Jjaejaepeach

Haikal menoleh saat mendengar Ralita tertawa dengan Caca yang berada di pangkuannya.

Diam-diam Haikal tersenyum.

“Caca want to eat ayam!” Ucap Caca yang lagi-lagi membuat Ralita tertawa.

“Iya, iya, nanti sama bubur ayam, ok?” Ralita terkekeh.

No, no, no bubur ayam gak enak!” Ucap Caca yang membuat Ralita dan Haikal tertawa.

“Gak suka apaan. Orang Caca setiap pagi minta bubur ayam sama yayah,” sahut Haikal sambil fokus menyetir, membuat si kecil menyerengeh.

Ralita terkekeh, kemudian jemarinya bergerak merapikan helaian rambut Caca, lalu Ralita mengusapnya dengan lembut dengan wajahnya tersenyum memperhatikan Caca.

Haikal yang tak sengaja menoleh dan melihat itu, hatinya menghangat.

“Caca kalau sekolah mau di anterin sama tante, gak? Atau mau di jemput sama tante? Nanti kita main,” tanya Ralita sambil terus mengusap pucuk kepala Caca.

Anak itu menoleh pada Ralita kemudian mengangguk senang.

“MAU!”

“Biar Caca seperti teman-teman Caca,” ucap Caca sambil memainkan kuku jarinya.

“Temen Caca kenapa?” Tanya Ralita.

“Temen Caca kalau ke sekolah suka sama bunda,” ucap Caca.

“Caca suka diledek soalnya Caca gak punya bunda ....” Caca menunduk dengan nada suara yang terdengar sedih.

Haikal dan Ralita salin menoleh.

“Caca ....” lirih Haikal sambil menggerakkan sebelah tangannya untuk mengusap Caca.

Tiba-tiba saja Caca memeluk leher Ralita dan menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan itu.

Ralita terdiam, kemudian ia mengusap punggung anak itu.

“Ta ....”

“Gapapa,” ucap Ralita menandakan bahwa ia baik-baik saja.

Ralita kembali mengusap Caca.

“Hari ini sekolahnya Caca sama tante, ok? Nanti tante marahin yang ledekin Caca!” Ucap Ralita membuat Caca melepaskan pelukannya dan menatap wajah Ralita.

“Benelan?!”

Ralita mengangguk. Kemudian Caca kembali memeluk leher Ralita erat.

Haikal menghela napasnya.

”maafin ayah,” batin Haikal.

Katakan saja Haikal gila, sebab kini, ia sudah berada di depan rumah perempuannya.

Tanpa pikir panjang, ia langsung memencet bel rumah itu.

Demi apapun, sorot mata Ralita terakhir kali, membuat Haikal benar-benar khawatir.

Butuh waktu beberapa hampir dua menit sampai akhirnya pintu itu terbuka. Menampilkan Ralita yang tengah menatap Haikal.

Tanpa aba-aba Haikal langsung menarik Ralita masuk ke dalam pelukannya.

Ralita terdiam saat merasakan Haikal yang tengah memeluknya erat.

“Haikal ...”

“Jangan nangis, Ta. Jangan nangis, jangan sakit,” ucap Haikal dalam pelukan itu.

Ralita terdiam, kemudian tanpa sadar lengannya memeluk Haikal. Kenudian ia menangis pelan dan menenggelamkan wajahnya di dada bahu itu.

Haikal semakin mengeratkan pelukannya.

“Hei, kenapa, hmm?” Haikal menundukkan kepalanya berusaha melihat wajah perempuan itu.

“Aku kangen Bian ....” lirih Raliat.

“Ta ....”

Haikal paham, Haikal taunsiapa itu Bian. Lalu tanpa bertanya lagi, Haikal kembali mengeratkan pelukannya.

I’m here, i’m here, Ta. Nangis aja gapapa, ada aku,” ucap Haikal lembuh semakin membuat Ralita menangis.

“Berat, ya? Sakit banget, ya, Ta?”

“Maaf, maaf karena aku gak ada buat kamu saat dulu kamu lagi terpuruk.”

“Sekarang, aku disini, nangis sepuasnya, sampai nanti rasa sakitnya hilang ....” lirih Haikal.

Malam ini, Haikal berhasil. Setelah sekian lamanya, ia berhasil memberikan pelukan hangatnya untuk Ralita.

Ralita tersenyum sambil memperhatikan anak perempuan yang tengah terduduk sambil fokus menonton siaran kartun di hadapannya.

Ralita tersenyum, kemudian jemarinya bergerak merapikan beberapa helaian rambut anak itu dengan telaten.

