Every Moment.
Jadi, sampai kapan kita akan bersama? Sampai rambut kita sama-sama menua, kan?
Mungkin, bagi sebagian orang, makan malam dan berkumpul bersama di ruang keluarga setiap malam adalah hal yang biasa saja. Bahkan mungkin, banyak orang yang menganggap jika itu tidak penting.
Perjalanan waktu merupakan satu hal yang tidak akan pernah bisa diulang. Dan terkadang secara tidak sadar, orang-orang banyak sekali menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia tanpa pernah berpikir jika satu detik itu sangat berharga.
Kata kebanyakan orang, waktu itu adalah uang. Tapi bagi Haikal, waktu itu adalah sesuatu yang tiap detiknya adalah anugerah.
Setiap detik yang ia lalui, ia menganggap itu adalah anugerah yang tidak seharusnya ia abaikan.
Berbicara mengenai waktu. Ternyata sudah banyak sekali hal yang dilalui, termasuk oleh Haikal.
Dulu, jika diingat, Haikal hanyalah seorang anak laki-laki yang masih cukup kesulitan untuk mencari tujuan hidupnya. Anak lelaki yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Anak lelaki yang kehilangan arah. Dan anak laki-laki yang hanya ingin dianggap ada dan berharga.
Terlalu banyak luka yang Haikal rasakan kala itu, ketika ia belum tahu jika di masa depan ia akan sangat begitu beruntung perihal dunianya.
Iya benar, sekarang Haikal beruntung sebab ia dikelilingi orang-orang yang menyayangijya dengan begitu hebat. Seperti sekarang contohnya.
Haikal bersama dengan perempuannya, dan juga kedua anak kesayangannya tengah berkumpul di ruang keluarga dengan suara gelak tawa yang tiada henti.
“Ayah! Jangan nyusul adek!” Jinan berteriak sambil memukul pelan kaki Haikal.
Ayah beranak dua itu hanya tertawa dan semakin jahil.
Saat ini, Haikal dan Jinan tengah fokus bermain game balapan di layar televisi.
Haikal lagi-lagi tertawa ketika melihat raut wajah si bungsu yang mengerut.
Di samping Haikal ada Ralita yang tengah memotong buah mangga. Perempuan itu hanya menggeleng.
“Jangan jail ih,” ucapnya membuat Haikal hanya menyerengeh.
“Mau dong,” ucap Haikal menunjuk pada potongan buah di piring.
Ralita hanya terkekeh kemudian menyuapi Haikal dengan telaten.
“Adek juga mau, Bu.” Jinan bangkit dari duduknya lalu mendekat ke arah Ralita.
Lagi-lagi Ralita hanya terkekeh. “Nih,” ucap Ralita yang kemudian menyuapi Jinan.
Perempuan itu menggeleng ketika menyadari jika Haikal dan Jinan mempunyai sifat manja yang sangat mirip. Bahkan tak jarang mereka bertengkar selayaknya kakak dan adik.
Ralita diam-diam memperhatikan kedua orang itu. Kemudian ia tersenyum.
Rasanya benar-benar sehangat itu mempunyai mereka di hidup Ralita.
Waktu menunjukan pukul setengah delapan malam. Bukannya semakin sunyi, suasana di rumah Haikal dan Ralita malah semakin terasa hangat dan menyenangkan. Apalagi sekarang Haikal tengah mengajarkan Jinan dan Caca bermain catur.
“Dahlah, Kakak gak ngerti,” ucap Caca menyerah membuat Haikal tertawa.
“Eh, Ayah tadi bilang apa? Kalau nyerah lebih dulu harus diputihin wajahnya pake bedak, terus harus foto,” ucap Haikal membuat Caca cemberut.
“Ibu liat nih si Ayah licik,” rengek Caca pada Ralita membuat Haikal semakin tertawa.
“Sini muka Kakak, Ayah bedakin, haha,” ucap Haikal sambil membalur wajah Caca dengan bedak putih membuat Caca merengek namun kemudian ia tertawa keras ketika melihat wajahnya di cermin.
“JELEK BANGET KAK CACA, HAHA,” ucap Jinan membuat Caca melotot padanya.
