Jjaejaepeach

Jalanan kota malam ini terlihat sedikit padat, ditambah hujan yang semakin lama semakin deras. Untung saja tadi, ketika Raka mengajak Sena makan, hujan tidak begitu deras seperti sekarang.

Terdengar helaan napas dari perempuan di samping Raka. Membuat lelaki itu menoleh. “Kenapa?”

Sena menggeleng. “Gapapa haha. Hujannya gede terus macet,” ucap Sena.

Raka hanya terkekeh pelan, kemudian tanpa aba-aba tangan Raka bergerak menggenggam jemari kecil milik Sena yang terlihat sangat pas di genggamannya.

Lelaki itu mengusap-ngusap jemari kecil Sena, berusaha memberikan hangat supaya kekasihnya itu tidak kedinginan.

Sena hanya tersenyum kemudian ia pun menggenggam jemari Raka dan balik mengusapnya lembut.

“Ih kukunya belum dipotong,” ucap Sena sambil memainkan jari Raka.

“Potongin,” balas Raka membuat Sena menggeleng.

“Nanti aja, sekarang gak ada alat potong kukunya.”

Raka terkekeh, kemudian ia menatap Sena.

“Cantik banget kamu,” ucapnya.

“Emang,” balas Sena percaya diri yang lagi-lagi membuat Raka tertawa.

“Iya paling cantik pacar aku,” ucap Raka membuat Sena tertawa.

Saat mereka tengah berbincang membicarakan banyak hal, tiba-tiba saja ponsel Raka berbunyi, menampilkan beberapa notifikasi pesan.

Raka menoleh kemudian ia menghela napasnya.

“Siapa?” Tanya Sena.

“Buka aja,” ucap Raka.

“Boleh?”

Raka mengangguk, kemudian setelah itu Sena langsung saja membuka pesan yang Raka terima.

Dahi Sena mengerut membaca pesan itu. “Ini siapa, Ka?”

“Sepupunya Deva.”

Demi apapun, jantung Sena berdegup tak karuan ketiak mendengar itu. Rasanya ia ingin marah saat ini juga.

Raka melihat perubahan wajah Sena.

“Bales aja yang,” ucap Raka.

Sena terdiam sejenak. Entahlah kenapa rasanya ia takut sekali.

“Aku udah bales,” jawab Sena kemudian kembali menyimpan ponsel Raka.

“Dia suka chat kamu?”

Raka menggeleng. “Enggak, cuma beberapa kali aja, nanyain si Deva sama waktu itu ngirim foto.”

“Kamu minta?”

Raka menggeleng dengan cepat. “Enggak sumpah.”

Sena menunduk memainkan jarinya.

Susana macet dan hujan kali ini benar-benar terasa sendu menurut Sena.

Pikirannya bahkan jadi tak karuan akibat pesan itu.

Raka menyadari jika Sena menjadi murung.

Raka menghela napasnya kemudian ia mengusap kepala Sena lembut.

“Jangan overthinking, ya? Aku gak ngapa-ngapain kok. Kan aku udah janji.”

“Maaf bikin khawatir …,” lirih Raka yang kemudian ia menarik Sena ke dalam pelukannya.

Wangi tubuh Raka benar-benar selalu jadi kesukaan Sena.

“Iya,” gumam Sena kemudia mengeratkan pelukannya pada Raka.

“So, can you love the worst part of me?”

Sena tertawa pelan ketika ia mendengar omelan yang dilontarkan dari bibir kekasihnya.

Rasanya, setiap kali Senadika mendengar ocehan dari lelaki di hadapannya ini ia ingin sekali melahapnya sampai lelaki itu terdiam.

“Ngomel mulu,” ucap Sena membuat Raka—kekasihnya berdecak.

“Lagian kamu, ini anak aku masih kecil. Jangan dikusek!” Omelnya lagi sambil mengusap-ngusap anak kucing yang ukurannya masih kecil.

Lagi-lagi, Sena tertawa, kemudian tangannya bergerak menarik pipi yang sedikit chubby milik kekasihnya itu.

“Iya, iya maaf. Jangan ngomel dong,” ucap Sena membuat Raka menatapnya, kemudian tak lama Raka mengembalikan kucing yang tadi di genggamannya ke tempat semula.

Netra lelaki itu kembali menatap Sena lekat, lantas ia tersenyum. Tangannya bergerak membenarkan beberapa helaian rambut milik Sena yang sedikit acak. “Iya enggak ngomel, maaf kalo ngomel terus,” ucap Raka.

