Jjaejaepeach

Kini Zeya, Mima, Deva, Bima dan juga Jeano hanya bisa terduduk di kursi halaman belakang rumah sakit setelah pertengkaran beberapa menit yang lalu.

Zeya masih sangat marah, apalagi pada Bima dan Jeano.

Di samping Zeya ada Mima yang berusaha menenangkan Zeya supaya tidak terlalu marah.

“Lo semua sadar gak sih? Kalo disini yang harusnya di salahin tuh si Nana, sepupu lo,” ucap Zeya sambil menunjuk Deva yang tengah terdiam di hadapannya.

“Lagi, lo ngapain malah nyuruh tuh anak pergi? Gue belum puas jambaknya sialan!” umpat Zeya membuat Jeano meliriknya.

“Apa lo liat-liat? Mau marah juga sama gue? Gak terima gue jambak Nana?” Tanya Zeya membuat Jeano memutar bola matanya.

Terdengar helaan napas dari Zeya.

“Gak usah nutup mata. Lo semua bahkan tau gimana Raka sama Nana di belakang Sena.”

“Lo sendiri bahkan nelepon gue waktu itu ngasih tau apa yang Raka sama Nana lakuin di villa,” ucap Zeya menunjuk Bima.

“Tapi kenapa pas Raka kecelakaan lo semua nyalahin Sena?”

“Lo pikir Sena mau gitu ini kejadian?”

“Gue tau.”

“Lo sama lo,” ucap Zeya menunjuk Bima dan Jeano.

“Lo berdua bahkan nyalahin Sena dan nyuruh dia tanggung jawab atas Raka?”

“Lah, orang Raka kecelakaan karena abis ketemu temen lo.”

Zeya menatap Bima. “Tolol.”

“Mikir! Emang Sena Tuhan? Emang Sena yang ngatur dan bikin Raka kecelakaan?”

“TEMEN LO AJA YANG BEGO!” ucap Zeya dengan nada suara yang meninggi.

“Giliran gini aja lo cuma bisa diem,” ucap Zeya menunjuk Jeano.

“Apaan sih,” sahut Jeano.

“Bacot lo kayak cewek, tapi giliran udah bikin anak orang hancur, lo malah diem. Bisu lo?” ucap Zeya lagi.

Mima sejak tadi hanya mencoba menenangkan Zeya, sebab temannya satu ini memang tidak pernah main-main jika sudah marah.

“Punya otak gak? Mikir!”

“Udah Zey …,” tiba-tiba saja Deva menyahuti.

Zeya menatap Deva.

“Lo juga. Gue marah sama lo.”

“Udah tau sepupu lo gatel, kenapa lo diem aja? Giliran udah gini baru bertindak.”

“Mana sepupu lo? Gue tampar sekalian.” Zeya benar-benar sangat marah.

“Punya otak tuh dipake. Bukan malah dipake buat mikirin gaya doang.”

“Sampah lo semua.”

Dengan napasnya yang tak beraturan, Zeya berjalan terburu-buru untuk menghampiri orang-orang yang sangat ingin ia maki.

Di belakangnya pun ada Mima yang mengikuti.

Terlihat di halaman belakang rumah sakit ada beberapa orang yang tengah asik menyesap rokoknya.

“Brengsek lo semua!” Teriak Zeya tiba-tiba dengan tangan yang bersiap memukul Bima yang berdiri dekat tihang lampu, membuat semua yang di sana terkejut.

“Anjing!” Umpat Bima ketika Zeya memukul pundaknya keras.

“APAAN SIH LO!” Bika berteriak.

“LO ANJING!” Zeya balik berteriak.

Mima hanya terdiam membiarkan Zeya meluapkan amarahnya.

Napas Zeya tak karuan ia menatap satu per satu orang di sana.

Ada Bima, Jean, Deva dan juga …

Nana.

“Oh, jadi lo yang udah bikin Sena ancur?” ucap Zeya ketika melihat Nana yang berdiri dengan raut wajah polosnya seolah tidak tahu apa-apa.

Tanpa aba-aba Zeya berjalan mendekat bersiap menarik rambut Nana.

“JAHAT LO JADI CEWEK!” Teriak Zeya.

“ZEY!” Tiba-tiba saja Jeano berteriak dan berusaha melepaskan Zeya yang tengah menjambak Nana.

“APAAN SIH LO!” Teriak Jeano.

“LO YANG APAAN BANGSAT!” Teriak Zeya lagi.

Saking emosinya, Zeya bahkan berteriak sambil menangis.

“LIAT SENA ANJING!”

“TEMEN GUE HANCUR GARA-GARA LO SEMUA!” Teriak Zeya menunjuk satu per satu orang di sana.

“MIKIR! MAKSUD LO SEMUANYA NYALAHIN SENA ATAS KEJADIAN RAKA APA?”

Semua orang terdiam.

“MIKIR!”

“TEMEN GUE SEHANCUR ITU GARA-GARA RAKA SAMA LO BAJINGAN,” teriak Zeya menunjuk Nana.

Zeya menangis histeris. Ia kembali memukuli Bima yang tengah terdiam.

