Kue cubit alun-alun.
“Pak, pesen sepuluh ribu ya,” ucap Pradipa pada bapak penjual kue cubit.
Disampingnya ada Serena yang tengah berdiri sambil menunggu Pradipa membeli kue cubit.
“Sepuluh ribu engga kebanyakan, Pra?” Tanya Serena pada lelaki itu.
Pradipa menggeleng, “engga kok,” ucapnya tersenyum.
Perlu waktu beberapa menit untuk penjual itu menyelesaikan pesanan Pradipa, “mas, ini udah. Hatur nuhun ya,” ucap bapak penjual dengan senyumnya, lalu kemudian Pradipa balik tersenyum. “Makasih pak,” uca Pradipa.
“Ayo duduk disana,” ucap Pradipa lagi yang langsung diikuti oleh Serena.
Sore ini, Alun-alun kota terlihat cukup ramai. Untung saja masih ada tempat kosong untuk sekedar duduk.
“Rame juga ya,” ucap Pradipa yang kini tengah duduk di bawah pohon bersama Serena, sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
“Nih, coba kamu rasain. Enak, gak?” Ucap Pradipa sambil memberikan kue cubit itu pada Serena.
Serena terkekeh, “katanya kan kamu yang mau survey rasa? Kok jadi saya yang nyuruh nyobain?”
Pradipa menyerengeh, “biar tau dari dua sisi,” ucapnya yang kemudian dibalas gelengan pelan oleh Serena.
Serena lalu mengambil satu kue cubit dan memakannya, sedangkan Pradipa tersenyum saat melihat Serena menikmati kue cubit itu.
“Enak?” Tanya Pradipa. “Enak banget,” balas Serena.
Pradipa terkekeh kecil, “yaudah, kalo enak. Besok kita makan kue cubit lagi. Siapa tau rasanya beda,” ucap Pradipa sambil memasukkan sepotong kue cubit ke dalam mulutnya.
Serena lagi-lagi hanya menggeleng, sebab lelaki ini ternyata punya berbagai cara untuk mengajak.
“Pra ...” ucap Serena membuat Pradipa menoleh.
“Hmm?”
“Waktu itu kamu bilang, kalo bahagia orang lain bukan tanggung jawab saya, ya?”
“Iya, kenapa?”
Serena tersenyum, “gapapa sih, ak—“ belum sempat Serena menyelesaikan ucapannya, Pradipa lebih dulu memotong.
“Kamu gak punya tanggung jawab buat bikin bahagia orang lain, Anulika,” ucapnya.
“Tapi ....” ucapan Pradipa terjeda.
“Tapi apa?”
“Tapi kalau bahagianya kamu, biar saya aja yang tanggung jawab,” Pradipa tersenyum dengan mata sabitnya.
Mendengar itu, Serena terdiam, kemudian ia memalingkan wajahnya.
“Jangan bilang kayak gitu.”
Pradipa terkekeh, kemudian ia mengalihkan fokusnya pada langit.
“Haha, saya becanda Anulika, jangan dianggap serius,” ucap Pradipa.
Serena tertawa canggung, “haha, iya engga kok, saya tau kamu becanda,” ucap Serena.
Pradipa terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia kembali menatap Serena, “tapi, kalo suatu saat saya mau beneran tanggung jawab perihal bahagianya kamu, boleh?”