“Iya jangan. Soalnya kamu kalo ngomel gak serem. Malah kayak anak SD, lucu,” balas Sena membuat Raka menekuk wajahnya.

“Wah parah, gue udah galak gini masih dibilang lucu.”

Lagi-lagi Sena dibuat tertawa sebab ia melihat Raka melipat tangannya.

Kalau diingat, hubungan Sena dan Raka ini sudah terhitung lama.

Sena kadang berpikir semua ini sangat lucu. Karena pertemuan mereka ini pun tidak pernah direncanakan.

Sena bahkan tidak pernah berpikir jika dirinya akan sangat mencintai Raka sedalam ini.

Perempuan itu menatap Raka tulus, entah sampai kapan ia akan bersama Raka. Yang jelas, setiap harinya Sena selalu menghitung perihal ia yang akan terus mencintai Raka.

Tiba-tiba saja Sena merentangkan tangannya. “Sini peluk, biar gak marah-marah terus,” ucapnya membuat Raka menatapnya heran.

Sena berdecak. “Lama!” ucapnya yang kemudian menarik lelaki itu ke dalam pelukannya.

“*I love you tiga ratus enam pulih derajat, Ka …,” jelas Sena pada Raka membuat lelaki itu terkekeh.

“Dasar gak jelas,” balas Raka sambil mengacak pucuk kepala Sena.

“Hehe …”

Diketuknya pintu kamar anak perempuan kesayangannya dengan pelan.

Haikal tersenyum kala melihat Caca yang berdiri di ambang pintu sambil memakai baju tidur bermorif beruang kesayangannya.

“Anak ayah cantik,” ucap Haikal.

“Ayah boleh masuk?”

Caca mengangguk, mempersilahkan sang ayah untuk masuk ke dalam kamarnya. Lantas Haikal pun masuk dan menyimpan nampan berisi teh hangat dan juga cookies buatan Ralita.

“Nah, ini buat kesayangan ayah,” ucap Haikal.

Caca terkekeh kemudian ia duduk di tempat tidur, sedangkan Haikal menarik sebuah kursi dan duduk di samping tempat tidur itu.

“Ayah kenapa ih tumben banget?” Tanya Caca aneh.

Haikal terkekeh, kemudian tangannya bergerak merapikan beberapa helai rambut putrinya itu. “Ayah akhir-akhir ini kerja terus, dan jarang banget ketemu kakak sama adek. Maafin ayah ya sayang …,” ucap Haikal.

Caca hanya terkekeh kemudian mengangguk. “Gapapa ayah.”

“Gimana kakak harinya? Udah lama enggak cerita sama ayah nih,” tanya Haikal.

Caca tersenyum, kemudian tanpa ragu ia menceritakan semua yang ia lewati akhir-akhir ini. Entah itu tentang perkuliahan, keadaan rumah ketika Haikal bekerja, dan juga tentang hubungannya dengan Bara.

Haikal hanya tersenyum memperhatikan putrinya yang tengah bercerita.

Ternyata putri kecilnya ini sudah dewasa, ya? Dulu, Haikal pikir ia akan gagal merawat Caca. Tapi ternyata tidak, Haikal berhasil. Berhasil merawat Caca.

“Ayah …,” panggil Caca

“Iya cantik kenapa?”

“Ayah keliatan capek banget. Ayah jangan banyak kerja, ya? Kakak, ibu, sama adek enggak pernah minta hal-hal mewah, kan, yah? Yang penting cukup. Caca gak suka liat ayah kecapean kayak gini,” ucap Caca dengan raut wajahnya yang cemberut.

Haikal terkekeh. “Ayah kerja keras itu, biar ayah bisa ngasih seluruh dunia buat kalian. Kalo bukan kalian, siapa lagi yang bisa bikin ayah bahagia?”

Caca menatap Haikal sendu. Ternyata ayah sudah menua, ya? Tangan yang dulunya kekar, kini terlihat mulai keriput.

“Ayah …,” panggil Caca lagi.

“Ayah harus panjang umur, ya? Ayah harus liat Caca nanti lulus jadi dokter. Sebentar lagi ayah. Nanti ayah harus berdiri paling depan kalau suatu saat Caca nikah. Caca mau ayah dampingin Caca sampai nanti Caca udah bisa berdiri sendiri tanpa ayah,” pinta Caca menbuat Haikal tersenyum.

