Jjaejaepeach

Suara alarm berbunyi, membuat laki-laki itu terbangun. Tangannya bergerak untuk mematikan alarm itu.

Jam masih menunjukan pukul lima pagi. Haikal, kemudian berusaha membuka matanya yang masih terpejam.

Perlahan ia membuka mata itu, ia terdiam sejenak saat menyadari jika saat ini ada seseorang tertidur di sampingnya.

Haikal membenarkan posisinya menyamping menatap perempuan yang tengah tertidur itu.

Haikal tersenyum, sebab pagi ini, saat ia membuka mata, ia bisa melihat sosok yang selama ini selalu ia harapkan kehadirannya.

Ada Ralita disampingnya, tertidur di samping Haikal.

Haikal lagi-lagi tersenyum. Jemarinya bergerak mengusap pelan wajah Ralita. “Cantik ....” lirihnya.

Cukup lama menatap perempuannya ini, Haikal kemudian memilih untuk memposisikan dirinya memeluk tubuh perempuan itu. Sebelum akhirnya ia kembali tertidur, Haikal melayangkan kecupan lembut pada kening Ralita dengan penuh ketulusan.

Dan lagi, untuk kesekian kalinya. Haikal jatuh cinta pada Ralita.

Haikal dan Ralita tengah bersandar di ranjang milik mereka. Setelah tadi seharian mereka berdiri menyalami tamu undangan.

Haikal merebahkan tubuhnya, dengan Ralita yang bersandar di lengan lelaki itu.

“Capek gak sih?” Tanya Haikal pada Ralita yang dibalas anggukan.

Haikal membalikan posisinya agar bisa melihat wajah Ralita yang tengah memeluk tubuhnya dari samping.

Lelaki itu tersenyum, kemudian ia menggerakkan tangannya untuk mengusap kening Ralita, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.

“Cantik banget cantik,” ucap Haikal tersenyum.

Ralita menengadah, menatap Haikal yang juga tengah menatapnya. Ia kemudian terkekeh.

“Seneng banget bilang aku cantik,” ucap Ralita.

“Emang cantik kamu tuh,” Haikal tersenyum.

“Mau yang kenceng, ya, boleh?” Tanya Ralita pelan pada Haikal. Haikal terkekeh, ia kemudian mengangguk.

Dipeluknya tubuh yang lebih kecil itu dengan penuh sayang.

Haikal berkali-kali mengecup kening perempuannya dengan lembut dan penuh ketulusan.

“Ta ....” lirih Haikal.

“Hmm?”

Ralita menatap Haikal.

Netra mereka saling beradu, lalu dengan perlahan Haikal mendekatlan wajahnya, membuat kening mereka menempel.

Haikal tersenyum, begitu juga Ralita.

Tatapan ini, kenapa selalu saja terasa sangat teduh dan menenangkan?

Perlahan Haikal meraih wajah Ralita, kemudian dengan hati-hati Haikal mulai melumati bibir lembut milik perempuannya itu.

Awalnya Ralita terdiam, namun dengan perlahan ia mulai menikmati lumatan lembut itu. Berusaha merasakan seluruh perasaan yang Haikal coba sampaikan.

Awalnya lumatan yang Haikal lalukan ity itu hanya sebuah lumatan-lumatan kecil, sampai akhirnya Haikal mulai berani membuka aksesnya lebih jauh lagi, menjelajahi semua yang ada di dalam mulut perempuan itu.

Ralita memejamkan matanya, ia tidak menolak. Ia justru menikmati lumatan itu.

“Ta ....”

“Boleh?” Ucap Haikal meminta izin, sebab ia takut jika perempuannya ini belum siap.

Ralita menatap Haikal, lalu tanpa ragu, ia mengangguk.

-

Sudah hampir pukul dua dini hari, namun mereka berdua masih bergelut dengan kegiatan mereka.

Tubuh keduanya saling beradu, menghasilkan suara-suara yang memenuhi ruangan itu.

Haikal menatap Ralita yang tengah memejamkan matanya, merasakan perih sekaligus nikmat secara bersamaan.

Jemari Haikal perlahan mengusap wajah Ralita.

“Sakit?” Tanya Haikal lembut.

Ralita mengangguk pelan, membuat Haikal menghentikan kegiatannya.

“Maaf ....” Haikal mengecup wajah perempuannya itu.

“Gapapa, lanjut aja. Pelan-pelan, ya?” Ucap Ralita membuat Haikal menatapnya sejenak.

“Gapapa?”

Ralita mengangguk. Lalu tanpa berlama-lama Haikal mulai kembali pada kegiatan panasnya, bersetubuh dengan perempuan kesayangannya ini.

Mereka benar-benar larut dalam kegiatan bercinta mereka malam itu, sambil menyalurkan seluruh rasa yang mereka punya.

Dan malam itu, Ralita benar-benar jadi milik Haikal seutuhnya.

Indah sangat indah.

Malam terindah yang pernah Haikal lewati, sebab ia berhasil menjadikan perempuan kesayangannya ini milknya, dan akan selalu menjadi miliknya

Terdengar riuh piuh orang-orang di tempat itu, diiringin musik yang mengalun merdu, membuat suasana pagi itu terasa lebih hangat dan romantis.

Nuansa dekorasi warna-warna pastel yang membuat tempat itu terlihat sangat sederhana namun mewah.

Banyak sekali orang yang datang. Itu semua termasuk orang-orang terdekat dari masing-masing keluarga.

Terlihat juga disana tiga orang lelaki memakai setelan jas hitam serta satu orang perempuan dengan gaun berwarna putihnya yang sederhana. Mereka berempat melambaikan tangannya ke arah Haikal yang tengah berdiri di depan.

“KAL!” Teriak Yara pada Haikal, membuat Haikal menoleh dan terkekeh pelan sebab di hadapannya itu ada teman-teman baiknya yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu.

“SEMANGAT!” Teriak Yara lagi.

Haikal hanya terkekeh, kemudian ia melambaikan tangannya kepada keempat sahabatnya itu.

Zidan mengacungkan jempol, pertanda ia bangga pada Haikal sebab ia sudah berhasil mencapai titik ini. Titik dimana Haikal berdiri di sebuah tempat untuk meminang satu-satunya perempuan yang sejak dulu ia cintai.

Netra Haikal menelisik setiap sudut tempat itu. Terasa sekali angin menusuk kulitnya, membuat tunuhnya sedikit bergetar.

Haikal berusaha menetralkan pernapasannya, karena sejak ia duduk disana menunggu kedatangan perempuannya jantunganya selalu saja berdetak sangat cepat dari biasanya.

Haikal menarik napasnya kemudian membuangnya dalam, tangannya bahkan sedikit berkeringat dan bergetar.

