Maafin Abang
Malam itu, di bawah langit malam, ada seorang laki-laki yang sedang menangis di depan sebuah gundukan tanah.
Dirinya sangat rapuh, bahkan rasanya terlihat sakit sekali, jika saja melihat sorot mata sendunya.
“Papa...” ucapnya, lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.
“Papa...”
“Maafin abang...” lirihnya.
Lelaki itu terisak, ia sungguh merasa gagal untuk menjadi penjaga bagi adik satu-satunya.
“Abang payah banget, ya, pah? Abang gak bisa jagain kakak...” ucapnya.
“papa, kenapa sih abang gak becus banget? Papa pasti marah, ya?” Lirihnya.
Rasanya sangat sakit. Seharusnya ia bisa menjadi penjaga yang baik untuk adiknya, seharusnya ia mampu menjadi tumpuan bagi adiknya, seharusnya ia bisa melindungi adiknya dari segala bahaya. Tapi apa? Bahkan saat ini, lelaki bermata sipit itu tidak tahu keberadaan Najendra adiknya.
“AAAAA BODOH!” Teriaknya tiba-tiba, lalu kembali menangis.
Arjeno memeluk erat batu itu, merasakan seolah-olah ia sedang memeluk raga Dirga. Ia merasa seolah Dirga tengah memeluk tubuhnya, mengusapnya, serta menenangkannya.
“Papa, maafin abang, ya?” Ucapnya terisak