Tolong Tetap Bahagia.
Haikal tersenyum saat ia baru saja masuk ke ruangan rawat inap itu sambil melihat kedua anak serta istrinya yang tengah tertawa bersama.
Haikal melangkah mendekat.
“Ayah pulang ....”
Mereka semua menoleh.
Jinan berlari memeluk Haikal membuat Takita yang tengah terbaring tertawa.
“Liat ayah bawa cake matcha,” ucap Haikal membuat Ralita tersenyum.
“Ayah adek mau,” ucap Jinan.
Haikal terkekeh. “Sini makannya deket ibu.”
Mereka semua kemudian duduk di samping ranjang Ralita. Sedangkan Ralita ia terbaring sambil memperhatikan ketiganya.
“Enak?” Tanya Ralita pada Jinan.
Jinan menjulurkan lidahnya. “GAK ENAK IH!” Teriak Jinan membuat Haikal, Ralita dan Caca tertawa.
“Ya elah, bocah freak.”
Haikal tertawa sambil mencubit pelan lengan Caca. “jangan gitu eh.”
Cava tertawa. “Becanda ayah. Tuh liat kakak sayang adek,” ucap Caca sambil menarik Jinan ke pelukannya.
“Kakak lepas! Bau, kakak belum mandi,” ucap Jinan berusaha melepaskan pelukannya.
Ralita tersenyum memperhatikan mereka yang tengah tertawa. Kemudian jemarinya bergerak menggenggam tangan Haikal membuat Haikal menoleh.
“Kenapa? Ada yang sakit, hmm?” Tanya Haikal.
Ralita menggeleng sambil tersenyum. Perempuan itu mengusap punggung tangan Haikal.
Caca dan Jinan lalu ikut menoleh pada Ralita dan mereka juga mengusap lengan Ralita lembut.
Ralita menatap Haikal dan juga anak-anaknya secara bergantian.
“Jagoan sama cantiknya ibu,” ucap Ralita tersenyum dengan tangan yang mulai bergerak mengusap kedua anaknya bergantian.
“Ibu, kenapa?” Tanya Jinan takut.
Ralita tersenyum. “Ibu gapapa, kok,” ucapnya.
Haikal menarik napasnya, berusaha menahan sesak.
“Kalian mau denger cerita gak?” Ucap Haikal.
“Cerita apa yah?” Tanya Caca.
“Sini deketan duduknya” ucap Haikal membuat kedua anaknya mendekat.
“Cerita ayah sama ibu dulu. Iya gak bu? Aku ceritain, ya?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Ralita.
Haikal menatap kedua anaknya kemudian tersenyum.
“Ibu itu, cinta pertama ayah setelah almarhum nenek kalian.”
“Ayah ketemu ibu pas lagi SMA, ya, bu?” Tanya Haikal membuat Ralita mengangguk.
“Dulu ayah nakal, haha. Terus kata ibu, ayah itu aneh.”
“Kok aneh? Ayah kan baik?” Tanya Jinan membuat Haikal terkekeh.
“Aneh, soalnya ayah suka ngikutin ibu, suka jailin ibu, tapi pas ngajak pacaran malah kabur,“ sahut Ralita.
“Hahaha, ayah cupu!”
Haikal tertawa, ia kemudian menggenggam erat tangan Ralita.
“Bagi ayah, ketemu ibu itu salah satu bagian terbaik dari hidup ayah. Ibu itu cantik, ibu hebat. Bahkan sampai sekarang.”
Haikal mengeratkan genggamannya.
“Banyak hal yang udah ayah sama ibu laluin. Tapi kenapa, ya? Ayah selalu sayang sama ibu?”
Caca tiba-tiba bersuara. “Ayah pernah bosen gak sama ibu?”
Haikal tertawa, kemudian ia menggeleng. “Sama sekali enggak.”
“Cinta ayah buat ibu, makin lama makan besar. Gak bakal bisa keitung gimana gedenya.”
Ralita hanya tersenyum mendengar ucapan Haikal.
“Ibu cantik, ayah suka.”
“Sekarang juga ibu masih cantik, kan?” Tanya Haikal sambil menahan tangis, sebab di sampingnya Ralita hanya tersenyum pelan.
Caca dan Jinan menatap Ralita.
“Ibu cantik, kok. Cantik banget!”
Ralita kembali tersenyum, kemudian jemarinya bergantian mengusap ketiga orang ini.
“Ayah ....”
“Caca ....”
“Adek ....”
Ralita meneteskan air matanya.
“Maaf ya? Maaf ibu harus sakit. Maaf udah bikin kalian khawatir. Maaf ya ibu udah gak hebat lagi.”
Kedua anaknya menggeleng. “Ibu hebat! Jangan gitu, Caca gak suka.”
“Jinan juga!”
Haikal sesak, sangat sesak.
“Ta ...”
Ralita menatap Haikal.
“Haikal.”
“Tetap jadi Haikal yang aku kenal, ya? Jangan berubah ...”
