Jjaejaepeach

Biarin waktu yang nyembuhin semuanya

Najendra terbangun saat tiba-tiba merasakan sebuah usapan pelan pada kepalanya. Lelaki itu terbangun.

“Papa?” Ucapnya saat melihat bahwa orang yang tengah mengusapnya adalah Dirga, papanya.

Dirga tersenyum saat melihat anak bungsunya itu “Iya, ini papa...” ucapnya.

Dengan cepat Najendra langsung menghamburkan pelukan ke tubuh Dirga.

“Papa, kakak kangen...” ucap Najendra sambil memeluk erat tubuh Dirga.

Dirga terkekeh “Papa juga kangen sama kakak” ucap Dirga sambil mengecup pelan pucuk kepala anaknya itu.

“Kakak sama abang kenapa? Kok berantem terus sih?” Ucap Dirga lembut.

Najendra melepaskan pelukannya.

“Papa, semua orang sama aja, gak ada yang bisa kakak percaya termasuk abang”

“Pah, kenapa semenjak papa pergi, orang-orang jadi makin jahat?” Ucap Najendra pada Dirga.

Dirga tersenyum, ia lalu mengusap pelan wajah Najendra dengan sangat lembut.

“Maafin papa, ya?” Ucapnya.

“Maafin papa karena harus pergi, maafin papa gak bisa jaga kakak sama abang lagi”

Tanpa sadar Najendra menangis di hadapan lelaki itu.

Dirga lalu menghapus air mata yang jatuh dari pelupuk mata anaknya itu.

“Jangan nangis kakak, papa gak suka liatnya...”

Najendra lalu memeluk kembali tubuh Dirga. Tubuh yang selalu ia rindukan kehangatannya.

“Papa, kakak mau ikut sama papa...”

Dirga terkekeh.

“Kalau kakak ikut papa, abang disini sama siapa?”

“Kakak gak peduli.”

Lagi-lagi Dirga terkekeh “Jangan gini, ya?”

“Kakak tau enggak, kenapa kakak ngerasa sakit hati kayak gini?”

Najendra menggeleng pelan.

“Karena kakak udah dewasa, banyak banget hal-hal yang bisa bikin kakak hancur, contohnya sekarang.”

“Kak, makin dewasa itu, kita dituntut buat tabah. Mau sesakit dan sesulit apapun masalahnya, mau gak mau kakak harus hadapain itu semuanya, ya? Jangan menghindar”

Najendra terdiam mendengar penuturan Dirga.

Dirga tersenyum.

“Kakak boleh marah sama abang, marah aja gapapa. Tapi inget, ya? Jangan lama-lama kak. Kalian itu gak boleh saling dendam, ya?”

“Kakak mau bikin papa di Surga sedih?”

Najendra menggeleng pelan.

Dirga terkekeh “Sini peluk papa” ucapnya.

Najendra kembali memeluk tubuh lelakit itu.

“Papa, kakak kangen di peluk papa kayak gini...”

Dirga tersenyum “Papa selalu ada sama kakak, papa selalu disini, di hati kamu, papa gak bakal pergi kakak” ucapnya mengecup pelan pucuk kepala Najendra.

“Sekarang tidur, ya? Biarin waktu yang nyembuhin semuanya, oke?”

Nejendra mengangguk pelan.

“Papa”

“Temenin kakak sampe kakak tidur, ya? Jangan pergi dulu, kakak masih mau di peluk papa”

Dirga terkekeh

“Iya, papa disini”

Arjeno buru-buru pergi ke ruang rawat itu.

Baru saja ia sampai disana, Arjeno sudah melihat Najendra adiknya yang tengah berusaha membawa sebuah botol minuman di sampingnya, dan dengan cepat, Arjeno menghampiri Najendra.

“Diem, baru juga sadar” ucap Arjeno.

Najendra hanya tersenyum pelan.

“Lo tuh kalo sadar pake aba-aba kek, tiba-tiba ngechat, apa gak kaget gue”

“Lebay lo” sahut Najendra.

“Lagian lo keluar kemana sih? Teleponan sama siapa?”

Arjeno terdiam.

“Gue tadinya mau nge vc tapi gak bisa”

Lagi-lagi Arjeno terdiam.

“Hmm, vc sama cewek ya lo?!” Ucap Najendra.

