We’re done.
Zeya menghela napasnya ketika ia baru saja mengirim cuitan twitter.
Padahal dari tadi yang Zeya lakukan hanya duduk sambil memainkan ponsel, tapi rasanya kenapa lelah sekali?
Zeya terdiam sejenak sampai akhirnya tiba-tiba saja air matanya keluar tak bisa ditahan.
Perempuan itu lantas menangis sangat keras di ruang tengah sambil melemparkan ponselnya asal. Ia memeluk tubuhnya sendiri.
Sungguh, ini sangat sakit sekali.
Bukannya apa-apa tapi Zeya merasa dirinya sangat payah. Ia bahkan tidak pernah menyangka jika ia akan bertengkar seperti ini dengan Mima—sahabatnya.
Zeya menangis kencang, dadanya sesak. Apalagi ketika tiba-tiba saja adegan kejadian dimana Mima mencium Deva terlintas. Zeya benci itu.
Berkali-kali Zeya memukuk kepalanya supaya ingatan itu hilang dari kepalanya, namun tetap saja tidak bisa.
Demi apapun, kalau saja bukan Mima, Zeya tidak akan merasa sekecewa itu. Tapi ini Mima, sahabat baiknya. Orang yang sudah Zeya percaya, orang yang Zeya anggap saudara dan bahkan Zeya rela melakukan apapun untuk Mima selama ini.
Tidak pernah sekalipun Zeya membiarkan Mima atau Sena mengalami kesulitan. Bahkan ketika para sahabatnya itu merasa sakit, Zeya akan maju paling depan untuk membentengi rasa sakit itu.
Jujur, dari sekian banyak hal yang membuat kecewa hari ini, Zeya lebih kecewa terhadap Mima dan dirinya sendiri.
Zeya tidak mau seperti ini, tapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya benar-benar merasa sakit. Apalagi mengingat jika Deva adalah laki-laki pertama yang Zeya percayai untuk menjalin hubungan.
Zeya kecewa, pada Mima, Deva, dan semuanya.
“Heh, kok nangis?” Tiba-tiba saja Damar—kakak laki-laki Zeya datang dari arah dapur.
Lelaki itu keheranan melihat adik perempuannya menangis.
Tanpa pikir panjang Zeya langsung saja memeluk Damar.
“Abang … sakit banget,” isak Zeya memeluk Damar erat.
Damar terdiam sejenak karena terkejut, namun akhirnya ia pun menghela napasnya dan mengusap pelan pucuk kepala Zeya.
“Kamu kenapa?”
Zeya semakin menangis, ia mengeratkan pelukannya.
Damar hanya bisa terdiam, karena jika sudah seperti ini Zeya benar-benar sedang merasa sakit. Maka dari itu yang Damar lakukan hanya memeluk dan mengusap sayang sang Adik tanpa bertanya lagi.
“Iya gapapa nangis aja, ada Abang disini …”
Zeya terisak lagi.
“Abang sakit banget, rasanya sakit banget.”
“Iya nangis aja gapapa,” ucap Damar yang kemudian mengecup pelan kening Zeya.
Damar menghela napasnya.
“Abang gak bakal nanya kamu kenapa. Tapi, kalau ada yang nyakitin kamu, jangan diem aja, ya? Abang gak mau kamu disakitin gitu aja sama orang lain.”
“Abang sama Ayah selalu ngasih kamu bahagia, masa orang lain nyakitin kamu?”
Zeya semakin terisak.
“Maaf ya kalo Abang sibuk kerja sampai gak tau kalau Adik Abang lagi kayak gini.”
“Sekarang Adek nangis aja gapapa, kalau udah baikan nanti cerita sama Abang, ya?”
“Ab—“
Baru saja Damar akan berbicara, ucapannya terpotong ketika mendengar bel masuk.
Buru-buru Damar beranjak dan memeriksa siapa yang datang.
Alis lelaki itu terangkat ketika melihat siapa yang datang.
“Bang, ada Zey—“
“Oh jadi lo yang bikin Adek gue nangis?”
Tanpa aba-aba Damar langsung saja melayangkan pukulan pada Deva.
“Anjing lo.”
“Dari awal gue bilang jangan nyakitin Ade—“
“ABANG!” Tiba-tiba saja Zeya berteriak dan berusaha menarik Damar dari tubuh Deva.
Napas Damar tak beraturan.
Zeya langsung saja menghampiri Deva dan membantunya berdiri.
Zeya menatap Deva sekilas.
“Zey …,” lirih Deva meraih tangab Zeya.
“Pulang,” ucap Zeya tanpa basa-basi pada Deva.
“Zey dengerin dulu.”
“Izinin aku jelasin, ya?” Pinta Deva.
“Pulang, Dev.”
Deva menggeleng. “Please den—“
“We’re done, kita udah selesai.”
Lagi-lagi Deva menggeleng. “Enggak Ze—“
“GUE BILANG PULANG! KITA UDAH SELESAI!” Teriak Zeya.
“Gue gak mau liat muka lo.”
“Pulang Dev.”
Zeya benar-benar enggan menatap Deva.
“Dengar gak? Balik!” Sambung Damar sebelum akhirnya ia menutup pintu dan membiarkan Deva sendirian di luar.
Zeya kembali menangis dipelukan Damar.
“Abang sakit …”