“Ayah, nanti kakak bakal ngasih semua hal buat ayah sama ibu. Jadi nanti ayah sama ibu tinggal duduk nikmatin masa tua sama-sama. Biar kakak sama adek yang kerja keras buat bahagia ayah sama ibu.”

“Ayah kakak sayang banget sama ayah. Kakak beruntung banget karena punya ayah sehebat ini. Makasih ya ayah karena dari dulu ayah selalu berusaha buat ngasih bahagia ke Caca, walau pun sebenarnya ayah banyak terluka.”

Haikal terdiam.

“Sekarang ayah punya ibu, punya kakak, punya adek. Jadi ayah jangan sakit dan terluka lagi kayak dulu, ya? Caca sayang ayah …”

Haikal lantas mengusap sayang putri kecilnya ini.

Demi Tuhan, di mata Haikal, Caca tetaplah putri kecil kesayangannya. Ia masih sangat kecil di mata Haikal, sampai kapan pun.

“Kakak.”

“Ayah selamanya bakal nemenin kakak, ayah janji. Sampai nanti kakak tua pun, ayah bakalan berdiri di belakang kakak biar kakka gak jatuh. Ayah bakal selalu jadi penopang kakak sekali pun nanti kakak udah punya ruma baru.” Haikal tersenyum.

Caca tiba-tiba saya menangis, kemudian ia memeluk sang ayah erat.

“Ayah sama ibu harus panjang umur, ya? Janji?”

Haikal tersenyum kemudian mengangguk.

“Iya sayang, ayah janji,” ucap Haikal mengeratkan pelukannya.

Lalu ketika mereka tengah saling menyalurkan rasa tiba-tiba saja pintu terbuka, menampilkan Ralita.

“Ibu enggak diajak pelukan nih?” Tanya Ralita membuat Haikal menoleh lalu terkekeh.

“Sini cantik …,” ucap Haikal membuat Ralita tersenyum dan segera mendekat lalu kemudian memeluk Haikal dan Caca.

“Eh kok kakak nangis?”

Caca menggeleng kemudian ia mengeratkan pelukannya kepada dua orang dewasa itu.

“Kakak sayang ibu sama ayah, jangan ninggalin kakak ya …”

Dengan ragu, Caca keluar dari mobil yang ia tumpangi bersama temannya—Bara.

Demi apapun, jantung Caca tidak karuan. Pasalnya, ini kali pertama Caca berani keluar bersama dengan seorang laki-laki tanpa izin terlebih dahulu pada sang ayah. Alasannya karena tadi, ketika mereka hendak pergi, Haikal tidak ada di rumah. Dan juga Bara yang sudah menunggu di depan rumah.

Caca menatap Bara yang berdiri di sampingnya.

“Tenang gue gak takut,” ucap Bara percaya diri.

Lantas tak lama mereka pun melangkah masuk. Dan benar saja, ada Haikal disana. Tengah duduk sambil menyilangkan kedua tangannya dan menatap dua insan yang baru saja masuk.

“Telat dua detik,” ucap lelaki paruh baya itu.

Caca hanya menyerengah. Sedangkan Bara lebih dulu berjalan mendekat ke arah Haikal lalu menyalaminya.

“Selamat malam om, hehe. Saya Bara anaknya Zidan, sobat sehidup semati om Haikal,” jelas Bara membuat Haikal menatapnya.

“Gak nanya,” jawab Haikal emmbuat Bara menelan salivanya.

“Kakak masuk dulu, ayah mau ngomong sama Bara,” ucap Haikal membuat Caca mengangguk lantas pergi.

“Duduk,” ucap Haikal pada Bara membuat lelaki itu segera duduk.

“Jadi kam—“

“Om, saya gak aneh-aneh kok sumpah serius demi. Saya tadi cuma ngajak makan Caca makan pecel ayam. Terus beli boba, terus jalan-jalan keliling kota. SUMPAH!!’l cerocos Bara membuat Haika menatapnya aneh.

Haikal menggeleng. “Gak jelas, kayak bapak lo,” celetuk Haikal.

“Om please jangan pisahin saya sama Caca,” ucap Bara lagi membuat Haikal berusaha keras menahan tawanya.

Memang anak Zidan ini tidak ada bedanya dengan sang ayah.

“Bara …”

“Caca itu putri saya satu-satunya.”

“Saya selalu takut kalau Caca dekat dengan laki-laki. Saya gak mau liat putri saya sakit.”