“MIKIR. KALO BUKAN KARENA PEREMPUAN INI, SENA GAK BAKAL HANCUR DAN BERUSAHA BUAT AKHIRIN HIDUPNYA.”

“KALO BUKAN KARENA PEREMPUAN INI, RAKA, TEMEN KESAYANGAN LO SEMUA GAK BAKAL CELAKA.”

“LO SEM—“

“UDAH CUKUP!” Tiba-tiba saja Deva berteriak.

“CUKUP ANJING!” Teriak Deva yang sedari tadi menahan amarahnya, membuat Zeya terdiam.

Di samping Deva ada Nana yang mencoba mendekat.

“Lo pergi dulu, Na,” ucap Deva.

“Dev …,” lirih Nana ketakutan.

“GUE BILANG PERGI!” Teriak Deva yang langsung membuat Nana bergegas pergi.

Deva mengacak rambutnya frustasi. Kemudian ia menghela napasnya.

Hening sejenak. Mereka semua hanyut dalam pikiran masing-masing.

Zeya kembali menangis dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

“Kenapa sih …”

“Sena gak seharusnya ngerasain hal ini …”

Deva kembali menghela napasnya ia lantas menarik Zeya agar kembali berdiri.

“Sorry, Zey.”

“Sorry ya, dari awal ini salah gue,” ucap Deva.

Zeya menangis.

Deva kembali menarik napasnya dalam.

Di satu sisi Bima kebingungan ketika mendengar Sena yang berusaha mengakhiri hidupnya.

“Ini ada apa sih anjing,” sahut Bima kebingungan, sedangkan Jeano kini berjongkok sambil mengacak rambutnya frustasi.

“Sena kenapa?” Tanya Bima.

“Dia masuk rumah sakit ini karena mau loncat dari jembatan,” sahut Mima.

“Anjing?!” Mata Bima membulat.

Zeya hanya menatap Bima kesal sebab ia tahu jika Bima salah satu penyebab kenapa Sena merasa lelah.

“Diem lo,” sahut Zeya.

“Siapa yang bawa Sena kesini? Lo tau dari siapa Sena mau l—“

“Gue.”

ucapan Bima terpotong ketika Deva tiba-tiba menyahuti.

Jeano dan Bima serempak menatap Deva.

“Gue yang bawa Sena kesini.”

“Kenapa?”

Semua orang terdiam.

“Ah anjinglah kenapa jadi kacau gini,” ucap Bima frustasi begitu juga dengab Jeano yang hanya terdiam sejak tadi.

Waktu menunjukan hampir pukul setengah tiga pagi. Zeya dan Mima berlari menuju ruangan rawat inap dimana Sena berada.

Selama perjalanan ke rumah sakit, Zeya dan Mima benar-benar khawatir pada Sena, mereka bahkan menangis. Bahkan Zeya sempat menyalahkan dirinya sendiri karena tadi tepatnya pukul sembilan malam, Sena meneleponnya namun tidak terangkat lantaran ia tertidur.

Zeya berkali-kali mencoba menghubungi Sena. Apalagi ketika pesan terakhir yang Zeya dapati adalah kalimat dimana Sena mengatakan jika dirinya sangat lelah sambil mengirimkan beberapa screenshot pesan dari teman-teman Raka.

Zeya dan Mima buru-buru masuk setelah berada tepat di ruangan itu.

“SENA!” Teriak Zeya panik diikuti Mima yang juga berlari mendekat ke arah Sena yang tengah terbaring dengan infus ditangannya.

Buru-buru Zeya dan Mima duduk mendekat di samping Sena.

Terlihat sekali wajah bengkak tak karuan Sena. Membuat kedua sahabat Sena meringis.

“Sena sorry,” ucap Zeya menggenggam tangan Sena.

“Bodoh banget gue tadi malah asik teleponan sama Sajiwa,” sahut Mima.

Mereka berdua lalu mengusap Sena.

Mereka sangat tahu, jika di balik senyum dan keceriaan Sena, perempuan itu sebenarnya sangat rapuh.

“Sena lo kenapa sih,” isak Zeya.

“Anjing banget si Raka, tolol,” umpat Mima.

“Lo baca belum screenshot? Masa si Bima sama Jean nyalahin Sena, brengsek,” ucap Zeya membuat Mima mengangguk.

“Gue udah ba—“

Belum sempat Mima menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja pintu terbuka, membuat kedua orang itu menoleh.

Mereka berdua saling menatap.

“Kak Dika?” ucap mereka berbarengan.

Jika saja bisa, Sena akan memilih untuk tidak jatuh cinta pada Raka.

Jika saja bisa, Sena akan memilih untuk tetap pada pendiriannya dulu supaya tidak pernah menjatuhkan hatinya pada orang lain setelah apa yang Papa lakukan pada Sena dan Mama.

Dulu, ketika Sena pertama kali bertemu Raka, ia sama sekali tidak pernah berpikir jika akhirnya Sena akan menjatuhkan dunianya begitu saja pada Raka.

Awalnya Sena pikir semua akan baik-baik saja jika bersama Raka. Apalagi setelah kejadian dimana Papa mengecewakannya.

