Jjaejaepeach

Haikal tersenyum saat ia baru saja masuk ke ruangan rawat inap itu sambil melihat kedua anak serta istrinya yang tengah tertawa bersama.

Haikal melangkah mendekat.

“Ayah pulang ....”

Mereka semua menoleh.

Jinan berlari memeluk Haikal membuat Takita yang tengah terbaring tertawa.

“Liat ayah bawa cake matcha,” ucap Haikal membuat Ralita tersenyum.

“Ayah adek mau,” ucap Jinan.

Haikal terkekeh. “Sini makannya deket ibu.”

Mereka semua kemudian duduk di samping ranjang Ralita. Sedangkan Ralita ia terbaring sambil memperhatikan ketiganya.

“Enak?” Tanya Ralita pada Jinan.

Jinan menjulurkan lidahnya. “GAK ENAK IH!” Teriak Jinan membuat Haikal, Ralita dan Caca tertawa.

“Ya elah, bocah freak.”

Haikal tertawa sambil mencubit pelan lengan Caca. “jangan gitu eh.”

Cava tertawa. “Becanda ayah. Tuh liat kakak sayang adek,” ucap Caca sambil menarik Jinan ke pelukannya.

“Kakak lepas! Bau, kakak belum mandi,” ucap Jinan berusaha melepaskan pelukannya.

Ralita tersenyum memperhatikan mereka yang tengah tertawa. Kemudian jemarinya bergerak menggenggam tangan Haikal membuat Haikal menoleh.

“Kenapa? Ada yang sakit, hmm?” Tanya Haikal.

Ralita menggeleng sambil tersenyum. Perempuan itu mengusap punggung tangan Haikal.

Caca dan Jinan lalu ikut menoleh pada Ralita dan mereka juga mengusap lengan Ralita lembut.

Ralita menatap Haikal dan juga anak-anaknya secara bergantian.

“Jagoan sama cantiknya ibu,” ucap Ralita tersenyum dengan tangan yang mulai bergerak mengusap kedua anaknya bergantian.

“Ibu, kenapa?” Tanya Jinan takut.

Ralita tersenyum. “Ibu gapapa, kok,” ucapnya.

Haikal menarik napasnya, berusaha menahan sesak.

“Kalian mau denger cerita gak?” Ucap Haikal.

“Cerita apa yah?” Tanya Caca.

“Sini deketan duduknya” ucap Haikal membuat kedua anaknya mendekat.

“Cerita ayah sama ibu dulu. Iya gak bu? Aku ceritain, ya?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Ralita.

Haikal menatap kedua anaknya kemudian tersenyum.

“Ibu itu, cinta pertama ayah setelah almarhum nenek kalian.”

“Ayah ketemu ibu pas lagi SMA, ya, bu?” Tanya Haikal membuat Ralita mengangguk.

“Dulu ayah nakal, haha. Terus kata ibu, ayah itu aneh.”

“Kok aneh? Ayah kan baik?” Tanya Jinan membuat Haikal terkekeh.

“Aneh, soalnya ayah suka ngikutin ibu, suka jailin ibu, tapi pas ngajak pacaran malah kabur,“ sahut Ralita.

“Hahaha, ayah cupu!”

Haikal tertawa, ia kemudian menggenggam erat tangan Ralita.

“Bagi ayah, ketemu ibu itu salah satu bagian terbaik dari hidup ayah. Ibu itu cantik, ibu hebat. Bahkan sampai sekarang.”

Haikal mengeratkan genggamannya.

“Banyak hal yang udah ayah sama ibu laluin. Tapi kenapa, ya? Ayah selalu sayang sama ibu?”

Caca tiba-tiba bersuara. “Ayah pernah bosen gak sama ibu?”

Haikal tertawa, kemudian ia menggeleng. “Sama sekali enggak.”

“Cinta ayah buat ibu, makin lama makan besar. Gak bakal bisa keitung gimana gedenya.”

Ralita hanya tersenyum mendengar ucapan Haikal.

“Ibu cantik, ayah suka.”

“Sekarang juga ibu masih cantik, kan?” Tanya Haikal sambil menahan tangis, sebab di sampingnya Ralita hanya tersenyum pelan.

Caca dan Jinan menatap Ralita.

“Ibu cantik, kok. Cantik banget!”

Ralita kembali tersenyum, kemudian jemarinya bergantian mengusap ketiga orang ini.

“Ayah ....”

“Caca ....”

“Adek ....”

Ralita meneteskan air matanya.

“Maaf ya? Maaf ibu harus sakit. Maaf udah bikin kalian khawatir. Maaf ya ibu udah gak hebat lagi.”

Kedua anaknya menggeleng. “Ibu hebat! Jangan gitu, Caca gak suka.”

“Jinan juga!”

Haikal sesak, sangat sesak.

“Ta ...”

Ralita menatap Haikal.

“Haikal.”

“Tetap jadi Haikal yang aku kenal, ya? Jangan berubah ...”