Haikal menghela napasnya. “Saya gak larang kamu buat dekat sama Caca. Tapi saya cuma mau minta tolong.”

“Sekiranya kamu mau main-main lebih baik jangan dekati putri saya, ya? Syukur kalau memang kamu sayang sama Caca. Tapi saya gak mau dengar Caca sedih gara-gara kamu. Sekalipun kamu anak dari sahabat saya, jika sudah menyakiti putri kecil kesayangan saya. Saya gak akan segan buat ngasih pelajaran ke kamu.”

Bara mengangguk.

“Nikmatij waktu muda kalian, saya gak akan larang. Tapi tolong tahu batasan, ya? Jangan rusak putri kesayangan saya.”

“Karena kalau dia sakit, saya pun sakit. Jadi tolong ingat ucapan saya untuk tidak menyakiti Caca, ya, Bar?”

Entah sudah berapa kali Fauzan mengganti playlist mencoba mencari musik yang sekiranya enak untuk di dengar.

Juli hanya bisa terkekeh pelan ketika melihat raut wajah kesel Fauzan. Ditambah lagi, jalanan kota malam ini cukup padat, membuat mobil yang mereka kendarai terdiam di antara banyaknya kendaraan lain di jalanan.

Fauzan menghela napasnya ketika akhirnya ia menemukan musik yang cocok.

Lagi-lagi Juli terkekeh.

“Udah kalem ih,” ucap Juli, sedangkan Fauzan hanya menyerengeh.

Atensi Fauzan beralih memperhatikan lampu-lampu kendaraan serta gedung-gedung malam ini. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari lagi.

Sial

Sepertinya langit pun tahu keresahan hati Fauzan saat ini.

Fauzan melirik Juli yang tengah memainkan jemarinya, lantas lelaki itu berdehem. “Ekhem.” Sontak Juli menoleh pada Fauzan.

Fauzan terlekeh. “Jadi kenapa?” Tanyanya membuat Juli mengangkat sebelah alisnya.

Juli memperhatikan raut wajah Fauzan yang terlihat lelah. “Capek ya, Zan?” tanya Juli membuat lelaki itu terkekeh pelan kemudian menggeleng.

“Enggak kok,” ucapnya tersenyum.

Hening, kemudian tak lama terdengar lagi suara gemuruh lantas perlahan rintik hujan pun turun. Membuat Fauzan mendesah.

Juli terus memperhatikan Fauzan.

Dalam hati ini menghangat, ketika tiba-tiba saja ia teringat tentang Fauzan beberapa tahun kebelakang.

Lelaki ini. Lelaki yang awalnya Juli kira akan selalu membenci dirinya. Kini ia ada disini bersama Juli, selama tiga tahun lamanya. Lelaki ini berusaha untuk membuat Juli lebih baik.

Juli tidak mengerti, kenapa bisa Fauzan sebaik ini padanya.

Juli menghela napasnya.

Seandainya saja ia bisa membuka hati untuk Fauzan,’ungkin ia akan jadi perempuan paling bahagia, ya?

“Ozan …,” ucap Juli membuat Fauzan menoleh.

“Hmm?”

“Sagara …”

Fauzan terdiam menatap Juli.

“Tentang Sagara ak—“

“Iya gue tau lo masih sayang Sagara.” Fauzan memotong ucapan Juli.

“Fauzan, inget enggak yang pernah aku bilang sama kamu waktu itu? Seandainya Sagara muncul lagi ak—“

“Iya gue tau.” Lagi, Fauzan memotong ucapan Juli

Juli mengangguk.

Fauzan tiba-tiba saja membenarkan posisinya agar lebih menghadap Juli. Kemudian tanpa aba-aba lelaki itu menangkup wajah Juli dan mengusapnya.

“Gue enggak masalah. Jangan mikirin gue, ya?” Fauzan tersenyum.

“Apapun keputusan lo. Gak bakal bikin gue benci sama lo. Up to you selama itu bikin lo bahagia,” ucap Fauzan membuat Juli menunduk lantas ia terisak pelan.

Fauzan terkekeh.

Menang Juli ini cengeng.

“Juli lo tau enggak? Setiap kali gue tidur. Gue cuma berharap dan percaya kalo lo ada disini. Setiap malam. Gue percaya lo selalu ada disini.”

“Dan ya, lo masih ada sama gue. Walau kenyataannya gue enggak bisa milikin lo. Tapi gue bersyukur karena lo enggak pernah pergi dari gue.”

