we’re just friend.

Aksara Gema Lintang namanya, laki-laki kelahiran Agustus. Laki-laki dengan senyum paling indah. Laki-laki yang selalu memberikkan tatapan teduhnya. Laki-laki yang selalu memastikan bahwa saya baik-baik saja. Dan laki-laki yang amat sangat saya cintai.

Lintang, dia ini selalu punya cara untuk membuat saya aman dan nyaman.

Pernah suatu hari saya sakit, padahal waktu itu, dia sedang ada kelas. Tapi dengan tiba-tiba dia mengetuk pintu kosan saya, sambil membawa sebuah keresek berisi bubur ayam untuk saya. Dia bilang, ”makanya kalo disuruh sarapan tuh gak usah dinanti-nanti. Sakit kan jadinya,” ucap Lintang pada saya waktu itu dengan raut wajahnya yang menekuk, terlihat kesal lantaran saja jatuh sakit.

Menggemaskan sekali. Saya suka jika sudah melihat Lintang khawatir seperti itu.

Waktu itu Lintang juga bilang, ”lo ngeyel banget dibilangin. Kalo lo sakit gimana gue bisa tenang!?”

Haha, Lintang memang seperti itu. Dia gak suka lihat saya sakit. Jangankan sakit seperti itu, saya keseleo pun, dia selalu mengkhawatirkan saya sebegitunya.

Berkali-kali saya mengucap syukur pada Tuhan, sebab Ia sudah mendatangkan Lintang ke dalam hidup saya.

Kehadiran Lintang di hidup saya ini, benar-benar membuat saya merasa aman, tenang, dan berharga. Saya merasa jika bersama Lintang, saya akan selalu bahagia.

Awalnya saya tidak pernah berpikir untuk mencintai lelaki ini sebegitu dalamnya. Sampai akhirnya suatu hari, saya merasa jika perasaan saya kepada Lintang ternyata sudah sangat besar.

Katakan saja saya tidak tahu diri. Sebab, dengan lancangny saya mengatakan pada Lintang bahwa saya mencintainya.

”Lintang, kayaknya gue jatuh cinta deh sama lo,” ucap saya waktu itu, saat kami sedang meneduh.

Lintang menatap saya aneh, lalu kemudian ia hanya terkekeh, ”jangan jatuh cinta sama gue, Bin.

Demi apapun, waktu itu saya benar-benar serius saat saya bilang kalau saya jatuh cinta pada Lintang.

Tapi waktu itu, saya pun belum berpikir bahwa saya akan mencintai Lintang sebegitu dalamnya.

Setelah Lintang mengatakan itu, mati-matian saya menahan perasaan saya agar tidak terus tumbuh.

Hari demi hari berlalu. Saya pikir, perasaan saya ini akan hilang begitu saja. Tapi ternyata saya salah.

Perasaan saya pada Lintang semakin besar. Bahkan saya pernah menangis waktu Lintang bilang sama saya, jika dia baru saja pulang bersama dengan teman perempuannya yang lain. Namanya Sabita.

Saya menangis waktu mendengar itu, karena saya tahu, Sabita ini perempuan yang sudah sebulan terakhir Lintang selalu ceritakan pada saya.

Menangis seperti orang bodoh di kamar kosan saya saat itu. Karena saya sangat takut, jika suatu hari Lintang akan pergi darinhidup saya, sebab ia menemukkan orang lain.

Saya tahu, saya sangat tidak tahu diri karena saya berharap begitu banyak pada Lintang. Terkadang, saya pun merasakan sakit sendirian karena harapan-harapan yang saya bangun sendiri.

Kami sudah lama bersama, Lintang ini sahabat yang paling saya sayang. Dan saya tidak ingin kehilangan Lintang.

”Lintang, kalo gue bilang gue sayang sama lo lebih dari sahabat gimana?

”Jangan jatuh cinta sama gue, Bintang. Gue udah bilang berkali-kali.

Lintang menatap saya dengan tatapan tidak sukanya saat itu.

”Kenapa?” saya menatap Lintang sedangkan saat itu, Lintang sama sekali tidak menatap saya.

”Kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama lo?”

”Gue sayang sama lo Lintang. Gue mau lo, dan gue gak mau kehilangan lo,” ucap saya waktu itu dengan suara yang sedikit bergetar.

”Kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama lo, sedangkan lo sendiri selalu natap gue tulus? Kenapa gak boleh, Lin? Padahal lo sendiri selalu ngasih peluk terbaik lo disaat gue gak baik-baik aja.”

Saya masih ingat jelas helaan napas berat dari Lintang kala itu. Lalu dengan pelan ia menoleh pada saya.

”Gak bisa, Bin.”

Lintang kembali memalingkan wajahnya dan ia menunduk.

”Gue sayang sama lo, tapi kalau buat sayang lebih dari sahabat, gue gak bisa, Bintang.”

”Jangan jatuh cinta sama gue.

”Because, we’re just friend. Gak lebih dari itu.”

Demi apapun, saya menangis saat itu. Lintang bahkan langsung pergi dari hadapan saya tanpa menoleh sedikitpun. Padahal biasanya, dia yang paling tidak suka melihat saya menangis. Tapi, kenapa malah dia yang membuat saya menangis sebegitu kerasnya?

Kenapa?

Kenapa saya tidak boleh mencintai kamu? Sedangkan orang lain dengan mudahnya kamu bawa masuk ke dalam dunia kamu.

Lintang, saya ini benar-benar mencintai kamu. Sedalam itu, sampai saya lupa diri.