Jjaejaepeach

“Brengsek lo semua!” Teriak Zeya tiba-tiba dengan tangan mengepal bersiap memukul Bima yang tengah berdiri dekat lampu, membuat semua yang di sana terkejut.

“Anjing!” Umpat Bima ketika Zeya memukul pundaknya keras.

“APAAN SIH LO!” Bima berteriak.

“LO ANJING!” Zeya balik berteriak.

Mima hanya terdiam membiarkan Zeya meluapkan amarahnya.

Napas Zeya tak karuan ia menatap satu per satu orang di sana.

Ada Bima, Jean, Deva dan juga …

Nana.

“Oh, jadi lo yang udah bikin Sena ancur?” ucap Zeya ketika melihat Nana yang berdiri dengan raut wajah polosnya seolah tidak tahu apa-apa.

Tanpa aba-aba Zeya berjalan mendekat bersiap menarik rambut Nana.

“JAHAT LO JADI CEWEK!” Teriak Zeya.

“ZEY!” Tiba-tiba saja Jeano berteriak dan berusaha melepaskan Zeya yang tengah menjambak Nana.

“APAAN SIH LO!” Teriak Jeano.

“LO YANG APAAN BANGSAT!” Teriak Zeya lagi.

Saking emosinya, Zeya bahkan berteriak sambil menangis.

“LIAT SENA ANJING!”

“TEMEN GUE HANCUR GARA-GARA LO SEMUA!” Teriak Zeya menunjuk satu per satu orang di sana.

“MIKIR! MAKSUD LO SEMUANYA NYALAHIN SENA ATAS KEJADIAN RAKA APA?”

Semua orang terdiam.

“MIKIR!”

“TEMEN GUE SEHANCUR ITU GARA-GARA RAKA SAMA LO BAJINGAN,” teriak Zeya menunjuk Nana.

Zeya menangis histeris. Ia kembali memukuli Bima yang tengah terdiam.

Zeya benar-benar marah saat ini. Bahkan air mata pun tak henti keluar dari mata Zeya.

“CUKUP ANJING!” Teriak Deva yang sedari tadi menahan amarahnya, membuat Zeya terdiam.

Deva mengacak rambutnya frustasi. Kemudian ia menghela napasnya.

Hening sejenak. Mereka semua hanyut dalam pikiran masing-masing.

Netra Deva bergerak menatap satu per satu orang di hadapannya. Kemudian tak lama mata lelaki itu berhenti pada Zeya yang tengah menatap amarahnya sambil menangis.

“Kenapa sih …”

“Sena gak seharusnya ngerasain hal ini …”

Deva mengalihkan pandangannya kemudian ia menghela napasnya lantas menarik Zeya agar kembali berdiri.

“Sorry, Zey.” Deva menggenggam lengan Zeya.

“Sorry ya, dari awal ini salah gue,” ucap Deva dengan nadanya yang lirih.

Zeya kembali menangis.

Deva kembali menarik napasnya dalam.

Di satu sisi Bima kebingungan ketika mendengar Sena yang berusaha mengakhiri hidupnya.

“Ini ada apa sih anjing,” sahut Bima kebingungan, sedangkan Jeano kini berjongkok sambil mengacak rambutnya frustasi.

“Sena kenapa?” Tanya Bima.

“Dia masuk rumah sakit ini karena mau loncat dari jembatan,” sahut Mima.

“Anjing?!” Mata Bima membulat.

Zeya hanya menatap Bima kesal sebab ia tahu jika Bima salah satu penyebab kenapa Sena merasa lelah.

“Diem lo,” sahut Zeya.

“Siapa yang bawa Sena kesini? Lo tau dari siapa Sena mau l—“

“Gue,” ucapan Bima terpotong ketika Deva tiba-tiba menyahuti.

Jeano dan Bima serempak menatap Deva. Begitu juga dengan Zeya.

Diam-diam Zeya menarik sudut bibirnya menatap Deva.

“Gue yang bawa Sena kesini.”

“Kenapa?”

Semua orang terdiam.

“Ah anjinglah kenapa jadi kacau gini,” ucap Bima frustasi begitu juga dengan Jeano yang hanya terdiam sejak tadi.

Semuanya hanya saling menatap, hingga akhirnya Zeya memutuskan untuk duduk di meja taman itu diikuti oleh yang lain.

Hening cukup lama, semua hanya dalam pikiran masing-masing.

“Apa lo liat-liat? Mau marah juga sama gue? Gak terima gue jambak Nana?” Tanya Zeya membuat Jeano memutar bola matanya.

Terdengar helaan napas dari Zeya.

“Gak usah nutup mata. Lo semua bahkan tau gimana Raka sama Nana di belakang Sena.”

“Lo sendiri bahkan nelepon gue waktu itu ngasih tau apa yang Raka sama Nana lakuin di villa,” ucap Zeya menunjuk Bima.

“Tapi kenapa pas Raka kecelakaan lo semua nyalahin Sena?”

“Lo pikir Sena mau gitu ini kejadian?”

“Gue tau.”

“Lo sama lo,” ucap Zeya menunjuk Bima dan Jeano.

“Lo berdua bahkan nyalahin Sena dan nyuruh dia tanggung jawab atas Raka?”

“Lah, orang Raka kecelakaan karena abis ketemu temen lo.” Bima menyahuti.

Zeya menatap Bima. “Tolol.”

“Mikir! Emang Sena Tuhan? Emang Sena yang ngatur dan bikin Raka kecelakaan?”

“TEMEN LO AJA YANG BEGO!” ucap Zeya dengan nada suara yang meninggi.

“Giliran gini aja lo cuma bisa diem,” ucap Zeya menunjuk Jeano.

“Apaan sih,” sahut Jeano.

“Bacot lo kayak cewek, tapi giliran udah bikin anak orang hancur, lo malah diem. Bisu lo?” ucap Zeya lagi.

Mima sejak tadi hanya mencoba menenangkan Zeya, sebab temannya satu ini memang tidak pernah main-main jika sudah marah.

“Punya otak gak? Mikir!”

“Udah Zey …,” tiba-tiba saja Deva menyahuti.

Zeya menatap Deva kemudian ia berdecih.

“Lo juga. Gue marah sama lo.”

“Udah tau sepupu lo gatel, kenapa lo diem aja? Giliran udah gini baru bertindak.”