Juli masih setia terisak dengan kepalanya yang menunduk. Sedangkan Fauzan, ia kini menggenggam jemari Juli erat.

“Bagi gue, ketemu sama lo itu hal paling luar biasa yang udah Tuhan atur.”

“Berkat lo gue jadi paham banyak hal. Berkat lo juga gue bisa mensyukuri setiap hal-hal kecil yang terjadi di hidup gue, Jul.”

Rintik hujan dan gemuruh terdengar semakin keras. Seolah mereka tahu jika saat ini ada yang tengah rapuh.

“Ozan, maaf …,” lirih Juli membuat Fauzan menggeleng.

“Gak perlu minta maaf, okay?”

Fauzan tersenyum, sangat lebar.

“Jul …”

you're the most beautiful thing i’ve ever met lo cantik, lo baik, dan lo hebat banget. Gue bangga, gue seneng bisa jadi bagian dari hidup lo.”

Juli semakin terisak. Juli menggelengkan kepalanya berusaha meredakan tangisnya membuat Fauzan terkekeh.

Fauzan menangkup wajah Juli dan mengusap air matanya. “Jangan buang air mata lo ya. Air mata lo terlalu berharga buat nangisin hal-hal yang gak penting.”

“*I don’t deserve you Zan …,” ucap Juli pelan membuat Fauzan terdiam.

“Masih banyak hal-hal rumpang, masih banyak pecahan yang hilang disini. Dan sampai kapanpun aku enggak bakal bisa perbaikin pecahan itu, sekali pun ada potongan baru yang nyoba buat ngisi.”

“Maaf, ya?” ucap Juli pelan.

Fauzan menatap Juli.

Ah dia ternyata sangat menyayangi perempuan satu ini. Bahkan ia mengabaikan perasaan sakitnya.

Fauzan mengangguk. “*It’s okay, gue gapapa …,” ucapnya tersenyum.

Juli menatap Fauzan, kemudian ia kembali terisak, membuat Fauzan tertawa lantas ia menarik Juli ke dalam dekapannya.

Fauzan memeluk Juli dengan erat, seolah ia tidak ingin kehilangan hangatnya.

“Fauzan …”

“Cari bahagia kamu yang lain, ya? Maaf selama ini aku cuma bisa repotin kamu.”

Fauzan menggeleng. “Gak.”

Juli mengeratkan pelukannya.

Sesak sekali, sebab malam ini ia harus menyelesaikan semuanya, sebelum terlambat.

Jemari Fauzan bergerak mengusap pucuk kepala Juli.

Go ahead, don’t worry Jul. I’m okay, always.” Fauzan tersenyum sambil sesekali menyesap wangi milik perempuannya ini.

“Apapun yang lo lakuin, gue disini buat lo. Dan meskipun suatu saat nanti lo butuh gue, gue bakalan terus disini. Liatin lo, sampe akhirnya gue yakin kalo lo udah bisa berjalan sendirian tanpa gue,” ucap Fauzan.

“Udah ya jangan nangis …”

“Gue sayang sama lo.”

“Jadi, lo harus senyum, ya? Biar gue juga ikut bahagia …” Fauzan kembali tersenyum.

Demi apapun sesak sekali.

Dan sampai kapan pun, Fauzan tidak akan bisa memasuki tempat itu. Tempat paling rapuh yang selalu Juli sembunyikan. Bahkan setelah tiga tahun lamanya, Juli tidak pernah membiarkan siapapun masuk untuk memperbaiki tempat itu. Termasuk Fauzan.

Maka dari itu yang Fauzan lakukan saat ini hanyalah tersenyum sambil memeluk tubuh rapuh Juli tanpa pernah memaksa untuk masuk ke dalamnya.

Dan mereka ini hanya sebatas Hampir

Rasanya, suasana kota malam ini terasa cukup nyaman. Mobil-mobil yang biasanya memenuhi jalanan, sekarang terasa tidak begitu penuh.

Sambil duduk di pinggiran jalanan kota malam ini, Juli tengah asik tertawa mendengar ocehan dari Fauzan yang terdengar lucu.

Lelaki itu berbicara banyak hal sampai-sampai ia tersedak sebab terlalu banyak berbicara.

Fauzan, ya? Lelaki yang dulu Juli kenal karena menurutnya ia sangat galak. Apalagi dengan perkataannya yang sering kali menyakiti. Namun, Juki tidak peenah tahu, kalau ternyata Fauzan mempunyai sisi baik yang sangat baik.