Hari ini, ya?

Hari yang sejak dulu Haikal impikan kedatangannya. Hari dimana ia nanti akan berdiri di hadapan sekua orang dan mengucap janji untuk bisa hidup bersama dengan perempuan kesayangannya, Ralita.

Dulu sekali, sebelum kejadian dimana Ralita meninggalkannya. Haikal selalu berangan-angan setiap kali ia mengingat Ralita.

Angan-angan perihal Haikal yang akan menjadikan Ralita satu-satunya perempuan yang akan ia nikahi.

Sejak dulu, Haikal sering berangan-angan tentang itu.

Haikal tidak pernah berpikir, jika waktu itu ia akan kehilangan Ralita. Dan juga, Haikal tidak pernah berpikir, bahwa setelah banyak sekali perpisahan, setelah banyak sekali luka, ia akhirnya bisa kembali pada rumahnya yang pertama.

Demi apapun, setelah kehilangan Ralita waktu itu, Haikal tidak pernah jika ia akan kembali pada perempuannya. Sebab saat itu, meskipun Haikal masih terbayang tentang Ralita, ia sama sekali tidak membayangkan bahwa hari ini akan datang.

Sungguh, lagi-lagi takdir Tuhan ini benar-benar luar biasa.

Dua insan yang sempat terpisah, dua insan yang sempat saling merelakan, dua insan yang sama-sama sempat saling mendoakan kebahagiaan masing-masing. Kini, dua insan itu kembali bersama.

Terlalu mustahil dibayangkan, namun memang seperti ini kenyataannya.

Haikal kembali menghela napasnya, berusaha menenangkan kepanikannya.

Acara di mulai, dimana kini, pembawa acara pun mempersilahkan sang wali masuk untuk melakukan akad pernikahan.

Haikal mulai duduk di antara beberapa orang, dengan sang ayah di sampingnya dan juga ayah dari perempuannya berada di hadapannya.

Haikal menatap netra Adinegara.

Dua orang di dekat Haikal berbicara, dan mulai menuntun Haikal untuk mengucap ijab kabul pernikahan itu.

Digenggamnya tangan itu, Haikal kemudian menarik napasnya dalan.

Netra Adinegara menatap Haikal dengan tatapan penuh harap dan penuh kepercayaan.

Hening beberapa saat, hingga akhirnya dengan satu kali tarikan napas, dan dengan suara yang lantang, Haikal berucap.

“Saya terima nikah dan kawinnya, Ralita Angkara binti Adinegara dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang dibayar tunai!” Haikal berucap dengan tangannya yang sedikit bergetar.

“Bagaimana hadirin, sah?”

“SAH!” Ucap semua orang disana diiringi tangis haru.

Haikal menghela napasnya, ia berusaha menahan tangisnya.

Demi apapun tangis haru benar-benar memenuhi tempat itu. Haikal benar-benar berhasil meminang perempuannya secara sah. Di depan kedua orang tuanya, di hadapan semua orang. Haikal berhasil mengatakan itu.

Di sampingnya ada Haksara yang juga tersenyum bangga pada putra bungsunya itu.

Haikal menatap Haksara, kemudian ia mengangguk menandakan bahwa ia baik-baik saja.

“Anak ayah hebat,” gumam Haksara.

Haikal kembali membuang napasnya lega, kemudian ia menatap Adinegara.

Lelaki paruh baya it tersenyum pada Haikal, kemudian ia mengangguk menandakan jika semua berjalan baik.

“Tolong jaga anak saya, ya?” Gumam Adinegara yang dibalas anggukan oleh Haikal.

-

Acara ijab kabul sudah selesai, kini Haikal berdiri di depan sana, menunggu perempuannya datang. Untuk saling berucap janji di hadapan semua orang.

Netra Haikal terfokus ke depan, ke arah dimana Ralita datang.

Alunan musik terdengar sangat merdu dan romantis.

Semua orang disana mengarahkan atensinya pada seseorang yang tengah berjalan dengan di dampingi dua orang prianya.

Di hadapan sana, di hadapan Haikal. Ralita tengah berjalan dengan gaun putih dan juga senyum cantiknya.

Perempuan itu berjalan sambil menggenggam dua tangan lelaki yakni ayah dan sang kakak.

Haikal menatap Ralita dengan tatapan kagum sekaligus haru. Lelaki itu tidak dapat membendung air matanya.

Haikal menangis, ia menangis kala melihat perempuan cantik kesayangannya sedang berjalan ke arahnya.

Semua orang disana bahkan menatap kagum, sebab Ralita terlihat sangat cantik, dengan balutan gaun putih yang terlihat sederhana namun benar-benar indah dan berkelas.

Ralita berjalan pelahan, netranya terfokus pada Haikal yang tengah berdiri di depan sana. Perempuan itu tersenyum pada Haikal.

Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya Ralita dan Haikal saling berhadapan disana.

Haikal tersenyum sambil menghadap kepada Ralita, begitu pula Ralita yang tersenyum pada Haikal.

Perlahan jemari Haikal bergerak mengusap wajah Ralita lembut.

“Cantik banget,” ucap Haikal dengan air mata yang mengalir.

Ralita terkekeh pelan, kemudian ia mengusap air mata Haikal. “Jangan nangis ....” lirihnya tersenyum.

Demi Tuhan, Haikal benar-benar mencintai Ralita.

Acara selanjutnya di mulai, dimana mempelai pria akan mengucapkan kata-kata terima kasihnya.

Di mulai dari Haikal. Lelaki itu kini berdiri sambil menghadap ralita, dengan microphone ditangannya.

Haikal tersenyum, kemudian ia menghela napasnya dalam.

“Untuk Ralita Angkara, perempuan yang sudah lama saya cintai ....” ucap Haikal membuat semua orang terdiam. Hanya ada suara Haikal dan juga alunan musik yang mengiringi.

“Ta ....”

“Terima kasih, terima kasih karena sudah bersedia menerima pinangan saya. Terima kasih karena sudah bersedia menjadi tempat pulang saya sampai nanti kita menua.”

Haikal menatap Ralita dengan penuh ketulusan, sedangkan Ralita menatap Haikal sambil menahan tangisnya.

“Ta ...”

“Setelah banyak kesusahan, setelah banyak luka, setelah banyak perpisahan. Akhirnya saya sampai di titik ini. Titik dimana saya berhasil menjadikan kamu satu-satunya dan akan tetap menajdi satu-satunya,” ucap Haikal.