Dua tahun mereka menjalin hubungan. Dan selama itu juga mereka jarang sekali bertengkar sebab salah satu dari mereka pasti akan ada yang mengalah.

Sena tidak menyangkal, jika selama berhubungan dengan Raka, ia sering kali mengingatkan pada Raka perihal ia yang takut ditinggalkan. Dan memang benar, dari ketakutan itu juga sifat posesif Sena keluar.

Bukannya apa-apa, Sena hanya takut, ia takut Raka meninggalkannya seperti Papa meninggalkan Mama.

Dan memang benar. Ketakutan yang selama ini ada dipikiran Sena, tiba-tiba saja terjadi.

Entah sudah hancur berapa kali hati dan tubuh perempuan ini.

Malam ini, setelah perdebatan panjang Sena dengan batinnya, Sena memutuskan untuk pergi tanpa arah.

Hampir dua jam lamanya Sena berkeliling tanpa tujuan, dan entah sudah berapa uang yang ia habis kan untuk membayar kendaraan yang mengantarnya.

Hingga akhirnya Sena memutuskan untuk berhenti di sebuah jembatan.

Terdengar helaan napas dari perempuan itu.

Dingin, rasanya dingin sekali.

Sena menatap pemandangan di depannya. Terlihat jelas juga di kejauhan kerlip lampu-lampu dari daerah sebrang.

Netra Sena bergerak memperhatikan sekitar.

Sena hanya tersenyum.

“Raka!” Teriaknya.

Tubuh Sena terasa sakit, hatinya hancur, ia benar-benar hancur.

Tanpa sadar Sena menangis begitu saja. Berkali-kali ia memukuli dadanya guna meredakan rasa sesak.

“Sakit …” lirihnya.

Kenapa? Kenapa harus seperti ini?

Kenapa harus Sena yang dipaksa keluar dari kebahagiaannya? Kenapa pula Sena yang dipaksa melupa?

Sena menyayangi Raka, sangat.

Sena tidak pernah berpikir jika ia yang tadinya jadi orang paling bahagia, sekarang harus seperti orang paling hancur.

“CAPEK!” Teriaknya di ambang pembatas pagar itu.

Sena terisak ia menangis.

Sena masih nenyayangi Raka, tapi kenapa keadaan begitu cepat memaksanya menjauh?

Netra Sena kembali bergerak memperhatiakn sekitar serta ia menunduk menatap ke bawah memperhatikan air yang berada jauh di bawahnya.

Sena terisak sangat keras.

“Mama …, maafin Sena,” Lirih Sena.

Tanpa berlama-lama Sena menaikkan satu kakinya ke pembatas pagar itu. Sena berdiri di ujung tihang pembatas.

Perempuan itu menutup matanya.

“See y—“

“SENA!” Teriak seseorang yang langsung saja menarik Sena, membuat Sena terkejut lalu berusaha berontak.

“GILA LO YA!” Teriaknya lagi.

Sena terisak, ia kembali menangis ketika dirinya terjatuh ke dalam pelukan orang itu.

“Sinting lo,” ucap orang itu lagi sambil berusaha menarik Sena ke dalam pelukannya.

Sena menangis histeris. “Capek … CAPEK!”

“KENAPA LO NARIK GUE!”

“GUE CAPEK!”

“PERCUMA JUGA GUE DISINI!”

Sena berteriak sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki itu.

“GAK USAH GILA!”

“GAK ADA YANG PERCUMA!” Lelaki itu balik berteriak.

Sena menangis sangat keras.

Lelaki itu lantas menghela napasnya. Ia kemudian melepas pelukan itu dan menangkup wajah Sena yang sudah sembab tak berbentuk.

“Liat gue, LIAT GUE SEN!” Teriaknya.

Sena masih terisak. Ia benar-benar sudah sehancur itu.

“Tenang okay?”

“Tarik napas pelan-pelan …,” pinta lelaki itu.

Sena masih menangis.

“Capek …”

“Capek banget, gue pengen tidur yang lama. CAPEK!” Teriaknya lagi.

Lelaki itu kembali memeluk Sena.

Calm down gue disini lo gak sendirian,”* ucapnya mencoba menenangkan.

“Sakit banget … semua orang yang gue sayang pergi. Papa pergi Raka juga pergi gitu aja.”

“Semua nyalahin gue.”

“Gue sendirian …”

“Capek, Capek, GUE CAPEK!” Lagi-lagi Sena kembali berteriak.

Entah sadar atau tidak, tetapi lelaki itu memeluk tubuh Sena sangat erat. Ia bahkan mengusap dan mengecup pucuk kepala Sena supaya perempuan itu merasa aman.

You’re not alone. I’m here tenang, ya?” ucapnya lembut.

Sena terisak dalam pelukan lelaki itu.

“Mau tidur … capek …,” lirih Sena sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri membuat lelaki itu segera membawa Sena pergi dari sana.

Dengan terbur-buru, Raka menancapkan gasnya menuju kediaman Sena, setelah pesan yang kekasihnya itu kirimkan. “Anjing,” umpat Raka selama dalam perjalanan.

Demi apapun, Raka saat ini seperti orang gila sebab ia melajukan mobilnya di tas rata-rata.

