What if.

Bagi kebanyakan orang, sabtu malam adalah waktu dimana mereka menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasihnya. Entah itu digunakan untuk sekedar jalan-jalan, nongkrong, atau hal-hal lain.

Saat ini, Fauzan sedang duduk berhadapan dengan Juli, sambil berdecak pelan sebab keramaian di sekitarnya.

Juli terkekeh pelan ketika ia melihat raut wajah Fauzan yang terlihat menekuk.

“Ini namanya ikan lele, ini namanya ayam goreng. Dan ini namanya e—“

“Gue tau. Emang lo pikir gue bego?” Potong Fauzan.

Juli kembali terkekeh. “Yah, kirain orang kayak kamu enggak tau.”

Fauzan menghela napasnya, kemudian dirinya menyentil kening Juli, membuat perempuan itu mengaduh.

“Udah, makan aja dah. Gue laper,” ucap Fauzan yang segera meraih nasi serta pecel ayam di hadapannya.

Juli lagi-lagi kembali tertawa kecil ketika ia memperhatikan raut wajah Fauzan yang begitu bersemangat menghabiskan nasi dan lauk di hadapannya.

“Pelan-pelan Ozan. Makan buru-buru itu gak baik,” ucap Juli sambil menikmati makanannya.

Fauzan hanya menatap Juli sekilas kemudian kembali fokus menghabiskan nasinya.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua akhirnya selesai makan. Dan tanpa berlama-lama, Fauzan segera membayar makanan itu dan mengajak Juli agar segera pergi dari sana.

Mereka berdua kini sudah berada di dalam mobil. Hanya ada hening di antara mereka.

Fauzan hanya terdiam, dan sesekali melirik Juli yang tengah menunggu Fauzan menjalankan mobilnya.

“Jul …,” ucap Fauzan.

“Iya?”

Fauzan kembali terdiam sejenak. Ia diam-diam memperhatikan setiap bagian pada wajah Juli.

Cantik ternyata.

“Kenapa Zan?” Tanya Juli.

Fauzan menyadarkan pikirannya. Lantas ia menggeleng.

“Gapapa,” ucapanya. Kemudiaj Fauzan langsung melajukan mobilnya menerobos jalanan yang cukup padat malam itu.

Karena terlalu hening, Fauzan memilih untuk memutar musik.

Pemutar musik itu mulai terdengar, memutarkan sebuah lagu yang entah kenapa terasa pas bagi Fauzan.

What if i told you that i love you?”

If i tell you all my feelings. Would you believe me?”

Fauzan bersenandung membuat Juli menatapnya.

“Suara kamu bagus,” ucap Juli membuat Fauzan menoleh lantas terkekeh.

“Emang,” balasnya dengan percaya diri.

Juli tersenyum pelan.

“Ozan, makasih ya,” ucap Juli tiba-tiba membuat Fauzan menoleh sejenak.

“Buat apaan? Tiba-tiba.”

“Udah jadi baik dan gak ngasih kata-kata jelek buat aku,” ucap Juli sedikit menunduk.

Fauzan terdiam. Lantas ia menghela napasnya. Pikirannya memutar kembali apa yang pernah ia katakan pada Juli dulu. Iya, dulu, sebelum Fauzan sadar kalau ternyata Juli ini berharga.

“Jul …,”

“Hmm?”

“Jangan nangisin hal-hal yang gak seharusnya lo tangisin, ya? Meskipun Sagara temen gue dari lama. Tapi gue enggak pernah membenarkan apa yang Sagara lakuin ke lo.”

“Gak deh, bukan cuma Sagara. Gue juga. Sorry, ya? Kalau waktu itu gue sering ngatain lo pake kata-kata kasar yang mungkin bikin lo sakit,” ucap Fauzan dengan netra yang fokus menyetir.

Juli mengangguk. “Gapapa Ozan, udah lalu kok. Mungkin ini pelajaran juga buat aku biar jangan terlalu percaya sama orang yang bahkan belum kamu kenal lama,” ucap Juli.

Fauzan mengangguk.

“Lo baik, jadi jangan jatuh lagi ke tangan orang yang salah, ok?” ucap Fauzan yang kini menoleh pada Juli sambil tersenyum manis.

“Iya, makasih banyak,” balas Juli.

Fauzan kembali mengalihkan fokusnya, lantas ia menarik napasnya dalam.

Jangan Zan,” batinnya