“Disini, hari ini, saya berdiri di hadapan kamu. Hari ini di hadapan kamu dan semua orang juga di hadapan orang tua kamu. Saya berjanji, Ta. Saya berjanji untuk selalu ada di samping kamu baik itu dalam keadaan suka maupun duka. Saya berjanji untuk selalu menjadikan kamu tempat pulang saya. Saya berjanji untuk tidak menyakiti kamu dan juga saya berjanji untuk selalu membahagiakan serta mencintai kamu sampai nanti kita tua. Saya berjanji.”

Haikal lagi-lagi menghela napasnya.

Terdengar isak tangis disana, bahkan Yara, ia menangis tersedu-sedu. Sebab ia tahu bagaimana perjuangan Haikal melupakan Ralita, sebab ia tahu seberapa besar rasa yang Haikal miliki untuk Ralita.

Haikal membalikan badannya untuk menghadap ke arah pada tamu dan juga kedua orang tuanya.

“Untuk ayah dan bunda. Terima kasih, ya? Terima kasih karena sudah melahirkan putri cantik seperti Ralita. Terima kasih karena sudah menjaga dan memberikan banyak sekali kasih sayang untuk Ralita. Mulai sekarang, izinkan saya untuk membawa putri kalian masuk ke dalam hidup saya. Izinkan saya untuk menjaga dan menyayabgi putri kalian seperti apa yang sudah kalian lakukan sejak putri cantik ini kecil,” ucap Haikal membuat Adinegara menatapnya dengan tatapan penuh kepercayaan.

Adinegara dan istirnya mengangguk dari duduknya.

Mereka, percaya Haikal.

Haikal tersenyum, ia kemudian kembali menatap Ralita.

“Dan sekali lagi, untuk Ralita Angkara. Perempuan cantik yang selalu berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Terima kasih, ya? Terima kasih karena sudah pulang dan kembali ke dalam pelukan saya. Sekarang izinkan saya untuk menjaga kamu dan mencintai kamu sampai nanti kita menua. Izinkan saya untuk menjadi laki-laki yang mencintai kamu dengan begitu hebat,” ucap Haikal pada Ralita yang tengah tersenyum.

Perempuan itu mengangguk. Membuat Haikal tersenyum.

“Bahkan jika nanti saya harus berdiri di ujung dunia. Bahkan jika nanti saya harus meninggalkan dunia ini lebih dulu, saya akan tetap mencintai kamu dengan begitu hebatnya.”

Ralita terisak di hadapan Haikal.

I’m here, and i’ll love you every single day, more and more. Thank you, thank you for being my home” ucap Haikal sebelum akhirnya ia menarik tubuh itu mendekat dan kemudian dengan sangat hati-hati ia mengecup kening serta bibir perempuan itu dengan lembut dan penuh ketulusan. Lalu setelah itu Haikal memelukanya dengan sangat erat seperti ia yangbtidak ingin lagi kehilangan Ralita.

Dalam pelukan itu Haikal berbisik pelan.

“Jangan ada perpisahan lagi, ya?”

i love you, until we grow old.

Kini, di hadapan semua orang. Haikal berhasil, Haikal berhasil menjadikan Ralita satu-satunya, dengan lantang dan tanpa keraguan.

Takdir semesta kali ini sangat indah. Terlampau indah sampai Haikal dan Ralita lupa, jika mereka berdua pernah saling menoreh luka.

Hampir sebelas tahun lamanya mereka terpisah. Dan selama itu pula banyak sekali hal serta pelajaran yang mereka dapatkan.

Demi apapun, Haikal berjanji. Ia berjanji akan tetap mencintai Ralita sampai kapan pun.

Dan kini, ada dua perempuan cantik yang akan mewarnai hari-harinya dengan sangat indah.

Terima kasih, ya? Karena tidak pernah menyerah perihal kebahagiaan.

Biar, Biar waktu yang menentukan perjalanannya. Ini baru awal, dan masih akan ada banyak sekali kejutan yang akan diberikan semesta kepada manusianya.

Cukup saling mengenggam dengan erat, agar nanti jika ada badai yang terlampau besar, kedua insan ini akan tetap saling bersama.

Untuk dua orang manusia yang sudah sekian lama menimbun banyak luka.

Selamat menempuh hidup baru, dan selamat berbahagia.

Hanya ada hening di antara keduanya.

Ralita yang sejak tadi hanya menunduk, juga ayah yang sejak tadi hanya menatap putrinya.

Adinegara menghela napasnya, ia kemudian bersuara membuat Ralita menatapnya.

“Cantik ....” ucapnya sambil tersenyum.

Ralita menatap sang ayah.

“Besok, ya?” Ucap ayah yang dibalas anggukan oleh Ralita.

“Seneng?”

Ralita kembali mengangguk sambil menyinggung senyum kecilnya.

Adinegara tersenyum, melihat jika putrinya ini terlihat bahagia.

“Ayah, boleh meluk kamu?” Tanyanya pada Ralita. Kemudian tanpa berlama-lama Ralita mendekat dan memeluk tubuh sang ayah dengan hangat.

Demi apapun, sudah lama sekali mereka tidak seperti ini.

Ada perasaan luar biasa sedih sekaligus haru secara bersamaan.

Jemari Adinegara mengusap lembut pucuk kepala putrinya itu.

“Ayah seneng kalau adek seneng,” ucapanya.

Adinegara meneteskan air matanya, apalagi saat tiba-tiba saja memori kejadian lampau terlintas.

Tentang bagaimana ia yang selalu yakin dengan pilihannya, tentang ia yang egois perihal hidup putrinya, dan tentang ia yang tidak bisa berbuat apa-apa disaat ia tahu jika ternyata putrinya itu tidak bahagia dengan pilihannya.

Banyak sekali penyesalan sebab ia sangat egois.

“Maafin ayah ya. Maaf ayah selalu maksa kamu buat nurutin keinginan ayah, pilihan ayah yang menurut ayah baik tapi ternyata enggak,”ucap Adinegara sambil mengelus rambut Ralita.

Ralita tak menjawab, ia hanya memeluk Adinegara berusaha merasakan hangat peluk seorang ayah yang memang sudah lama tidak ia rasakan, sebab selama ini Ralita selalu menghindar.

“Maaf ya sayangnya ayah, maaf karena ayah sendiri kamu sempet hancur. Maaf, ayah menyesal,” ucap Adinegara memeluk Ralita erat.

Ralita terisak pelan.

Sungguh, meskipun ayah selalu saja egois perihal hidup Ralita. Tapi tidak pernah sedikitpun ia membenci ayah, sampai kapan puj ia tidak akan bisa membencinya.

“Gapapa ayah, Ita sayang ayah ....” lirih Ralita.

Ayah mengecup pucuk kepala putrinya dengan penuh sayang.

“Ayah percayakan kamu sama Haikal,” ucapnya lagi.