Pikirannya tak karuan, Raka benar-benar ketakutan. “Tolol, tolo,” umpatnya lagi pada diri sendiri.

Tadi setelah Raka membaca pesan yang masuk dari Sena, Raka buru-buru menelepon Sena dan bergegas untuk pergi menghampiri Sena. tidak peduli dengan tugas laporan yang tengah ia kerjakan bersama Bima dan teman-teman lainnya.

butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya Raka sampai di indekos kekasihnya. Buru-buru Raka menghampiri kamar Sena.

Berkali-kali Raka mengetuk pintu kamar itu, tidak ada jawaban. hanya saja Raka mendengar suara isakan yang ia yakin itu adalah Sena.

“Sena, ayo aku jelasin dulu,” ucap Raka sambil berharap Sena membuka pintu itu.

butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirny Sena mmebuka pintu itu. Raka bisa melihat jelas wajah Sena yang sembab.

Sena hanya menatap Raka sekilas, dan tanpa berlama-lama Sena menaraik Raka agar menjauh dari tempat itu. Sampai akhirnya Raka memutuskan membawa Sena ke dalam mobil.

Sena menunduk, Raka dengan pikirannya juga hanya terdiam tanpa berani berbicara.

Sesekali Raka melirik Sena yang berusaha keras menahan tangisnya.

Berkali-kali Raka mengumpat dalam hati pada dirinya sendiri sebab ia sudah sangat mengecewakan Sena.

“Sen—“

“Brengsek,” potong Sena tanpa menatap Raka.

Raka menghela napasnya, ia kemudian berusaha meraih jemari Sena.

Sena menoleh pada Raka kemudian ia memukul pundak Raka keras. “Jahat lo, jahat ….,” ucap Sena.

Raka hanya terdiam membiarkan Sena mengeluarkan semuanya.

Tiba-tiba saja Sena mengeluarkan ponselnya dan melemparnya pada Raka. “Baca!”

Perlahan Raka mengambil ponsel itu kemudian ia membaca rentetan pesan dari Nana. Lalu Raka menarik napasnya dalam.

“Aku ga—“

“Kamu udah sejauh apa sih sama dia, Ka?”

“Ciuman udah, cuddle juga udah, jalan diem-diem juga udah.”

“Terus apalagi?”

Having sex juga?” Tanya Sena membuat Raka buru-buru menggeleng.

”Anjing tau gak.”

“RAKA BRENGSEK!” Tiba-tiba saja Sena berteriak histeris dengan isakan tangis yang terdengar menyakitkan.

Raka tidak menjawab, ia hanya memeluk Sena erat.

“Lepasin Ka. Lepasin.” Sena berontak namun Raka semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku salah apa sih, Ka, sama kamu?” Tanya Sena.

“Aku tau, aku masih banyak kurangnya. Aku tuh gak sempurna Ka. Masih banyak cacatnya.”

“Tapi kenapa …,” Sena terisak di pundak Raka, sedang Raka ia masih setia memeluk Sena erat.

“Tapi kenapa kamu jahat banget sama aku …,” lirih Sena.

Sena memukuli pundak Raka berkali-kali sambil menangis.

“Aku juga kesusahan buat lawan ketakutan aku perihal kehilangan kamu, Ka. Tapi kenapa sih kamu tega banget?”

“Kenapa gampang banget kamu hancurin aku gitu aja dengan alasan kamu yang capek karena merasa aku selalu neken kamu.”

Sena masih terisak dan Raka masih terdiam.

“Capek …”

“Raka capek …,” lirih Sena lagi menangis begiuu tuh menyakitkan.

Raka tidak bisa menjawab. Sebab semua yang Sena katakan itu benar adanya.

Bajingan

“Aku juga gak mau kayak gini. Aku juga gak mau punya ketakutan sebesar ini. Tapi aku gak bisa, aku takut Ka.”

“Padahal kamu sendiri tau ketakutan aku itu apa. Tapi kenapa sih kamu malah sengaja deketin sumber ketakutan aku?”

Sena terus saja bertanya pada Raka perihal kenapa lelaki itu tega membuatnya hancur.

“Sekarang kebukti, kan? Ketakutan yang selama ini ada dipikiran aku sekarang bener-bener kamu lakuin.

“Sakit Ka. SAKIT RAKA!” teriak Sena dalam pelukan itu.

“Maaf …,” lagi, Raka hanya bisa meminta maaf.

“Aku udah dibikin hancur sama Papa. Dan sekarang dibikin makin hancur sama kamu.”

“Muak banget aku denger kata maaf.”

“Lepasin, Ka …,” pinta Sena membuat Raka menggeleng.

“LEPASIN!” Teriaknya sambil berontak membuat Raka mau tak mau melepaskan pelukan itu.

“Anjing lo emang,” umpat Sena lagi.

Sungguh, rasanya Sena ingin menghancurkan apa yang ada di hadapan semuanya.

Ini benar-benar sakit.

Sena tak kuasa menahan tangisnya lantas ia kembali menangis keras sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Di sampingnya ada Raka yang juga tengah mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh begitu saja.