“Mana sepupu lo? Gue tampar sekalian.” Zeya benar-benar sangat marah.

“Punya otak tuh dipake. Bukan malah dipake buat mikirin gaya doang.”

“Sampah lo semua, kayak anjing!” Umpat Zeya sambil menggebrak meja kemudian tak lama ia pergi dari sana diikuti oleh Mima di belakanganya.

“Zey tunggu!” Teriak Mima.

Zeya mengusap air matanya susah payah. “Lo temenin Sena dulu aja ya. Gue mau nyari angin.” Mima mengangguk kemudian ia langsung bergegas menuju kamar Sena.

Zeya menghela napasnya, ia kemudian memilih berjalan ke arah pintu lobby.

Terlihat disana ada sebuah kolam ikan, dan tak jauh dari sana ada beberapa satpam yang berjaga.

Zeya duduk di tepian kolam ikan itu.

Ia terkekeh pelan.

Rasanya sesak sekali ketika tadi Zeya mendengar jika ternyata Deva yang membawa Sena ke sini.

Bodoh, harusnya tadi Zeya lebih cepat, harusnya Zeya ada untuk Sena. Tapi ia malah asik pergi keluar bersama orang lain, tanpa tahu hal ini terjadi. Jika saja tadi ia benar-benar mematikan ponselnya, mungkin sampai pagi menjelang pun ia tak akan pernah tahu hal ini.

Air mata kembali mengalir.

Zeya marah pada dirinya karena merada gagal menjadi sahabat Sena, tapi ia juga marah ketika mengetahui fakta jika Deva yang membawa Sena dan menyelamatkannya.

Zeya hanya terkekeh pelan.

“Lagian suruh siapa sih Zey, suka sama dia,” gumam Zeya pelan dengan mata yahg fokus memperhatikan ikan-ikan hias di hadapannya.

Tanpa Zeya sadar, di belakangnya sejak tadi ada Deva, lelaki itu memperhatikan Zeya yang menangis.

Lantas, tanpa pikir panjang Deva melangkahkan kakinya mendekat pada Zeya.

“Pake ini Zey, dingin …,” ucap Deva sambil mengaitkan jaket abu-abu miliknya yang tadi ia gunakan pada pundak Zeya.

Sorry

Perempuan itu menatap cermin dengan sangat lekat. Ia merapikan beberapa helai rambut dan riasan yang ia pakai.

Hari ini, ya?

Jujur saja, jantung perempuan itu benar-benar berdetak tidak karuan. Lantas perempuan itu pun menarik napasnya dalam.

You can do it,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi menampilkan sebuah pesan dari Pragia. Buru-buru ia keluar dan menghampiri Pragia.

Terlihat lelaki itu tengah tersenyum dan bersandar di mobil warna putih dengan setelan jaz hitam.

Lesung pipinya pun terlihat jelas.

“Maaf lama,” ucap Sena.

Pragia hanya mengangguk dan mempersilahkan Sena untuk masuk.

“Ayo, udah ditungguin,” ucap Pragia membuat Sena terkekeh.

Selama perjalanan Sena terus saja mengepalkan tangannya. Menyadari keresahan Sena, Pragia pun bergerak untuk mengusap tangan perempuan itu.

“Gapapa, take a deep breath,” ucap Pragia sambil fokus menyetir.

Sena hanya mengangguk dan mencoba menstabilkan napasnya.

Butuh waktu hampir lima belas menit hingga akhirnya Sena dan Pragia sampai ke tempat itu, tempat dimana hari ini acara berlangsung.

Terlihat banyak sekali orang di sana, kemudian mereka berdua pun masuk.

Kedatangan Sena pun langsung di sambut oleh keluarga Raka.

“Cantik sini duduk,” ucap Mama Raka membuat Sena langsung menghampiri dan tersenyum.

“Maaf ya, Ma, lama.”

Mama hanya mengangguk dan tersenyum. “Gapapa sayang,” ucapnya.

“Cantik banget anak mama ini,” ucap Mama lagi pada Sena membuat Sena tersipu malu.

Netra Sena bergerak menelisik setiap sudut ruangan itu, sampai akhirnya ia melihat Raka sedang duduk di sebuah kursi sendirian.

Sena tersenyum, lelaki itu terlihat sangat baik.

Demi apapun, jantung Sena benar-benar kembali tak karuan.

Mama menoleh pada Sena yang tengah menunduk, lantas wanita paruh baya itu mengusap jemari Sena.

Are you okay cantik?” Tanya Mama pada Sena membuat Sena mengangguk.

“Oke! Aku cuma degdegan, hehe,” jawab Sena.

Saat sedang memandangi sekitar, tiba-tiba saja terdengar suara musik dan MC, sepertinya acara akan di mulai.

Semua orang tepuk tangan ketika mendengar sebuah pembukaan dari MC itu. Semua orang juga dibuat tertawa oleh lelucon singkat yang diberikan.

Sejak acara di mulai, mata Sena tak lepas dari Raka.

“Untuk sodara Abhimana Raka Pratama, dipersilahkan,” ucap MC membuat Raka berdiri di hadapan tamu.

Semua orang di sana bertepuk tangan dengan meriah.

“Ekhem …”

Sena tersenyum melihat Raka berdiri di sana.

“Tes, tes …”

Raka terkekeh pelan.

“Kayaknya langsung aja, ya? Soalnya saya gak pandai merangkai kata,” ucap Raka membuat semua orang tertawa.

“Sebelumnya, disini saya mau mengucapkan terima kasih untuk semua orang yang sudah hadir di acara saya hari ini.”

Netra Raka bergerak memperhatikan para tamu.

Sena masih setia tersenyum.

“Rasanya baru kemarin saya lulus kuliah, tapi seakrang saya berdiri disini. Berdiri untuk memulai sesuatu yang baru,” ucap Raka.

“Sebelumnya, terima kasih Ma, Pa, dan semua orang di sini, yang sampai sekarang selalu support saya. Termasuk perempuan yang saya cintai,” ucap Raka membuat Sena lagi-lagi tersenyum.

Mama menoleh pada Sena dan menggenggamnya.

Mata Rala bergerak, kemudian ia menatap Sena yang tengah duduk.

Terlihat di sana Sena mengangguk dan tersenyum pada Raka.

Raka menarik napasnya dalam.

Hening sejenak.