“Janji sama ayah, janji buat selalu bahagia, ya? Karena ayah gak tau sampai kapan ayah hidup. Sekarang ayah cuma berharap ini pilihan terbaik dari semua pilihan yang pernah ayah pilihkan buat kamu.”

“Maaf ya sayang, ayah banyak nyakitin kamu cuma karena keegoisan ayah.”

Ralita terisak, begitu juga Adinegara.

“Besok, ya?” Kini Adinegara menangkup wajah kecil putrinya itu.

Sangat cantik, seperti bundanya.

Adinegara tersenyum.

“Besok bakalan jadi milik orang lain lagi,” ucap Adinegara sedangkan Ralita hanya tersenyum.

“Ayah ....” lirih Ralita.

“Hmm? Apa sayang?” Ucap ayah sambil mengusap Ralita dengan penuh kasih sayang.

“Makasih ya, makasih udah jadi ayah terbaik,” ucap Ralita kembali memeluk ayahnya.

Adinegara merasa sesak, sebab ia merasa jika selama ini ia bukan lah ayah yang baik. Tapi barusan, Ralita dengan jelas menyebut jika ia adalah ayah terbaik.

“Ralita sayang ayah. Tolong hidup sehat ya ayah, sampai nanti Ralita tua, Ralita mau terus liat ayah. Jangan ninggalin Ralita lebih dulu,” ucap Ralita dalam pelukan itu.

Adinegara terisak, ia kemudian mengeratkan pelukannya.

Sebentar lagi, putrinya akan menjadi milik orang lain.

Dan orang lain itu adalah seseorang yang dulu sempat ia remehkan kehadirannya. Tapi kini, orang itu adalah satu-satunya orang yang selalu berhasil mengukir senyum manis milik putrinya.

“Ayah juga sayang kamu. Maaf ya maafin ayah ....”

Dengan langkah kakinya yang terburu-buru, Haikal segera melangkah untuk masuk ke dalam rumah perempuannya. Beberapa kali ia menekan bel berharap seseorang segera membukanya. Dan benar saja, tak lama setelah itu pintu terbuka menampilkan Kak Dodo yang masih setia memakai setelan jas dokternya.

“Bang, Ita ada?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan.

“Ada, masuk aja. Ayah sama Bunda lagi keluar, jangan macem-macem lo,” ucap Kak Dodo pada Haikal.

“Tenang bang.”

“Yaudah masuk aja, Ita di kamar,” ucap Kak Dodo yang langsung membuat Haikal melangkah ke kamar Ralita.

Dengan langkahnya yang pelan, perlahan ia membuka pintu kamar itu, memperlihatkan Ralita yang tengah duduk di kasurnya.

“Hei ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh dan terkejut sebab Haikal sudah ada disini.

Entah kenapa, tapi Ralita tiba-tiba saja menangis dan berlari kecil menghampiri Haikal, kemudian ia memeluknya.

“Eh, kok nangis?” Ucap Haikal berusaha menatap Ralita yang tengah menenggelamkan wajahnya di pundak Haikal.

“Maaf, ya ...” lirih Ralita.

Haikal terkekeh. “Kok minta maaf?”

“Maaf tadi aku gak bales chat kamu lama, jangan marah ...” ucap Haikal dengan nada suaranya yang terdengar menggemaskan bagi Haikal.

Lelaki itu lagi-lagi terkekeh. “Gapapa sayang, aku gak marah serius, aku cuma khawatir,” ucap Haikal yang kini memeluk erat tubuh yang lebih kecil darinya itu.

“Tadi aku banyak pikiran ....” ucap Ralita dalam pelukan itu.

“Pikiran apa? Pasti pikirannya jelek,” tanya Haikal membuat Ralita mengangguk kecil.

“Takut ....” ucap Ralita lagi.

Haikal meraih wajah mungil perempuan itu. Ditatapanya netra kecoklatan milik Ralita dengan sangat teduh.

“Cantik .... coba liat mata aku,” ucap Haikal.

Ralita kembali memeluk tubuh Haikal.

“Maaf ya, aku tadi takut banget. Takut nanti aku gagal lagi, takut nanti aku gak bi—“

Belum sempat Ralita menyelesaikan kalimatnya, Haikal sudah lebih dulu memotong ucapan Ralita dengan mengecup kening perempuan itu berkali-kali.

“Udah, jangan diterusin. Aku udah tau kamu mau ngomong apa,” ucapnya lagi yang kembai mengecup pucuk kepala perempuan itu.

Haikal mengeratkan pelukannya.

“Cantik ....”

“Gapapa kalo ngerasa takut, tapi jangan di tahan sendirian rasa takutnya, ok? Bagiin sama aku, ceritain sama aku. Biar nanti kita cari jalan keluarnya sama-sama,” ucap Haikal.

“Mau di undur aja tanggalnya? Biar kamu lebih siap? Aku beneran gak bakal maksa kok. Kalo emang kamu gak siap, aku bakalan nunggu kamu sampai siap,” ucap Haikal lagi.

Ralita menggeleng, kemudian ia menatap Haikal.

“Enggak jangan, aku gapapa kok. Tadi mungkin pengaruh hari pertama juga. Jangan gitu, aku gapapa,” ucap Ralita membuat Haikal tersenyum.

Haikal benar-benar menyayangi perempuan ini, sampai ia tidak tega melihatnya ketakutan seperti ini.

Haikal kembali memeluk tubuh itu dengan sangat erat, berusaha menyalurkan ketenangan untuk Ralita meredakan kekhawatirannya.

“Sama-sama, ya? Atasin rasa takutnya sama-sama.”

“Ini bukan cuma tentang kamu, Ta. Tapi kita.”

“Aku sayang banget sama kamu, aku gak bakal biarin lagi kamu ketakutan sendirian, Ta. Jadi apapun nanti ketakutan kamu, keresahan kamu, kekhawatiran kamu. Tolong bagi sama aku, ya?” Ucap Haikal sambil mengusap pelan daksa perempuan itu dengan lembut dan tulus.

Ralita semakin menenggelamkan wajahnya pada leher lelaki itu. Menyesap aroma tubuh Haikal yang selalu jadi favorite baginya.

Pelukan Haikal ini benar-benar hangat dan candu.

Ralita beruntung, sangat beruntung. Sebab kini, Haikal akan selalu jadi penopangnya, kapan pun itu Haikal akan menjadi orang paling depan yang nantinya akan menghalau segala rasa sakit.

“Maaf, maaf udah bikin khawatir,” ucap Ralita pelan.

Haikal tersenyum, ia memejamkan matanya merasakan hangat tubuh itu.

i love you, always. Please don’ be afraid, Ta. I’m here. Aku gak akan kemana-mana lagi,” ucap Haikal berusaha meyakinkan perempuannya jika sampai kapan pun ia tidak akan pernah pergi.