“Udah puas kan nyakitinnya? Sekarang kita selesai aja.”

“Udah hancur.”

“Gak ada yang bisa diperbaikin.”

“Sekali pun kamu maksa buat balik, rasanya gak akan sama. Karena kamu sendiri yang bikin hancur.”

“Sen …,” ucap Raka berusaha meraih tangan Sena.

“Gak usah nemuin aku lagi, Ka. Udah selesai.”

Sena langsung keluar dari dalam mobil Raka tanpa basa-basi, ia bahkan menutup pintu dengan sangat keras.

“Anjing lo Raka anjing,” umpat Raka pada dirinya sendiri sambil memukul kemudi berkali-kali.

Lalu tanpa Raka tahu. Di dalam kamar, Sena kembali menangis sendirian. Ia menangis sangat keras sebab ia sadar. Jika ternyata orang yang dari dua tahun lalu menjadi tempatnya bersandar setelah dihancurkan oleh Papa, kini orang itu pun menghancurkannya. Bahkan lebih parah.

“Gue tau gue banyak kurangnya, tapi kenapa lo jahat banget, Ka.”

“Gue sesayang itu sama lo, Ka …,” isak Sena memeluk tubuhnya sendiri di dalam

Rintik hujan terdengar begitu keras mengantam tanah, entah kebetulan atau memang langit tahu jika saat ini ada manusianya yang tengah patah lantas mereka ikut merasakan sakitnya.

Hanya terdengar suara hujan dan deru napas kedua insan itu di dalam mobil.

Sena yang tengah duduk sambil memperhatikan rintik hujan, sedangkan Raka yang tengah menatap lurus ke depan sambil menggenggam kemudinya.

Tidak ada yang memulai pembicaraan di antara keduanya. Hanya helaan napas saja yang terdengar selama beberapa menit.

Pikiran keduanya pun sibuk dengan banyak hal yang seolah memaksa mereka untuj menutup mulut, padahal baik dari Sena dan Raka banyak sekali halyang harus dibicarakan.

Raka menghela napasnya panjang, ia perlahan melirik ke arah Sena yang tengah menatap kaca mobil sambil menggigit jemarinya.

Raka tahu, Sena sedang menahan tangis.

“Sayang …,” ucap Raka memberanikan diri sambil berusaha menggenggam jemari kecil milik Sena.

Sena hanya terdiam tanpa menolak.

Demi apapun, perempuan itu mati-matian menahan agar tidak menangis.

“Sayang …”

“Liat aku,” pinta Raka.

“Maaf, ya?” ucap Raka pelan sambil mengusap Sena.

Sena menatap Raka, tatapannya terlihat sangat sendu, benar-benar menyakitkan.

“Kenapa, Ka?” Sena bertanya.

“Kenapa harus kayak gini?” ucap Sena dengan nada suaranya yang bergetar.

Tanpa sadar, air mata Sena jatuh.

“Jahat tau gak,” ucap Sena memukul pelan pundak Raka membuat lelaki itu menunduk.

“Jahat banget …,” lirih Sena.

“Maaf,” ucap Raka pelan.

Sena menangis, ia menangis di hadapan Raka saat ini. Sena menangis sangat keras. Bahkan Raka pun tidak pernah mendengar tangisan Sena yang sangat menyakitkan ini.

Tanpa aba-aba, Raka pun menarik Sena ke dalam pelukannya.

Sena berontak, ia kembali memukul Raka dari mulai pukulan keras hingga perlahan melemah.

Sena menangis di pundak Raka.

Berkalu-kali Raka menggumaankan kata maaf pada Sena sebab ia benar-benar menyesal. Dan berkali-kali juga Sena menggumamkan kata kata jahat pada Raka.

“Aku disini ketakutan Raka. Aku takut banget kehilangan kamu kayak aku kehilangan Papa …”

“Tapi kenapa sih, Ka? Kamu kayak gitu? Kenapa segampang itu kamu biarin orang baru masuk ke rumah kamu? Sedangkan kenyataannya penghuni rumah yang asli masih ada.”

Raka hanya terdiam membiarkan Sena mengeluarkan semuanya.

“Kamu bilang cuma perlu rehat sejenak, tapi kenapa malah nyari rumah baru dengan alasan khilaf?”

“Ka …”

“Kita gak sebecanda itu.”

“Kita udah lama.”

“Raka …”

“KENAPA LO JAHAT BANGET!” Teriak Sena tiba-tiba membuat Raka mengeratkan pelukannya dan kembali menggumamkan kata maaf.

“Maaf, maaf, maafin aku …,” Lirih Raka.

Sena kembali terisak, ia kembali melayangkan pukulan pada Raka.

Sena menggeleng, ia benci sekali pada Raka, namun di sisi lain ia juga menyayangi Raka.

“Sekarang aku harus apa?”

“Pura-pura gak tau?” Tanya Sena membuat Raka terdiam.

“Jawab, Ka. Aku harus kayak gimana sekarang?” tanya Sena lagi sambil melepaskan pelukannya.

Raka masih enggan menjawab.

“Aku harus gimana, Ka? Harus pura-pura gak tau? Harus bersikap seolah gak terjadi apa-apa? Aku harus gimana, Ka?” Tanya Sena berkali-kali.