Haikal menggenggam erat tangan Ralita. “Ada yang sakit, ya?”
Ralita menggeleng.
“Boleh minta tolong, enggak?”
Haikal mengangguk.
“Tolong tetap kuat ya anak baik? Jangan terpuruk, tolong jangan salahin diri kamu atas semuanya. Maaf, ya? Maaf karena aku lagi-lagi bikin dunia kamu hancur ....” Ralita terisak, begitu pula Haikal.
Sungguh, perasaan Haikal tidak karuan. Ia takut, sangat takut.
“Makasih, ya? Untuk semua cintanya, kasih sayangnya, ketulusannya.”
“Makasih banyak karena udah lahir sebagai Haikal yang hebat. Makasih ya anak baik?” Ralita tersenyum sambil mengusap wajah Haikal yang tengah menangis.
“Ibu ... jangan kemana-mana, Jinan takut ...” lirih Jinan.
Ralita menghela napasnya.
“Sini semuanya, peluk ibu.”
Caca, Haikal, dan Jinan langsung memeluk tubuh ringkih Ralita dengan sangat erat.
Dalam pelukan itu Ralita hanya berharap.
“Tolong, tolong tetap bahagia dengan atau tanpa aku”
Ralita berbisik pada Haikal. “Maaf ya anak baik ....”
“Ibu jangan kemana-mana ...”
Ralita tersenyum. “Enggak, ibu cuma mau tidur sebentar boleh?”
Demi apapun jika bisa, Haikal ingin melarang Ralita agar tidak memejamkan matanya.
“Nanti bangun sore, ya, Bu? Kita jalan-jalan keluar,” ucap Caca membuat Ralita mengangguk.
Satu menit.
Dua menit.
Sepuluh menit.
Satu jam.
Haikal mengeratkan genggamannya.
“Bu ...”
“Ibu ...”
Perasaan Haikal kalut. Sudah satu jam, tangan Ralita masih menggenggam tangan Haikal, namun tidak ada respon.
Berkali-kali Haikal membangunkan Ralita, sebab ia takut jika Ralita meninggalkannya.
“Ta ....”
“Ayo jalan-jalan ....”
Tidak ada respon.
“Ibu bangun, katanya mau jalan-jalan,” ucap Caca.
Tidak ada respon.
“Ta ...”
“RALITA!” Haikal berteriak.
“BANGUN TA! JANGAN NINGGALIN AKU SENDIRIAN!” Teriaknya lagi.
Demi apapun, seluruh dunianya Haikal runtuh, ia runtuh, sebab perempuannya ini tidak membuka matanya, ia tertidur, sangat pulas.
Haikal menjatuhkan tubuhnya saat menyadari, jika Ralita udah tidak ada. Perempuannya sudah tidak ada.
“Ralita tolong ....”
Haikal menangis, ia berteriak.
Bukan seperti ini yang Haikal inginkan. Bukan seperti ini.
Haikal bahkan belum memberikan banyak hal. Haikal belum sempat memenuhi keinginan perempuan itu tentang hidup menua.
Tapi, kenapa Ralita harus meninggalkannya?
“Ta bangun, katanya mau bangun kenun yang banyak. Katanya mau foto pas udah rambutnya putih. Ralita bangun. BANGUN TA!”
Demi apapun, Haikal hanya bisa menangis begitu pula kedua anaknya.
Haikal masih ingin bersama Ralita. Haikal masih ingin melihat Ralita setiap hari.
Sekalipun Haikal tidak pernah berpikir bahwa ia akan bertemu hari dimana ia tidak bisa melihat Ralita lagi.
Sesak, perih, hancur. Semuanya menjadi satu.
Kenapa? Kenapa ia harus kehilangan lagi?
Haikal rela jika ia berpisah tapi masih bisa bertemu Ralita. Tapi sekarang, Haikal berpisah dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Ralita.
Hancur, semuanya hancur. Dunianya hancur.
Dengan begitu tenangnya, Ralita pergi meninggalkan Haikal dengan tangannya yang setia menggenggam.
Ralita pergi, ia berpulang.
Bahkan di saat-saat terakhirnya, Ralita masih sempat mengucap kata maaf.
Perempuannya pergi, pergi di samping orang-orang kesayangannya, dengan tangan yang menggenggam Haikal.
“Ta ....”
“Kalau bukan sama kamu? Aku harus hidup gimana lagi buat bahagia?”
Haikal kemudian beranjak dan memeluk Ralita. Berkali-berkali ia melayangkan kecupan pada perempuan itu.
Dengan penuh lapang dada, ia kemudian berbisik pada Ralita yang tengah memejamkan matanya.
“Cantik ....”
“Cantik selalu cantik ...”
“Cantiknya Haikal, cantiknya anak-anak ...”
“Terima kasih ya? Untuk semua cintanya, terima kasih banyak. Aku sayang kamu ...”
“Selamat istirahat cantik,”
“Sampai ketemu lagi, ya?”