Haikal menggenggam erat tangan Ralita. “Ada yang sakit, ya?”

Ralita menggeleng.

“Boleh minta tolong, enggak?”

Haikal mengangguk.

“Tolong tetap kuat ya anak baik? Jangan terpuruk, tolong jangan salahin diri kamu atas semuanya. Maaf, ya? Maaf karena aku lagi-lagi bikin dunia kamu hancur ....” Ralita terisak, begitu pula Haikal.

Sungguh, perasaan Haikal tidak karuan. Ia takut, sangat takut.

“Makasih, ya? Untuk semua cintanya, kasih sayangnya, ketulusannya.”

“Makasih banyak karena udah lahir sebagai Haikal yang hebat. Makasih ya anak baik?” Ralita tersenyum sambil mengusap wajah Haikal yang tengah menangis.

“Ibu ... jangan kemana-mana, Jinan takut ...” lirih Jinan.

Ralita menghela napasnya.

“Sini semuanya, peluk ibu.”

Caca, Haikal, dan Jinan langsung memeluk tubuh ringkih Ralita dengan sangat erat.

Dalam pelukan itu Ralita hanya berharap.

Tolong, tolong tetap bahagia dengan atau tanpa aku

Ralita berbisik pada Haikal. “Maaf ya anak baik ....”

“Ibu jangan kemana-mana ...”

Ralita tersenyum. “Enggak, ibu cuma mau tidur sebentar boleh?”

Demi apapun jika bisa, Haikal ingin melarang Ralita agar tidak memejamkan matanya.

“Nanti bangun sore, ya, Bu? Kita jalan-jalan keluar,” ucap Caca membuat Ralita mengangguk.

Satu menit.

Dua menit.

Sepuluh menit.

Satu jam.

Haikal mengeratkan genggamannya.

“Bu ...”

“Ibu ...”

Perasaan Haikal kalut. Sudah satu jam, tangan Ralita masih menggenggam tangan Haikal, namun tidak ada respon.

Berkali-kali Haikal membangunkan Ralita, sebab ia takut jika Ralita meninggalkannya.

“Ta ....”

“Ayo jalan-jalan ....”

Tidak ada respon.

“Ibu bangun, katanya mau jalan-jalan,” ucap Caca.

Tidak ada respon.

“Ta ...”

“RALITA!” Haikal berteriak.

“BANGUN TA! JANGAN NINGGALIN AKU SENDIRIAN!” Teriaknya lagi.

Demi apapun, seluruh dunianya Haikal runtuh, ia runtuh, sebab perempuannya ini tidak membuka matanya, ia tertidur, sangat pulas.

Haikal menjatuhkan tubuhnya saat menyadari, jika Ralita udah tidak ada. Perempuannya sudah tidak ada.

“Ralita tolong ....”

Haikal menangis, ia berteriak.

Bukan seperti ini yang Haikal inginkan. Bukan seperti ini.

Haikal bahkan belum memberikan banyak hal. Haikal belum sempat memenuhi keinginan perempuan itu tentang hidup menua.

Tapi, kenapa Ralita harus meninggalkannya?

“Ta bangun, katanya mau bangun kenun yang banyak. Katanya mau foto pas udah rambutnya putih. Ralita bangun. BANGUN TA!”

Demi apapun, Haikal hanya bisa menangis begitu pula kedua anaknya.

Haikal masih ingin bersama Ralita. Haikal masih ingin melihat Ralita setiap hari.

Sekalipun Haikal tidak pernah berpikir bahwa ia akan bertemu hari dimana ia tidak bisa melihat Ralita lagi.

Sesak, perih, hancur. Semuanya menjadi satu.

Kenapa? Kenapa ia harus kehilangan lagi?

Haikal rela jika ia berpisah tapi masih bisa bertemu Ralita. Tapi sekarang, Haikal berpisah dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Ralita.

Hancur, semuanya hancur. Dunianya hancur.

Dengan begitu tenangnya, Ralita pergi meninggalkan Haikal dengan tangannya yang setia menggenggam.

Ralita pergi, ia berpulang.

Bahkan di saat-saat terakhirnya, Ralita masih sempat mengucap kata maaf.

Perempuannya pergi, pergi di samping orang-orang kesayangannya, dengan tangan yang menggenggam Haikal.

“Ta ....”

“Kalau bukan sama kamu? Aku harus hidup gimana lagi buat bahagia?”

Haikal kemudian beranjak dan memeluk Ralita. Berkali-berkali ia melayangkan kecupan pada perempuan itu.

Dengan penuh lapang dada, ia kemudian berbisik pada Ralita yang tengah memejamkan matanya.

“Cantik ....”

“Cantik selalu cantik ...”

“Cantiknya Haikal, cantiknya anak-anak ...”

“Terima kasih ya? Untuk semua cintanya, terima kasih banyak. Aku sayang kamu ...”

“Selamat istirahat cantik,”

“Sampai ketemu lagi, ya?”

Sudah berapa lama, ya? Ralita disini? Mungkin sekitar delapan bulan?