“JAWAB!”

“AKU GAK TAU!” Tiba-tiba saja Raka balik berteriak.

Raka mengurut keningnya lalu ia memukul kemudi dengan keras.

Sena kembali terisak.

Raka memukul kepalanya sendiri dan kembali menatap Sena yang tengah menangis, lantas Raka kembali menarik Sena ke dalam pelukannya.

“Maaf …,” gumamnya lagi.

“Kita udah hancur, Ka,” ucap Sena membuat Raka menggeleng.

“Masih bisa kita perbaikin Sen.”

Sena menggeleng.

“Sakit, Ka …,” lirihnya.

“Maaf …”

Demi apapun, keduanya sama-sama merasa sakit. Sena menyayngi Raka namun ia pun kecewa pada Raka. Begitu juga sebaliknya. Raka menyayangi Sena, namun Raka sudah menghancurkannya.

“Katanya sayang, tapi kenapa gini …,” lirih Sena lagi.

“Capek, aku mau pulang ke rumah mama …,” isak Sena.

Raka mengeratkan pelukannya, ia mengecup pucuk kepala Sena berkali-kali.

“Raka jahat, kamu jahat banget.”

“Maaf, maaf sayang maaf ya …,” bisik Raka berkali-kali.

Sena terisak ia benar-benar hancur.

“Raka …”

“Kita udahan aja, ya?”

Raja menggeleng keras dan semakin mengeratkan pekukannya.

“Enggak aku gak mau. Please maaf, kasih aku kesmepatan.”

“Hati kamu udah gak sepenuhnya buat aku.”

Raka kembali menggeleng. “Masih utuh buat kamu.”

Sena menggeleng. “Capek, mau pulang …,” pinta Sena.

“Jangan kemana-mana maaf …,” gumam Raka.

Sena hanya terdiam tanpa menjawab lagi apa yang Raka minta.

Sorry, sorry for breaking your heart, ya” ucap Raka yang kini mengusap air mata Sena dan mengecup keningnya berkali-kali.

Sena hanya terdiam membiarkan Raka mengecup dan mengusapnya.

“Pulang Ka …,” lirih Sena.

“Iya, kita pulang ya …,” ucap Raka sebelum akhirnya melajukan mobilnya pergi dari sana.

Seandainya saja bisa. Sena ingin mengulang waktu dan kembali ke masa dulu, dimana ia dan Raka baik-baik saja. Dimana tidak ada pertengkaran di antara mereka.

Seandainya saja bisa. Sena ingin kembali dan memperbaiki dirinya supaya Raka tidak pernah merasa kurang terhadap dirinya.

Namun mesikipun begitu, waktu tetaplah waktu. Tidak akan pernah bisa di ubah kembali. Meskipun kenyataannya sekarang harus merasakan banyak kesakitan.

Jalanan kota malam ini terlihat cukup kosong, sepertinya orang-orang lebih memilih beristirahat di rumah ketimbang jalan-jalan kesana-kemari.

Terdengar suara alunan musik dari dalam mobil itu, serta nyanyian kecil dari Raka yang tengaj fokus menyetir.

Sejak berangkat, Raka tidak melepas genggaman tanga sebelah kirinya pada jemari Sena. Bahkan berkali-kali Raka mengecup tangan itu.

“Mau makan dimana?” Tanya Sena pada Raka.

“Kamu mau apa?”

Sena berpikir sejenak. “Mau tongseng,” jawabnya sambil menyerengeh membuat Raka terkekeh dan segera mengacak pelan rambut Sena gemas.

“Boleh sayang,” ucap Raka.

Sena tersenyum, lantas ia mengeluarkan ponselnya untuk sekedar mengambil beberapa gambar.

“Foto dulu sini, udah lama gak foto,” ucap Sena.

Raka kembali terkekeh.

Selama perjalanan Sena dan Raka saling mengobrol dan bersenda gurau. Mereka tertawa seolah tidak ada hal menyakitkan di antara keduanya.

Entah itu Sena yang berusaha menepis atau Raka yang memang pintar menyembunyikan.

“Ganti dong lagunya,” ucap Sena.

“Tuh ganti aja dari hp aku,” balas Raka membuat Sena segera mengambil ponsel milik kekasihnya itu.

Netra Sena fokus memilih lagu yang sekiranya enak di dengar. Hingga tiba-tiba saja jantungnya terasa mencelos ketika ia membaca pesan masuk di ponsel Raka.

Sena terdiam, ia langsung menyimpan ponsel Raka ke tempat semula membuat Raka keheranan karena lagu belum juga terganti.

“Katanya mau nyari lagu yang enak?”

Sena terdiam.

Raka sadar akan perubahan raut wajah Sena. “Kenapa say—“

“Nana chat tuh,” balas Sena memotong membuat Raka terkejut namun ia sebisa mungkin mengontrol raut wajahnya.

“Nana?”

Sena hanya tersenyum tipis. “Baca aja, ngajak ketemu.”

Raka meneguk salivanya, ia tidak menjawab Sena dan buu-buru memeriksa ponselnya.