“Tujuan saya berdiri di sini sekarang, karena saya ingin mengatakan sesuatu hal penting untuk perempuan kesayangan saya.”

Perempuan kesayangan saya

Lagi-lagi Sena tersenyum.

Raka kembali menghela napasnya.

Lelaki itu lantas menatap perempuan yang ia maksud.

“Sheila Putri Mahardika,” ucap Raka membuat perempuan yang sejak tadi duduk berdiri dan menghampiri Raka.

“Disini, saya … Abhimana Raka Pratama ingin melamar kamu, Sheila Putri Mahardika sebagai tunangan saya,” ucap Raka membuat semua orang di sana bertepuk tangan termasuk Sena.

Jantung Sena mencelos ketika mendengar ucapan Raka kemudian tanpa sadar ia menjatuhkan air matanya.

Selamat, Selamat Raka

Sena bertepuk tangan dengan kencang ketika dua insan di hadapannya saling bertukar cincin.

Mama memperhatikan Sena yang diam-diam menangis.

“Maaf, ya, nak?” Ucap Mama membuat Sena mengangguk.

“Gapapa Mama …,” ucap Sena tersenyum.

Sena menarik napasnya dalam.

Happy engagement, Raka!” Sena berteriak membuat Raka menoleh dan tersenyum.

I’m happy for you, Ka,” gumam Sena.

Sena tersenyum bangga ia mengacungkan jempolnya lantas tak lama setelah itu Sena memilih keluar untuk sekedar mencari udara segar.

Sena menarik napasnya dalam, kemudian ia mengusap air matanya ketika sampai di luar gedung itu.

Tiba-tiba saja seseorang mengacak rambut Sena pelan membuat perempuan itu terkejut.

“Katanya gak bakal nangis,” ucap lelaki itu membuat Sena tertawa pelan.

“Nangis haru,” jawab Sena.

Pragia—lelaki itu pun hanya bisa terkekeh pelan, ia kemudian menarik Sena ke dalam pelukannya.

It’s okay, kamu gak pernah sendirian,” ucap Pragia.

Sena lagi-lagi terkekeh. “Iya, ada kamu,” ucap Sena.

Pragia lantas tertawa dan kemudian ia mengecup pucuk kepala perempuan itu.

Sena memeluk erat Pragia.

“Makasih ya …”

Pragia mengangguk. “I love you so much.

Suasana pusat perbelanjaan saat ini terlihat cukup Ramai. Tadi, sepulang dari cafe, Sena dan Pragia memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan.

“Nih coba,” ucap Pragia sambil memberikan beberapa pilihan jenis sepatu pada Sena.

Perempuan itu hanya terkekeh. Kenapa Pragia selalu bersemangat ketika mengantarnya berbelanja.

“Kok jadi kamu yang semangat?”

Pragia hanya tertawa. “Soalnya kamu kalo belanja banyak mikir,” ucapnya membuat Sena terkekeh pelan.

“Ini aja,” ucap Sena menunjuk salah satu sepatu berwarna cokelat susu.

“Okay!” Pragia langsung membawa sepatu itu untuk segera dibayarkan, sedangkan Sena hanya menggeleng.

Beberapa menit Sena menunggu, hingga akhirnya Pragia kembali dan menuntun Sena ke tempat dimana baju dan dress berada.

“Yuk nyari dress biar pas acara cantik,” ucap Pragia yang lagi-lagi membuat Sena tertawa.

“Iya ayo,” ucap Sena.

Lagi-lagi udara malam ini benar-benar terasa sangat sendu, entah kenapa. Mungkin untuk kesekian kalinya, langit tahu jika sekarang sedang ada dua manusianya yang patah.

Dua manusia itu sama-sama duduk di bangku taman yang terlihat hanya ada beberapa orang di sana sedang menikmati waktunya.

Rasanya sudah lama sekali perempuan itu tidak melihat lelaki ini. Lelaki yang mungkin sampai saat ini masih menjadi sosok yang mengisi ruang hatinya.

Bagaimana tidak, dua tahun itu bukan waktu yang sedikit. Apalagi mengingat jika selama ini ia selalu merasa diistimewakan. Namun entah kenapa tiba-tiba semua berakhir begitu saja. Seperti rumah yang tiba-tiba roboh tertiup angin.

Aromo tubuh lelaki itu benar-benar sangat dirindukan. Sena—perempuan itu benar-benar merindungan aroma ini.

Rasanya sesak, sesak sekali sampai rasanya ia ingin menangis. Bahkan sejak tadi, Sena mengepalkan tangannya supaya ia tidak menangis.

Terdengar suara hembusan napas dari Raka—lelaki di sampingnya.

“Dingin,” ucap Raka yang kemudian langsung melepas jaketnya dan memberikannya pada Sena.

Sena hanya terdiam membiarkan Raka memakaikan jaketnya pada tubuh itu.

Raka hanya tersenyum tipis.

Demi apapun, ia rindu sekali.

Katakan saja Raka bodoh karena ia telah menyia-nyiakan perempuan ini.

Dalam hati Raka benar-benar mengumpat, ia menyesal sangat menyesal.

“Makasih,” ucap Sena tanpa menoleh pada Raka.

Raka lagi-lagi tersenyum tipis.

Rasanya jadi sangat canggung.

Hening untuk beberapa saat. Keduanya sama sekali tidak bersuara. Kepala mereka sibuk memutar pikirannya masing-masing.

Raka teringat tentang pertanyaan Sena.

Kenapa harus selesai secepat ini?

Lelaki itu lantas menghela napasnya.

“Sen ..,” ucapnya pelan.

Sena hanya bergumam tanpa menoleh. Perempuan itu sejak tadi hanya memainkan kuku jarinya.

“Boleh gak, kalau aku jelasin semua hal yang belum sempet aku jelasin sama kamu?” Tanya Raka dengan hati-hati.

Sena terdiam sejenak. Sesak.

“Sen bo—“

“Iya boleh,” ucap Sena memotong membuat Raka meneguk salivanya.

“Mau jelasin dari bagian mana?”

“Semuanya,” jawab Raka.

Sena memejamkan matanya sejenak. Ia siap namun ia juga takut.

Raka menarik napasnya dalam. Kemudian tak lama ia mulai berbicara, mengatakan semua hal yang sudah terjadi padanya, pada mereka.