Waktu pertama kali saya dengar jika ternyata Ralita sakit. Demi apapun, dunia saya rasanya hancur sekali. Kenapa harus Ralita? Dari sekian banyak orang, kenapa harus Ralita? Kenapa harus dia?

Berkali-kali saya bertanya pada Tuhan. Kenapa harus perempuan saya yang Ia pilih?

Saya takut, takut sekali. Saya tidak ingin kehilangan Ralita untuk kesekian kalinya.

Saya belum sepenuhnya memberikan kebahagiaan untuk Ralita. Bahkan selama ini saya masih merasa kurang dalam segala hal. Tapi kenapa Ralita selalu bilang jika dicintai saya saja sudah cukup?

Untuk pertama kalinya, selama saya kenal Ralita. Baru kali ini saya lihat dia selalu menangis perihal dia yang katanya sudah tidak cantik lagi.

Ralita salah, dia salah.

Di mata saya dia tetap yang paling cantik.

Ralita itu cantik dan akan selalu menjadi cantik.

Saya benci ketika dia menyalahkan dirinya sendiri perihal ia yang sudah idak seperti dulu. Saya benci itu.

Berkali-kali dia meminta maaf pada saya perihal ia yang tidak sehat. Berkali-kali juga ia meminta maaf pada saya sebab katanya, sekarang tubuhnya sudah tidak secantik dulu.

Tapi Ralita salah.

Bagi saya, dia selamanya akan menjadi cantik. Saya tidak peduli tentang fisik yang sudah berubah. Saya hanya ingin Ralita terus bersama saya.

Demi apapun. Jika saja bisa, saya ingin meminta pada Tuhan agar semua rasa sakit Ralita itu berpindah pada saya. Saya rela, saya rela menggantikan semua rasa sakit Ralita. Asalkan ia tersenyum.

Hati saya sakit sekali, saat saya melihat dia yang selalu tersenyum pada saya.

Saya harus apa?

Apalagi yang harus saya lakukan untuk Ralita?

Saya tidak ingin apapun. Saya hanya ingin hidup lebih lama lagi bersama perempuan saya.

Setiap hari. Saya ketakutan setiap hari sebab saya takut jika tiba-tiba saja Ralita meninggalkan saya.

Ralita.

Kalau bukan sama kamu dan anak-anak, saya harus hidup bahagia bagaimana lagi? Saya takut.

Sudah berapa lama, ya? Saya duduk di depan jendela seperti ini. Sepertinya sudah dua jam?

Sejak tadi pagi, yang saya lakukan hanya duduk di kursi roda, sambil liatin keadaan di luar dari jendela kamar saya.

Saya tersenyum, saat membaca pesan dari Haikal barusan.

Kenapa, ya? Dia suka sekali menyebut saya cantik?

Dari dulu, sejak kami kenal pun Haikal selalu bilang kalau saya ini cantik. Padahal sebenarnya saya pun tidak mengerti, cantik dari sisi mana?

Haikal itu suka sekali memuji berlebihan. Tapi, entah kenapa rasanya menyenangkan mendengar Haikal selalu memuji saya seperti itu. Rasanya, seperti saya dicintai lagi dan lagi.

Berbicara tentang Haikal. Saya jadi teringat banyak hal.

Tentang bagaimana kami bertemu, apa saja yang kami lalui, dan tentang bagaimana dia yang selalu bilang pada saya bahwa dia mencintai saya dengan begitu besarnya.

Berkali-kali ia bilang pada saya bahwa dunianya Haikal itu adalah saya. Berkali-kaki juga ia bilang bahwa ia akan selalu mencintai saya sampai kapan pun.

Terkadang saya bingung, kenapa Haikal bisa sebegitunya kepada saya? Padahal jika dipikir, banyak hal yang belum dilalui. Bahkan dulu, saat saya masih pacaran dengan Haikal, kami tidak memiliki terlalu banyak memori. Tapi, kenapa ya, Haikal bisa mencintai saya sebegitunya?

Berkali-kali saya bertanya pada diri sendiri.

Memangnya saya pantas, ya? Mendapat cinta sebanyak ini dari Haikal?

Memangnya saya pantas, ya? Karena selalu ia puji dengan begitu bangganya?

Saya bahkan pernah melukai Haikal begitu dalam. Tapi kenapa Haikal selalu bilang bahwa dia mencintai saya?

Haha, rumit.

Saya juga tidak mengerti kenapa sejak dulu, di hati saya cuma Haikal.

Saya tidak baik, saya juga pernah menyakiti orang lain hanya karena perasaan saya yang masih tertinggal untuk Haikal.

Takdir lucu, ya? Dulu, saat saya meninggalkan Haikal. Saya sering bertanya-tanya.

Kenapa kami harus bertemu kalau akhirnya dipisahkan?

Banyak tahun yang saya lewati tanpa Haikal, begitu juga dengan Haikal.