Sena menghela napasnya panjang. Demi apapun ini rasanya menyesakkan.

Sena kemudian menoleh pada Raka dan tersenyum. “Mau ketemu Nana?”

Raka menatap Sena yang tersenyum padanya.

Sorot matanya sulit diartikan oleh Raka.

“Ini Nana, dia itu Sen bentar jangan salaha paham dul—“

“Gapapa Raka. Kalo mau ketemu Nana sekarang boleh, siapa tau dia perlu bantuan karena Deva gak ada. Kita balik lagi aja.”

Raka terdiam, ia gelagapan. “G-gak gitu, ini Na-“

“Jadi mau ke Nana atau mau makan sama aku, Ka? Kalo mau ke Nana kita pulang lagi kalo mau makan kita terusin jalannya,” ucap Sena nemotong lagi.

“Kita makan,” ucap Raka yang segera menyimpan kembali ponselnya, lalu kembali fokus menyetir.

Sena hanya tersenyum tipis dan berusaha menahan napasnya supaya rasa sesak tidak terlalu menyakitkan.

“Oke,” jawab Sena singkat.

Raka melirik Sena yang kini tengah fokus menatap jalanna seolah tidak terjadi apa-apa.

”bodoh” batin Raka.

Hembusan udara terasa menusuk ke dalam pori-pori perempuan yang kini tengah tertidur di paha lelakinya.

“Ka …,” ucap Sena pada kekasihnya.

“Hmm,” gumam Raka sambil mengusap pelan kening Sena.

Sena menatap Raka yang juga tenah menatapnya, membuat Raka terkekeh. “Kenapa sayang?” Tanya Raka.

Sena hanya menggeleng pelan, kemudian tangannya bergerak meraih jemari Raka membuat gerakan mengusap.

“Udah lama gak diusap-udap kayak gini,” ucap Sena.

Raka menatap Sena yang tengah memejamkan matanya, diam-diam ia menghela napasnya.

“Cantik banget yang lagi ulang tahun …,” ucap Raka pelan membuat Sena tersenyum tipis.

Keduanya kini memejamkan matanya, berusaha menikmari semilir angin yang menyejukkan keduanya.

Jujur saja, pikiran Raka saat ini sedang tidak karuan. Apalagi ketika tadi ia tak sengaja melihat notifikasi pesan masuk di ponsel Sena yang ternyata dari perempuan yang akhir-akhir ini ada di hidupnya. Dan untung saja tadi Raka berhasil mengambil alih ponsel Sena dengan alasan ingin mengambil foto.

Raka beralih menatap kekasihnya yang masih setia memejamkan matanya merasakan usapan lembut dari Raka.

Sial, kejadian beberapa hari kebelakang selalu saja terlintas di benak Raka, membuat raut wajah lelaki itu berubah tidak enak.

“Pusing, ya?” Tanya Sena kemudian tak lama ia mengubah posisisnya menjadi duduk berhadapan dengan Raka.

Raka menggeleng pelan. “Enggak kok,” ucapnya tersenyum.

Sena menatap Raka, ia kemudian menangkup wajah lelaki itu dan tersenyum sambil sesekali mengusapnya lembut.

“Raka …,” ucap Sena lembut.

“Makasih ya udah luangin waktunya hari ini,” lanjutnya lagi.

“Maaf kalau selama ini aku ngekang kamu. Aku tau aku salah, harusnya aku gak jadiin trauma aku ke papa alasan buat ngekang kamu. Aku kayak anak kecil, ya?” Tanya Sena.

Raka terdiam.

Kenapa rasanya sesak?

“Ka …,” panggil Sena lagi.

“Aku sayang banget sama kamu,” ucap Sena menunduk.

Raka kemudian mengusap pucuk kepala Sena, membuat Sena kembali menegakkan kepalanya dan menatap Raka.

“Iya, aku juga sayang banget sama kamu, Sen. Maaf, ya?”

“Maaf buat semuanya, aku bener-bener minta maaf,” ucap Raka yang kemudian ia menarik Sena ke dalam pelukannya.

Sena hanya terdiam memeluk Raka, sambil mendengarkan gumaman kata maaf berkali-kali dari Raka.

Tanpa sadar, air mata Sena pun jatuh membasahi pipinya.

“Maaf ya sayang ya, untuk rasa sakit akhir-akhir ini. Harusnya aku terus ada sama kamu. Harusnya kemarin kita ngalamin fase renggang. Maaf, maaf …,” ucap Raka menciumi pucuk kepala Sena berkali-kali.

Sena mengeratkan pelukannya.

“Raka …,”

“Hmm?”

“Bisa enggak, kita habisin waktunya lebih lama lagi?”

Raka terdiam.

“Jangan pergi-pergi lagi ya, Ka. Sekali pun kamu mungkin udah nemu suasana baru.”

Tidak, Sena tidak sebodoh itu. Ia tahu, sangat tahu jika sekarang perasaan Raka padanya tidak seutuh dulu. Sena tahu itu.

“Tapi boleh gak, Ka? Kalo aku minta wakru kamu buat tinggal lebih lama lagi sama aku?”