“Nanti Kak Adip gak jadi nemb—“
“ADEK!” Caca panik ketika mendengar Jinan menyebut nama itu.
Haikal mengerutkan keningnya. “Cie, Adip siapa nih, Kak?” Tanya Haikal pada Caca.
Caca mengarahkan pandangannya pada Ralita, kemudian dalam hari ia menyumpah serapahi Jinan.
Pasalnya, Caca tidak pernah berani membicarakan tentang laki-laki kepada Ayahnya ini.
Apalagi sejak dulu, Haikal selalu mengatakan jika Haikal tidak ingin Caca patah hati karena memilih lelaki yang salah.
“Pacar Kakak?” Tanya Haikal lagi membuat Caca buru-buru menggeleng takut dimarahi.
“Bukan!”
Haikal menyipitkan matanya. “Kok gak bilang Ayah kalo punya pacar?” Tanya Haikal.
“Ih bukan ayah,” sangkal Caca membuat Ralita diam-diam tertawa pelan.
“Bukan kan, Bu? Kakak gak punya pacar ih ayah,” ucap Caca lagi.
Haikal menghela napasnya. “Sini Kakak,” ucap Haikal menyuruh Caca mendekat.
Caca kemudian mendekat dan duduk di hadapan Haikal.
Haikal menatap anak perempuannya hangat.
“Kenapa Kakak? Kok kayak takut?” Tanya Haikal.
Haikal terkekeh kemudian tangannya bergerak mengusap wajah anak perempuannya.
“Kakak beneran udah punya pacar?” Tanya Haikal.
“Enggak Ayah, Kakak cuma deket aja, hehe,” ucap Caca.
Ralita hanya memperhatikan percakapan Ayah dan Anak itu. Terlihat oleh Ralita tatapan hangat Haikal pada anak perempuannya.
Jemari Haikal mengusap rambut Caca. “Gapapa Kakak,” ucap Haikal.
“Memang Ayah pernah bilang kalau Kakak gak boleh pacaran?”
Caca menggeleng.
Haikal terkekeh kemudian mengacak pelan pucuk kepala Caca.
“Denger, Ayah gak marah kok. Asal Kakak harus janji, ya, sama Ayah. Sekiranya apa yang Kakak suka itu bikin sakit, tolong jangan diterusin, ya?”
“Ayah gak mau anak perempuan Ayah yang cantik nangis cuma gara-gara cowok,” ucap Haikal.
Caca menatap Haikal, kemudian ia tersenyum. “Jadi Ayah gak marah kalo Kakak deket sama cowok?”
“Marah, kalo cowoknya nyakitin anak ayah, nanti ayah ajak berantem!” ucap Haikal membuat Caca dan Ralita tertawa.
“Berantem, berantem aja, udah tua,” sahut Ralita membuat Haikal menatapnya.
“Ayahmu ini emang suka ribut dari dulu,” ucapnya lagi membuat Jinan segera beranjak dan mendekat pada Ralita.
“Kayak Adek, Bu?” Sahut Jinan membuat Caca meledeknya.
“Kayak Adek apaan, berantem sama Kakak aja kamu ngadu ke Ibu,” ucap Caca menyahuti Jinan.
Jinan hanya berdecih. “Beda urusan!”
“Bocah freak!” ucap Caca sambil menatap Jinan membuat Haikal terkekeh.
“Heh jangan gitu ke Adeknya,” sahut Haikal.
“Dah ah Kakak mau ke kamar dulu, makasih Ayah!” ucap Caca yang kemudian memeluk Haikal membuat Haikal terkekeh.
“Gih istirahat, Adek juga sana istirahat,” ucap Haikal membuat Jinan mengangguk dan segera memeluk Ralita.
“Dadah Ibu, Adek ke kamar dulu,” ucap Jinan yang kemudian mencium pipi Ralita.
“Ayah gak dicium?”
Jinan terkekeh kemudian ia pun menghampiri Haikal. “Good night Ayah!” Jinan memeluk Haikal membuat Haikal tersenyum.
Setelah itu Jinan pergi dari ruang keluarnya mengikuti Caca, meninggalkan Haikal dan Ralita.
Sepeninggalan kedua anaknya, Haikal pun beranjak dan duduk di samping Ralita.