Terdengar helaan napas dari lelaki di hadapannya. “Bentar, gigi gue sakit. Ini jagung bakar keras banget anjir,” ucap Fauzan yang lagi-lagi membuat Juli tertawa.

“Punyaku enak kok. Coba minta bakar lagi aja ke bapaknya,” ucap Juli pada Fauzan, membuat lelaki itu mengangguk dan segera menghampiri bapak penjual.

Juli hanya menggelengkan kepalanya pelan. Netra Juli bergerak menatap langit malam yang terlihat cukup ramai oleh bintang.

Hari ini ulang tahunnya.

Juli menghela napasnya lantas ia memejamkan matanya sejenak. Berharap semoga hari esok ia lewati dengan baik dan bahagia.

“Ekhem,” ucap Fauzan tiba-tiba membuat Juli segera membuka matanya.

Mata Juli membulat ketika ia melihat Fauzan berdiri sambil membawa sekotak kue kecil di tangannya.

“Selamat ulang tahun, Jul,” ucap Fauzan tersenyum.

Juli terdiam. Pasalnya ia terkejut. Sejak kapan Fauzan menyiapkan kue seperti ini?

Fauzan terkekeh melihat ekspresi Juli, ia kemudian duduk di hadapan Juli.

“Gak usah mikirin gue bisa bawa kue dari mana. Intinya, selamat ulang tahun, ya? Ini kue kecil tapi, maaf, hehe.”

Juli menatap Fauzan, lantas ia tersenyum manis, sangat manis. Sampai-sampai Fauzan tidak sadar jika dirinya juga tengah tersenyum.

“Makasih banyak Ozan …,” ucap Juli.

“Bentar nyalain dulu, haha.” Fauzan tertawa sebelum akhirnya ia menyalakan lilin.

Juli terkekeh.

“Ayo bikin harapan,” ucapnya.

“Juli mengangguk.”

Fauzan memperhatikan Juli yang tengah fokus. Lagi-lagi ia tersenyum.

“Semoga nanti, baik aku atau orang-orang di sekitar aku selalu bahagia, aamiin,” ucap Juli sebelum akhirnya ia meniup lilin itu.

Fauzan tersenyum kembali, kemudian sebelah tangannya bergerak mengusap pucuk kepala perempuan itu.

“Selamat bertambah usia, Juli. Gue harap lo bahagia terus ya …”

Bagi kebanyakan orang, sabtu malam adalah waktu dimana mereka menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasihnya. Entah itu digunakan untuk sekedar jalan-jalan, nongkrong, atau hal-hal lain.

Saat ini, Fauzan sedang duduk berhadapan dengan Juli, sambil berdecak pelan sebab keramaian di sekitarnya.

Juli terkekeh pelan ketika ia melihat raut wajah Fauzan yang terlihat menekuk.

“Ini namanya ikan lele, ini namanya ayam goreng. Dan ini namanya e—“

“Gue tau. Emang lo pikir gue bego?” Potong Fauzan.

Juli kembali terkekeh. “Yah, kirain orang kayak kamu enggak tau.”

Fauzan menghela napasnya, kemudian dirinya menyentil kening Juli, membuat perempuan itu mengaduh.

“Udah, makan aja dah. Gue laper,” ucap Fauzan yang segera meraih nasi serta pecel ayam di hadapannya.

Juli lagi-lagi kembali tertawa kecil ketika ia memperhatikan raut wajah Fauzan yang begitu bersemangat menghabiskan nasi dan lauk di hadapannya.

“Pelan-pelan Ozan. Makan buru-buru itu gak baik,” ucap Juli sambil menikmati makanannya.

Fauzan hanya menatap Juli sekilas kemudian kembali fokus menghabiskan nasinya.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua akhirnya selesai makan. Dan tanpa berlama-lama, Fauzan segera membayar makanan itu dan mengajak Juli agar segera pergi dari sana.

Mereka berdua kini sudah berada di dalam mobil. Hanya ada hening di antara mereka.

Fauzan hanya terdiam, dan sesekali melirik Juli yang tengah menunggu Fauzan menjalankan mobilnya.

“Jul …,” ucap Fauzan.

“Iya?”

Fauzan kembali terdiam sejenak. Ia diam-diam memperhatikan setiap bagian pada wajah Juli.

Cantik ternyata.

“Kenapa Zan?” Tanya Juli.