Saya pikir, setelah kami berpisah, kami tidak akan bertemu lagi. Tapi ternyata takdir berkata lain. Waktu itu, entah bagaimana saya bisa bertemu lagi dengan Haikal. Haha, memang lucu sekali jika berbicara tentang takdir.

Terlalu banyak hal tentang Haikal yang gak akan pernah bisa saya ungkapkan.

Saya terlalu mencintai Haikal, sampai-sampai saya lupa, kalau suaru saat nanti saya juga bisa kembali kehilangan.

Saya kembali menatap layar ponsel saya untu membaca pesan terakhir dari Haikal.

hati aku sakit

Saya juga.

Saya juga sakit, Haikal.

Perempuan yang selalu kamu banggain, perempuan yang selalu kamu sanjung, perempuan yang selalu kamu bilang cantik itu. Sekarang udah gak cantik lagi.

Saya udah gak cantik lagi. Rambut saya sudah tidak bagus lagi, bahkan tubuh saya sudah tidak sehat lagi.

Tapi kenapa Haikal selalu mengatakan kalau saya ini cantik?

Ingin sekali rasanya saya meminta maaf setiap hari pada Haikal. Sebab saya sudah menghancurkan lagi dunianya karena penyakit saya ini.

Saya ingin meminta maaf berkali-kali, sebab saya tidak bisa memenuhi keinginan Haikal agar saya tetap sehat dan tidak sakit.

Saya takut, jika suatu saat nanti saya tidak bisa memenuhi janji saya pada Haikal perihal menua bersama.

Saya takut, takut sekali.

Haikal buru-buru turun dari mobilnya sesaat setelah ia sampai di rumahnya.

“Ta!” Teriak Haikal.

Tak lama perempuan itu muncul dari arah dapur dengan senyumnya.

Ralita melangkah mendekati Haikal.

“Haikal ...” ucap Ralita membuat Haikal memeluknya.

“Kenapa ke rumah sakit?” Tanya Haikal.

Ralita menggeleng dalam pelukan itu. “Enggak.”

“Ta ... jangan bohong,” ucap Haikal.

“Kamu kenapa?” Tanya Haikal.

Ralita menatap wajah Haikal.

“Haikal ....”

“Sayang sama aku, gak?” Tanya Ralita membuat Haikal menatapnya aneh.

“Kenapa nanya gitu?” Tanya Haikal.

Ralita tersenyum pelan.

“Haikal ...”

“Kalo sayang aku, jangan marah, ya? Jangan kecewa,” ujar Ralita semakin membuat Haikal kebingungan.

“Haikal ... Maaf.”

Haikal menangkup wajah Ralita sambil menatap dengan penuh khawatir.

Demi apapun, jantung Haikal berdegup sangat kencang. Ia takut, jika Ralita mengatakan sesuati hal yang membuatnya runtuh.

“Ta ...”

“Kal ...”

Haikal kembali menatap. “Kenapa?”

Ralita menunduk kemudian ia memeluk Haikal erat.

“Haikal, aku sakit. Maaf, ya? Maafin aku ....” lirih Ralita sambil mengeratkan pelukannya pada Haikal.

Haikal terdiam, tubuhnya melemas.

“Jangan becanda, Ta.”

Ralita menggeleng kuat sambil menahan tangisnya.

“Maaf ya, maaf ....” lirih Ralita membuat Haikal memeluknya erat.

“Mana? Mana yang sakit, hmm? Bagian mana yang sakit? Bilang sama aku biar aku pukul rasa sakitnya. Bilang Ta, mana yang sakit?” Tanya Haikal sambil berusaha mencari letak rasa sakit pada tubuh perempuan itu.

Ralita hanya menunduk dan kembali memeluk Haikal sambil berucap maaf.

“Haikal maaf. Maaf ya, maafin aku ....” lirih Ralita.

Haikal terisak, ia sangat takut.

“Ta, jangan kemana-mana, ya? Jangan kemana-mana. Bilang sama aku yang sakit, nanti kita obatin bareng-bareng, ya?”

“Jangan kemana-mana ...”

“Aku pulang!” Teriak Haikal.

Tak lama setelah itu terlihat Ralita yang berlari kecil ke arahnya, kemudian perempuan itu langsung memeluk Haikal.

Haikal terkekeh. “Aduh pelan-pelan dong meluknya,” ucap Haikal membuat Ralita tertawa.

“Hehehe maaf.”

Ralita menarik Haikal agar duduk di meja makan. “Sini aku masakin banyak,” ucap Ralita.

Haikal menatap Ralita aneh, sedangkan Ralita tersenyum.

“Coba merem matanya,” ucap Ralita.

“Apa sih?”

“Tutup aja ih!”

Haikal menurut, kemudian ia menutup matanya.

Ralita tersenyum, kemudian ia beranjak dari duduknya dan menarik Haikal agar berdiri.

“Sekarang buka,” ucap Ralita.

Haikal membuka matanya, kemudian Haikal tersenyum saat melihat Ralita menggenggam satu bucket bunga.

Haikal terkekeh. “Ini apa?”