“Haduh,” ucap Haikal merebahkan tubuhnya bersandar di samping Ralita.
Ralita kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Haikal.
Haikal menatap Ralita. “Kenapa cantik?” Tanya Haikal.
Ralita hanya menggeleng kemudian jemarinya bergerak menggenggam jemari Haikal yang ukurannya lebih besar dari telapak tangan Ralita.
Ralita mengusap tangan lelakinya itu. Terlihat kulit yang mulai mengeriput, tidak sekekar dahulu.
Haikal memperhatikan Ralita, sebelah tangannya mengusap kepala Ralita lembut.
“Anak-anak udah mulai dewasa, ya, Ta. Perasaan baru kemarin aku ngajarin Caca sama Jinan jalan,” ucap Haikal membuat Ralita tersenyum.
“Masa mau kecil terus?”
Haikal terkekeh. “Anak-anak makin dewasa, dan kita makin menua, Ta.”
Ralita terdiam mendengarkan ucapan Haikal.
“Kita, bakal terus sehat kan, ya, Ta? Sampai anak-anak punya hidup masing-masing.”
Ralita menengadah menatap Haikal yang juga menatapnya.
“Iya,” ucap Ralita.
“Jadi, kamu kalo aku suruh jangan ngopi terus itu nurut, biar sehat,” ucap Ralita membuat Haikal tertawa.
“Kok jadi kopi?”
“Ya lagian kamu makin tua makin sering minum kopi,” ucapnya.
Haikal tergelak. “Yaudah sayang maaf,” ucap Haikal mengacak pelan rambut perempuannya.
Ralita hanya tersenyum kemudian Ralita memeluk Haikal dari samping dengan erat.
“Ta …,” panggil Haikal.
“Hmm?”
“Makasih banyak, ya?”
Ralita terkekeh. “Makasih buat apalagi, Kal?”
Haikal mengangkat bahunya. “Gak tau, makasih aja pokoknya.”
Lagi, Ralita kembali terkekeh. “Dasar,” jawab Ralita yang kembali mengeratkan pelukannya pada Haikal.
Ralita menyesap aroma tubuh lelaki itu. Sama seperti dulu, tidak pernah berubah. Dan Ralita menyukainya.
Haikal tersenyum ketika memperhatikan Ralita yang tengah memeluknya. Tubuh perempuan itu seakan tenggelam dalam pelukan Haikal.
Jemari Haikal kembali bergerak mengusap Ralita lembut.
Haikal kemudian membenarkan posisinya dan kemudian ia pun memeluk Ralita.
Hangat, selalu hangat.
“Cantik banget ini, istrinya siapa?” ucap Haikal sambil mengusap dan memperhatikan Ralita.
Ralita hanya terkekeh pelan. “Istri kamu,” jawab Ralita membuat Haikal tergelak.
Haikal mengeratkan pelukannya sangat erat. Berkali-kali juga Haikal mengecup kening Ralita.
”Cantik, cantik, cantik.”
Mendengar itu Ralita hanya tersenyum dalam pelukan Haikal.
Sungguh, baik Haikal dan Ralita, mereka benar-benar beruntung sebab mereka saling melengkapi.
Tidak banyak yang Haikal minta, tidak banyak juga yang Ralita minta.
Mereka, hanya ingin bersama, sampai nanti mereka sama-sama menua. Sampai umur mereka sembilan puluh, rambut mereka sama-sama memutih. Walau mungkin akan banyak kerikil terjal nantinya. Tapi mereka percaya, semua akan baik-baik saja.
Mereka hanya ingin bersama sampai akhirnya nanti mereka beristirahat di rumah yang sama.
Ralita aman bersama Haikal, dan Haikal nyaman bersama Ralita.
Dan lagi, dari sekian banyaknya waktu yang akan dilalui. Semoga hal-hal baik tetap ada di sekitar mereka. Dan kebahagiaan akan selalu datang kepada mereka.
Setiap detik yang akan dihabiskan, mereka berdua hanya berdoa, semoga semua berjalan sesuai rencana.
Tumbuh dengan saling mencintai satu sama lain, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa.
Selamanya, sampai menua.