Don’t Worry.

Entah sudah berapa kali Fauzan mengganti playlist mencoba mencari musik yang sekiranya enak untuk di dengar.

Juli hanya bisa terkekeh pelan ketika melihat raut wajah kesel Fauzan. Ditambah lagi, jalanan kota malam ini cukup padat, membuat mobil yang mereka kendarai terdiam di antara banyaknya kendaraan lain di jalanan.

Fauzan menghela napasnya ketika akhirnya ia menemukan musik yang cocok.

Lagi-lagi Juli terkekeh.

“Udah kalem ih,” ucap Juli, sedangkan Fauzan hanya menyerengeh.

Atensi Fauzan beralih memperhatikan lampu-lampu kendaraan serta gedung-gedung malam ini. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari lagi.

Sial

Sepertinya langit pun tahu keresahan hati Fauzan saat ini.

Fauzan melirik Juli yang tengah memainkan jemarinya, lantas lelaki itu berdehem. “Ekhem.” Sontak Juli menoleh pada Fauzan.

Fauzan terlekeh. “Jadi kenapa?” Tanyanya membuat Juli mengangkat sebelah alisnya.

Juli memperhatikan raut wajah Fauzan yang terlihat lelah. “Capek ya, Zan?” tanya Juli membuat lelaki itu terkekeh pelan kemudian menggeleng.

“Enggak kok,” ucapnya tersenyum.

Hening, kemudian tak lama terdengar lagi suara gemuruh lantas perlahan rintik hujan pun turun. Membuat Fauzan mendesah.

Juli terus memperhatikan Fauzan.

Dalam hati ini menghangat, ketika tiba-tiba saja ia teringat tentang Fauzan beberapa tahun kebelakang.

Lelaki ini. Lelaki yang awalnya Juli kira akan selalu membenci dirinya. Kini ia ada disini bersama Juli, selama tiga tahun lamanya. Lelaki ini berusaha untuk membuat Juli lebih baik.

Juli tidak mengerti, kenapa bisa Fauzan sebaik ini padanya.

Juli menghela napasnya.

Seandainya saja ia bisa membuka hati untuk Fauzan,’ungkin ia akan jadi perempuan paling bahagia, ya?

“Ozan …,” ucap Juli membuat Fauzan menoleh.

“Hmm?”

“Sagara …”

Fauzan terdiam menatap Juli.

“Tentang Sagara ak—“

“Iya gue tau lo masih sayang Sagara.” Fauzan memotong ucapan Juli.

“Fauzan, inget enggak yang pernah aku bilang sama kamu waktu itu? Seandainya Sagara muncul lagi ak—“

“Iya gue tau.” Lagi, Fauzan memotong ucapan Juli

Juli mengangguk.

Fauzan tiba-tiba saja membenarkan posisinya agar lebih menghadap Juli. Kemudian tanpa aba-aba lelaki itu menangkup wajah Juli dan mengusapnya.

“Gue enggak masalah. Jangan mikirin gue, ya?” Fauzan tersenyum.

“Apapun keputusan lo. Gak bakal bikin gue benci sama lo. Up to you selama itu bikin lo bahagia,” ucap Fauzan membuat Juli menunduk lantas ia terisak pelan.

Fauzan terkekeh.

Menang Juli ini cengeng.

“Juli lo tau enggak? Setiap kali gue tidur. Gue cuma berharap dan percaya kalo lo ada disini. Setiap malam. Gue percaya lo selalu ada disini.”

“Dan ya, lo masih ada sama gue. Walau kenyataannya gue enggak bisa milikin lo. Tapi gue bersyukur karena lo enggak pernah pergi dari gue.”

Juli masih setia terisak dengan kepalanya yang menunduk. Sedangkan Fauzan, ia kini menggenggam jemari Juli erat.

“Bagi gue, ketemu sama lo itu hal paling luar biasa yang udah Tuhan atur.”

“Berkat lo gue jadi paham banyak hal. Berkat lo juga gue bisa mensyukuri setiap hal-hal kecil yang terjadi di hidup gue, Jul.”

Rintik hujan dan gemuruh terdengar semakin keras. Seolah mereka tahu jika saat ini ada yang tengah rapuh.

“Ozan, maaf …,” lirih Juli membuat Fauzan menggeleng.

“Gak perlu minta maaf, okay?”

Fauzan tersenyum, sangat lebar.

“Jul …”

you're the most beautiful thing i’ve ever met lo cantik, lo baik, dan lo hebat banget. Gue bangga, gue seneng bisa jadi bagian dari hidup lo.”

Juli semakin terisak. Juli menggelengkan kepalanya berusaha meredakan tangisnya membuat Fauzan terkekeh.

Fauzan menangkup wajah Juli dan mengusap air matanya. “Jangan buang air mata lo ya. Air mata lo terlalu berharga buat nangisin hal-hal yang gak penting.”

“*I don’t deserve you Zan …,” ucap Juli pelan membuat Fauzan terdiam.

“Masih banyak hal-hal rumpang, masih banyak pecahan yang hilang disini. Dan sampai kapanpun aku enggak bakal bisa perbaikin pecahan itu, sekali pun ada potongan baru yang nyoba buat ngisi.”

“Maaf, ya?” ucap Juli pelan.

Fauzan menatap Juli.

Ah dia ternyata sangat menyayangi perempuan satu ini. Bahkan ia mengabaikan perasaan sakitnya.

Fauzan mengangguk. “*It’s okay, gue gapapa …,” ucapnya tersenyum.

Juli menatap Fauzan, kemudian ia kembali terisak, membuat Fauzan tertawa lantas ia menarik Juli ke dalam dekapannya.

Fauzan memeluk Juli dengan erat, seolah ia tidak ingin kehilangan hangatnya.

“Fauzan …”

“Cari bahagia kamu yang lain, ya? Maaf selama ini aku cuma bisa repotin kamu.”

Fauzan menggeleng. “Gak.”

Juli mengeratkan pelukannya.

Sesak sekali, sebab malam ini ia harus menyelesaikan semuanya, sebelum terlambat.

Jemari Fauzan bergerak mengusap pucuk kepala Juli.

Go ahead, don’t worry Jul. I’m okay, always.” Fauzan tersenyum sambil sesekali menyesap wangi milik perempuannya ini.

“Apapun yang lo lakuin, gue disini buat lo. Dan meskipun suatu saat nanti lo butuh gue, gue bakalan terus disini. Liatin lo, sampe akhirnya gue yakin kalo lo udah bisa berjalan sendirian tanpa gue,” ucap Fauzan.

“Udah ya jangan nangis …”

“Gue sayang sama lo.”

“Jadi, lo harus senyum, ya? Biar gue juga ikut bahagia …” Fauzan kembali tersenyum.

Demi apapun sesak sekali.

Dan sampai kapan pun, Fauzan tidak akan bisa memasuki tempat itu. Tempat paling rapuh yang selalu Juli sembunyikan. Bahkan setelah tiga tahun lamanya, Juli tidak pernah membiarkan siapapun masuk untuk memperbaiki tempat itu. Termasuk Fauzan.

Maka dari itu yang Fauzan lakukan saat ini hanyalah tersenyum sambil memeluk tubuh rapuh Juli tanpa pernah memaksa untuk masuk ke dalamnya.

Dan mereka ini hanya sebatas Hampir