Ralita kemudian berjinjit dan mengecup pelan kening Haikal.

“Selamat hari jadi ke tiga belas tahun Haikal, makasih, ya? Makasih karena gak pernah berubah,” ucap Ralita kemudian ia memeluk Haikal.

Haikal terdiam.

Hari ini, ya?

Hari dimana Haikal mengikatnya untuk menjadi satu-satunya. Hari ini, dimana tiga belas tahun yang lalu, Haikal berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu mencintai perempuan ini.

Haikal memeluk Ralita dengan sangat erat.

“Ta ...”

“Harusnya aku yang ngasih kejutan kayak gini,” ucap Haikal.

Ralita terkekeh dalam pelukan itu.

“Gapapa.”

Haikal mengeratkan pelukannya.

“Makasih ya Ta, karena selalu jadi Ralita yang aku kenal, makasih karena gak pernah berubah, makasih karena selalu jadi apa adanya kamu. Aku sayang banget sama kamu, Ta. Makasih banyak ya buat semua cinta dan ketulusannya ....” lirih Haikal sambil memeluk tubuh itu, berusaha merasakan hangat yang selalu berhasil Ralita berikan pada Haikal.

Dalam pelukan itu Ralita tersenyum.

“Haikal ....”

“Hmm?”

“Aku sayang kamu, sayang banget. Maaf ya kalo selama ini aku masih banyak kurangnya.”

“Haikal, tau gak? Kalo disuruh milih buat ngulang waktu, aku mau milih buat ketemu kamu lagi. Kalo pun misalkan aku harus lahir lagi di kehidupan selanjutnya, aku bakalan tetap milih kamu Kal.”

Haikal tersenyum.

“Haikal, makasih ya udah ngasih banyak cinta buat aku, makasih karena gak pernah bosen dan capek buat saling nguatin. Makasih karena sama kamu, aku tau kalo sesulit apapun halangan sama rintangannya, asalkan kita saling genggam itu gak bakal pernah terasa sulit.”

“Makasih, makasih banyak ya anak baik. Sayang banget, sayang banget, tolong bahagia, jangan sakit, tolong sehat selalu, ya?”

Ralita memeluk erat Haikal, seolah ia tidak ingin kehilangan pelukan itu.

Ralita, benar-benar menyayangi Haikal, sangat.

“Ta ...”

“Hmm?”

“Ayo kita sama-sama sampai menua!”

“Ayo Ta, sampai nanti kita tua, aku pengen sama-sama terus sama kamu. Bagiin semuanya sama aku sampai kita tua. Aku gak akan pernah bosen buat bilang kalo aku sayang kamu. Sekali pun aku harus luka berkali-kali, sekali pun aku harus merangkak lagi buat dapetin kamu, aku gak akan nolak, Ta. Jadi tetap sama aku, ya cantik, ya?” Ucap Haikal mengecup pucuk kepala Ralita.

Perempuan itu menatap Haikal lalu tersenyum dan mengangguk, diiringi air mata yang mengalir di pipinya. “Iya... ayo! Ayo sama-sama sampai menua.”

Dan lagi, bahkan setelah sekian tahun lamanya, cinta yang Haikal punya untuk Ralita tidak pernah berkurang sedikitpun.

Ralita, adalah segalanya bagi Haikal.

Haikal menggenggam tangan Ralita dengan sangat erat, sambil mengusap kening Ralita yang penuh dengan peluh.

Sudah hampir lima belas jam mereka di rumah sakit, menunggu tanda-tanda persalinan.

Sejak ke rumah sakit, Ralita terus saja menangis, karena rasanya sangat sakit.

“Tahan ya cantik ya,” ucap Haikal, sedangkan Ralita ia tengah menangis karena sejak tadi, sosok yang ada di dalam perutnya itu berusaha keluar.

“Sakit ....” lirih Ralita, karena ini pertama kali baginya.

“Tarik napas ya sayang,” ucap Bunda Ralita yang juga ada disana.

“Minum dulu, kasih minum adek,” ucap ibu pada Haikal.

Butuh waktu cukup lama, hingga akhirnya seorang dokter datang kembali untuk mengecek apakah Ralita sudah siap atau belum.

“Sakit banget ....” lirih Ralita membuat Haikal panik.

“Sepertinya ibu Ralita harus melakukan persalinan dengan cara operasi. Karena ketuban di dalam sudah pecah,” ucap dokter itu pada Haikal.

“Bukannya tadi bisa normal aja, dok?” Tanya ibu pada dokternya.

Dokter menghela napasnya. “Memang betul, namun karena bayi tak kunjung keluar, lalu kemudian ketuban sudah mulai pecah itu cukup berisiko. Selain itu jalan lahir ibu Ralita terlalu sempit sehingga menyebabkan bayi sulit untuk keluar,” ucap dokter itu.

Ralita menggenggam tangan Haikal erat.

“Gapapa sayang gapapa ....” ucap Haikal meyakinkan.

“Dok, tapi saya nanti gak akan gimana-gimana, kan?” Tanya Ralita.

