Sama Aku, Kamu Banyak Sakitnya.

Lagi-lagi udara malam ini benar-benar terasa sangat sendu, entah kenapa. Mungkin untuk kesekian kalinya, langit tahu jika sekarang sedang ada dua manusianya yang patah.

Dua manusia itu sama-sama duduk di bangku taman yang terlihat hanya ada beberapa orang di sana sedang menikmati waktunya.

Rasanya sudah lama sekali perempuan itu tidak melihat lelaki ini. Lelaki yang mungkin sampai saat ini masih menjadi sosok yang mengisi ruang hatinya.

Bagaimana tidak, dua tahun itu bukan waktu yang sedikit. Apalagi mengingat jika selama ini ia selalu merasa diistimewakan. Namun entah kenapa tiba-tiba semua berakhir begitu saja. Seperti rumah yang tiba-tiba roboh tertiup angin.

Aromo tubuh lelaki itu benar-benar sangat dirindukan. Sena—perempuan itu benar-benar merindungan aroma ini.

Rasanya sesak, sesak sekali sampai rasanya ia ingin menangis. Bahkan sejak tadi, Sena mengepalkan tangannya supaya ia tidak menangis.

Terdengar suara hembusan napas dari Raka—lelaki di sampingnya.

“Dingin,” ucap Raka yang kemudian langsung melepas jaketnya dan memberikannya pada Sena.

Sena hanya terdiam membiarkan Raka memakaikan jaketnya pada tubuh itu.

Raka hanya tersenyum tipis.

Demi apapun, ia rindu sekali.

Katakan saja Raka bodoh karena ia telah menyia-nyiakan perempuan ini.

Dalam hati Raka benar-benar mengumpat, ia menyesal sangat menyesal.

“Makasih,” ucap Sena tanpa menoleh pada Raka.

Raka lagi-lagi tersenyum tipis.

Rasanya jadi sangat canggung.

Hening untuk beberapa saat. Keduanya sama sekali tidak bersuara. Kepala mereka sibuk memutar pikirannya masing-masing.

Raka teringat tentang pertanyaan Sena.

Kenapa harus selesai secepat ini?

Lelaki itu lantas menghela napasnya.

“Sen ..,” ucapnya pelan.

Sena hanya bergumam tanpa menoleh. Perempuan itu sejak tadi hanya memainkan kuku jarinya.

“Boleh gak, kalau aku jelasin semua hal yang belum sempet aku jelasin sama kamu?” Tanya Raka dengan hati-hati.

Sena terdiam sejenak. Sesak.

“Sen bo—“

“Iya boleh,” ucap Sena memotong membuat Raka meneguk salivanya.

“Mau jelasin dari bagian mana?”

“Semuanya,” jawab Raka.

Sena memejamkan matanya sejenak. Ia siap namun ia juga takut.

Raka menarik napasnya dalam. Kemudian tak lama ia mulai berbicara, mengatakan semua hal yang sudah terjadi padanya, pada mereka.

Tentang kenapa Raka memutuskan untuk beristirahat dari hubungannya dengan Sena. Tentang ia yang merasakan nyaman sesaat dengan Nana. Tentang ia yang melakukan kesalahan fatal yang dilakukan di Villa bersama Nana. Tentang ia yang waktu itu sempat merasa kesulitan melepaskan Nana. Dan tentang kejadian beberapa waktu lalu ketika ia lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama bersama perempuan itu.

“Maaf …,” ucap Raka di akhir.

Sena menahan napasnya. Rasanya benar-benar sesak, kemudian tanpa bisa ia tahan, air mata keluar dari pelupuk matanya. Dan lagi-lagi, Sena menangis di hadapan Raka.

“Jahat, beneran jahat banget …,” lirih Sena.

Raka hanya terdiam sebab ia pun tahu jika kesalahannya ini tidak akan cukup hanya dengan kata maaf.

“Kamu tau gak sih, Ka?”

“Kamu tau, gak?”

“Aku hancur banget, Ka.”

“Aku hancur, aku hancur. AKU HAMPIR MATI!” Teriaknya Sena tiba-tiba.

Sena terisak.

“Aku hampir nyerah karena kamu, temen-temen kamu, semuanya Ka, aku hampir nyerah. AKU HAMPIR NYERAH RAKA!” Teriaknya kembali membuat Raka menunduk dan menangis diam-diam.