Tentang kenapa Raka memutuskan untuk beristirahat dari hubungannya dengan Sena. Tentang ia yang merasakan nyaman sesaat dengan Nana. Tentang ia yang melakukan kesalahan fatal yang dilakukan di Villa bersama Nana. Tentang ia yang waktu itu sempat merasa kesulitan melepaskan Nana. Dan tentang kejadian beberapa waktu lalu ketika ia lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama bersama perempuan itu.

“Maaf …,” ucap Raka di akhir.

Sena menahan napasnya. Rasanya benar-benar sesak, kemudian tanpa bisa ia tahan, air mata keluar dari pelupuk matanya. Dan lagi-lagi, Sena menangis di hadapan Raka.

“Jahat, beneran jahat banget …,” lirih Sena.

Raka hanya terdiam sebab ia pun tahu jika kesalahannya ini tidak akan cukup hanya dengan kata maaf.

“Kamu tau gak sih, Ka?”

“Kamu tau, gak?”

“Aku hancur banget, Ka.”

“Aku hancur, aku hancur. AKU HAMPIR MATI!” Teriaknya Sena tiba-tiba.

Sena terisak.

“Aku hampir nyerah karena kamu, temen-temen kamu, semuanya Ka, aku hampir nyerah. AKU HAMPIR NYERAH RAKA!” Teriaknya kembali membuat Raka menunduk dan menangis diam-diam.

Jemari Sena bergetar, lalu dengan susah payah ia gerakan untuk memukul dadanya berusaha meredakan rasa sakit dan sesak yang datang secara bersamaan.

“Kenapa harus kayak gini sih, Ka …,” lirih Sena.

“Kenapa kita harus tiba-tiba selesai.”

Sena terisak.

Raka menatap Sena dan kemudian jemarinya bergerak mengusap air mata perempuan itu.

“Aku tau, kata maaf aja gak cukup buat kesalahan aku. Aku bodoh, maaf, maaf udah bikin hancur semuanya …,” ucap Raka lirih.

Sena menangis, ia kemudian menatap Raka.

Sial

Sorot mata Raka benar-benar Sena rindukan.

“Aku tau, Ka … aku tau kalo aku ini gak sempurna. Aku masih banyak kurang, aku tau.”

“Aku juga ngerti rasa yang kamu maksud pas sama Nana itu tuh kayak apa.”

“Aku ngerti karena aku tau, kamu gak bisa dapetin itu dari aku.”

Raka menggeleng. “Enggak bukan kayak gitu …”

“Terus apa?”

Raka terdiam lantas kembali menunduk dan sama sekali tidak bisa menjawab.

“Maaf …,” lirihnya lagi.

Sena terkekeh pelan.

“Ternyata bener, ya, Ka? Orang yang tadinya bisa bikin bahagia, tiba-tiba aja bisa jadi orang yang bikin sakit.”

“Ka …,” lirih Sena.

I love you, i love you so much

“Aku sayang banget sama kamu, Ka. Tapi ternyata sayang aja gak cukup, ya, Ka?” Tanya Sena lirih.

“Sen, aku juga. Aku juga sayang kamu.”

“Maaf, maaf, aku terlalu gegabah,” gumam Raka yang kini berusaha menggenggam tangan Sena.

Sena menatap Raka. “Liat aku, Ka.”

“Aku sekurang itu ya di mata kamu?”

Raka menggeleng, ia bahkan menangis di hadapan Sena.

Sena mengusap air matanya, kemudian jemarinya pun bergerak mengusap air mata Raka.

“Tadinya aku pikir semua bisa diperbaikin, Ka.”

“Tapi …,” ucap Sena terjeda.

“Tapi kayaknya gak mungkin, haha.”

“Kita udah beneran sehancur itu, dan meskipun kita perbaikin, rasanya gak akan sama.”

Raka menatap Sena.

“Sen, aku bodoh. Ayo tampar aku, sepuas kamu. Aku udah bikin dunia kamu hancur, maaf. Jadi ayo kamu boleh pukul aku.”

Raka kemudian meraih tangan Sena dan menggerakannya seolah Sena tengah memukulinya.

Sena hanya bisa menjatuhkan air matanya sambil tersenyum.

Raka kemudian menggenggam tangan Sena erat dan menempelkan pada wajahnya.

Hangat, sangat hangat.

Sena mengusap pelan wajah Raka.

“Maaf ya Ka …”

“Maaf karena pas sama aku, kamu gak banyak bahagianya. Maaf juga karena pas sama aku, kamu gak bisa dapetin semua hal yang kamu mau,” ucap Sena pada Raka.

Raka hanya menggeleng, ia masih setia menggenggam jemari Sena dan mengusapnya.

Sena menarik napasnya dalam. Meskipun air mata tak juga berhenti, ia lantas tersenyum pada Raka.

“Ka …”

“Kita udah selesai, ya?” Tanya Sena.

“Benar-bener selesai, Ka?”

Raka menggeleng pelan.

Sena tersenyum tipis.

Ia menatap Raka lekat, kemudian jemarinya bergerak mengusap dan membenarkan helaian rambut Raka yang tertiup angin.

“Ka.”

“Nanti, setelah ini, tolong jangan nyakitin diri kamu sendiri, ya? Jangan lakuin hal yang akhirnya bikin kamu sakit.”

Raka kembali menggeleng. Rasanya benar-benar sesak. Padahal tadi, Raka sudah siap jika akhirnya Sena memilih untuk mengakhiri.

“Sena …”

I love you, i love you so much, Sen”

Sena tersenyum. “*I know.”

“Aku tau gimana sayangnya kamu ke aku …”

“Dulu.”

“Sebelum semuanya hancur.”

Raka kembali menggeleng. Ia tidak mau mengakhiri semuanya.

“Sena …,” lirih Raka.

Sena kembali mengusap Raka. Kemudian ia menghela napasnya.

Rasanya sakit, sebab mereka harus seperti ini.

“Ka …”

“Gih pulang, udah kan? Kamu udah jelasin semuanya.”

“Jadi … udah selesai.” Sena tersenyum.

“Gak bisa diperbaikin, ya, Sen?” Tanya Raka lirih.

Sena tersenyum dengan air mata yang menggenang, kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf,” jawabnya.

Raka menarik napasnya dalam. Rasanya saat ini jantung Raka terhantam bebatuan. Sangat sakit.

Raka menatap Sena, kemudian jemarinya bergerak dan ia pun mengusap air mata Sena yang jatuh. Lelaki itu mengusap dengan penuh kerinduan.