“Ngaco!” ucap Arjeno

Najendra hanya terkekeh pelan.

“Btw kak, gue laper...”

“Ayahhh...” lirih Jea yang tengah terisak di dalam mobil.

Di sampingnya ada orang yang menurut Jea asing sekali.

“Hei, jangan nangis...”

“Jea mau pulang...” lirih Jea yang tengah memeluk dirinya sendiri.

Tangan orang itu terulur mengusap pucuk kepala Jea.

“Jea sayang, ini papa...” ucapnya.

Jea menoleh, lalu menggeleng.

“Ayah Jea cuma ayah Janu, kamu bukan ayah Jea...”

Iya benar, orang itu Biru, ayah kandung dari Jea.

Biru menghela napasnya, ada rasa sesak juga amarah dalam hatinya kini.

Setelah sekian lama, ia akhirnya bisa bertemu dengan Jea, anak yang sejak dulu ingin sekali ia temui.

Dengan pelan, Biru menarik tubuh anak perempuan itu ke dalam pelukannya. Namun Jea menolaknya.

“LEPASIN! AYAHH!!!!” Teriak Jea tiba-tiba sambil menangis.

Biru tetap memeluk dengan erat tubuh Jea.

“Maafin papa, maafin papa...” ucapnya sambil mengecup pelan pucuk kepala anak itu.

“LEPASIN JEA MAU PULANG, JEA MAU AYAH!!” Ucap Jea memberontak.

Namun tetap saja, sekeras apapun tenaga Biru lebih kuat dari Jea.

Biru mengeratkan pelukannya.

“Ini papa, ini papa sayang... maafin papa, maafin papa...”

“Ikut papa pulang, ya?

“Ayah pulang...” ucap Janu sesaat setelah ia sampai di rumahnya.

Seperti biasa, kepulangan Janu selalu di sambut hangat oleh kedua anaknya.

“Ayahhh!!!” Ucap Jea dan Jae bersamaan sambil berlari memeluk erat tubuh Janu.

Lelaki itu merentangkan tangannya, lalu ditangkapnya tubuh kedua anak kesayangannya itu.

“Aduhh anak-anak ayah...” ucap Janu lalu mengecup kening mereka bergantian.

“Ayahhh ayoo katanya mau nyeritain Bumi...” ucap Jea antusias.

Jae mengangkat sebelah alisnya “Bumi siapa ih?”

Janu terkekeh, “ayo duduk dulu, ayah mau nyimpen dulu tas”

Tak perlu waktu lama, kini mereka bertiga tengah duduk di ruang tengah rumah itu.

“Ayah ini, liat deh ini bunda, kan?” Ucap Jea sambil memberikan sebuah foto lama.

Benar, disana ada Senjani serta Bumi, dua orang berarti dalam hidupnya.

Janu tersenyum tipis kala melihat foto lama itu. Ia sangat ingat kapan foto ini di ambil. Kalau tidak salah, waktu Senjani ikut latihan band bersama mereka.

Ada sedikit rasa sesak kala Janu menatap foto itu, banyak sekali kerinduan yang tertahan dalam hatinya.

Janu menghela napasnya, ia lalu menunjuk ke arah Bumi.

“Ini namanya Bumi...” ucap Janu.

Di hadapannya ada si kembar yang terlihat begitu antusias menunggu Janu bercerita.

“Dia itu temennya ayah sama Bunda...” ucap Janu.

“Temen? Terus kenapa gak ada ayah di fotonya?” Tanya Jae heran.

Janu terkekeh pelan “Gapapa...”

“Ayo ayah ih terusin. Jae diem dulu jangan di potong!”

Jae berdecih, lalu melipat kedua tangannya kesal.

Janu hanya tersenyum kecil melihat interaksi kedua anaknya itu.

“Nah, jadi ayah, bunda sama Bumi dulu temenan. Bumi itu temen baik ayah. Dia banget banget...” ucap Janu sambil menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke seluruh ruang di dadanya.

“Nah, kenapa disini Bunda di foto sama Bumi, sedangkan ayah enggak? Karena...” janu terdiam sejenak.

“Karena apa ayah?”

“Karena, Bumi itu cinta pertamanya Bunda kalian...” ucap Janu tersenyum tipis.