Haikal benar-benar mencintai Ralita, sangat.

Bahkan jika nanti Haikal harus berdiri di ujung dunia sekali pun, ia akan tetap mencintai Ralita sebesar dan sedalam itu. Sampai kapan pun, sampai ia menghembuskan napas terakhirnya nanti, ia akan tetap menjadi laki-laki yang mencintai perempuannya dengan begitu besar.

“Cantiknya Haikal, si cantik selalu cantik. Jangan takut lagi, ya sayang ya ...” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala Ralita berkali-kali.

Namanya Ralita, perempuan yang tak sengaja Haikal temui di lorong perpustakaan saat ia tak sengaja menjatuhkan buku-buku di genggaman Ralita saat ia tengah berjalan sambil menundukan kepalanya.

Dulu sekali, setiap kali tidak ada pelajaran Haikal selalu lari ke warung belakang untuk sekedar menongkrong, atau jika tidak, ia akan memilih pergi ke perpustakaan untuk tidur, sebab disana jarang sekali ada orang masuk.

Waktu itu pelajaran di kelas Haikal sedang kosong, hanya ada tugas yang dititipkan kepada ketua kelas. Namun namanya Haikal, ia malah memilih pergi ke perpustakaan untuk tidur dari pada mengerjakan tugas.

Jika saja hari itu Haikal memilih pergi ke warung belakang sekolah, mungkin ia tidak akan pernah bertemu Ralita. Ia mungkin juga tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Haikal yang saat itu baru saja bangun dari tidurnya, buru-buru ia dari perpustakaan karena ia mendengar suara bel jam pelajaran selanjutnya.

Dengan gayanya yang khas, baju seragam yang dikeluarkan, celana agak ketat, rambut yang sedikit panjang, serta tupluk hoodie yang selalu menutup kepalanya. Haikal berjalan melewati lorong. Hingga tiba-tiba saja ia tidak sengaja menabrak Ralita yang tengah kesusahan dengan buku-buku yang ia bawa untuk dikembalikan ke perpustakaan.

Haikal berdecak, kemudian ia melirik Ralita yang tengah berjongkok sambil merapikan beberapa buku yang jatuh.

Haikal hanya menatap tanpa ingin membantu.

Ralita kemudian beranjak. Haikal pikir perempuan itu akan melayangkqn amulan pada Haikal, tapi ternyata tidak.

Perempuan itu tersenyum pada Haikal.

“Maaf, ya ...”

“Duluan ...” ucapnya yang langsung meninggalkan Haikal disana dengan penuh pertanyaan.

Haikal memutar kepalanya mengikuti pergerakan perempuan itu.

Haikal terdiam, sebab ia sama sekali tidak mendapat amukan seperti apa yang bisanya ia dapatkan dari teman-teman perempuannya.

Haikal benar-benar menatap daksa Ralita sampai benar-benar hilang dari pandangannya.

Katakan saja Haikal gila, sebab senyum yang diberikan Ralita waktu itu, benar-benar membuat Haikal terus mengingatkan.

Baru pertama kali Haikal emrasa seperti ada kupu-kupu yang memenuhi perutnya.

“Sinting anjing,” gumam Haikal sambil menepuk pipinya berusaha menyadarian pikirannya.

Hari demi hari berlalu, namun senyum Ralita saat itu benar-benar membuat Haikal terus memikirkannya. Hingga akhirnya Haikal memutuskan untuk mencari tahu siapa perempuan itu.

Tak butuh waktu lama untuk mengetahuinya, sebab waktu itu ia tidak sengaja melihat Ralita ada di dalam kelas yang sama bersama Zidan saat ia berniat memberikan kunci motor pada Zidan. Maka dari sana Haikal mulai sering pergi ke kelas Zidan untuk sekedar melihat Ralita.

Waktu itu, Haikal tidak pernah absen untuk sekedar mampir dengan dalih bertemu Zidan. Padahal aslinya, ia hanya ingin melihat perempuan yang saat itu selalu memenuhi pikirannya hanya dengan senyum kecilnya.

Tidak hanya itu, Haikal bahkan sering mengikuti Ralita ke kantin dan ikut duduk di meja yang sama dengan alasan Zidan lagi, atau palinh tidak Haikal beralasan jika meja lain sudah penuh. Padahal nyatanya masih banyak yang kosong.

Jujur saja, Ralita bahkan merasa aneh melihat Haikal waktu itu. Sebab lelaki ini selalu saja ada di sekitarnya.

Demi apapun, waktu itu Ralita bahkan tidak ingat jika Haikal lah yang menabraknya di lorong perpustakaan.

Berhari-hari, berminggu-minggu, Haikal selalu saja mencari kesempatan untuk melihat Ralita, dari jauh atau pun dari dekat.

Ada perasaan yang benar-benar membuat diri Haikal terdorong untuk selalu ingin melihat Ralita barang sekali.

Tak hanya memperhatikan dari jauh atau dekat. Waktu itu, terkadang Haikal juga menjahili Ralita dengan sering memanggil namanya jika Ralita lewat, namun setelah Ralita menoleh Haikal malah pura-pura memalingkan wajahnya.

Aneh, Haikal benar-benar merupakan lelaki yang aneh menurut Ralita waktu itu.

Tapi meskipun Ralita menganggap Haikal aneh, ada sesuatu hal yang membuat Ralita merasa senang jika ia melihat Haikal di sekitarnya.

Pernah satu hari, Ralita tidak melihat Haikal di sekitarnya selama dua hari. Ada perasaan kosong dan kurang saat itu.

Ralita khawatir, sebab ia tidak melihat Haikal menganggunya.

Entah keberanian dari mana, namun waktu itu Ralita memberanikan diri untuk bertanya pada Zidan mengenai Haikal yang tidak terlihat ada di sekolah.

“Si Haikal abis tawuran, bonyok dia makanya gak sekolah. Emang orang gila,” ucap Zidan waktu itu yang langsung membuat Ralita terdiam.

Bukannya takut dan ilfeel mendengar itu. Ralita justru semakin khawatir pada Haikal.

Maka sejak saat itu, Ralita pun sedikit demi sedikit mengetahui tentang Haikal dan siapa itu Haikal.

Sejak Ralita tahu jika ternyata Haikal itu rapuh, ia mulai khawatir dan

Memang mungkin seperti ini lah cara semesta mempertemukan mereka pada saat itu.

Hampir tiga bulan lamanya Haikal dan Ralita dekat hanya sebatas Haikal yang sering menjahili dan memperhatikan Ralita, baik itu Haikal yang main ke kelas Ralita dengan alasan Zidan, Haikal yang sengaja nongkrong di sekitaran kelas Ralita, atau Haikal yang mengikuti Ralita ke kantin.