Dokter tersenyum, “tidak apa-apa.”

Ralita menatap Haikal, ibu, juga bunda disana secara bergantian.

Ralita menangis karena ia takut sangat takut, membuat Haikal berkali-kali mengecupnya. “Ada aku, gapapa sayang gapapa,” ucap Haikal.

-

Haikal berdiri di depan pintu ruang operasi, sambil memakai pakaian khusu, menunggu panggilan masuk dari dalam sana.

Jantung Haikal berdegup kencang, sebab ia khawatir.

Beberapa saat Haikal menunggu hingga akhirnya seorang perawat memanggilnya untuk masuk.

Dengan jantungnya yang berdegup kencang, Haikal lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang operasi itu

Terlihat Ralita yang tengah menangis disana, sebab saat akan dilajukan operasi mereka memberikan anastesi spinal dimana pasien hanya kehilangan rasa sakit di area pinggang bawah, sedangkan pasien nantinya akan tetap terjaga.

Haikal segera duduk di samping kepala Ralita yang tengah terbaring, dan segera Ralita mengenggam erat tangan Haikal.

“Gapapa sayang gapapa ....” ucap Haikal sambil mengusap Ralita penuh sayang.

Hampir satu jam mereka melakukan operasi, hingga akhirnya terdengar suara tangisan, membuat Haikal dan Ralita bernapas lega.

Seorang perawat datang membawa bayi itu setelah sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu untuk mendekat ke arah Haikal dan Ralita.

Haikal menangis begitu juga dengan Ralita.

Haikal mengambil alih bayi itu. “Selamat ya anaknya laki-laki dan sehat,” ucap perawat itu membuat Ralita menangis.

Haikal mendekatkan bayi itu agar Ralita bisa mengecupnya.

Dan lagi-lagi, Haikal menangis haru.

Lelaki itu kemudian menatap bayi lelakinya serta Ralita secara bergantian.

“Selamat datang putra ayah ...” lirih Haikal sambil menatap putranya itu.

Haikal kemudian mengecup pucuk kepala Ralita dan mengusapnya. “Makasih ya, makasih banyak. Aku sayang kamu ....”

Waktu menunjukan pukul dua siang, dan benar saja, hari ini Haikal pulang cepat.

Haikal buru-buru turun sesaat setelah ia sampai di rumahnya.

“Aku pulang,” ucap Haikal sedikit berteriak sambil membuka pintu.

“Yayah!” Caca yang tadinya tengah menonton televisi tiba-tiba saja berlari ke arah Haikal sambil merentangan tangannya membuat Haikal berjongkok dan memeluknya.

“Aduh, cantiknya ayah,” ucap Haikal memeluk Caca kemudian mengecupnya.

Caca terkekeh, ia kemudian mengalungkan tangannya ke leher Haikal, meminta agar Haikal menggendongnya.

“Kok udah pulang?” Tiba-tiba saja Ralita datang dari arah dapur sambil membawa sebuah piring berisi potongan buah mangga.

“Kan udah aku bilang tadi,” ucap Haikal.

Ralita kemudian duduk di sofa depan televisi, diikuti Haikal yang duduk tak jauh dari Ralita.

Ralita terkekeh. “Sini, duduk disini aja,” ucap Ralita sambil menepuk tempat kosong disebelahnya.

“Udah gak ngerasa bau?” Tanya Haikal.

“Sedikit, tapi gapapa kok. Sini, kangen,” ucap Ralita yang membuat Haikal tersenyum, kemudian Haikal menurunkan Caca dari pangukuannya, dan ia beranjak duduk di samping Ralita.

Tanpa aba-aba, Haikal memeluk Ralita. Sebab sudah hampir seminggu Ralita tidak ingin Haikal mendekatinya.

“Kangen banget.”

Ralita tertawa sambil mengusap pundak Haikal.

“Maaf ya, bawaan adeknya,” ucap Ralita memeluk Haikal erat.

Hanya tersengar suara televisi dan Caca yang tengah bernyanyi mengikuti apa yang tengah televisi itu tayangkan.

Haikal menatap Ralita. “Kenapa?” Tanya Haikal.

“Apa?”

“Murung.”

Ralita terdiam sejenak sebelum akhirnya ia kembali memeluk Haikal.

“Takut sedikit aja. Maaf bikin khawatir.”

Haikal menghela napasnya. “Takut apa? Apa yang ditakutin?”

“Haikal ...”

“Iya apa?”

“Jangan kemana-mana ya. Kalo aku ada salah jangan kemana-mana, kalo kamu ngerasa bosen atau banyak hal yang bikin kamu mulai gak nyaman sama aku, jangan kemana-mana ya,” lirih Ralita.

Dalam pelukan itu Haikal kembali menghela napasnya pelan.

“Jangan banyak takutnya, Ta. Berapa tahun aku nunggu kamu? Aku gak akan sebodoh itu buat lepasin kamu.”

Ralita mengeratkan pelukannya.