“Caca cantik banget,” ucap Ralita.

Anak itu menoleh pada Ralita kemudian tersenyum. “Kata yayah, Caca cantik soalnya yayah ganteng!” Ucapnya dengan nada suara yang lucu.

Ralita terkekeh, sebab anak ini sudah sangat fasih sekali berbicara.

“Caca laper enggak? Mau tante buatin makan?”

Caca menggeleng. “No, no, Caca mau susu,” ucap Caca yang lagi-lagi dibalas kekehan oleh Ralita.

“Caca mau susu? Sebentar ya tante ambil dulu. Tapi susu kotak gapapa?”

Caca mengangguk dengan matanya yang menyipit, lalu ia mengarahkan jempolnya pada Ralita. “Yes, yes!”

Ralita beranjak mengambil susu, dan mengambil beberapa potong buah apel dari dalam lemari pendingin. Kemudian ia kembali duduk di samping Caca.

“Mau dibantu?” Tanya Ralita lembut.

Caca menggeleng. “No! Caca bisa sendiri, Caca pinter,” ucap Caca sambil meminum susu kotak itu.

Ralita terkekeh sebeb Caca sangat menggemaskan, kemudian tanpa aba-aba Ralita mengecup pipi Caca.

“Anak cantik, nanti kalau sudah dewasa, kamu harus sayang sama ayah ya ....” gumam Ralita pelan.

Lintang melepaskan helmnya sesaat setelah sampai di sebuah warung pecel ayam kaki lima.

“Bosen banget anjir,” ucap Bintang. Sebab, setiap kali mereka makan bersama, Lintang akan mengajaknya untuk makan disini.

Lintang hanya terkekeh menanggapi ucapan Bintang, “gak usah bawel. Lo juga makan banyak,” ucap Lintang, sedangkan perempuan itu hanya menyerengeh.

“Hehe, bayarin?” Tanya Bintang, yang ditanya hanya mengangguk.

Mereka berdua kemudian masuk. Terlihat juga beberapa orang yang tengah menikmari makanannya.

“Mas, pecel ayam dua porsi ya. Yang satu sambelnya banyakin,” ucap Lintang.

“Siap!”

Lintang duduk di samping Bintang yang tengah fokus pada ponselnya. Kemudian lelaki itu melirik sedikit, membuat Bintang memukulnya pelan.

“Dih, kepo lo,” ucap Bintang sambil menepuk pelan pipi Lintang. Sedangkan lelaki itu terkekeh.

“Simpen hpnya,” ucap Lintang dan langsung dituruti Bintang.

Lelaki itu menatap Bintang sejenak, sebelim akhirnya ia melepas jaket yang dipakainya.

“Gue udah bilang kalo keluar malem tuh pake baju tangan panjang,” ucap Lintang sambil memindahkan jaket dari tubuhnya ke tubuh perempuan di sampingnya.

Bintang menyerengeh, “lagian salah siapa lo buru-buru,” ucap Bintang.

Jemari lelaki itu kemudian bergerak dan menarik pelan pipi perempuan disampingnya. Kemudian ia merapikan helaian rambutnya, membuat Bintang terdiam.

“Iyaa maaf, lain kali pake jaket. Dingin Bin, nanti lo sakit,” ucap Lintang yang kini meraih lengan Bintang untuk ia genggam.

Hangat. Genggaman Lintang terasa hangat.

Bintang tersenyum.

“Pegangin yang kenceng, dingin,” ucap Bintang, memuat lelaki itu semakin mengeratkan genggamannya.

Rintik hujan terdengar begitu nyaring, membuat saya terbangun dari mimpi indah saya.

Ah, ternyata saya ketiduran.

Saya terdiam sambil memandangi jendela kamar saya. Terlihat derai air hujan yang menghantam tanah. Aromanya pun sangat menusuk indra penciuman saya. Membuat saya sedikit menghela napas.

Saya meraih ponsel saya, ternyata sekarang pukul empat sore. Tapi, langit sangat gelap.

Saya terdiam ketik saya tidak sengaja melihat tanggal ini.

Tiga belas Agustus.

Saya lagi-lagi menghela napas. Rasanya sesak sekalu setiap kali saya melihat tanggal ini.

Hujan semakin deras, dan langit pun terlihat sangat mendung.

Lihat, bahkan langitpun tahu, jika ini adalah hari yang paling saya benci.

Saya benci setiap kali saya bertemu dengan tanggal ini, di bulan Agustus. Saya benci sekali.

Tanpa sadar, air mata saya jatuh. Dada saya terasa sangat sesak, seperti ada sesuatu di dalam sana yang berusaha mendorong saya untuk menangis.