Hingga akhirnya Haikal memberanikan diri untuk menghampiri Ralita ke kelas saat ia mengetahui jika Ralita juga diam-diam sering menanyakan Haikal pada Zidan.

“Ta sini deh!” Teriak Zidan memanggil Ralita membuat Ralita menghampirinya.

“Anjing jangan gitu,” ucap Haikal pada Zidan di ambang pintu. Sedangkan Zidan hanya terkekeh.

“Eh ada Haikal,” ucap Ralita tersenyum membuat Haikal salah tingkah.

“Mau bilang apa lo barusan?” Tanya Zidan pada Haikal membuat Haikal menatap Zidan tajam. Sedangkan Ralita menatap bingung.

“Jadi gini, Ta ....” ucap Zidan menatap Haikal sejenak.

“Diem anjing jangan,” ucap Haikal berusaha membekap Zidan.

“KATA HAIKAL LO MAU JADI PACARNYA GAK?!” Ucap Zidan sebelum akhirnya Haikal membekap mulut Zidan, namun sayangnya ia sudah lebih dulu mengatakan itu pada Ralita. Lantas hal itu membuat wajah Haikal memerah.

Ralita terdiam, kemudian ia terkekeh.

“Kok bilangnya sama Zidan sih?” Ucap Ralita membuat Haikal membulatkan matanya.

“Haikal gak bisa ngomong sendiri?” Ucap Ralita.

Haikal langsung salah tingkah, kemudian ia melangkah pergi namun di tahan oleh Zidan.

“Bilang langsung dong anjing. Berantem bisa bilang kayak gini gak bisa,”

Ralita hanya terkekeh.

Haikal kemudian menghela napas dan menatap Ralita.

Ralita pun menatap Haikal sambil tersenyum.

Haikal menarik napasnya dalam. “Ta ....”

“Lo ... mau jadi pacar gue gak?” Ucap Haikal yang sedetik kemudian langsung pergi dari sana, membuat Ralita dan Zidan terbahak.

Demi apapun, hari itu merupakan hari paling menyenangkan sekaligus paling bodoh yang pernah Haikal lakukan.

Tapi tak bisa dipungkiri, jika Haikal benar-benar menyukai Ralita, sangat.

Lelaki itu menghela napasnya saat ia merasakan jika tubuh Bintang panas. Lalu kemudian ia meraih sebungkus pereda panas untuk ia tempelkan pada kening Bintang.

“Lain kali, kalo gue bilangin tuh nurut Bintang, bisa gak?” Ucap Lintang sambil mengusap kening Bintang.

Perempuan itu hanya terdiam sambil memajukan bibirnya.

“Gue kayak kemarin tuh khawatir, gue gak mau lo kenapa-napa. Liat sekarang, lo sakit, kan? Udah tau lo tuh gampang sakit kalo keluar sampe malem,” ucap Bintang yang kini tengah membuka sebungkus kotak nasi berisi bubur yang sebelumnya ia beli.

“Bangun dulu, gue suapin,” ucap Lintang yang di kemudian dituruti oleh Bintang.

Lintang menatap perempuan itu penuh khawatir, sangat terlihat jelas pada sorot matanya jika ia tidak ingin melihat perempuan ini sakit.

“Abisin, ya?” Ucap Lintang dengan nada suara lembut.

“Ini kalo makannya gak diabisin lo tambah sakit,” ucapnya lagi.

Bintang hanya bisa mengangguk sambil berusaha menahan tangis.

Lintang kembali menatap perempuan di hadapannya ini. Kemudian jemarinya perlahan mengusap wajah dan pucuk kepala perempuan itu dengan lembut. Membuat Bintang merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba saja terasa.

“Jangan sakit, gue gak suka ....” lirih Lintang.

Bintang kemudian menatap lelaki itu.

“Lin ....”

“Hmm?”

“Jangan kayak gini,” ucap Bintang menunduk, sedangkan Lintang mengerutkan keningnya.

“Gini gimana?”

“Jangan natap gue tulus, jangan khawatir berlebihan kayak gini, jangan bikin gue takut Lin.”

Lintang terdiam.

“Gue takut rasa sayang gue ke lo makin berlebihan,” ucap Bintang yang kini melepaskan lengan Bintang agar menjauh.

Lintang menatap Bintang, kemudian ia menyimpan bubur di genggamannya dan duduk menjauh.

“Jangan,”

“Jangan sayang ke gue berlebihan, jangan Bin.”

Haikal langsung merebut ponsel Ralita sesaat setelah ia melihat rait wajah Ralita berubah setelah membuka ponselnya.

“Haikal ja—“

Mata Haikal fokus membaca pesan yang masuk ke dalam ponsel itu. Kemudian ia menatap Ralita sekilas.

“Haikal sini dulu,” ucap Ralita sambil berusaha merebut ponselnya dari genggaman Haikal.

Haikal menyembunyikan ponsel Ralita ke belakang badannya, kemudian ia menatap Ralita dalam.

“Haik—“

Tanpa aba-aba Haikal langsung menarik Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Kenapa kamu gak pernah bilang kalau disana kamu kesakitan, Ta? Kenapa kamu selalu bilang kalau alasan kamu pisah sama Arkanata itu cuma masalah kecil? Kenapa kamu bilangnya cuma karena udah gak cocok?”

Ralita terdiam dalam pelukan itu.

“Haikal ....” ucap Ralita berusaha melepas pelukannya, namaun Haikal memeluk erat tubuh Ralita.

“Ta, kamu kesakitan, Ta. Kenapa kamu selalu bilang gapapa, sih?”

Ralita hanya terdiam, kemudian tanpa sadar ia juga mengeratkan pelukannya pada tubuh Haikal.

“Ta, apa aja yang sakit, hmm?” Ucap Haikal yang kini berusaha melihat wajah Ralita dan mengusapnya.

“Arkanata ngelakuin apa aja sama kamu, Ta? Dia nyakitin gimana aja, Ta? Bilang sama aku,” ucap Haikal yang masih mengusap wajah Ralita sambil menatapnya penuh kekhawatiran.

Ralita hanya menggeleng, dan kembali menenggelamkan wajahnya ke pundak Haikal.

“Kamu bilang kamu keguguran, tapi kenapa kamu gak pernah bilang kalo selama ini Arkanata malah nyalahin dan biarin kamu sendirian?”

“Demi apapun, Ta. Hati aku sakit banget baca chat Arkanata barusan,” ucap Haikal memeluk Ralita.

“Sayang, sakit, ya? Bilang, bilang sama aku,” ucap Haikal lagi.