“Maaf ya cantik, buat kejadian tempo lalu, maaf jadi bikin kamu mikirin banyak hal yang gak baik,” ucap Haikal kemudian mengecup pucuk kepala Ralita.

“Kita sama-sama disini, gak bakalan ada yang pergi, ok?”

Ralita mengangguk pelan membuat Haikal terkekeh.

Haikal menatap Ralita, kemudian jemarinya bergerak mengusap perut yang sudah membuncit itu.

“Adek, marahin aja ibumu ini, biar gak mikirin hal yang aneh-an—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan sebuah tendangan yang berasal dari perut Ralita.

“Eh, nendang. ADEK NENDANG HAHA,” Haikal tertawa.

“Kakak sini, adeknya mau main sini cepet,” ucap Haikal pada Caca yang langsung membuat Caca turun dari sofa dan menghampiri Ralita juga Haikal.

“Adeknya gelak, yah?” Tanya Caca dibalas anggukan oleh Haikal.

Ralita terkekeh, kemudian ia mengarahkan tangah Caca ke perutnya.

“IH ADEK GELAK-GELAK!” Caca berteriak senang, membuat Haikla dan Ralita tetawa.

Haikal menatap Ralita, Caca dan juga calon anaknya secara bergantian. Kemudian setelah itu, Haikal menarik Ralita dan Caca agar masuk ke dalam pelukannya.

“Kesayangan ayah, sehat-sehat ya kalian,” ucap Haikal mengecup mereka berdua secara bergantian.

Haikal menghembuskan napasnya berat, sesaat setelah ia membaca pesan dari Sandara.

Haikal lalu beranjak, ia meraih jaket dan juga meraih kunci mobilnya.

Sebelum keluar ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar anaknya, dimana ada Ralita disana.

“Sayang ...” ucap Haikal sambil perlahan membuka pintunya.

Terlihat Ralita yang tengah menepuk punggung Caca. Suara pintu terbuka membuat Ralita menoleh.

“Eh kenapa? Jangan deket-deket ih,” ucap Ralita.

Haikal terkekeh sejenak.

“Enggak, aku disini.”

“Kenapa yah?” Tanya Ralita.

“Aku mau keluar sebentar, ke panti.”

“Loh kenapa?”

“Katanya Rivan sakit, badannya panas banget. Hasan lagi pulang katanya,” ucap Haikal.

“Boleh, gak?”

Sejenak Haikal terdiam, kemudian ia kembali bersuara.

“Eh apa aku pesenin grabcar aja, ya?” Lanjut Haikal lagi.

Ralita beranjak dari tidurnya, kemudian ia duduk menghadap Haikal yang tengah berdiri di ambang pintu.

“Pergi aja gapapa. Kalo grabcar jam segini takut. Udah mau jam dua belas juga,” ucap Ralita.

“Gapapa?” Tanya Haikal memastikan.

Ralita tersenyum. “Gapapa yah, pergi aja. Kasian takut ada apa-apa,” ucap Ralita.

Haikal mengerucutkan bibirnya sambil merentangkan kedua tangannya.

“Mau peluk dulu.”

Ralita terkekeh, kemudian ia beranjak mendekati Haikal dan memeluknya sekilas

“Dah, sana cepet, aku tahan napas nih takut muntah,” ucap Ralita membuat Haikal tertawa.

“Yaudah aku ke panti dulu ya, aku kunci pintunya.” Ucap Haikal mengecup pucuk kepala Ralita.

“Hati-hati Yah.”

-

Sesampainya di rumah sakit, Haikal dan juga Sandara buru-buru membawa Rivan yang masih berusia tiga tahun ke Unit Gawat Darurat. Tak lama setelah itu Rivan segera di tangani.

Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya dokter mengatakan jika Rivan perlu di rawat inap sebab anak itu mengalami Demam Berdarah.

Haikal menghela napasnya, kemudian ia mengangguk setuju perihal Rivan yang akan dirawat inap di rumah sakit itu.

Haikal berjalan ke ranjang dimana Sandara tengah mengusap pucuk kepala Rivan.

Haikal sejenak terdiam memperhatikan Sandara yang tengah menangis di sampingnya sambil mengenggam tangan Rivan yang tengah memejamkan matanya.

“Jangan nangis, Rivan gapa—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja ia dikagetkan sebab perempuan itu memeluk Haikal spontan.

“Makasih banyak, makasih banyak,” ucap Sandara sambil memeluk Haikal.

“I-iya ....” ucap Haikal sambil berusaha melepaskan pelukan itu.

“Sandara s-sorry, bisa dilepas?”

“Eh, maaf, maaf ...” Sandara langsung melepaskan pelukan itu.

Buru-buru Haikal melangkah berpindah posisi agar tidak terlalu dekat dengan sandara.

“Saya pulang dulu. Kabari saya kalau Rivan sudah pindah kamar.”

Sandara hanya terdiam.

Haikal lalu melangkah pergi dari sana. Sedangkan Sandara menatap daksa Haikal yang mulai menjauh.

