Sebelum Beranjak Dewasa.
Derap langkah nyaring terdengar di telinga pemuda itu. Tubuh ringkihnya perlahan bergerak untuk segera membuka pintu kamarnya.
Kedua netranya menyipit kala ia bertatapan langsung dengan seorang wanita paruh bayu yang kini tengah berdiri tepat di hadapannya. “Ma—“
“Punya telinga enggak? Dari tadi dipanggil gak nyahut,” ucapan anak itu terpotong ketika tiba-tiba saja wanita di hadapannya angkat bicara.
“Kunci rumah, mama sama papa mau jemput kakak kamu ke rumah nenek,” lanjutnya lagi membuat anak itu terdiam lalu tersenyum tipis.
Dengan berani netranya bergerak menatap. “Bumi boleh ik—“
“Disini aja,” lagi, ucapan anak itu terpotong.
Lantas, ia lagi-lagi tersenyum tipis.
“Mama gak mau kamu nularin demam kamu ke kakak. Kamu disini aja, ada bibi di bawah,” ucap wanita paruh baya itu yang kemudian langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan anak itu yang masih berdiri di ambang pintu.
Jemari anak itu bergerak mengusap keningnya sendiri. “Padahal cuma demam sedikit …” gumamnya.
Anak kecil yang hangat dipanggil Bumi itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya, dengan perasaan yang sedikit sesak.
Bumi hanya bisa terduduk sambil memperhatikan jendela kamarnya. Terlihat di bawah sana kegiatan hangat yang dilakukan oleh mama, papa, dan sang kakak.
Bumi menghela napasnya panjang. Ia berusaha berpikir tentang hal-hal baik di balik alasan kenapa sang ibu enggan mengajaknya.
Tidak, ini bukan pertama kalinya bagi Bumi.
Bahkan sejak usianya masih kecil, dirinya sering sekali ditinggalkan sendirian. Seperti orang asing yang menumpang di rumah orang lain.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, menampilkan sebuah pesan masuk dari sang kakak yang memberitahukan jika dirinya akan berlibur di rumah nenek selama satu minggu.
Bumi terdiam sejenak setelah membaca pesan dari sang kakak. Anak lelaki kembali itu tersenyum kecut.
Bumi marah, Bumi kecewa, Bumi cemburu pada segalanya.
“Kenapa, ya. Mama sama papa selalu nomor satuin Kak Azri daripada Bumi?” Gumamnya lagi bertanya pada diri sendiri.
Ah, Bumi cemburu. Ia cemburu sebab lagi-lagi ia tidak pernah di nomor satukan, sebab lagi-lagi dirinya hanya bisa mengalah dan menurut untuk hal-hal sederhana.
Sekali saja, Bumi juga ingin merasakan bagaimana rasanya diistimewakan sebagai seorang anak.
Sekali, sekali saja. Ia ingin merasakan itu. Sebelum nantinya ia beranjak dewasa.