Seandainya saja Raka tidak gegabah. Mungkin sampai saat ini mereka akan tetap baik-baik saja.

“Kalau emang gak bisa diperbaikin. Aku bisa apa? Haha,” Raka terkekeh pelan.

Raka kembali menghela napasnya.

“Sena …” panggil Raka.

“Hmm?”

“Makasih, ya?”

“Makasih banyak udah jadi orang yang bikin bahagia.”

“Samu kamu, aku banyak bahagianya, Sen,” ucap Raka.

“Tapi ternyata, sama aku, kamu banyak sakitnya, ya?”

Sena hanya menggeleng pelan.

Raka menunduk sejenak. “Maaf ya Sen.”

“Huh! Haha, jujur ini sakit sih,” ucap Raka kemudian terkekeh.

Raka kembali menatap Sena.

“Sena …,” panggilnya.

“Apa?”

“Boleh enggak?” Tanya Raka sambil merentangkan kedua tangannya.

Sena terdiam.

For the last time,” ucapnya.

Sena kemudian mengangguk pelan.

Raka mengikis jaraknya dengan Sena, lantas ia memeluk erat tubuh perempuan yang setelah ini sudan bukan lagi miliknya.

Raka memeluk Sena dengan erat. Ia mengecup pucuk kepala Sena berkali-kali, menyesap aroma tubuh perempuan itu sangat lama.

Raka tidak siap kehilangan.

Begitu juga Sena.

Dalam pelukan itu, Sena kembali menangis.

“Habis ini, kamu harus lebih bahagia, ya, Sen?” ucap Raka.

“Habis ini, semoga hal-hal baik selalu datang ke hidup kamu.”

Sena mengeratkan pelukannya, ia bahkan tak sanggup mengatakan apapun.

“Maaf ya maaf. Karena sama aku, kamu hancur gitu aja.”

“Maaf ya Sen …,” lirih Raka.

Sena hanya mengangguk dalam pelukan itu.

Raka diam-diam juga menangis, lalu tak lama Raka melepas pelukannya.

Lelaki itu menatap Sena, ia kemudian menangkup wajah perempuan itu dan mengusap air matanya.

“Habis ini, tolong jangan nangis lagi, ya?” ucap Raka membuat Sena mengangguk.

Raka tersenyum.

“Makasih banyak Sena,” ucap Raka.

Sena menjauhkan tubuhnya dari Raka, kemudian ia bersandar di kursi itu.

“Gih pulang, Ka …,” ucap Sena.

Raka terdiam sejenak.

“Ayo, kamu juga pulang, aku anterin lagi.”

Sena menggeleng. “Nanti, aku disini aja dulu,” ucap Sena tersenyum.

Raka menghela napasnya dalam, kemudian ia beranjak dari duduknya.

Sebelum benar-benar pergi, Raka menatap Sena lagi.

“Aku pulang, ya?”

Sena mengangguk, lantas tak lama dengan langkah kakinya yang berat, Raka meninggalkan tempat itu.

Sena kemudian menatap daksa lelaki yang mulai menjauh dari pandangannya, dan tak lama Sena kembali menangis sendirian di sana.

Dan malam ini, mereka benar-benar selesai. Tidak ada lagi kata ‘kita’ di antara mereka.

Selesai, semuanya selesai.

Dan tanpa Sena sadari, Raka masih berada di sana memperhatikan Sena yang tengah menangis sendirian.

Sorry, i’m sorry

Di sisi lain, dua orang itu tengah saling menatap dan si perempuan terisak.

Tadi, ketika Nana keluar dari rumah Raka, ia di tarik pergi oleh Jeano yang kebetulan ada disana juga. Karena memang mereka yakni Deva, Jeano, dan Bima berniat mengunjungi Raka.

Dan tanpa mereka duga, Raka malah melakukan kesalahan yang sama seperti waktu di Villa.

“Berhenti, Na,” ucap Jeano yang tengah berdiri menghadap Nana.

Nana menggeleng.

“Aku sayang sama Raka,” ucapanya terisak.

Jeano memutar bola matanya.

Raka, Raka, selalu Raka.

“Na …”

“Lo gak sadar, ya?” Tanya Jeano.

“Lo gak sadar ya kalo selama ini ada yang lebih peduli sama lo ketimbang Raka.”

Nana menunduk dengan isakan yang masih terdengar.

Jeano menghela napasnya.

Jika ditanya, apakah Jeano peduli terhadap Nana atau tidak, jawabannya iya. Ia sangat peduli pada Nana, sebab jauh sebelum semuanya terjadi, Jeano sudah mengetahui Nana terlebih dahulu. Jauh sebelum akhirnya Nana memutuskan tinggal bersama Deva dan jatuh cinta pada Raka.

Iya, Jeano memang bodoh, sebab selama ini ia tidak berani mengatakan jika ia pun menyukai Nana.

Aneh memang, ini kali kedua Jeano menyukai perempuan yang juga menyukai Raka, setelah dulu ia sempat menyukai Sena.

Jeano mengacak rambutnya frustasi.

“Liat gue, Na …,” lirih Jeano.

Nana menggeleng.

“Na, selama ini lo gak pernah liat, gue, ya?” Tanya Jeano.

“Kenapa, Na?”

“Padahal lo tau kalo gue yang selalu berusaha bantuin lo, ada buat lo disaat cowok yang lo suka nyuekin lo.”

“Gue berusaha buat ada dan hibur lo.”

“Tapi kenapa?”

“KENAPA LO GAK PERNAH LIAT GUE!” Tiba-tiba saja Jeano berteriak membuat Nana terisak.

Jeano memukul dinding di belakang Nana membuat tangannya sedikit berdarah.

“Lo gak pantes kayak gini cuma buat Raka.”

“KAMU GAK NGERTI JE!” Teriak Nana.

“GAK NGERTI APA?!”

“AKU SAY—“

“LO CUMA OBSESI BUKAN SAYANG!” Teriak Jeano yang kemudian mengacak rambutnya frustasi.

“Ah anjing!” umpatnya.

Nana menangis keras.

Jeano menatap Nana kemudian ia memeluk perempuan itu.

“Gue sayang sama lo, Na.”

“Gue sakit liat lo kayak gini. Tapi gue juga gak bisa apa-apa.”