“Haikal ...”

“Aku gak sengaja, aku gak tau kalo waktu itu bakal ada kecelakaan yang bikin aku kehilangan Bian, aku gak tau Haikal. Itu bukan salah aku ....” lirih Ralita memeluk erat tubuh Haikal.

Tubuhnya bergetar, Ralita kembali mengingat bagaimana ia yang disalahkan atas kehilangan itu.

Haikal benar-benar bisa merasakan rasa sakit dan ketakutan dari perempuannya ini.

“Enggak, enggak. Bukan salah kamu, bukan salah kamu. Jangan nyalahin diri semdiri, maaf, maaf ...” lirih Haikal.

“Haikal takut .... aku udah gagal jadi ibu,” ucap Ralita lagi semakin membuat Haikal mengeratkan pelukannya.

“Gak, gak ada yang gagal. Tuhan ngambil Bian bukan berarti kesalahan kamu. Ini juga bagian dari rencana-Nya. Jangan bilang gitu ya sayang ya,” ucap Haikal.

“Sekarang coba tarik napas kamu, biar semua rasa takutnya hilang. Peluk aku, aku disini, Ta. Aku gak bakalan pernah nyalahin kamu atas hal papaun, semuanya udah terjadi.”

Ralita mengeratkan oelukannya, ia takut, ia sakit.

Dengan perlahan, jemari Haikal bergerak mengusap kepala perempuan itu.

“Maaf ya Ta, karena waktu kamu kesakitan disana, aku gak ada. Aku gak ada disana.”

“Maaf karena waktu itu aku gak bisa redain luka kamu.”

“Maaf karena kamu harus lewatin rasa sakit itu semdirian. Maaf ya cantik ya karena aku gak ada disana, maaf aku gak tau kalau ternyata kamu sendirian disana ....” Lirih Haikal yang juga merasa sesak.

Perempuannya. Perempuanya yang selalu ia jaga mati-matian ternyata sempat terluka sendirian.

“Disini, Ta, aku disini sekarang. Keluarin semuanya ya cantik ya, jangan lagi kamu pendem sendirian.”

“Hati aku sakit ta dengernya. Maaf, maaf, maaf karena aku baru tau sekarang. Maaf ya maaf,” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala Ralita beberapa kali berusaha meredakan luka yang tengah Ralita rasakan.

Haikal terus saja meminta maaf sebab ia tidak ada di samping Ralita saat ia sedang terluka.

Haikal, menyayangi Ralita, sangat.

“Jangan sakit sendirian lagi ya cantik ya ....”

Malam ini jalanan kota Jakarta cukup macet, membuat mobil Haikal berdiam tak bergerak di antara banyaknya kendaraan lain disana.

Rintik hujan pun membasahi jalanan kota malam itu.

Haikal menghela napasnya, “nyesel banget malah kesini,” ucap Haikal membuat Ralita mengusap punggung tangan lelaki itu.

“Gapapa Haikal,” ucapnya.

“Yayah, hujan,” ucap Caca sambil memperhatikan rintik hujan yang membasahi kaca jendela mobil mereka.

Ralita terkekeh, ia kemudian membenarkan helaian rambut caca yang sedikit berantakan. “Hujannya gede, ya? Caca gak takut?” Tanya Ralita pada Caca yang memang duduk di pangkuannya.

No, no. Caca gak takut hujan.”

Haikal terkekeh, kemudian ia mengacak pelan pucuk kepala anak itu.

“Ih jangan digituin, rambutnya berantakan lagi,” ucap Ralita sambil memukul pelan lengan Haikal. Sedangkan yang dipukul hanya meringis pelan.

Ralita kembali merapikan rambut Caca. Sedangkan Haikal, ia memilih menyalakan musik.

Haikal menghela napasnya, ia kemudin bersandar sambil memperhatikan rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Ditambah jalanan yang tidak ada pergerakan sama sekali membuat Haikal kembali menghela napasnya berat.

Haikal menoleh pada Ralita yang tengah terkekeh sambil mengobrol dengan putri kesayangannya. Haikal tersenyum, lalu jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala Ralita.

Haikal menatap dua perempuan di sampingnya secara bergantian.

Rasanya hangat sekali.

Haikal bahkan tidak pernah berpikir bahwa dia akan merasakan pemandangan hangat seperti ini dalam hidupnya.

Dulu sekali, Haikal berangan-angan jika ia bisa hidup bahagia bersama Bina, perempuan yang melahirkan Caca. Ia sempat berpikir bahwa setelah Caca lahir hidupnya bersama Bina akan lebih bahagia. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Justru takdir berkata lain.

Haikal masih setia mengusap dua perempuan kesayangannya secara bergantian.

Sepertinya saat ini, Haikal adalah salah satu manusia paling bahagia di seluruh jagat semesta.

“Cantik banget kalian,” ucap Haikal tersenyum membuat Ralita menoleh.

Ralita tersenyum, ia kemudian menatap Haikal. Terlihat jelas guratan bahagia dari wajah lelaki itu.

Jemari Ralita bergerak mengusap wajah Haikal lembut, membuat Haikal memejamkan matanya merasakan hangat yang disalurkan oleh perempuan ini.

“Hebat banget kamu,” ucap Ralita.

“Makasih ya Haikal,” ucapnya lagi.

“Makasih karena gak pernah nyerah buat dapetin bahagianya kamu.”

Haikal membuka matanya, kemudiannia tersenyum.

“Makasih juga ya, Ta? Karena udah pulang dan lengkapik kebahagiaan aku yang sempet hilang,” ucap Haikal.

Jemari lelaki itu kembali mengusap pelan wajah Ralita.

“Mulai sekarant jangan saling lepasin lagi, ya? Kita bangun bahagia kita yang lain. Sama Caca juga,” ucap Haikal.

Ralita tersenyum, kemudian ia mengangguk. “Iya Haikal iya,” ucapnya.

Mereka saling menatap, terlihat disana banyak sekali ketulusan yang selalu terselip di antara tatapan mereka berdua.

Sekali lagi.

Manusia tidak pernah paham bagaimana cara semesta bekerja.

Terkadang ia jahat, sangat jahat. Tapi terkadang ia juga baik, sangat baik.

Disisi lain semesta terlalu jahat perihal perpisahan Tapi disisi lain juga semesta kadang sangat apik dan indah perihal pertemuan.

Haikal menatap Ralita, kemudian dengan perlahan ia mendekatkam wajahnya, membuat kening mereka saling beradu.

I love you, Ta,” ucap Haikal kemudian ia mengecup pelan bibir Ralita dengan lembut. Berusaha menyalurkan seluruh rasa yang ada.