Tangan saya bergerak, menepuk-nepuk dada sebelah kiri saya guna meredakan sesak yang tiba-tiba saja meluap.

Demi apapun saya benci sekali.

Saya menangis, begitu juga dengan langit. Ia juga menangis semakin deras di luar sana.

Setiap saya bertemu dengan tanggal ini, di bulan yang sama. Itu selalu mengingatkan saya pada satu sosok manusia luar biasa.

Namanya, Na Jaemin.

Lelaki dengan senyum paling manis yang pernah saya temui. Lelaki dengan tatapan paling teduh yang pernah saya temui. Lelaki dengan peluk paling hangat yang pernah saya temui.

Dia Na Jaemin. Laki-laki yang saya temui di rumah sakit.

Satu-satunya laki-laki setelah ayah yang berhasil membuat saya memutuskan untuk memberikan dunia saya pada dirinya.

Dia Na Jaemin. Laki-laki yang setiap kali bertemu saya, dia akan selalu melebarkan tangannya untuk memeluk saya dengan begitu hangat.

Saya masih sangat ingat, bahkan masih melekat dalam pikiran saya, saat pertama kali saya tidak sengaja bertemu dengannya di taman rumah sakit.

Waktu itu, saya tengah menangis di ayunan, sebab sebelumnya saya baru saja bertemu dengan dokter.

Saya menangis, sebab harapan hidup saya tidak lama lagi.

Waktu itu, Jaemin tiba-tiba saja duduk di ayunan sebelah saya. Sambil memberikan sepucuk bunga matahari dan juga permen coklat pada saya.

”kata ibu saya, perempuan kalau menangis beri saja bunga dan coklat,” ucapnya kala itu membuat saya menoleh.

Jaemin tersenyum pada saya, kemudian ia tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.

Saya hanya terdiam.

Jaemin kemudian meraih tangan saya dan menggerakkan jemari saya agar saya mengenggam bunga dan permen coklat itu.

Saya lagi-lagi hanya terdiam.

Jaemin terkekeh pelan, kemudian ia menggerakkan ayunan itu sambil menghela napas.

Saya masih ingat, saat Jaemin tersenyum pada saya dan mengatakan, ”nama saya Jaemin. Na Jaemin,” ucapnya.

Mendengar itu, entah kenapa saya refleks dan mengatakan, ”saya April,” ucap saya yang langsung membuat Jaemin tersenyum.

”Namanya cantik ya? Sama seperti orangnya,” ucap Jaemin pada saya.

Saya tahu ini berat. Tapi tolong jangan menangis, ya? Lihat, kamu gak sakit sendirian kok, saya juga sama. Dokter bilang harapan hidup saya bentar lagi, haha.”

Dia tertawa kala itu. Namun, saya bisa melihat kehancuran dari sorot matanya.

Katakan saja saya gila, sebab saya langsung jatuh hati pada lelaki yang baru saja saya lihat beberapa menit lalu kala itu.

Katakan saha saya gila, sebab setelah saya mengenal Jaemin, saya semakin tidak tahu diri dan berharap jika saya bisa hidup lebih lama.

Hari demi hari berlalu, dan waktu itu entah kenapa saya semakin dekat dengan Jaemin. Bahkan para perawat dan dokter disana pun tahu, dan menyebut jika saya ini adalah kekasih Jaemin.

Saya masih ingat betul. Waktu itu, sehari setelah saya melakukan kemoterapi, Jaemin datang ke kamar saya, dengan infus yang menancap di lengan kanannya.

Lelaki itu tersenyum dengan bibirnya yang terlihat pucat.

Waktu itu dia datang sambil membawa sekantung kresek berisikan buah melon kesukaan saya.

Dengan telaten, dia menyuapi saya sambil tersenyum.

”Cantik banget,” ucapnya sambil terkekeh pelan, sedangkan saya hanya tersenyum malu.

”Hebat banget sih kamu, pasti bentar lagi sembuh,” ucapnya.

Saya menggeleng dan mengatakan, ”kalau saya sembuh, kamu pun harus sembuh ya, Na?” ucap saya kala itu.

Jaemin terkekeh, kemudian ia mengangguk, ”iya dong. Kalau kita sembuh, kan kita janji mau keliling Eropa sama-sama,” ucap Jaemin membuat saya tersenyum.

Jaemin kemudian menatap saya hangat saat itu, begitu hangat sampai saya tidak sadar jika ternyata tatapan itu adalah tatapan terakhir yang saya lihat.

Jaemij menatap saya, kemudian ia mengusap saya dengan penuh kehangatan.