Tiba-tiba saja semua memori semasa dulu terlintas di benaknya, potongan-potongan manis bahkan pahit tiba-tiba saja melintas secara bergantian.

Sesak, sesak sekali.

“Cinta pertama?” Tanya Jae.

Janu mengangguk “Iya...”

“Kok ayah gak marah? Berarti Bumi rebut Bunda dari ayah, ya?” Tanya Jea polos.

Janu terkekeh, ia lalu mengusap pelan pucuk kepala putri kecilnya itu.

“Enggak sayang...”

“Dulu, sebelum ayah ketemu Bunda, Bumi itu udah lebih dulu jadi cintanya Bunda. Bumi sayang sekali sama Bunda...”

“Waktu ayah sama bunda sama bumi masih sekolah, kita itu teman baik sayang...”

“Kalau kamu ingin tau Bumi itu siapa, ayah ceritain...”

“Jadi Bumi itu kan cinta pertamanya Bunda, dia baik banget, dia sayang sekali sama Bunda, bahkan mungkin sayangnya ayah ke bunda juga kalah sama sayangnya Bumi ke bunda kalian.”

“Bumi itu laki-laki hebat banget, dia kuat, ah pokonya ayah gak bisa jelasin pake kata-kata...” Janu terkekeh pelan.

“Banyak banget yang udah Bumi lakuin buat bikin Bunda bahagia...”

“Terus, kenapa Bunda bisa sama ayah?” Tanya Jea.

“Terus sekarang Buminya kemana ayah? Kok Jea gak pernah liat? Terus kalau ayah sama Bunda, Bumi marah enggak sama ayah? Ayah di tonjok enggak? Soalnya Jea suka liat di film-film kalau cowok suka berantem gara-gara cewek ayah...” ucap Jea polos.

Janu terkekeh, ia lalu menggeleng pelan.

“Enggak kok, ayah sama sekali gak pernah di tonjok sama Bumi. Kan udah ayah bilang Bumi itu orangnya baik”

“Nah, kenapa ayah bisa sama Bunda, itu karena....”

Janu tersenyum tipis “itu karena, dulu, waktu Bumi mau pergi, dia minta ayah buat jagain Bunda...”

“Bumi pergi kemana ayah?” Tanya Jae.

Janu tersenyum, ia lalu menatap langit-langit sejenak.

“Kesana, ke atas sana” ucap Janu.

Kedua anak itu menengadah “Ke langit?” Tanya Jae

Lagi-lagi Janu terkekeh.

“Bumi pergi ke surga sayang...”

“Ohhhh, pergi ke surga kayak Bunda ya ayah?” Ucap Jea.

Janu mengangguk pelan.

“Iya, Bumi pergi ke surga kayak Bunda...”

Demi apapun, jika saja di hadapannya tidak ada kedua anak ini, Janu pasti sudah menangis. Menahan sesak dan kerinduan yang sudah lama terkubur di ruang hatinya.

“Ayah...” Ucap Jea.

“Iya sayang?”

Tiba-tiba saja Jea beranjak dari duduknya, lalu memeluk erat tubuh Janu dan di ikuti oleh Jae yang juga memeluk Janu.

“Loh, loh kenapa ini?”

“Ayah, kangen bunda, ya?” Tanya Jea.

Janu terdiam, lalu tanpa ia sadari air matanya jatuh secara perlahan.

“Ayah... jangan nangis” ucap Jae.

“Ayah, kangen Bunda, ya? Jea juga sama kangen Bunda...”

“Ayah, Jae mau liat Bunda, jae gak pernah ketemu Bunda...” ucap anak itu dan semakin membuat hati Janu sakit.

Ia lalu mengeratkan pelukannya pada kedua anaknya itu, berusaha menahan sesak yang sudah terlalu dalam.

“Besok ketemu Bunda, ya? Mau?”

Jea dan Jae mengangguk sangat antusias. Mereka lalu mengecup pelan pipi Janu.

Janu menghela napasnya.

Benar, ia sangat merindukan sosok perempuan itu, perempuan yang sejak dulu selalu saja berhasil membuatnya jatuh cinta, bahkan setelah berkali-kali ia dipatahkan.

Janu merindukannya, sangat merindukannya.

“Geser dong ih, ayah tidurnya dimana?” Ucap Abimanyu pada putrinya.

