Maaf

Haikal melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Terlihat disana ada Jerico, Caca, Jinan, serta Adel.

Haikal berhenti sejenak, netranya kemudian bergerak ke arah tempat duduk dimana biasanya Ralita duduk disana untuk makan.

Semuanya ikut menoleh pada arah pandang Haikal.

Haikal menarik napasnya dalam, berusaha menahan sesak luar biasa yang terus saja menusuknya.

Haikal kemudian berjalan dan duduk disamping kursi kosong itu.

“Ayah ....” lirih Caca yang berada di samping Haikal. Haikal menoleh kemudian tersenyum.

“Ayah gapapa,” ucap Haikal tersenyum.

Netra Haikal kemudian menatap Jinan yang duduk di kursi sebrangnya. Lagi-lagi Haikal tersenyum, berusaha meyakinkan kedua anaknya bahwa ia baik-baik saja.

“Nah, ayo makan!” Tiba-tiba saja Jerico bersuara, berusaha mencairkan suasana kala itu.

“Nih buat adek sama kakak,” ucap Adel sambil memberikan sepiring nasi.

Haikal menatap kedua anaknya bergantian, kemudian tersenyum pelan.

“Makan yang banyak ya,” ucap Haikal.

“Ayah makan juga, ok? Biar kuat kayak adek!” Ucap Jinan membuat Haikal terkekeh pelan.

“Iya adek, ini ayah makan.”

Haikal kemudian meraih piring dan mengambil beberapa lauk pauk kesukaannya.

Lagi-lagi fokus Haikal berhenti di salah satu piring dimana itu berisi makanan kesukaan Ralita.

Haikal menghela napasnya, kemudian berusaha keras menepis pikirannya perihal Ralita.

“Ayo makan,” ucap Haikal dengan senyumannya yang terlihat sangat menyedihkan.

Demi apapun, selama enam bulan terakhir, Haikal seolah kehilangan jiwanya. Ia sama sekali tidak ingin melakukan apa-apa. Bahkan pekerjaan pun, Haikal mengalihkannya sementara pada orang kepercayaannya.

Selama enam bulan terakhir, yang Haikal lakukan hanyalah duduk di kursi kamar yang menghadap ke area kebun belakang rumahnya. Haikal selalu duduk disana, berharap jika nanti saat Haikal menoleh ke sampingnya ada Ralita disana.

Berkali-kali Haikal menggelengkan kepalanya, sebab ia melihat Ralita duduk disana sambil menatapnya dengan tatapan sedih, mengisyaratkan agar Haikal jangan terlalu berlarut sedih tentang kehilangannya.

Di tengah makannya, Haikal kembali menatap kursi kosong itu. Kemudian tiba-tiba saja ia menepuk dada sebelah kirinya. Sebab rasa sesak itu terlalu dalam dan menusuk.

Haikal menunduk kemudian ia menangis pelan. “Maaf, maaf ta ...” lirihnya sambil berusaha menghilangkan sesak di dadanya.

Semua orang menoleh pada Haikal.

“Ayah kenapa?”

Haikal masih menunduk, tak lama kemudian ia terjatuh dari duduknya dan terisak.

“Sakit banget sakit. Aku gak bisa, aku gak bisa, Ta ....” lirihnya yang langsung membuat Caca dan Jinan memeluknya.

“Ayah, ayah jangan gini,” Caca menangis begitu juga Jinan.

Jerico menatap Haikal dengan tatapan sedihnya. Ia juga bisa merasakan betapa sakitnya Haikal.

Caca dan Jinan memeluk Haikal erat. “Ayah jangan gini, ada Caca sama adek ...”

Haikal terisak, kemudian ia memeluk tubuh kedua anaknya itu. “Maaf, maafin ayah, maaf. Harusnya ayah gak gini, maaf ya maaf ....” lirihnya dalam pelukan itu.

Haikal kembali menatap kursi kosong dimana ia bisa melihat Ralita disana. Perempuan itu tersenyum pada Haikal.

”Jangan nangis, jangan nangis ...” perempuan itu menggeleng sambil tersenyum, membuat Haikal mengeratkan pelukannya kepada Caca dan Jinan.

Haikal benar-benar bisa melihat Ralita disana sedang tersenyum.

Dan juga berkali-kali ia menggumamkan kata maaf sebab ia terlalu egois perihal rasa sakit akibat kehilangan. Padahal, bukan hanya dirinya yang terpuruk, tapi anak-anaknya juga.

“Maaf ya maafin ayah ...” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala anaknya.