Raka terpaku mendengar ucapan Sena, kemudian lelaki itu pun hanya bisa mengangguk pelan.

Don’t break me, Ka. Please …”

Raka mengeratkan pelukannya.

I already broke you Sen.I’m sorry,” batinnya.

Raka melangkahkan kakinya menuju rooftop, dengan tangan yang menggenggam sebuah teh hangat dan jaket.

Terlihat di hadapannya ada Nana yang tengah sibuk menyalakan api untuk nantinya digunakan memasak daging bersama teman-temannya.

Raka mendekat, membuat Nana menoleh dan kemudian tersenyum.

“Nih jaket buat lo, pake,” ucap Raka yang kemudian duduk di kursi dekat dengan Nana.

“Makasih Ka,” balas Nana tersenyum.

Raka hanya mengangguk, ia memperhatikan apa yang tengah perempuan itu lakukan, lantas tak lama ia pun berdiri dan segera membantu Nana untuk menyalakan apinya.

Terdengar suara kekehan dari Raka ketika melihat raut wajah kebingunan Nana.

Suasana tiba-tiba saja terasa menghangat. Apalagi ketika Nana tidak berhenti untuk mengoceh membicarakan banyak hal.

Raka melirik Nana sedang berbicara sambil memperagakan apa yang tengah ia bisa bicarakan. Membuat Raka tersenyum singkat.

Rasanya seperti ada hal baru dalam diri Raka. Ia sebelumnya tidak pernah merasakan hal seperti ini.

Ini aneh, tapi semenjak Raka memutuskan untuk beristirahat dari hubungannya dengan Sena. Raka seolah merasakan hal baru yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.

Raka juga tidak tahu apa yang tengah ia rasakan saat ini apalagi ketika ia bersama Nana. Tapi, Raka merasa nyaman, meskipun kenyataannya ada hal-hal yang dirasa menghilang dari diri Raka.

Raka menggelengkan kepalanya berusaha mengalihkan pikirannya supaya tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan masalahnya bersama Sena dari beberapa minggu belakangan ini.

“Ih nyala!” Teriak Nana ketika Raka berhasil menyalakan apinya.

Raka tersenyum bangga, kemudian ia mengacungkan jempolnya pada Nana. “Gue hebat!” Ucap Raka dibarengi kekehan kecil.

Keduanya tertawa, kemudian tak lama Raka duduk, diikuti Nana yang juga duduk di samping Raka.

“Yang beli daging lama banget, ya,” ucap Nana sambil memainkan ponselnya.

“Paling mereka bentar lagi pulang,” balas Raka.

Raka menatap langit malam yang terlihat sangat ramai oleh bintang. Sepertinya malam ini langit sedang berbahagia.

Raka memejamkan matanya sejenak, kemudian ia menarik napasnya dalam.

Nana menoleh pada Raka, diam-diam ia menatap Raka lama dan tersenyum.

“Ka …”

“Hmm?”

Nana terdiam membuat Raka menoleh pada Nana.

Netra mereka bertemu. Raka tiba-tiba saja terdiam ketika ia menatap lekat netra hitam kecoklatan milik perempuan itu.

Dan tanpa sadar, Nana mendekatkan wajahnya pada Raka, membuat kening mereka beradu.

Raka terpaku untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya Raka mengikis jarak di antara keduanya. “Na …,” gumam Raka membuat Nana mengangguk pelan. Lantas dengan hati-hati mengecup bibir ranum perempuan itu.

Dan tanpa Raka sadari malam ini, ia sudah membuat kesalahan besar dimana ia sudah membuka lebar pintu rumahnya agar orang lain untuk masuk ke dalam tanpa perlu merasa takut.

Asal mengepul memenuhi ruangan kecil yang hanya berisikan kursi dan beberapa lemari berisi buku. Terdengar pula suara helaan napas dari lelaki yang tengah menyesap sebatang rokok yang baru saja ia nyalakan.

Tatapannya kosong menatap langit-langit ruangan itu. Hening, sangat hening.

“Ah anjing,” umpatnya tiba-tiba.

Pikirannya saat ini tengah kacau. Padahal baru saja tadi siang ia begitu bersemangat sebab banyak sekali rencana menyenangkan yang hendak ia lakukan nanti bersama kekasinya. Namun sayang, hal yang tidak diinginkan terjadi.

Raka benar-benar merasa frustasi saat ini.

Jika boleh jujur, Raka memang sudah lama sekali menyimpan banyak hal yang jika dibiarkan semakin terasa menyakitkan.

Selama ini ia berusaha agar hubungannya dengan Sena selalu baik-baik saja. Raka bahkan sering meminta maaf sekalipun itu bukan salahnya.

Tapi entah kenapa hari ini, Raka merasa sangat lelah. Apalagi ketika Sena selalu meributkan hal-hal kecil yang seharusnya bisa dibicarakan baik-baik.

Raka menatap layar ponselnya, membaca ulang balasan pesan dirinya kepada Sena.

Terlihat disana banyak sekali rentetan pesan dari Sena, lantas ia menghela napasnya dalam.

“Gue capek, Sen …” lirihnya pelan, sebelum akhirnya ia mengetikkan sesuatu di sana.