Kenapa?

Netra perempuan itu bergerak memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Ada yang tengah memberi makan sang buah hati, ada yang tengah mendorong kursi roda, ada perawat dan juga dokter yang berlalu lalang di sekitar sana, sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan Sena hanya duduk di ayunan dengan tihang infus di sampingnya yang masih belum juga terlepas.

Sena hanya bisa menghela napasnya panjang setelah beberapa saat yang lalu membalas pesan singkat dari beberapa orang di ponselnya.

Perempuan itu menunduk ketika tiba-tiba saja kejadian tadi disaat Sena berdiri tepat di ruang rawat dimana ada Raka di dalamnya.

Masih sangat teringat jelas dibayangan Sena ketika ia melihat orang lain berada di samping Raka ketika lelaki itu sedang tak berdaya.

Harusnya Sena

Sena menunduk, rasanya sesak sekali.

Perasaannya campur aduk.

Satu sisi ia benci sekali pada Raka, tapi di sisi lain, ia pun tidaj ingin Raka terluka.

Melihat hal seperti tadi membuat Sena benar-benar kembali hancur.

Seharusnya dia yang bersama Raka bukan orang lain.

Sena berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.

“Kalo mau nangis gak udah ditahan,” tiba-tiba saja seseorang datang dan duduk begitu saja di samping Sena membuat perempuan itu menoleh.

Wangi vanilla dari tubuh lelaki itu menyeruak.

Terdengar suara helaan napas dari lelaki di samping Sena.

“Sakit, ya, Sen?” Tanya lelaki itu.

“Gapapa, lo kalo mau nangis keluarin aja. Jangan sok kuat.”

Sena menarik napasnya dalam kemudian terkekeh kecil.

“Lo gak tau apa-apa,” balas Sena.

“Gue tau,” sahutnya.

Tiba-tiba saja lelaki itu terkekeh, kemudian ia menoleh dan memperhatikan Sena yang terlihat pucat dan sedikit berantakan.

Netranya menatap lekat Sena, kemudian lelaki itu kembali menghela napasnya.

Jemarinya tiba-tiba saja bergerak merapikan beberapa helai rambut acak Sena yang tertiup angin.

Sena hanya terdiam membiarkan. Matanya pun fokus memperhatikan lelaki di sampingnya ini.

“Kenapa lo narik gue waktu itu, Dev?” Tiba-tiba saja Sena bertanya. Membuat lelaki yang ternyata adalah Deva itu terdiam.

“Harusnya lo biarin aja gue mati.”

“Gak ada yang pe—“

“Ada,” Deva memotong ucapan Sena.

“Teman-temen lo, orang tua lo, orang-orang terdekat lo. Mereka peduli sama lo.”

“Lo gak sendirian.”

“Gak usah mikir buat mati,” ucap Deva membuat Sena terdiam lantas terkekeh.

“Lo ga—“

“Gue tau Sen.”

“Gue tau kalo ini menyakitkan buat lo. Semuanya nyakitin buat lo. Bikin lo hancur.”

Lagi-lagi Deva memotong ucapannya.

“Tapi gak seharusnya lo ngelakuin hal kayak waktu itu.”

Sena mengalihkan pandangannya.

“Engagk, lo gak ngerti. Lo gak tau apa-apa.”

“Gue tau.”

“Gue tau semuanya.”

“Tentang lo, semuanya gue tau,” ucap Deva tanpa menatap Sena.

Mereka berdua sama-sama diam terlarut dalam pikirannya masing-masing.

Sena kemudian kembali menatap Deva yang kini tengah menatap ke atas sambil sesekali membuang napasnya berat.

Sorry, Sen,” ucap Deva tiba-tiba.

“Kenapa Dev?” Sena tiba-tiba saja tertanya membuat Deva menoleh heran.

“Maksudnya?”

“Kenapa waktu itu lo meluk gue erat banget? Lo bahkan berkali-kali nyiumin kepala gue, Dev. Gue masih inget.”

Deva terdiam.

“Kenapa lo gak biarin aja gue waktu itu?”

“Jawab Dev.”

Deva menatap lekat mata Sena yang terlihat menahan air matanya.

“Karena lo harus tetap hidup, Sen. Seenggaknya buat orang-orang yang sayang sama lo.”

“Termasu—“ucapan Deva terpotong ketika tiba-tiba saja Zeya berteriak.

“SEN!”