Bumi Gak Sehebat Kakak.

Anak itu menarik napasnya panjang ketika berdiri di depan pintu masuk rumah miliknya.

Jantungnya berdegup tidak beraturan, bahkan tangannya sedikit gemetar sebab sejak tadi skenario-skenario buruk sudah terangkai di pikirannya.

Sial, hari ini sangat sial. Padahal sudah sejak jauh-jauh hari Bumi bersiap, jikalau memang dirinya kembali mengecewakan Mama dan Papa perihal peringkat nilai yanh di raihnya.

Berbicara soal peringkat. Tadi pagi merupakan hari kelulusan bagi siswa kelas tiga dimana Azri—sang kakak akhirnya lulus dari SMP dan akan segeran memasuki dunia SMA. Dan tadi juga merupakan hari kenaikan kelas sekaligus pembagian peringkat bagi siswa kelas satu dan dua.

Tadi itu merupakan hari yang paling Bumi takutkan. Dan benar saja, peringkat yang didapat Bumi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Mama dan Papa.

Bumi kembali membuang napasnya, lalu dengan berani ia membuka pintu masuk rumah itu.

Perlahan Bumi berjalan menyusuri ruang tamu, kemudian tak lama langkahnya terhenti ketika Bumi menyadari jika sekarang di ruang tengah ada Mama dan juga Papa yang tengah duduk.

Bumi meneguk salivanya, jantungnya semakin berdegup tidak karuan. Demi apapun, ia sangat takut.

Apalagi ia mengingat jika pada kenaikan kelas tahun lalu, dirinya sampai terkena pukulan oleh Papa hanya karena dirinya tidak masuk ke dalam peringkat lima besar.

Johan—papa Bumi, menyadari kehadiran Bumi pun segera memanggilnya.

“Duduk,” ucapnya tanpa basa-basi.

Dengan takut, Bumi pun mendekat dan duduk berhadapan dengan Papa juga Mama.

Terdengar helaan napas dari Clarissa-Mama Bumi.

Tangan wanita itu menggenggam kertas peringkat dan buku rapor milik Bumi, lalu sedetik kemudian ia membantingnya ke atas meja membuat Bumi tersentak kaget.

“Ini yang katanya belajar? Ini yang bilangnya udah belajar?”

“Kenapa nilai matematikamu cuma enam puluh? Nilai IPA kamu cuma delapan lima?” Tanya Clarissa membuat Bumi menunduk.

“Udah berapa kali mama bilang. Matematika, IPA itu harus gede biar seimbang.”

“Nilai kesenian kamu sembilan lima? Itu gunanya buat apa?”

“Gambar doang, kan? Gak ada gunanya!”

Lagi, Clarissa terus saja mengoceh perihal nilai.

Jujur saja, Bumi juga tidak mengerti kenapa lagi-lagi di dua pelajaran itu Bumi selalu mendapat nilai yang menurut Clarissa rendah.

“Nilai seni gak bakalan kepake. Kamu besar nanti mau jadi apa, hah? Matematika sama ilmu sains aja gak becus.”

“Itu penting loh.”

“Liat nilai kakak kamu. Semua pelajaran dia bagus, seimbang, gak ada yang kurang. Sedangkan kamu?”

Bumi semakin menunduk mendengar ucapan Clarissa.

“Belajar, gak?” Tiba-tiba saja Johan angkat bicara membuat Bumi mengangguk.

“Apa? Belajar, gak?”

Lagi, Bumi kembali mengangguk.

“Ditanya tuh jawab! Bukan ngangguk aja. Punya mulut, kan? Gak sopan.”

“Iya Papa, Bumi belajar kok …,” cicitnya pelan.

Demi apapun Bumi tidak berani menatap netra kedua orang tuanya.

Ia takut, sangat takut.

Jujur saja, ini rasanya sangat sesak. Sebab lagi-lagi ia dipandang rendah hanya karena peringkat. Padahal Bumi pun sudah mati-matian belajar supaya mendapat nilai yang baik.

Setidaknya, apresiasi sedikit saja usaha Bumi. Namun Bumi sadar, baik Mama dan Papa, mereka semua hanya menyayangi Azri, sebab kakaknya itu selalu membuat bangga kedua orang tuanya, tidak seperti Bumi yang mungkin sejak lahir tidak pernah diharapkan kehadirannya.

“Papa, Mama. Maafin Bumi …,” gumamnya.

“Bumi janji kelulusan nanti Bumi bakalan dapat nilai yang baik,” ucapnya lagi.

“Tapi Ma, Pa. Bumi dapat juara tiga, boleh gak foto Bumi juga di posting Mama sama Papa kayak punya Kakak?” Pinta Bumi dengan nada suaranya yang rendah.

“Ngapain? Kamu aja ngecewain Mama. Ngapaian Mama harus banggain kamu?” balas Clarissa.

“Sana ke kamar. Renungin kesalahan kamu. Belajar, gak usah segala macem mau main,” ucap Clarissa yang kini beranjak meninggalkan Bumi dan Johan.

Netra Johan menatap Bumi yang tengah menunduk. Ia lalu menghela napasnya, dan tanpa belama-lama ia pun pergi meninggalkan Bumi yang tengah berusaha menahan tangisnya.

Diam-diam, Bumi pun mengusap pelan dadanya, supaya sesak yang meluap segera hilang.

“Bumi gak sehebat Kakak …,” gumamnya pelan.