Ralita tidak menolak, ia bahkan memejamkan matanya berusaha merasakan rasa yang sedang Haikal bagikan. Dan tanpa sadar Ralita meneteskan air matanya. Sebab ia bahagia sangat bahagia.

“Yayah, Caca mau kiss Caca mau kiss!” ucap Caca yang langsung menbuat Haikal dan Ralita menoleh, kemudian mereka berdua tertawa bersama.

“Sini, sini. Caca ayah kiss,” ucap Haikal yang kini mengecup pelan wajah putrinya, sedangkan Ralita ia hanya terkekeh.

Haikal menghela napasnya sesaat setelah ia sampai di depan rumah perempuannya.

Demi apapun, irama jantung Haikal saat ini benar-benar tidak karuan. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan sosok yang sempat membuatnya patah.

Jujur saja, sebenarnya masih ada rasa sakit jika Haikal mengingat perlakuan yang sempat dilakukan pria paruh baya itu padahya beberapabtahu silam.

Namun apa boleh buat? Bahkan sampai sekarang, dunia Haikal justru putrinya.

Dengan perasaan ragu, Haikal turun dari mobilnya, dan melangkah pelan menuju rumah itu.

Haikal berdiri di depan pintu, dengan setelan jas hitamnya ia kemudian memencet bel.

Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya pintu itu terbuka, menampilkan lelaki tinggi berkacamata.

Lelaki itu sedikit terkejut saat melihat Haikal. “Masuk Kal,” ucapnya.

“Apa kabar bang?” Tanya Haikal yang hanya dibalas senyum oleh lelaki itu.

“Masuk aja, udah ditungguin,” ucapnya lagi yang langsung membuat Haikal melangkahkan kakinya masuk.

Irama jantung Haikal semakin cepat. Namun sebisa mungkin ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Terlihat di hadapannya ada lelaki serta wanita paruh baya sedang duduk. Disampingnya ada Ralita.

“Selamat siang om, tante,” ucap Haikal sambil menunduk pelan.

Dihadapannya ada Ralita yang menatap Haikal khawatir. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum, memberikan isyarat bahwa ia baik-baik saja.

“Duduk,” ucap Adinegara, lelaki paruh baya itu.

Haikal kemudian duduk.

Hening beberapa saat, mereka saling menatap.

Terdengar helaan napas dari lelaki paruh baya di hadapan Haikal.

“Jadi, sejak kapan kamu dekat lagi dengan putri saya?” Tanyanya pada Haikal.

“Kenapa kamu mendekati putri saya lagi, Haikal?” Tanya Adinegara lagi.

Haikal menatap netra lelaki paruh baya itu, kemudian tersenyum.

“Itu terjadi begitu saja om,” jawabnya dengan tenang.

Adinegara mengangguk, kemudian ia menyinggungkan senyumnya sejenak.

“Sudah berapa tahun Haikal kita tidak bertemu?”

“Empat tahun, ya?” Lanjutnya membuat Haikal mengangguk.

“Apa alasan kamu mendekati putri saya lagi? Kamu tidak bosan? Setelah bertahun-tahun masih saja mengejar putri saya.”

Ralita menatap sang ayah kemudian bergantian menatap Haikal yang tengah menatap mata ayahnya dengan tenang.

“Kamu tidak takut saya tolak lagi, Haikal?”

“Kenapa? Kenapa harus putri saya yang kamu kejar?” Tanya Adinegara lagi.

Haikal menarik napasnya dalam kemudian tersenyum.

“Karena itu Ralita, om. Saya tidak punya alasan lain lagi.”

Adinegara terkekeh, “kamu ini obsesi atau memang kamu benar-benar mencintai putri saya? Sampai kamu berani datang lagi setelah sekian lama,”

“Ayah ...”

Haikal tersenyum lagi.

“Saya mencintai putri om, sangat. Dan berkat Ralita, saya ada di titik sekarang om.”

“Oh ya, saya belum sempat menjelaskan hal ini pada om dan tante. Selama ini, berkat Ralita lah yang membuat saya berhasil seperti sekarang. Karena apa? Karena saya ingin merasa pantas ada di samping putri kalian,” ucap Haikal.

“Saya tidak akan mempermasalahkan kejadian dulu. Anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya juga. Dan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada om dan tante. Disini saya hanya ingin mengatakan bahwa saya mencintai putri kalian satu-satunya, sejak dulu, sampai sekarang di hati saya cuma Ralita ada bersama saya,” ucap Haikal lag membuat Ralita menatapnya berusaha menahan tangis.

“Saya tahu, mungkin dulu saya ini nakal dan kurang ajar, sehingga om mempunyai kesan buruk terhadap saya. Tapi berkat itu semua, saya jadi belajar untuk lebih baik lagi. Bahkan berkat keinginan saya untuk bisa merasa pantas di samping putri kalian, saya mati-matian untuk bisa jadi Haikal yang sekarang,” ucap Haikal membuat Adinegara menghela napasnya.

“Haikal sa—“

“saya tidak bisa menjanjikan apapun disini. Tapi, saya hanya ingin mengatakan, selama putri kalian ada bersama saya, di samping saya. Selama kami sama-sama, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk selalu bisa membuat putri kalian tersenyum. Dan jika saya tidak bisa memenuhi ucapan saya ini, saya rela jika kalian ingin mengambil kembali putri kalian dari hidup saya.”

“Tapi tolong ....”

“Kasih saya kesempatan untuk membuktikan jika saya ini mampu.”

Jantung Haikal benar-benar tidak beraturan. Ia takut sangat taktut.

Terdengar suara helaan napas dari Adinegara. “Kamu sudah punya anak Haikal?” Tanya Adinegara yang langsung dibalas anggukan oleh Haikal.

“Saya mempunyai satu putri om,” ucapnya tersenyum.

Lagi, terdengar helaan napas dari Adinegara.

Haikal terdiam, dan menatap Ralita sejenak.

“Tolong pegang ucapan kamu,” ucap Adinegara membuat semuanya menoleh.

Adinegara beranjak dari duduknya dan kemudian melangkan pergi dari sana.

“Buktikan pada saya kalau kamu mampu untuk membuat putri lebih bahagia,” ucapnya sambil melangkahkan kakinya.

Haikal terdiam.

Sebelum benar-benar pergi dari hadapan Haikal Adinegara kembali menoleh.

“Haikal ...” ucapnya membuat Haikal berdiri dah langsung menghadap kepada Adinegara.

“Iya om?”

Adinegara menatap Haikal sejenak.

“Terima kasih,”

“Terima kasih sudah membuat putri saya tersenyum kembali. Saya percayakan Ralita untuk kamu, tolong jaga putri saya satu-satunya,” ucapnya kemudian ia melangkah pergi.