Fauzan menyadarkan pikirannya. Lantas ia menggeleng.

“Gapapa,” ucapanya. Kemudiaj Fauzan langsung melajukan mobilnya menerobos jalanan yang cukup padat malam itu.

Karena terlalu hening, Fauzan memilih untuk memutar musik.

Pemutar musik itu mulai terdengar, memutarkan sebuah lagu yang entah kenapa terasa pas bagi Fauzan.

What if i told you that i love you?”

If i tell you all my feelings. Would you believe me?”

Fauzan bersenandung membuat Juli menatapnya.

“Suara kamu bagus,” ucap Juli membuat Fauzan menoleh lantas terkekeh.

“Emang,” balasnya dengan percaya diri.

Juli tersenyum pelan.

“Ozan, makasih ya,” ucap Juli tiba-tiba membuat Fauzan menoleh sejenak.

“Buat apaan? Tiba-tiba.”

“Udah jadi baik dan gak ngasih kata-kata jelek buat aku,” ucap Juli sedikit menunduk.

Fauzan terdiam. Lantas ia menghela napasnya. Pikirannya memutar kembali apa yang pernah ia katakan pada Juli dulu. Iya, dulu, sebelum Fauzan sadar kalau ternyata Juli ini berharga.

“Jul …,”

“Hmm?”

“Jangan nangisin hal-hal yang gak seharusnya lo tangisin, ya? Meskipun Sagara temen gue dari lama. Tapi gue enggak pernah membenarkan apa yang Sagara lakuin ke lo.”

“Gak deh, bukan cuma Sagara. Gue juga. Sorry, ya? Kalau waktu itu gue sering ngatain lo pake kata-kata kasar yang mungkin bikin lo sakit,” ucap Fauzan dengan netra yang fokus menyetir.

Juli mengangguk. “Gapapa Ozan, udah lalu kok. Mungkin ini pelajaran juga buat aku biar jangan terlalu percaya sama orang yang bahkan belum kamu kenal lama,” ucap Juli.

Fauzan mengangguk.

“Lo baik, jadi jangan jatuh lagi ke tangan orang yang salah, ok?” ucap Fauzan yang kini menoleh pada Juli sambil tersenyum manis.

“Iya, makasih banyak,” balas Juli.

Fauzan kembali mengalihkan fokusnya, lantas ia menarik napasnya dalam.

Jangan Zan,” batinnya

Fauzan berdecak ketika telinganya terus saja mendengar isakan tangis dari Juli.

Fauzan menghela napasnya. “Berisik banget elah, kayak anak kecil lo,” ucap Fauzan membuat Juli semakin menangis.

“Abisin dulu dah lo itu es kelapanya. Ingus lo nyatu,” sambungnya membuat Juli melayangkan pukulan pada Fauzan.

“Ih!”

Fauzan terkekeh pelan. Lantas ia segera menyimpan es kelapa yang ia genggam.

“Luka itu wajar, sakit hati itu wajar.”

“Yang gak wajar tuh, lo nangisin cowok brengsek, sia-sia air mata lo.”

Isakan Juli perlahan mereda, kemudian ia manatap Fauzan. “Kamu juga brengsek. Suka ngatain aku pake kata-kata ka—“ belum sempat ucapan Juli tuntas, Fauzan sudah lebih dulu membekapnya.

“Gak usah bahas gue,” ucapnya.

“Mmhh …,” ucap Juli tidak jelas sebab mulutnya ditutup oleh Fauzan.

Juli lantas menggingit Fauzan membuat lelaki itu melepaskan tangannya dari mulut Juli.

“BUSET, SAKIT BEGO!” Teriak Fauzan.

Juli tertawa melihat ekspresi kesakitan Fauzan.

“JUL, GIGI LO TAJEM BANGET,” lagi Fauzan berteriak sambil menunjuk bekas gigitan Juli.

Juli tergelak. “Makanya jangan kurang ajar,” ucap Juli.

Fauzan menatap Juli yang kini terlihat tengah tersenyum, walau masih terlihat ada air mata di ujunh matanya.

“Udah,” ucap Fauzan.

“Udahan nangisnya. Jelek lo,” lanjutnya.

Juli terkekeh. “Makasih, kamu lebih jelek.”

“Anjing.”

“Kasar!” Juli memukul Fauzan.

Mereka berdua kemudian saling menatap, lantas tertawa tanpa sebab.

“Makasih, Ozan …,”

Fauzan menatap Juli.

