Sakit.

⚠️ parenting abuse.

Dengan napasnya yang tak beraturan, serta seluruh tenaga yang Bumi punya, ia gunakan untuk mengayuh sepedanya agar segera sampai di rumah.

Demi apapun, detak jantung Bumi saat ini sangat tidak beraturan. Ia takut, sangat takut.

Bumi berdiri di depan pintu, sesaat setelah ia sampai. Terlihat di garasi mobil Johan yang sudah terparkir.

Perlahan Bumi masuk ke dalam rumah itu. Sungguh, ia sudah pasrah jika memang kali ini ia akan dimarahi. Tapi tolong, Bumi tidak ingin merasakan pukulan.

Bumi melihat disana ada Johan sedang duduk dan melihat ke arah Bumi dengan tatapannya yang sukit diartikan.

“Duduk!” Ucap Johan membuat jantung Bumi semakin berdegup kencang.

Dengab takut, Bumi pun duduk tak jauh dari Johan.

Bumi terdiam, tak berani menjawab. Sebab ia merasa bersalah lantaran tadi ia pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuan.

Terdengar helaan napas dari pria itu. “Bisa jawab, gak?”

“Dari mana, Bumi?”

Bumi masih terdiam dan menunduk, tangannya bahkan sedikit bergetar.

“DITANYA TUH JAWAB!” Tiba-tiba saja Johan berteriak.

Bumi tersentak, lantas dengan gemetar ia menatap netra kemerahan Sang Ayah. “Papa maaf …,” jawab Bumi dengan nada suaranya yang bergetar.

“Papa, Bumi barusan keluar sama temen Bumi aja kok. Bukan pa—“

“Yang ngizinin kamu keluar tuh siapa?” Johan memotong ucapan Bumi.

Bumi terdiam.

“Saya nanya, yang ngizinin kamu keluar siapa?” Lagi, Johan kembali bertanya.

Bumi menggeleng pelan.

Tiba-tiba saja Johan berdiri dari duduknya, sambil melipat lengan kemejanya dan mendekat ke arah Bumi yang tengah menunduk. Dan tanpa Bumi sadari, Johan saat ini tengah memegang sebuah tongkat yang cukup panjang.

“Berdiri,” perintah Johan.

“BERDIRI BUMI!” Teriaknya lagi.

Perlahan Bumi berdiri. Lalu tiba-tiba saja anak itu berteriak, ketika satu pukulan melayang ke arah Bumi. “AW! PAPA SAKIT PA,” ucap Bumi berteriak.

Iya, Johan memukul kaki Bumi dengan kencang membuat anak itu berteriak kesakitan.

“Siapa yang kasih kamu keluar, hah?!”

“Pa sakit Pa,” teriak Bumi berusaha menghindar.

Bumi menangis menahan sakit akibat pukulan itu. “Papa m-maaf. Papa maafin Bumi …,” pinta Bumi pada Johan.

Entahlah, saat ini Johan sangat marah. Ia bahkan tidak bisa mengontrol emosinya.

“Halah, kamu tuh makin gede makin nakal. Mau kamu apa sih hah?! Nurut sekali, bisa?”

“JAWAB!”

Pukulan demi pukulan Bumi terima, anak itu berteriak kesakitan meminta ampun pada Johan agar berhenti memukulinya.

“Papa … ampun Pa sakit, maafin Bumi Pa.”

“Liat tuh kakakmu, belajar, nurut! Bukan malah keluyuran tanpa izin. Mau jadi apa kamu, hah?! Mau jadi gembel?! Duit masih dari orang tua juga banyak nakal banget jadi anak!” Ucap Johan dengan amarahnya.

“Sejak kapan kamu berani pacara? Siapa yang ngasih izin?”

“Merasa dewasa? Merasa bebas?”

“JAWAB!”

Johan kembali melayangkan pukulan pada Bumi membuat anak itu kembali merintih kesakitan.

Sakit, sakit sekali. Bumi ingin marah, ia ingin berteriak melawan, tapi ia tidak mampu. Jiwanya terlalu takut, ia masih terlalu takut untuk melawan semua pukulan dan perkataan yang ia terima.

Bumi hanya bisa meminta ampun pada Johan sambil berusaha keras menahan sakitnya. “Pa ampun, maafin Bumi Pa. Bumi janji gak akan nakal lagi. Papa maaf, udah pah sakit …,” ucap Bumi lirih.

Johan menatap Bumi yang tengah terduduk di lantas. Ia menghela napasnya, lantas langsung pergi begitu saja meninggalkan Bumi yang masih merintih kesakitan.

Bumi hanya bisa menangis, sakit, ia ingin dirangkul dan dibela, tapi apa? Bahkan Clarissa dan juga Azri hanya melihat kejadian ini dari jauh, mereka bahkan tidak berusaha menghentikan pukulan yang diberikan oleh Johan pada Bumi.

Bumi berusaha keras menahan semua rasa sakitnya, ia terlalu takut, ia terlalu rapuh.

“Sakit …,” gumam Bumi terisak pelan sendirian.