Surat Untuk Bapak.
Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana, Pak?
Hancur, semuanya hancur.
Aku berlari seperti orang kesetanan setelah mendengar kabar jika Bapak berpulang.
”Nas, Bapak sudah tidak ada.”
Satu kalimat yang membuat jantungku hancur bak terhantam bebatuan.
Seperti orang gila yang tengah mengamuk. Aku berlari kesana kemari mencari tumpangan. Menangis meminta tolong pada orang-orang supaya segera mengantarkan aku ke rumah sakit. Tempat Bapak.
Persetan dengan acara wisuda.
Aku menangis sangat kencang ketika melihat tubuh kaku yang sudah tertutup kain.
Aku menangis, menangis hingga lupa jika di sini tak hanya ada aku.
Aku menangis seolah di sini hanya ada aku dan Bapak.
Tidak, bukan seperti ini seharusnya.
“Bapak, bangun …,” lirihku berusaha membangunkan tubuh Bapak yang kaku.
Matanya terpejam, bibir tipisnya menyinggung seolah memberitahukan jika sekarang Bapak sudah baik-baik saja.
“BAPAK BANGUN!” Teriakku lagi.
Berkali-kali aku berteriak, berkali-kali aku membangunkan Bapak, namun tubuh itu tetap tidak merespon.
Pak, anakmu ini baru saja mendapat gelar. Gelar yang selalu Bapak nantikan. Gelar yang Bapak bilang bisa mengangkat derajat hidup kita.
“Bapak bangun, aku udah sarjana Pak. Cumlaude impian Bapak. Anak kesayangan Bapak, putri kesayangan Bapak lulus.”
“Bapak bangun, BAPAK BANGUN!”
Lagi-lagi aku berteriak, tak peduli jika sekarang penampilanku sudah tidak karuan.
Aku hanya ingin Bapak.
Padahal semalam, Bapak sudah berjanji akan datang. Bapak berjanji akan berdiri di barisan paling depan untuk aku—anak perempuan kesayangan Bapak.
Bapak bilang, Bapak akan jadi orang pertama yang dengan bangga menunjukkan pada dunia jika anak perempuannya sudah mendapat gelar sarjana.
Tapi kenapa Bapak berbohong?
Bapak bilang, jika rasa sakit yang Bapak rasakan sudah pulih.
Bapak bilang, jika semua derita yang Bapak tanggung selama ini sudah lenyap.
Tapi kenapa Bapak berbohong?
Kenapa Bapak malah pergi?
Bapak bahkan belum sempat lihat aku berdiri sambil memamerkan hasil jerih payahku untuk mendapatkan gelar ini.
Gelar yang selalu Bapak impikan.
Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa bercanda.
Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa memeluk.
Di sini Bapak yang egois atau memang Tuhan yang jahat? Kenapa Bapak harus pergi?
Bahkan Pak, banyak sekali hal yang belum sempat aku kasih untuk Bapak. Banyak hal yang masih jadi rencana perihal aku yang akan memberikan seluruh dunia untuk Bapak.
Tapi kenapa Bapak harus pergi secepat ini?
Tuhan, aku hanya ingin bersama Bapak untuk waktu yang lebih lama.
Iya memang, katakan aku egois. Karena terus meminta Bapak untuk tinggal, padahal aku tahu jika selama ini Bapak menahan sakitnya.
Tapi Pak, kalau bukan dengan Bapak? Aku harus hidup dengan siapa lagi?
Dengan Ibu?
Haha, jangankan tinggal bersama Ibu. Melihat rupanya saja aku tidak pernah.
Lagi-lagi aku kembali menangis ketika orang-orang itu memindahkan Bapak.
Aku menggeleng kuat, aku menangis tanpa malu.
Tidak ada yang memelukku selain Mama—adiknya Bapak.
“Bapak pulang Ma, Bapak pulang …,” lirihku terisak.
Mama tidak mengatakan apapun, ia hanya memelukku erat, tanpa suara.
“Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana?”
****
Untuk Bapak, laki-laki hebat dengan tubuh yang semakin lama semakin ringkih. Laki-laki yang tanpa rasa malu membawa anak semata wayangnya kesana kemari hanya untuk mencari sesuap nasi.
Maaf Pak, maaf karena hadirnya aku membuat hidup Bapak harus terbebani puluhan kali lipat. Maaf, karena hadirnya aku di hidup Bapak membuat Bapak mati-matian memikirkan perihal hidupku yang selalu harus bahagia.
Bapak, jika saja bisa, lebih baik aku tidak pernah lahir jika ternyata hadirnya aku ini hanya menambah beban Bapak.
Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil memegang buku rekening.
Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil mengobati kaki Bapak yang terluka.
Banyak luka yang Bapak tanggung. Banyak beban yang Bapak tanggung.
Tapi kenapa Bapak selalu tersenyum pada anak perempuannya?
Kenapa Bapak selalu mengatakan jika Bapak ini kuat? Padahal jelas-jelas dari sorot mata Bapak, banyak kegelisahan dan ketakutan perihal tumbuh kembang hidup aku yang mungkin saja tidak akan berjalan sesuai rencana.
Pak, gak banyak yang aku minta.
Aku, hanya ingin bersama Bapak, untuk waktu yang lama.
Persetan dengan materi, aku hanya ingin hidup bersama Bapak.
Selamanya.
Tapi, ternyata tidak bisa, ya, Pak? Kenyataannya malah Tuhan mengambil Bapak lebih dulu dari aku. Bahkan disaat aku belum sempat memberikan seisi dunia pada Bapak.
Maaf, Pak. Karena aku, pundak Bapak jadi banyak beban.
Entah harus bagaimana aku menggantikan semua jerih payah Bapak.
Bahkan kata ‘sayang’ pun tidak akan pernah cukup.
Bapak ….
Terima kasih, ya. Karena Bapak selalu memberikan seisi dunia Bapak pada anak perempuannya.
Tolong terbang yang tinggi, ya, Pak? Sampai nanti beban-beban itu berjatuhan dan menghilang.
Aku sayang Bapak.