“Makasih udah bikin aku ketawa, hehe …”

Fauzan menghela napasnya. “Iya sama-sama.”

Siang itu, dengan perasaannya yang campur aduk, serta pikirannya yang tidak lepas dari Juli. Sagara mempercepat langkah kakinya agar segera masuk.

Netranya bergerak mencari atensi orang yang ia cari.

Sedikit ramai, membuat Sagara menyipitkan matanya berulang kali.

Kedua kakinya kembali melangkah ketika ia melihat Fauzan tengah duduk di meja halaman belakang,sambil berhadapan dengan perempuan yang ingin ia temui akhir-akhir ini.

“Ikut” ucap Sagara yang tiba-tiba saja meraih tangan Juli.

Juli yang tengah mengobrol berdama Fauzan lantas terkejut, begitu pula dengan Fauzan.

Sagara menarik Juli menjauh dari sana, membuat Juli kesakitan sebab genggaman Sagara terlalu kuat.

“Sa sakit …,” ucap Juli.

Sagara menghentikan langkahnya setelah dirasa cukup Jauh dari jangkauan Fauzan.

“Kenapa gak mau ketemu aku? Sedangkan Ozan, kamu mau,” tanya Sagara.

Juli terdiam kemudian ia menghela napasnya.

“Jawab Jul.”

“Aku sakit, aku nungguin kamu. Aku pengen jelasin semuanya sama kamu. Tapi ka—“

“Ok, silahkan jelasin.” Nada bicara Juli terdengar sangat datar membuat Sagara terdiam.

“Ayo, katanya mau jelasin.”

“Apa yang mau dijelasin? Hubungan kita yang cuma sebatas taruhan, iya?”

Lagi, Sagara terdiam.

“Bukan gitu …,”

Juli menarik napasnya dalam, kemudian ia menatap Sagara.

“Kita udah selesai, Sa.”

Sagara menggeleng.

Juli segera melangkahkan kakinya, namun Sagara lebih dulu menahan tangan Juli.

“Dengerin aku du—“

“Lepasin, Sa,” ucap Juli berusaha melepaskan genggaman Sagara.

“DENGERIN GUE DULU JULI!” Sagara berteriak membuat Juli terdiam.

“LO SALAH PAHAM!”

Netra Sagara memerah, ia menatap Juli dengan tangannya yang mencengram pergelangan perempuan itu kuat.

“Gak usah teriak!” Tiba-tiba Saja Fauzan datang menarik Juli agar terlepas dari Sagara. Membuat Sagara menatap Fauzan penuh amarah.

Tangannya mengepal, lantas tanpa berlama-lama Sagara segera mendekat.

“Anjing! Gara-gara lo!” Umpat Sagara yang tiba-tiba saja menarik Fauzan dan melayangkan sebuah pukulan pada wajahnya, membuat beberapa orang disana berteriak kaget termasuk Juli.

Fauzan yang kini terjatuh menatap Sagara. Kemudian ia berdiri dan langsung menarik kerah baju Sagara. “Maksud lo apaan monyet!” Fauzan menatap Sagara penuh amarah.

Juli yang melihat itu buru-buru mendekat berusaha memisahkan.

“Lo ngapain kesini? Mau deketin Juli, lo?” Tanya Sagara.

Tangan Juli berusaha melepaskan genggaman Sagara dari kerah baju Fauzan.

“Sa, udah jangan gini …”

“JAWAB ANJING!” Teriak Sagara membuat Fauzan yang tadinya diam naik pitam.

“APAAN SIH TOLOL!”

“SAGARA U—“

“LO DIEM!” Teriak Sagara sambil mendorong Juli, membuat ucapan perempuan itu terpotong sebab ia terhuyung dan terjatuh.

Fauzan yang melihat itu lantas segera melayangkan pukulan pada wajah Sagara. “ANJING! PIKIR PAKE OTAK!” Ucap Sagara yang segera beralih meraih tangan Juli.

Sagara panik, ia lalu beranjak dan segera mendekat ke arah Juli. Namun, belum sempat Sagara mendekat, Juli sudah lebih dulu bersama Fauzan.

“Jul—“ ucap Sagara.

“Bacot, mending lo mikir. Sakit otak lo. Disini yang brengsek tuh elo!” Fauzan menunjuk Sagara.

Juli yang berada di samping Fauzan hanya bisa menunduk. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan Sagara.

Sagara mengacak rambutnya frustasi.

“Tolol!”