
Terima kasih ya, karena kamu sudah menitipkan bagian dari diri kamu untuk saya.
Saya mencintai kamu, sangat.