Jemari Sena bergetar, lalu dengan susah payah ia gerakan untuk memukul dadanya berusaha meredakan rasa sakit dan sesak yang datang secara bersamaan.

“Kenapa harus kayak gini sih, Ka …,” lirih Sena.

“Kenapa kita harus tiba-tiba selesai.”

Sena terisak.

Raka menatap Sena dan kemudian jemarinya bergerak mengusap air mata perempuan itu.

“Aku tau, kata maaf aja gak cukup buat kesalahan aku. Aku bodoh, maaf, maaf udah bikin hancur semuanya …,” ucap Raka lirih.

Sena menangis, ia kemudian menatap Raka.

Sial

Sorot mata Raka benar-benar Sena rindukan.

“Aku tau, Ka … aku tau kalo aku ini gak sempurna. Aku masih banyak kurang, aku tau.”

“Aku juga ngerti rasa yang kamu maksud pas sama Nana itu tuh kayak apa.”

“Aku ngerti karena aku tau, kamu gak bisa dapetin itu dari aku.”

Raka menggeleng. “Enggak bukan kayak gitu …”

“Terus apa?”

Raka terdiam lantas kembali menunduk dan sama sekali tidak bisa menjawab.

“Maaf …,” lirihnya lagi.

Sena terkekeh pelan.

“Ternyata bener, ya, Ka? Orang yang tadinya bisa bikin bahagia, tiba-tiba aja bisa jadi orang yang bikin sakit.”

“Ka …,” lirih Sena.

I love you, i love you so much

“Aku sayang banget sama kamu, Ka. Tapi ternyata sayang aja gak cukup, ya, Ka?” Tanya Sena lirih.

“Sen, aku juga. Aku juga sayang kamu.”

“Maaf, maaf, aku terlalu gegabah,” gumam Raka yang kini berusaha menggenggam tangan Sena.

Sena menatap Raka. “Liat aku, Ka.”

“Aku sekurang itu ya di mata kamu?”

Raka menggeleng, ia bahkan menangis di hadapan Sena.

Sena mengusap air matanya, kemudian jemarinya pun bergerak mengusap air mata Raka.

“Tadinya aku pikir semua bisa diperbaikin, Ka.”

“Tapi …,” ucap Sena terjeda.

“Tapi kayaknya gak mungkin, haha.”

“Kita udah beneran sehancur itu, dan meskipun kita perbaikin, rasanya gak akan sama.”

Raka menatap Sena.

“Sen, aku bodoh. Ayo tampar aku, sepuas kamu. Aku udah bikin dunia kamu hancur, maaf. Jadi ayo kamu boleh pukul aku.”

Raka kemudian meraih tangan Sena dan menggerakannya seolah Sena tengah memukulinya.

Sena hanya bisa menjatuhkan air matanya sambil tersenyum.

Raka kemudian menggenggam tangan Sena erat dan menempelkan pada wajahnya.

Hangat, sangat hangat.

Sena mengusap pelan wajah Raka.

“Maaf ya Ka …”

“Maaf karena pas sama aku, kamu gak banyak bahagianya. Maaf juga karena pas sama aku, kamu gak bisa dapetin semua hal yang kamu mau,” ucap Sena pada Raka.

Raka hanya menggeleng, ia masih setia menggenggam jemari Sena dan mengusapnya.

Sena menarik napasnya dalam. Meskipun air mata tak juga berhenti, ia lantas tersenyum pada Raka.

“Ka …”

“Kita udah selesai, ya?” Tanya Sena.

“Benar-bener selesai, Ka?”

Raka menggeleng pelan.

Sena tersenyum tipis.

Ia menatap Raka lekat, kemudian jemarinya bergerak mengusap dan membenarkan helaian rambut Raka yang tertiup angin.

“Ka.”

“Nanti, setelah ini, tolong jangan nyakitin diri kamu sendiri, ya? Jangan lakuin hal yang akhirnya bikin kamu sakit.”

Raka kembali menggeleng. Rasanya benar-benar sesak. Padahal tadi, Raka sudah siap jika akhirnya Sena memilih untuk mengakhiri.

“Sena …”

I love you, i love you so much, Sen”

Sena tersenyum. “*I know.”

“Aku tau gimana sayangnya kamu ke aku …”

“Dulu.”