”April, kamu harus sembuh, ya? Aku juga bakalan sembuh kok. Terus nanti kita pulang sama-sama ke rumah, ya? Kita nanti liburan ke Eropa. Saya bakalan kasih semuanya buat kamu, semua yang kamu mau bakalan saya kasih April,” ucap Jaemin kala itu.

Saya menatapnya kemudian saya mengatakan. “Saya cuma mau kamu, Na. Saya mau kamu terus ada di samping saya sampai nanti saya menua,” ucap saya yang lagi-lagi membuat Jaemin tersenyum.

”Iya, saya janji. Kita bakalan sama-sama sampai menua nanti ya.”

”Saya sayang kamu April, sangat.”

Ucapnya kala itu, sebelum akhirnya saya sadar jika itu adalah pertemuan terakhir saya dengan dirinya. Sebab, dua malam setelah Jaemin menemui saya, dia ternyata jatuh pingsan di ruang rawat inapnya.

Andaikan saja saya tahu, jika itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Jaemin. Tidak akan saya biarian Jaemin pergi dari ruangan saya hari itu.

Jika saja saya tahu, jika itu adalah pelukan terakhir saya dengan Jaemin. Saya tidak akan pernah membiarkan Jaemin melepaskan pelukannya pada saya.

Jaemin berbohong. Dia berbohong pada saya.

Kenapa dia mengatakan janji, jika ternyata dia yang lebih dulu meninggalkan saya?

Jaemin berbohong. Sebab kenyataannya dia memilih menyerah daripada memenuhi janji-janjinya perihal hidup bahagia bersama saya.

Dan bodohnya, saya percaya, jika Jaemin akan memenuhi semua ucapannya.

Bodoh, Jaemin sangat bodoh. Terlalu bodoh sebab dengan mudahnya ia memberikan miliknya pada.

Jaemin sangat bodoh. Sebab ia hanya meninggalkan selembar surat yang dipenuhi dengan kata-kata hangatnya.

Dalam surat itu ia menuliskan.

halo April, ini Jaemin

Maaf ya kalau saya tiba-tiba pergi hehe. Tapi saya ada hadiah untuk kamu dan sebelum kamu memakai hadiah dari saya, tolong ingat ya April. Saya gak pernah pergi dari sisi kamu. Meskipun nanti raga saya pergi, tapi jiwa saya ada bersama kamu.

April terima kasih ya karena kehadiran kamu membuat saya bertahan lebih lama dari perkiraan, hehe.

Saya sangat mencintai kamu. Maka dari itu, saya tinggalkan hati saya untuk kamu.

Jaga baik-baik ya cantik, karena dengan itu kamu bisa hidup.

Sampai jumpa, sampai bertemu lagi.*

Dari saya Na Jamein, lelaki yang mencintai kamu walau hanya sekejap.

Saya menangis sangat keras saat membaca surat itu.

Jaemin jahat, dia jahat sekali. Sebab dia meninggalkan saya tepat pada hari ulang tahunnya.

Saya bahkan belum sempat memberikan apapun untuk Jaemin.

Belum sempat saya membagi kebahagiaan saya pada Jaemin. Tapi kenapa Tuhan harus mengambilnya lebih dulu?

Haha, semesta memang kadang tidak adil, ya?

Waktu itu saya juga sakit. Tapi, kenapa Tuhan malah mengambil Jaemin lebih dulu?

Kenapa Tuhan memilih mengambil manusia luar biasa hangat seperti Jaemin?

Saya rindu, saya rindu Jaemin. Terlalu rindu, sampai-sampai saya mati rasa.

Selamat, Selamat ulang tahun, Selamat panjang umur, Untukmu Na Jaemin, si hebat yang akan selalu hebat.

Terima kasih ya, karena kamu sudah menitipkan bagian dari diri kamu untuk saya.

Saya mencintai kamu, sangat.

Bintang berdecak pelan di parkiran motor, sambil sesekali mengotak-atik ponselnya.

Cukup lama ia menunggu Lintang kembali. Karena sebelumnya ia tiba-tiba saja kembali masuk ke dalam supermarket.

“Heh, ngelamun aja lo.” Tiba-tiba saja Lintang bersuara sambil menepuk pundak Bintang membuat perempuan itu sedikit terkejut.

“IH KAGET!”

Lintang terkekeh.

“Beli apaan deh? Bukannya udah? Ini kresek ge—.” Belum sempat Bintang menyelesaikan ucapannya, Lintang sudah lebih dulu membuatnya terdiam sambil memberikkan sebuah kantung kresek berukuran sedang.

