Kantin
Suasana rumah sakit seperti biasanyabterlihat ramai.
Saat ini, Sena, Zeya, dan Mima tengah duduk di kantin rumah sakit, sebab tadi Sena sudah diperbolehkan untuk pulang.
“Kenapa gak makan di warteg aja sih,” ucap Mima dengan nada suaranya sedih.
Zeya berdecak. “Ke warteg lo tiap hari sampe kembung,” sahut Zeya membuat Sena tertawa.
Mendengar tawa Sena, kedua sahabatnya itu pun menoleh.
“Ih ketawa juga lo,” sahut Zeya, sebab sejak kejadian dimana Raka dan Sena renggang, mereka jarang sekali melihat Sena tertawa.
“Lah emang gue gak boleh ketawa?” Tanya Sena.
Mima tiba-tiba saja memeluk Sena. “Boleh sayang!”
Sena lagi-lagi tertawa. “Geli,” ucapnya sambil menyingkirkan Mima yang mencoba memeluknya.
“Sen, Mim,” tiba-tiba saja Zeya memanggil Sena dan Mima dengan netranya yang tertuju pada seseorang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Sena mengikuti arah pandang Zeya.
Tiba-tiba saja Zeya berdiri. “Itu si Nana anjir!” Ucap Zeya yang bersiap untuk menghampiri Nana yang tengah berdiri memesan makanan.
Sena terdiam sejenak memperhatikan perempuan itu.
“Gue tamp—“
“Gak usah Zey diem aja,” tiba-tiba saja Sena menarik Zeya agar kembali duduk.
Zeya berdecak.
“Apaan sih? Itu si Nana anjir, yang bikin lo ancur!” ucap Zeya penuh penekanan.
“Gue tau.”
“Gak usah, diem aja pura-pura gak liat, ya? Gue gak mau ribut. Lagian gue juga udah gak ada hubungan apa-apa kok sama Raka,” jawab Sena tersenyum.
“Udah, ya, Zey?” Pinta Sena lirih membuat perempuan itu menghela napasnya dan akhirnya menuruti permintaan Sena.
Netra Sena kembali memperhatikan Nana.
Jujur, selama ini Sena tidak pernah bertemu Nana sedekat ini, ia hanya tau perempuan itu melalui social media saja.
Rasanya sesak, apalagi mengingat jika kemarin ia melihat Nana mengusap Raka seolah dia itu adalah dunianya Raka.
Sena menarik napasnya dalam. “Ayo pulang,” pinta Sena.
Mima menatap Sena. “Gak mau ke kamar Raka du—“
“Ih bego,” sahut Zeya memotong ucapan Mima.
Sena hanya terkekeh. “Gak usah, ayo pulang aja.”