Jia terkekeh melihat raut wajah ayahnya yang sangat menggemaskan “Ayah, disini ih biar Jia bisa meluk ayah” ucap Jia.

Abimanyu tersenyum, ia lalu merebahkan tubuhnya di samping putrinya itu, kemudian ia membawa tubuh putri kecilnya itu ke dalam dekapannya.

“Jia” ucap Abimanya

“Hmm?”

“Anak ayah udah gede, ya?” Abimanyu terkekeh pelan, tangannya lalu bergerak mengusap pelan surai hitam milik putrinya itu.

“Kenapa ih? Masa Jia kecil terus” ucap Jia dengan raut wajahnya yang cemberut, membuat Abimanyu lagi-lagi terkekeh.

“Dengerin ayah, mau?”

“Apa ayah?”

“Jia kan sekarang udah mau naik ke kelas 3 SMP, umur Jia juga sebentar lagi 15 tahun. Itu tandanya Jia udah besar, kan?”

Jia mengangguk pelan dalam dekapan ayahnya itu.

“Jia harus bisa jaga diri, ya? Cari temen yang bisa bimbing Jia ke arah yang positif. Jangan gampang percaya sama ucapan orang, terlebih sama laki-laki...”

“Kenapa ayah?”

“Usia kamu itu usia rawan Jia, dimana kamu dan anak-anak seusia kamu mulai penasaran dengan segala hal. Ayah khawatir banget”

Jia menatap wajah ayahnya “khawtir kenapa ayah? jia kan udah gede, Jia udah bisa jaga diri”

Abimanya tersenyum, ia lalu mengacak pelan pucuk kepala gadis itu.

“Iya tau, Jia udah besar ayah juga tau...”

“Ayah cuma mau bilang...”

“Jangan sampe kamu salah pergaulan, ya? Terlebih laki-laki. Boleh kok kalau misal Jia ada rasa suka sama laki-laki, wajar. Ayah gak bakal larang, ayah gak bakal ngekamg kamu....”

“Tapi ayah titip ya sayang, jaga diri kamu baik-baik, meskipun disini ada ayah yang bakal selalu berusaha lindungin kamu, tapi ayah juga gak bisa terus-terusan ada di samping kamu. Ayah percaya tapi Ayah takut Jia kenapa-napa...”

“Janji sama ayah, jangan ngecewain kepercayaan ayah, ya?

Jia terkekeh “Ayah, Jia gak bakal bikin ayah kecewa kok. Jia janjiiiiiiiii pokoknyaa” ucap Jia.

Abimanyu tersenyum, ia lalu semakin mengeratkan pelukannya.

“Ayah sayang sekali sama Jia...”

“Jea, Jae, jangan lari-lari sayang...” ucap Janu sambil memperhatikan kedua anaknya yang tengah bermain di tepi pantai.

Janu tersenyum kala memperhatikan kedua anak kesayangannya salit tertawa.

Jea benar-benar tumbuh menjadi anak perempuan cantik seperti Senjani. Ia sudah bisa berbicara layaknya orang dewasa. Hanya saja ia masih belum lancar dalam mengucap beberapa huruf.

Jae baru berusia 2 tahun, ia benar-benar lucu. Bahkan sering kali Janu di buat tertawa oleh kelakuannya.

Janu menghela napasnya, ia lalu tersenyum.

“Ayah!!!” Teriak Jae, lalu di susul Jea sang kakak di belakangnya. Mereka berlari menghampiri Janu.

Janu merentangkan kedua tangannya.

“Aaaa sini peluk ayah...” ucap Janu.

Jea dan juga Jae langsung berhamburan ke pelukan Janu, di peluknya, di ciumnya kedua anak itu oleh Janu.

“Jea sini duduk di ayah sama Jae”

Mereka berdua lalu duduk di pangkuan Janu.

“ayah...” ucap Jea pada Janu.

“Iya sayang?”

“Kenapa suka ngajakin jea sama jae kesini setiap sole?”

Janu terdiam, sedetik kemudia ia tersenyum.

“Karena ini tempat kesukaan Bunda...” ucapnya.

“Ayah... kenapa Bunda gak pelnah pulang ke lumah?” Ucap Jea dengan tatapan polosnya.

Janu tersenyum.