“Apaan ini?” Bintang mengambil alih kantung kresek itu dari tangan Lintang.

“Buka aja, temen baru,” ucap Lintang yan kini tengah memasang helm.

Lelaki itu kemudian menghadap ke arah Bintang sambil memasangkan helm pada perempuan itu. Sedangkan Bintang menatap bingung.

“Gue engga ulang tahun ....,” ucapnya.

Lintang terkekeh. “Emang engga.”

“Itu gue beli aja buat lo. Soalnya pas minggu kemarin kita kesini, lo ngeliat-liat boneka ini,” ucap Lintang yang kini sudah berada di atas motornya.

“Ayo pulang, gak usah bengong. Jelek lo.”

Aksara Gema Lintang namanya, laki-laki kelahiran Agustus. Laki-laki dengan senyum paling indah. Laki-laki yang selalu memberikkan tatapan teduhnya. Laki-laki yang selalu memastikan bahwa saya baik-baik saja. Dan laki-laki yang amat sangat saya cintai.

Lintang, dia ini selalu punya cara untuk membuat saya aman dan nyaman.

Pernah suatu hari saya sakit, padahal waktu itu, dia sedang ada kelas. Tapi dengan tiba-tiba dia mengetuk pintu kosan saya, sambil membawa sebuah keresek berisi bubur ayam untuk saya. Dia bilang, ”makanya kalo disuruh sarapan tuh gak usah dinanti-nanti. Sakit kan jadinya,” ucap Lintang pada saya waktu itu dengan raut wajahnya yang menekuk, terlihat kesal lantaran saja jatuh sakit.

Menggemaskan sekali. Saya suka jika sudah melihat Lintang khawatir seperti itu.

Waktu itu Lintang juga bilang, ”lo ngeyel banget dibilangin. Kalo lo sakit gimana gue bisa tenang!?”

Haha, Lintang memang seperti itu. Dia gak suka lihat saya sakit. Jangankan sakit seperti itu, saya keseleo pun, dia selalu mengkhawatirkan saya sebegitunya.

Berkali-kali saya mengucap syukur pada Tuhan, sebab Ia sudah mendatangkan Lintang ke dalam hidup saya.

Kehadiran Lintang di hidup saya ini, benar-benar membuat saya merasa aman, tenang, dan berharga. Saya merasa jika bersama Lintang, saya akan selalu bahagia.

Awalnya saya tidak pernah berpikir untuk mencintai lelaki ini sebegitu dalamnya. Sampai akhirnya suatu hari, saya merasa jika perasaan saya kepada Lintang ternyata sudah sangat besar.

Katakan saja saya tidak tahu diri. Sebab, dengan lancangny saya mengatakan pada Lintang bahwa saya mencintainya.

”Lintang, kayaknya gue jatuh cinta deh sama lo,” ucap saya waktu itu, saat kami sedang meneduh.

Lintang menatap saya aneh, lalu kemudian ia hanya terkekeh, ”jangan jatuh cinta sama gue, Bin.

Demi apapun, waktu itu saya benar-benar serius saat saya bilang kalau saya jatuh cinta pada Lintang.

Tapi waktu itu, saya pun belum berpikir bahwa saya akan mencintai Lintang sebegitu dalamnya.

Setelah Lintang mengatakan itu, mati-matian saya menahan perasaan saya agar tidak terus tumbuh.

Hari demi hari berlalu. Saya pikir, perasaan saya ini akan hilang begitu saja. Tapi ternyata saya salah.

Perasaan saya pada Lintang semakin besar. Bahkan saya pernah menangis waktu Lintang bilang sama saya, jika dia baru saja pulang bersama dengan teman perempuannya yang lain. Namanya Sabita.

Saya menangis waktu mendengar itu, karena saya tahu, Sabita ini perempuan yang sudah sebulan terakhir Lintang selalu ceritakan pada saya.

Menangis seperti orang bodoh di kamar kosan saya saat itu. Karena saya sangat takut, jika suatu hari Lintang akan pergi darinhidup saya, sebab ia menemukkan orang lain.

Saya tahu, saya sangat tidak tahu diri karena saya berharap begitu banyak pada Lintang. Terkadang, saya pun merasakan sakit sendirian karena harapan-harapan yang saya bangun sendiri.

Kami sudah lama bersama, Lintang ini sahabat yang paling saya sayang. Dan saya tidak ingin kehilangan Lintang.

”Lintang, kalo gue bilang gue sayang sama lo lebih dari sahabat gimana?

”Jangan jatuh cinta sama gue, Bintang. Gue udah bilang berkali-kali.