“Gue terlalu payah.”

Jeano mengatakan semua hal yang ingin ia katakan sejak lama pada Nana.

Bukannya mereda, Nana malah makin menangis dan berusaha melepaskan pelukan Jeano.

“Aku gak suka kamu, Je. Mau kamu berusaha gimana pun, aku sukanya cuma sama Raka.”

Jeano menatap Nana kemudian tersenyum tipis.

“Kamu tuh cuma sekedar orang yang gampang dimanfaatin Jeano,” ucap Nana menatap Jeano tajam.

“Selama ini aku welcome sama kamu itu supaya aku bisa gampang deket sama Raka,” jelas Nana.

“Aku gak pernah suka kamu.”

Terdengar kekehan dari Jeano, kemudian ia balik menatap Nana tajam.

Sungguh, ia benar-benar merasa sakit hati ketika mendengar ucapan Nana.

Jeano mendekat, jarak antara mereka menipis. Lantas jemari Jeano mengusap wajah Nana.

“Gue baru sadar …,” bisik Jeano tepat di hadapan Nana.

“Ternyata gue bodoh juga, ya?”

“Suka sama lo, haha.”

Jeano semakin mengikis jaraknya dengan Nana.

Nana menatap netra Jeano yang sangat dekat dengannya, jantungnya bahkan berdebar kencang.

“Gue baru sadar, kalo ternyata lo itu …”

Jeano kembali terkekeh.

“Ternyata lo sampah!” ucapnya tajam kemudian tak lama ia menjauh dari Nana dan segera menaiki motornya.

“Gue harap lo gak pernah bahagia, Na,” lanjut Jeano sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Nana sendirian di sana.

Nana hanya terdiam lantas menangis mendengar ucapan Jeano.

“BRENGSEK!” Teriaknya.

“Rak—“

“ANJING!” Tiba-tiba saja terdengar suara umpatan dan tak lama tubuh Raka ditarik menjauh.

Sebuah pukulan melayang di wajah Raka, membuat Nana yanh ada di sana berteriak.

“ANJING!”

“LO ANJING!” Teriak orang itu sambil berkali-kali melayangkan pukulan pada Raka.

Raka hanya terdiam tidak melawan ketika ia dipukuli. Tidak peduli jika tangan sebelah kanannya masih sangat sakit.

“TOLOL!”

“RAKA!” Teriak Nana berusaha memisahkan.

“DIEM LO!” Bentak orang itu pada Nana membuat Nana terlonjak kaget.

Terlihat amarah di mata orang itu. Benar-benar marah.

“UDAH!” Nana berteriak.

“AH BRENGSEK!” Teriak orang itu yang kini berusaha menahan pukulannya.

Raka memejamkan matanya ketika lelaki itu hampir saja kembali melayangkan pukulan pada Raka.

Terdengar suara tangis dari Nana, kemudian perempuan itu menarik Raka.

“APAAN SIH!” Teriak Nana.

Raka bangun, ia kemudian mengusap sudut bibirnya yang berdarah.

Amarah orang di hadapan Raka masih terlihat jelas. “Lo anjing!” umpatnya berkali-kali.

“UDAH RA—“

“LO DIEM!” Teriaknya pada Nana.

Raka terduduk, ia kemudian mengacak rambutnya frustasi.

“Gue pikir lo udah beneran berhenti.”

“Ini apa anjing!” umpatnya lagi.

Raka hanya menunduk.

“JAWAB BRENGSEK!”! Teriaknya lagi.

“Keluar Na, sebelum gue kelepasan.”

Nana menggeleng ia masih saja menggenggam Raka.

“KELUAR NA!” Teriaknya pada Nana membuat Nana terdiam.

“GUE BILANG KELUAR!” teriaknya lagi membuat Nana perlahan keluar dari sana.

Sepeninggalan Nana, ia kembali menatap Raka penuh amarah.

“Lo punya otak gak, sih?”

“Baru aja semalem anjing, baru semalem lo ngomong kalo lo mau perbaikin semuanya.”

“Terus ini apa?”

“JAWAB ANJING!” Teriaknya lagi.

Orang itu mengacak rambutnya frustasi. “Sadar. Secara gak langsung lo udah ngancurin dua perempuan anjing.”

Raka masih menunduk.

“Anjing anjing lo anjing!” Umpat orang itu.

“Udah berapa kali gue ingetin. Lo masih aja brengsek!”

“Sorry, Dev …,” gumam Raka.

Terdengar suara kekehan dari lelaki yang ternyata Deva itu. “Minta maaf mulu lo bangsat.”

Deva kemudian memilih duduk di hadapan Raka sambil mengacak rambutnya benar-benar frustasi.

“Gue udah nahan-nahan, gue kira otak lo jalan. Tapi kenapa makin parah.”

“Bacot lo bilang sayang Sena.”

“LO MIKIR GAK ANJING PAS NGELAKUIN HAL TADI SAMA NANA? LO MIKIRIN SENA GAK?”

“Anak orang lo bikin ancur.”

“Nana sepupu gue, dia gak pernah se-obsesi ini sama orang kecuali lo.”

“HARUSNYA DARI AWAL GUE INGETIN LO PAHAM ANJING!” Lagi-lagi Deva berteriak.

Terdengar suara helaan napas dari Raka.

Ia kemudian memukul dirinya sendiri. “Iya gue brengsek.”

“Gue gak mikir.”

“Sorry …”

Deva menghela napasnya dalam.

“Lo minta maaf sama Sena terus lo jauhin Nana.”

“Gue udah jauhin Nana.”

“TAPI KENAPA LO MYIUM DIA ANJING!” Teriak Deva lagi.

“GUE GAK TAU!” Raka balik berteriak.

“AH ANJING!” umpat Raka.

“Tolol!” Deva balik mengumpat.

Raka menunduk, kemudian ia beranjak. Ia kemudian melirik ke arah pintu depan yang ternyata ada Bima juga.

Deva ikut beranjak, ia kemudian ia menatap Raka dan menunjuknya.

“Lo sampah! Sena gak pantes dapetin lo, brengsek!” ucap Deva sebelum akhirnya ia pergi dari sana meninggalkan Raka.

Raka menghela napasnya ketika mendengar suara bel rumahnya berbunyi.

Awalnya Raka tidak berniat membuka pintu itu, namun berkali-kali suaranya terus saja terdengar hingga akhirnya Raka memutuskan untuk membuka.