“Sebelum semuanya hancur.”

Raka kembali menggeleng. Ia tidak mau mengakhiri semuanya.

“Sena …,” lirih Raka.

Sena kembali mengusap Raka. Kemudian ia menghela napasnya.

Rasanya sakit, sebab mereka harus seperti ini.

“Ka …”

“Gih pulang, udah kan? Kamu udah jelasin semuanya.”

“Jadi … udah selesai.” Sena tersenyum.

“Gak bisa diperbaikin, ya, Sen?” Tanya Raka lirih.

Sena tersenyum dengan air mata yang menggenang, kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf,” jawabnya.

Raka menarik napasnya dalam. Rasanya saat ini jantung Raka terhantam bebatuan. Sangat sakit.

Raka menatap Sena, kemudian jemarinya bergerak dan ia pun mengusap air mata Sena yang jatuh. Lelaki itu mengusap dengan penuh kerinduan.

Seandainya saja Raka tidak gegabah. Mungkin sampai saat ini mereka akan tetap baik-baik saja.

“Kalau emang gak bisa diperbaikin. Aku bisa apa? Haha,” Raka terkekeh pelan.

Raka kembali menghela napasnya.

“Sena …” panggil Raka.

“Hmm?”

“Makasih, ya?”

“Makasih banyak udah jadi orang yang bikin bahagia.”

“Samu kamu, aku banyak bahagianya, Sen,” ucap Raka.

“Tapi ternyata, sama aku, kamu banyak sakitnya, ya?”

Sena hanya menggeleng pelan.

Raka menunduk sejenak. “Maaf ya Sen.”

“Huh! Haha, jujur ini sakit sih,” ucap Raka kemudian terkekeh.

Raka kembali menatap Sena.

“Sena …,” panggilnya.

“Apa?”

“Boleh enggak?” Tanya Raka sambil merentangkan kedua tangannya.

Sena terdiam.

For the last time,” ucapnya.

Sena kemudian mengangguk pelan.

Raka mengikis jaraknya dengan Sena, lantas ia memeluk erat tubuh perempuan yang setelah ini sudan bukan lagi miliknya.

Raka memeluk Sena dengan erat. Ia mengecup pucuk kepala Sena berkali-kali, menyesap aroma tubuh perempuan itu sangat lama.

Raka tidak siap kehilangan.

Begitu juga Sena.

Dalam pelukan itu, Sena kembali menangis.

“Habis ini, kamu harus lebih bahagia, ya, Sen?” ucap Raka.

“Habis ini, semoga hal-hal baik selalu datang ke hidup kamu.”

Sena mengeratkan pelukannya, ia bahkan tak sanggup mengatakan apapun.

“Maaf ya maaf. Karena sama aku, kamu hancur gitu aja.”

“Maaf ya Sen …,” lirih Raka.

Sena hanya mengangguk dalam pelukan itu.

Raka diam-diam juga menangis, lalu tak lama Raka melepas pelukannya.

Lelaki itu menatap Sena, ia kemudian menangkup wajah perempuan itu dan mengusap air matanya.

“Habis ini, tolong jangan nangis lagi, ya?” ucap Raka membuat Sena mengangguk.

Raka tersenyum.

“Makasih banyak Sena,” ucap Raka.

Sena menjauhkan tubuhnya dari Raka, kemudian ia bersandar di kursi itu.

“Gih pulang, Ka …,” ucap Sena.

Raka terdiam sejenak.

“Ayo, kamu juga pulang, aku anterin lagi.”

Sena menggeleng. “Nanti, aku disini aja dulu,” ucap Sena tersenyum.

Raka menghela napasnya dalam, kemudian ia beranjak dari duduknya.

Sebelum benar-benar pergi, Raka menatap Sena lagi.

“Aku pulang, ya?”

Sena mengangguk, lantas tak lama dengan langkah kakinya yang berat, Raka meninggalkan tempat itu.

Sena kemudian menatap daksa lelaki yang mulai menjauh dari pandangannya, dan tak lama Sena kembali menangis sendirian di sana.

Dan malam ini, mereka benar-benar selesai. Tidak ada lagi kata ‘kita’ di antara mereka.

Selesai, semuanya selesai.

Dan tanpa Sena sadari, Raka masih berada di sana memperhatikan Sena yang tengah menangis sendirian.

Sorry, i’m sorry