Lintang menatap saya dengan tatapan tidak sukanya saat itu.

”Kenapa?” saya menatap Lintang sedangkan saat itu, Lintang sama sekali tidak menatap saya.

”Kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama lo?”

”Gue sayang sama lo Lintang. Gue mau lo, dan gue gak mau kehilangan lo,” ucap saya waktu itu dengan suara yang sedikit bergetar.

”Kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama lo, sedangkan lo sendiri selalu natap gue tulus? Kenapa gak boleh, Lin? Padahal lo sendiri selalu ngasih peluk terbaik lo disaat gue gak baik-baik aja.”

Saya masih ingat jelas helaan napas berat dari Lintang kala itu. Lalu dengan pelan ia menoleh pada saya.

”Gak bisa, Bin.”

Lintang kembali memalingkan wajahnya dan ia menunduk.

”Gue sayang sama lo, tapi kalau buat sayang lebih dari sahabat, gue gak bisa, Bintang.”

”Jangan jatuh cinta sama gue.

”Because, we’re just friend. Gak lebih dari itu.”

Demi apapun, saya menangis saat itu. Lintang bahkan langsung pergi dari hadapan saya tanpa menoleh sedikitpun. Padahal biasanya, dia yang paling tidak suka melihat saya menangis. Tapi, kenapa malah dia yang membuat saya menangis sebegitu kerasnya?

Kenapa?

Kenapa saya tidak boleh mencintai kamu? Sedangkan orang lain dengan mudahnya kamu bawa masuk ke dalam dunia kamu.

Lintang, saya ini benar-benar mencintai kamu. Sedalam itu, sampai saya lupa diri.

Kata orang, jatuh cinta itu rumit, jatuh cinta sulit, jatuh cinta itu sakit.

Kata orang juga, mencintai itu salah satu hal paling sia-sia yang dilakukan manusia.

Tapi bagi saya, jatuh cinta, dicintai, dan mencintai, bukanlah suatu hal yang buruk semenjak saya mengenal seseorang.

Awalnya saya juga berpikiran jika hal-hal seperti itu hanya akan menyakiti diri sendiri. Tapi ternyata saya salah.

Namanya Tian.

Bastian Agathala, lebih tepatnya.

Tian ini, lelaki yang sudah 2 tahun selalu ada bersama saya.

Dulu, sebelum mengenal Bastian, saya gak pernah mau tau bagaimana rasanya afeksi dari seseorang selain keluarga. Saya juga tidak pernah peduli tentang yang namanya cinta. Tapi, semenjak Bastian secara tidak sengaja masuk ke dalam hidup saya, pandangan saya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan cinta, itu berubah.

Bastian ini, secara perlahan membuat saya sadar. Kalau ternyata dicintai memang seindah dan semenyenangkan itu rasanya.

Waktu itu, Tian pernah bilang, “Git, jangan sakit ya. Saya gak suka liatnya,” ucap Tian.

Sederhana memang, tapi entah kenapa, kalimat itu selalu bisa membuat saya merasa dicintai sebegitu dalamnya.

Haha.

Saya juga tidak mengerti, bagaimana bisa saya, perempuan keras kepala dengan mudahnya jatuh cinta pada laki-laki yang sebenarnya bukan kriteria saya.

Terkadang saya tidak mengerti bagaimana cara kerja semesta perihal mempertemukan.

Selama 2 tahun terakhir ini, Bastian selalu bisa membuat saya merasa dicintai lagi dan lagi dengan begitu dalamnya.

Kata-kata sederhana yang selalu Bastian lontarkan benar-benar membuat saya merasa jika saya ini perempuan paling beruntung sebab saya memiliki laki-laki seperti Bastian di hidup saya.

Saya benar-benar takut kehilangan Bastian.

Saya tahu, sangat tahu. Bastian ini sangat mencintai saya, begitupun saya pada Bastian.

Tapi, mau sedalam apa dia mencintai saya, dia tidak pernah menjanjikkan saya apapun perihal bersama.

”Git, saya gak mau ngejanjiin apapun sama kamu.”

”Saya takut Git. Saya takut, jika suatu saat, perasaan yang sekarang saya punya itu berubah tiba-tiba,” Waktu itu Bastian berucap sambil mengusap punggung tangan saya.

”Tuhan itu Maha Membolak-balikkan hati manusia Gita, dan saya takut menjadi salah satu di antara sekian banyak orang yang Tuhan balikkan perasaannya.”

Saya masih ingat sekali, sorot mata ketakutan dari Bastian kala itu yang dengan hati-hati menatap mata saya.