Terlihat jelas oleh Raka, jika di hadapannya saat ini ada Nana yang tengah berdiri dengan wajahnya yang terlihat sembab.

Raka menghela napasnya.

“Ayo kita omongin baik-baik.”

Raka menatap netra Nana yang terlihat berkaca-kaca lalu kemudian ia mempersilahkan Nana masuk.

Mereka saat ini duduk berhadapan, Nana menangis di hadapan Raka.

Sial

Raka kembali menghela napasnya. “Gak usah nangis Na,” ucap Raka.

Nana semakin terisak.

“Ka, aku … aku sayang banget sama kamu,” ucap Nana.

“Aku tau, kalo caraku salah buat deketin kamu. Tapi aku beneran setulus itu sama kamu, Ka,” lirih Nana.

Raka masih terdiam memperhatikan perempuan itu.

Sial, sial

Raka benci melihat Nana menangis.

Raka kembali menarik napasnya dalam, kemudian perlahan ia mengusap air mata Nana.

“Na …”

“Kita tuh salah dari awal.”

Nana menunduk.

“Maaf, ya? Maaf karena gue libatin lo sejauh ini.”

“Maaf karena gue gak bisa nahan diri dan berakhir kayak gini.”

“Na, lo baik, gak seharusnya kayak gini.”

“Yang sayang sama lo bukan cuma gue, Na.”

“Gue masih sayang Sena, gue sayang banget sama Sena.”

“Lo gak pantes buat kayak gini ke gue, Na,” ucap Raka.

Nana terisak.

Lagi-lagi Raka menghela napasnya ketika mendengar tangisan Nana yang semakin keras.

“Liat gue,” ucap Raka membuat Nana menatapnya.

Netra mereka saling bertemu.

Raka bisa melihat jelas ada rasa sakit pada tatapan mata perempuan itu.

“Udah, ya?” Pinta Raka.

“Ka …,” lirih Nana.

Hening.

Mereka hanya saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat. Sampai akhirnya entah keberanian darimana tiba-tiba saja kening mereka saling beradu.

“Aku sayang kamu, Ka,” gumam Nana pelan.

Lantas setelah itu, tiba-tiba saja bibir mereka beradu. Keduanya sama-sama memejamkan mata berusaha menyalurkan emosi masing-masing.

Dan untuk kesekian kalinya. Raka melakukan kesalahan fatal.

Suasana rumah sakit seperti biasanyabterlihat ramai.

Saat ini, Sena, Zeya, dan Mima tengah duduk di kantin rumah sakit, sebab tadi Sena sudah diperbolehkan untuk pulang.

“Kenapa gak makan di warteg aja sih,” ucap Mima dengan nada suaranya sedih.

Zeya berdecak. “Ke warteg lo tiap hari sampe kembung,” sahut Zeya membuat Sena tertawa.

Mendengar tawa Sena, kedua sahabatnya itu pun menoleh.

“Ih ketawa juga lo,” sahut Zeya, sebab sejak kejadian dimana Raka dan Sena renggang, mereka jarang sekali melihat Sena tertawa.

“Lah emang gue gak boleh ketawa?” Tanya Sena.

Mima tiba-tiba saja memeluk Sena. “Boleh sayang!”

Sena lagi-lagi tertawa. “Geli,” ucapnya sambil menyingkirkan Mima yang mencoba memeluknya.

“Sen, Mim,” tiba-tiba saja Zeya memanggil Sena dan Mima dengan netranya yang tertuju pada seseorang tak jauh dari tempat mereka duduk.

Sena mengikuti arah pandang Zeya.

Tiba-tiba saja Zeya berdiri. “Itu si Nana anjir!” Ucap Zeya yang bersiap untuk menghampiri Nana yang tengah berdiri memesan makanan.

Sena terdiam sejenak memperhatikan perempuan itu.

“Gue tamp—“

“Gak usah Zey diem aja,” tiba-tiba saja Sena menarik Zeya agar kembali duduk.

Zeya berdecak.

“Apaan sih? Itu si Nana anjir, yang bikin lo ancur!” ucap Zeya penuh penekanan.

“Gue tau.”

“Gak usah, diem aja pura-pura gak liat, ya? Gue gak mau ribut. Lagian gue juga udah gak ada hubungan apa-apa kok sama Raka,” jawab Sena tersenyum.

“Udah, ya, Zey?” Pinta Sena lirih membuat perempuan itu menghela napasnya dan akhirnya menuruti permintaan Sena.

Netra Sena kembali memperhatikan Nana.

Jujur, selama ini Sena tidak pernah bertemu Nana sedekat ini, ia hanya tau perempuan itu melalui social media saja.

Rasanya sesak, apalagi mengingat jika kemarin ia melihat Nana mengusap Raka seolah dia itu adalah dunianya Raka.

Sena menarik napasnya dalam. “Ayo pulang,” pinta Sena.

Mima menatap Sena. “Gak mau ke kamar Raka du—“

“Ih bego,” sahut Zeya memotong ucapan Mima.

Sena hanya terkekeh. “Gak usah, ayo pulang aja.”

Netra perempuan itu bergerak memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Ada yang tengah memberi makan sang buah hati, ada yang tengah mendorong kursi roda, ada perawat dan juga dokter yang berlalu lalang di sekitar sana, sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan Sena hanya duduk di ayunan dengan tihang infus di sampingnya yang masih belum juga terlepas.

Sena hanya bisa menghela napasnya panjang setelah beberapa saat yang lalu membalas pesan singkat dari beberapa orang di ponselnya.

Perempuan itu menunduk ketika tiba-tiba saja kejadian tadi disaat Sena berdiri tepat di ruang rawat dimana ada Raka di dalamnya.

Masih sangat teringat jelas dibayangan Sena ketika ia melihat orang lain berada di samping Raka ketika lelaki itu sedang tak berdaya.

Harusnya Sena

Sena menunduk, rasanya sesak sekali.

Perasaannya campur aduk.

Satu sisi ia benci sekali pada Raka, tapi di sisi lain, ia pun tidaj ingin Raka terluka.

Melihat hal seperti tadi membuat Sena benar-benar kembali hancur.

Seharusnya dia yang bersama Raka bukan orang lain.

Sena berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.

“Kalo mau nangis gak udah ditahan,” tiba-tiba saja seseorang datang dan duduk begitu saja di samping Sena membuat perempuan itu menoleh.

