Rintik hujan terdengar begitu keras mengantam tanah, entah kebetulan atau memang langit tahu jika saat ini ada manusianya yang tengah patah lantas mereka ikut merasakan sakitnya.
Hanya terdengar suara hujan dan deru napas kedua insan itu di dalam mobil.
Sena yang tengah duduk sambil memperhatikan rintik hujan, sedangkan Raka yang tengah menatap lurus ke depan sambil menggenggam kemudinya.
Tidak ada yang memulai pembicaraan di antara keduanya. Hanya helaan napas saja yang terdengar selama beberapa menit.
Pikiran keduanya pun sibuk dengan banyak hal yang seolah memaksa mereka untuj menutup mulut, padahal baik dari Sena dan Raka banyak sekali halyang harus dibicarakan.
Raka menghela napasnya panjang, ia perlahan melirik ke arah Sena yang tengah menatap kaca mobil sambil menggigit jemarinya.
Raka tahu, Sena sedang menahan tangis.
“Sayang …,” ucap Raka memberanikan diri sambil berusaha menggenggam jemari kecil milik Sena.
Sena hanya terdiam tanpa menolak.
Demi apapun, perempuan itu mati-matian menahan agar tidak menangis.
“Sayang …”
“Liat aku,” pinta Raka.
“Maaf, ya?” ucap Raka pelan sambil mengusap Sena.
Sena menatap Raka, tatapannya terlihat sangat sendu, benar-benar menyakitkan.
“Kenapa, Ka?” Sena bertanya.
“Kenapa harus kayak gini?” ucap Sena dengan nada suaranya yang bergetar.
Tanpa sadar, air mata Sena jatuh.
“Jahat tau gak,” ucap Sena memukul pelan pundak Raka membuat lelaki itu menunduk.
“Jahat banget …,” lirih Sena.
“Maaf,” ucap Raka pelan.
Sena menangis, ia menangis di hadapan Raka saat ini. Sena menangis sangat keras. Bahkan Raka pun tidak pernah mendengar tangisan Sena yang sangat menyakitkan ini.
Tanpa aba-aba, Raka pun menarik Sena ke dalam pelukannya.
Sena berontak, ia kembali memukul Raka dari mulai pukulan keras hingga perlahan melemah.
Sena menangis di pundak Raka.
Berkalu-kali Raka menggumaankan kata maaf pada Sena sebab ia benar-benar menyesal. Dan berkali-kali juga Sena menggumamkan kata kata jahat pada Raka.
“Aku disini ketakutan Raka. Aku takut banget kehilangan kamu kayak aku kehilangan Papa …”
“Tapi kenapa sih, Ka? Kamu kayak gitu? Kenapa segampang itu kamu biarin orang baru masuk ke rumah kamu? Sedangkan kenyataannya penghuni rumah yang asli masih ada.”
Raka hanya terdiam membiarkan Sena mengeluarkan semuanya.
“Kamu bilang cuma perlu rehat sejenak, tapi kenapa malah nyari rumah baru dengan alasan khilaf?”
“Ka …”
“Kita gak sebecanda itu.”
“Kita udah lama.”
“Raka …”
“KENAPA LO JAHAT BANGET!” Teriak Sena tiba-tiba membuat Raka mengeratkan pelukannya dan kembali menggumamkan kata maaf.
“Maaf, maaf, maafin aku …,”
Lirih Raka.
Sena kembali terisak, ia kembali melayangkan pukulan pada Raka.
Sena menggeleng, ia benci sekali pada Raka, namun di sisi lain ia juga menyayangi Raka.
“Sekarang aku harus apa?”
“Pura-pura gak tau?” Tanya Sena membuat Raka terdiam.
“Jawab, Ka. Aku harus kayak gimana sekarang?” tanya Sena lagi sambil melepaskan pelukannya.
Raka masih enggan menjawab.
“Aku harus gimana, Ka? Harus pura-pura gak tau? Harus bersikap seolah gak terjadi apa-apa? Aku harus gimana, Ka?” Tanya Sena berkali-kali.
“JAWAB!”
“AKU GAK TAU!” Tiba-tiba saja Raka balik berteriak.
Raka mengurut keningnya lalu ia memukul kemudi dengan keras.
Sena kembali terisak.
Raka memukul kepalanya sendiri dan kembali menatap Sena yang tengah menangis, lantas Raka kembali menarik Sena ke dalam pelukannya.
“Maaf …,” gumamnya lagi.
“Kita udah hancur, Ka,” ucap Sena membuat Raka menggeleng.
“Masih bisa kita perbaikin Sen.”
Sena menggeleng.
“Sakit, Ka …,” lirihnya.
“Maaf …”
Demi apapun, keduanya sama-sama merasa sakit. Sena menyayngi Raka namun ia pun kecewa pada Raka. Begitu juga sebaliknya. Raka menyayangi Sena, namun Raka sudah menghancurkannya.
“Katanya sayang, tapi kenapa gini …,” lirih Sena lagi.
“Capek, aku mau pulang ke rumah mama …,” isak Sena.
Raka mengeratkan pelukannya, ia mengecup pucuk kepala Sena berkali-kali.
“Raka jahat, kamu jahat banget.”
“Maaf, maaf sayang maaf ya …,” bisik Raka berkali-kali.
Sena terisak ia benar-benar hancur.
“Raka …”
“Kita udahan aja, ya?”
Raja menggeleng keras dan semakin mengeratkan pekukannya.
“Enggak aku gak mau. Please maaf, kasih aku kesmepatan.”
“Hati kamu udah gak sepenuhnya buat aku.”
Raka kembali menggeleng. “Masih utuh buat kamu.”
Sena menggeleng. “Capek, mau pulang …,” pinta Sena.
“Jangan kemana-mana maaf …,” gumam Raka.
Sena hanya terdiam tanpa menjawab lagi apa yang Raka minta.
“Sorry, sorry for breaking your heart, ya” ucap Raka yang kini mengusap air mata Sena dan mengecup keningnya berkali-kali.
Sena hanya terdiam membiarkan Raka mengecup dan mengusapnya.
“Pulang Ka …,” lirih Sena.
“Iya, kita pulang ya …,” ucap Raka sebelum akhirnya melajukan mobilnya pergi dari sana.
Seandainya saja bisa. Sena ingin mengulang waktu dan kembali ke masa dulu, dimana ia dan Raka baik-baik saja. Dimana tidak ada pertengkaran di antara mereka.
Seandainya saja bisa. Sena ingin kembali dan memperbaiki dirinya supaya Raka tidak pernah merasa kurang terhadap dirinya.
Namun mesikipun begitu, waktu tetaplah waktu. Tidak akan pernah bisa di ubah kembali. Meskipun kenyataannya sekarang harus merasakan banyak kesakitan.