Tanpa pikir panjang, Haikal langsung menancapkan gasnya pulang ke rumah. Tak peduli dengan pekerjaan yang tengah ia selesaikan.

Butuh waktu beberapa menit untuk Haikal sampai di rumah, hingga akhirnya ia herhenti tepat di depan rumah miliknya itu.

Buru-buru Haikal turun dan berlari ke dalam rumah.

“TA!” Teriak Haikal.

Tidak ada jawaban.

Haikal mencari Ralita ke setiap sudut ruangan.

“TA DIMANA?” Teriak Haikal lagi.

Haikal sedikit panik karena tidak mendapat jawaban dari Ralita. Kemudian ia meraih ponselnya dari dalam saku celananya.

Belum sempat Haikal menekan tombol, tiba-tiba saja ia dikagetkan oleh Ralita yang sejak tadi bersembunyi dibalik gorden.

“DOR!”

Haikal terlonjak kaget, membuat Ralita tertawa melihat ekspresi wajah Haikal.

Haikal menoleh, mendapati Ralita yang tengah tertawa. Haikal merengut kemudian ia menarik Ralita ke dalam pelukannya.

“Aku panik kirain kemana,” ucap Haikal dalam pelukan itu. Sedankan Ralita ia masih saja tertawa.

“Haha, maaf. Aku barusan ngumpet,” ucap Ralita.

Haikal menenggelamkan wajahnya di leher Ralita, menyesap aroma tubuh perempuan itu.

“Ta ....” ucap Haikal pelan.

“Hmm?”

“Beneran?” Kini Haikal menangkup wajah Ralita.

“Apa?”

Haikal mengarahkan pandangannya ke perut Ralita, kemudian tangannya bergerak mengusap perut rata itu.

“Disini, di perut kamu ada anak aku?” Tanya Haikal tidak percaya.

Ralita terkekeh kemudian ia mengangguk. “Iya sayang ada,” ucap Ralita lembut.

Haikal kemudian menjatuhkan air matanya, menangis di hadapan Ralita. Ia lalu kembali memeluk istirnya itu.

“Loh? Kok malah kamu yang nangis sih?” Ralita tekekeh mendengar isakan Haikal yang terdengar seperti anak kecil.

“Seneng ....” lirih Haikal di tengah isakannya.

Lagi-lagi Ralita tertawa, namun ia juga menjatuhkan air matanya.

“Iya, disini udah ada anak kamu,” ucap Ralita yang entah mengapa semakin membuat haru.

Haikal berlutut, mensejajarkan tubuhnya agar bisa bertatapak dengan perut milik Ralita.

Haikal kemudian menempelkan telinganya pada perut itu.

“Halo, ada orang di dalam?” Tanya Haikal seolah ia tengah mengetuk pintu. Membuat Ralita tertawa.

“Ih belum gede, gak bakal bisa jawab.”

Haikal terkekeh. Kemudian lelaki itu mengusap sayang perut Ralita.

“Adek .... ini ayah, coba di denger suara ayah ya.”

Haikal mengecup perut itu, membuat Ralita mengusap pucuk kepala Haikal sambil tersenyum.

Haikal menengadah menatap Ralita, sedetik kemudian ia kembali berdiri dan memeluk Ralita.

“Makasih ya, makasih banyak ....”

Ralita tersenyum dalam pelukan itu.

“Selamat jadi ayah, anak baik.”

“Gue pulang duluan ya Lin,” ucap Bintang tiba-tiba sambil beranjak. Membuat Lintang yang tengah asik dengan ponselnya menoleh.

“Lah, kan be—“ belum sempat Lintang menyelesaikan ucapannya, Bintang sudah lebih dulu pergi ke luar.

Tampak di parkiran Hanan yang masih memakai kaos putih dengan celana pendeknya, sambil menguap ia melambai pada Bintang.

Saat Bintang melihat Hanan, ia langsung saja bergegas naik ke motor Hanan sambil menangis.

Selama perjalanan, Bintang menangis di pundak Hanan.

“Temen lo jahat banget huhu,”

“Gue jelek banget apa sampe gak di akuin.”

“LINTANG BRENGSEK!” Teriak Bintang.

“Berisik anjeng!” Teriak Hanan.

Bintang memeluk pinggang Hanan erat, sambil menangis tersedu-sedu.

“Hanan gue jelek ya? Sampe Lintang gak ngaku ke Sabita kalo dia lagi sama gue, dia malu ya ngakuinnya?”

“Hanan hati gue sakit banget ....”

Hanan memberhentikan motornya di tepi jalan.

“Lo kalo mau nangis terus mending turun.”

Bintang yang tadinya menangis tiba-tiba saja terdiam.

“Kok lo jahat, sih?”

“Mau diem apa turun disini?”

“Iya diem.”

“Yaudah gak usah nangis!”

Ucap Hanan dengan nada suaranya yang terdengar kesal.

“Lagian lo udah tau Lintang gitu, masih aja nyimpen perasaan, bego.