Wangi vanilla dari tubuh lelaki itu menyeruak.

Terdengar suara helaan napas dari lelaki di samping Sena.

“Sakit, ya, Sen?” Tanya lelaki itu.

“Gapapa, lo kalo mau nangis keluarin aja. Jangan sok kuat.”

Sena menarik napasnya dalam kemudian terkekeh kecil.

“Lo gak tau apa-apa,” balas Sena.

“Gue tau,” sahutnya.

Tiba-tiba saja lelaki itu terkekeh, kemudian ia menoleh dan memperhatikan Sena yang terlihat pucat dan sedikit berantakan.

Netranya menatap lekat Sena, kemudian lelaki itu kembali menghela napasnya.

Jemarinya tiba-tiba saja bergerak merapikan beberapa helai rambut acak Sena yang tertiup angin.

Sena hanya terdiam membiarkan. Matanya pun fokus memperhatikan lelaki di sampingnya ini.

“Kenapa lo narik gue waktu itu, Dev?” Tiba-tiba saja Sena bertanya. Membuat lelaki yang ternyata adalah Deva itu terdiam.

“Harusnya lo biarin aja gue mati.”

“Gak ada yang pe—“

“Ada,” Deva memotong ucapan Sena.

“Teman-temen lo, orang tua lo, orang-orang terdekat lo. Mereka peduli sama lo.”

“Lo gak sendirian.”

“Gak usah mikir buat mati,” ucap Deva membuat Sena terdiam lantas terkekeh.

“Lo ga—“

“Gue tau Sen.”

“Gue tau kalo ini menyakitkan buat lo. Semuanya nyakitin buat lo. Bikin lo hancur.”

Lagi-lagi Deva memotong ucapannya.

“Tapi gak seharusnya lo ngelakuin hal kayak waktu itu.”

Sena mengalihkan pandangannya.

“Engagk, lo gak ngerti. Lo gak tau apa-apa.”

“Gue tau.”

“Gue tau semuanya.”

“Tentang lo, semuanya gue tau,” ucap Deva tanpa menatap Sena.

Mereka berdua sama-sama diam terlarut dalam pikirannya masing-masing.

Sena kemudian kembali menatap Deva yang kini tengah menatap ke atas sambil sesekali membuang napasnya berat.

Sorry, Sen,” ucap Deva tiba-tiba.

“Kenapa Dev?” Sena tiba-tiba saja tertanya membuat Deva menoleh heran.

“Maksudnya?”

“Kenapa waktu itu lo meluk gue erat banget? Lo bahkan berkali-kali nyiumin kepala gue, Dev. Gue masih inget.”

Deva terdiam.

“Kenapa lo gak biarin aja gue waktu itu?”

“Jawab Dev.”

Deva menatap lekat mata Sena yang terlihat menahan air matanya.

“Karena lo harus tetap hidup, Sen. Seenggaknya buat orang-orang yang sayang sama lo.”

“Termasu—“ucapan Deva terpotong ketika tiba-tiba saja Zeya berteriak.

“SEN!”

Sudah hampir 3 hari Raka terbaring di rumah sakit. Hanya ada Bima, Jean, Deva, dan juga sesekali Nana kesana menemani Raka, sebab kedua orang tuanya sedang tidak bisa menghampiri Raka akibat pekerjaan.

Saat ini ada Nana yang tengah duduk di samping Raka.

Nana menatap Raka lekat, kemudian jemarinya bergerak mengusap-ngusap kepala Raka.

“Ka … cepet bangun,” ucap Nana pada Raka.

Jujur, jika berbicara perihal perasaan. Nana benar-benar menyukai Raka sejak awal, bahkan sekarang sudah masuk pada tahap menyayangi.

Nana sadar, ia sangat sadar jika yang ia lakukan ini salah. Tetapi ketimbang memikirkan apalah cara ini salah atau benar, Nana lebih mengedepankan egonya agar bisa bersama Raka bagaimana pun caranya. Karena sebelumnya ia tidak pernah merasa sejatuh cinta ini pada seseorang.

Nana menghela napasnya ketika ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk yang ternyata dari Jeano.

Alih-alih membalas, Nana malah mematikan ponselnya agar tidak bersuara.

Nana terus saja mengusap jemari tangan sebelah kanan Raka. Berharap lelaki ini segera sadar.

Jemari Nana pun kembali bergerak membenarkan helaian rambut tipis Raka yang sedikit panjang.

Tiba-tiba saja Raka bergerak, membuat Nana terkejut.

“Ka?” ucap Nana sambil terdiam memperhatikan gerakan Raka.

Perlahan Raka bergerak.

“Ka aku dis—“

“Sena …,” lirih Raka dengan matanya yang masih terpejam.

Terlihat jelas oleh Nana jika sekarang Raka tengah menjatuhkan air matanya tanpa sadar.

“S-sen … maaf,” gumam Raka seolah ia sedang bermimpi.

“Sena …” lagi-lagi Raka menggumamkan nama Sena tepat di hadapan Nana.

Napas Nana tercekat, rasanya sedak sekali.

Nana kembali duduk dan ia pun kembali meraih jemari Raka untuk ia genggam.

“Ka ini Nana …”

“Aku disini …,” lirih Nana yang mengusap Raka penuh sayang.

Raka masih menangis dalam tidurnya. Ia benar-benar menangis seperti orang yang baru saja kehilangan.

Sungguh, rasanya sesak sekali ketika Nana melihat ini.

Padahal jelas-jelas sekarang Raka tengah bersamanya.

Nana menunduk lantas ia pun terisak pelan.

“Aku Ka yang ada disini, bukan Sena …,” lirih Nana.

Dan tanpa Nana sadari, di balik pintu masuk ruangan itu, ada Sena yang tengah terduduk rapuh setelah tadi ia melihat Nana mengusap Raka penuh sayang dari balik kaca pintu ruangan itu.

“Ka …,” isak Sena pelan.

Perempuan itu pun menepuk dadanya keras berusaha menghilangkan rasa sesak sebab ia melihat Raka—lelaki yang ia cintai kini terlihat sangat tenang bersama dengan perempuan lain di dalam sana.

“Sakit, Ka …,” lirih Sena. Lalu tak lama ia pun memilih beranjak dari sana dengan selang infus yang masih menempel di tangannya.