Luka itu Wajar.
Fauzan berdecak ketika telinganya terus saja mendengar isakan tangis dari Juli.
Fauzan menghela napasnya. “Berisik banget elah, kayak anak kecil lo,” ucap Fauzan membuat Juli semakin menangis.
“Abisin dulu dah lo itu es kelapanya. Ingus lo nyatu,” sambungnya membuat Juli melayangkan pukulan pada Fauzan.
“Ih!”
Fauzan terkekeh pelan. Lantas ia segera menyimpan es kelapa yang ia genggam.
“Luka itu wajar, sakit hati itu wajar.”
“Yang gak wajar tuh, lo nangisin cowok brengsek, sia-sia air mata lo.”
Isakan Juli perlahan mereda, kemudian ia manatap Fauzan. “Kamu juga brengsek. Suka ngatain aku pake kata-kata ka—“ belum sempat ucapan Juli tuntas, Fauzan sudah lebih dulu membekapnya.
“Gak usah bahas gue,” ucapnya.
“Mmhh …,” ucap Juli tidak jelas sebab mulutnya ditutup oleh Fauzan.
Juli lantas menggingit Fauzan membuat lelaki itu melepaskan tangannya dari mulut Juli.
“BUSET, SAKIT BEGO!” Teriak Fauzan.
Juli tertawa melihat ekspresi kesakitan Fauzan.
“JUL, GIGI LO TAJEM BANGET,” lagi Fauzan berteriak sambil menunjuk bekas gigitan Juli.
Juli tergelak. “Makanya jangan kurang ajar,” ucap Juli.
Fauzan menatap Juli yang kini terlihat tengah tersenyum, walau masih terlihat ada air mata di ujunh matanya.
“Udah,” ucap Fauzan.
“Udahan nangisnya. Jelek lo,” lanjutnya.
Juli terkekeh. “Makasih, kamu lebih jelek.”
“Anjing.”
“Kasar!” Juli memukul Fauzan.
Mereka berdua kemudian saling menatap, lantas tertawa tanpa sebab.
“Makasih, Ozan …,”
Fauzan menatap Juli.
“Makasih udah bikin aku ketawa, hehe …”
Fauzan menghela napasnya. “Iya sama-sama.”