Awalnya saya pikir, ketakutan itu hanya sekedar ketakutan belaka yang akan hilang begitu saja. Tapi ternyata saya salah.

Tepat di tahun kedua, Bastian memutuskan untuk mengakhiri semua rasanya pada saya.

Dia bilang, ”maaf Sagita, saya terlalu payah mempertahankan rasa terhadap kamu, maaf karena saya harus jadi salah satu orang yang Tuhan balikkan perasaannya,” ucap Bastian sambil menunduk kala itu.

Saya hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar ucapan dari lelaki yang selama 2 tahun terakhir selalu berhasil membuat saya merasa pantas dicintai sebegitu besarnya.

Saya bertanya pada Bastian, ”kamu mau ninggalin aku, Bas?”

Demi Tuhan, ribuan kali saya merapalkan doa dalam hati. Berharap jawaban yang saya dapatkan itu adalah sebuah gelengan. Tapi lagi-lagi saya salah.

”Saya pamit, ya, Sagita. Saya gak mau nyakitin kamu terlalu jauh kalau semisal saya terus maksa perasaan saya buat kamu”

”Saya ....

”Saya mencintai orang lain Sagita, maaf ...”

Saya masih sangat ingat saat ia mengatakan kalimat itu tepat di hadapan saya. Sorot matanya bahkan terus menghindar.

Waktu itu, saya tidak menjawab apapun. Saya hanya terdiam, berusaha mencerna semua perkataan dari Bastian pada saya. Saya terdiam sampai Bastian benar-benar pergi dari hadapan saya.

Kepergian Bastian kala itu benar-benar membuat saya jatuh sejatuh-jatuhnya.

Saya bahkan tidak pernah berpikir, kalau laki-laki yang mencintai saya sebegitu dalamnya bisa dengan mudah meninggalkan saya hanya karena ia mempunyai perasaan yang baru terhadap orang lain.

Bastian bahkan tidak memeluk saya kala itu. Bahkan saat saya memanggil namanya, ia sama sekali tidak menoleh sedikitpun.

Dan lagi.

Saya kembali tidak mengerti bagaimana semesta bekerja.

Dengan mudah Ia mempertemukkan, dan dengan mudahnya juga Ia memisahkan.

Memang benar kata orang.

Jangan pernah merasa jika dunia selalu berpihak pada kamu, hanya karena kamu merasa begitu dicintai

Namun, meskipun saya sempat merasa begitu hancur karena ditinggalkan. Setidaknya saya paham, bahwa setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, sekalipun itu dengan seseorang yang amat sangat mencintai kamu.

“Pak, pesen sepuluh ribu ya,” ucap Pradipa pada bapak penjual kue cubit.

Disampingnya ada Serena yang tengah berdiri sambil menunggu Pradipa membeli kue cubit.

“Sepuluh ribu engga kebanyakan, Pra?” Tanya Serena pada lelaki itu.

Pradipa menggeleng, “engga kok,” ucapnya tersenyum.

Perlu waktu beberapa menit untuk penjual itu menyelesaikan pesanan Pradipa, “mas, ini udah. Hatur nuhun ya,” ucap bapak penjual dengan senyumnya, lalu kemudian Pradipa balik tersenyum. “Makasih pak,” uca Pradipa.

“Ayo duduk disana,” ucap Pradipa lagi yang langsung diikuti oleh Serena.

Sore ini, Alun-alun kota terlihat cukup ramai. Untung saja masih ada tempat kosong untuk sekedar duduk.

“Rame juga ya,” ucap Pradipa yang kini tengah duduk di bawah pohon bersama Serena, sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

“Nih, coba kamu rasain. Enak, gak?” Ucap Pradipa sambil memberikan kue cubit itu pada Serena.

Serena terkekeh, “katanya kan kamu yang mau survey rasa? Kok jadi saya yang nyuruh nyobain?”

Pradipa menyerengeh, “biar tau dari dua sisi,” ucapnya yang kemudian dibalas gelengan pelan oleh Serena.

Serena lalu mengambil satu kue cubit dan memakannya, sedangkan Pradipa tersenyum saat melihat Serena menikmati kue cubit itu.

“Enak?” Tanya Pradipa. “Enak banget,” balas Serena.

Pradipa terkekeh kecil, “yaudah, kalo enak. Besok kita makan kue cubit lagi. Siapa tau rasanya beda,” ucap Pradipa sambil memasukkan sepotong kue cubit ke dalam mulutnya.

Serena lagi-lagi hanya menggeleng, sebab lelaki ini ternyata punya berbagai cara untuk mengajak.

“Pra ...” ucap Serena membuat Pradipa menoleh.

“Hmm?”

“Waktu itu kamu bilang, kalo bahagia orang lain bukan tanggung jawab saya, ya?”

“Iya, kenapa?”

Serena tersenyum, “gapapa sih, ak—“ belum sempat Serena menyelesaikan ucapannya, Pradipa lebih dulu memotong.

“Kamu gak punya tanggung jawab buat bikin bahagia orang lain, Anulika,” ucapnya.

“Tapi ....” ucapan Pradipa terjeda.

“Tapi apa?”

“Tapi kalau bahagianya kamu, biar saya aja yang tanggung jawab,” Pradipa tersenyum dengan mata sabitnya.

Mendengar itu, Serena terdiam, kemudian ia memalingkan wajahnya.

“Jangan bilang kayak gitu.”

Pradipa terkekeh, kemudian ia mengalihkan fokusnya pada langit.

“Haha, saya becanda Anulika, jangan dianggap serius,” ucap Pradipa.

Serena tertawa canggung, “haha, iya engga kok, saya tau kamu becanda,” ucap Serena.

Pradipa terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia kembali menatap Serena, “tapi, kalo suatu saat saya mau beneran tanggung jawab perihal bahagianya kamu, boleh?”

Dengan tubuh lelahnya, Haikal melangkah masuk ke dalam bangunan milik perempuannya.

Memencet tombol beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka.

Ah, senyuman ini. Senyuman yang lagi-lagi bisa meruntuhkan bebannya.

Di hadapannya, ada Ralita tengah tersenyum hangat pada Haikal.

Kenapa?

Kenapa senyum perempuan ini selalu sama seperti dulu? Kenapa senyum perempuan ini selalu terlihat hangat seperti dulu?

Haikal benar-benar kembali jatuh pada perempuan ini.

“Ha—“ belum sempat Ralita mengatakan sapaan pada Haikal. Tubuh lelaki itu sudah lebih dulu mendekat mendekap tubuh Ralita.

Haikal menenggelamkan wajahnya pada leher Ralita, berusaha mencari kehangatan.

Ralita hanya terkekeh pelan.

“Capek ...” ucap Haikal.

Jemari Ralita bergerak menepuk-nepuk pundak lelaki itu, guna melepas dan menghapus segala bebannya hari ini.

Haikal mengeratkan pelukannya.

“Gini dulu ya Taa,” ucap Haikal.

Ralita hanya mengangguk kecil, lalu diam-diam tersenyum.

Tubuh ini, tubuh yang sejak dulu selalu rapuh. Tubuh yang sejak dulu selalu meminta peluk. Tubuh ini sekarang kembali, kembali meminta hangat padanya.

Ralita, benar-benar merindukannya.

“Gapapa, gapapa. Hari ini kamu hebat! Makasih ya ....” ucap Ralita.

Haikal semakin mengeratkan pelukannya, membuat Ralita terkekeh.

“Sesek ih,” ucap Ralita.

Haikal tersenyum dalam pelukan itu.

Demi Tuhan, pelukan ini selalu mampu memberi tenang, memberi hangat, dan membuat semua bebannya hilang begitu saja.

Haikal tidak mengerti, bahkan setelah beribu luka, ia masih saja menyukai hangat yang diberikan perempuan ini.

“Ta ....” ucap Haikal.

“Hmm?”

“Makasih ...” ucapnya lagi pelan.

“Makasih kenapa?”

“Makasih ya udah pulang, makasih karena udah ngasih peluk lagi kayak dulu, hangat banget, Ta rasanya ....”lirih Haikal dalam pelukan itu.

Haikal kemudian melepas pelukannya dan menatap wajah mungil perempuan ini.

Haikal tersenyum kecil.

“Cantik banget,” ucap Haikal.

Yang dipuji hanya terkekeh.

“Masih capek?” Tanya Ralita.

Haikal menggeleng, “udah enggak,” ucapnya tersenyum.

“Makasih ya Ta,” ucap Haikal yang kembali merengkuh tubuh perempuan itu.

Keduanya sama-sama memejamkan mata, menyalurkan kehangatan juga kerinduan yang sudah lama sekali mereka pendam.

“Makasih banyak, karena udah pulang. Makasih ta, lo selalu mampu ngasih gue kekuatan.”

Ralita tersenyum.

“Makasih juga ya Haikal,” ucapnya.

Sambil mendekap, Haikal kemudian menatap Ralita, dan tersenyum.

“Cantik banget cantik,” ucap Haikal yang kemudian melangkan sebuah kecupan pada kening perempuan itu.