“Dengerin ayah, ya?”

Jea mengangguk pelan

Janu mengarahkan jari telunjuknya ke arah langit jingga di hadapannya.

“Liat itu...”

“Apa ayah?”

“Bunda disana, bunda liatin kita dari sana...”

Janu tersenyum.

“Liat sayang...”

“Bunda... cantik, kan?”

Jea tersenyum, ia lalu melambaikan tangannya.

“Bunda!!! Jea disini sama ayahh, bundaaaa” ucapnya begitu senang, lalu di susul oleh Jae yang juga ikut melambaikan tangannya.

“Ndaaa ndaaa...” ucap Jae.

Janu tersneyum tipis kala melihat kedua anaknya.

Lelaki itu lalu menghela napasnya. Ia lalu berdiri sambil menatap langit jingga sore itu.

“Liat Ja, aku hebat, kan?”

“Terima kasih, ya?” batik Janu.

Ia menghela napasnya lagi, lalu berteriak.

“SENJANI SEKAR AYU, AKU SAYANG SAYANG KAMU. TERIMA KASIH UNTUK SEMUANYA, I LOVE YOU SO MUCH!!!” Teriaknya, diikuti dengan setetes air mata yang jatuh.

”Ternyata, seperti ini akhirnya, ya?”

”Setelah semua perjalanan panjang yang di lalui, setelah banyak luka yang di terima, setelah banyak perjuangan yang di lakukan, ternyata akhirnya seperti ini? Cerita kita sudah usai, kan??

”terima kasih sayang...” batin Janu.

Iya usai, semuanya sudah usai. Senjani sudah kembali pada pemilik hatinya, ia pulang, setelah semua luka dan perjuangan yang ia lalui, perempuan itu akhirnya pulang dengan keadaan yang sangat bahagia.

Sudah tidak ada lagi luka, Senjani kembali pada pemilik hatinya, ia kini berada di rumah yang sama dengan pemilik hatinya. Bumi. Ia kembali bersama dengan Bumi.

Disana...

Di Surga sana...

Terima kasih Senjani Sekar Ayu, selamat beristirahat dari pedihnya luka, dan juga.

Selamat bertemu kembali dengan Bumi.

Bahagia selalu, ya?

Janu berusaha menenangkan pikirannya, ia kalut. Berkali-kali ia melihat ke dalam di depan pintu ruang bersalin. Bahkan sejak tadi, keringat dingin serta detak jantung yang tak beraturan semakin membuat dirinya tak tenang.

“Lancar, please...” ucapnya berulang kali.

Masalahnya, yang membuat Janu tidak tenang adalah keadaan Senjani.

Dokter bilang, Senjani mengalami kontraksi hebat, bahkan posisi bayi di dalam perut Senja mengalami masalah.

Demi apapun, Janu tidak ingin terjadi apa-apa pada istirnya.

Sudah hampir 4 jam proses persalinan belum selesai, membuat Janu harus rela membiarkan perutnya kosong.

Selang beberapa saat, terdengar suara tangisan bayi dari dalam sana, kemudian seorang perawat mempersilahkan Janu agar masuk.

Fokus Janu langsung tertuju pada seorang bayi yang tengah menangis, ia lalu menghampiri bayi itu.

Matanya berbinar, tangisan yang asalnya terdengar nyaring, berhenti begitu saja ketika Janu mengusap pelan jari-jari mungil milik bayi itu.

“Hei... ini ayah...” ucapnya tersenyum.

Demi apapun, Janu tidak kuasa lagi menahan tangis. Saat itu juga ia menangis, karena untuk pertama kalinya ia menjadi seorang ayah dari darah dagingnya sendiri.

Tak henti-hentinya ia mengusap dan menatap haru bayi kecil itu.

“Selamat datang, jagaonnya ayah...” ucapnya.

Janu lalu beranjak menghampiri Senjani yang terlelap.

Ia lalu tersenyum tipis...

“Terima kasih sayang, kamu hebat...” ia lalu mengecup kening Senjani sayang.

Senjani juga Janu kini tengah berada di suatu tempat, tempat yang selalu mereka rindukan.

“Bro...” ucap Janu sambil tersenyum.

“Liat siapa yang datang...” ucapnya lagi.

Di sampingnya ada Senjani yang juga tengah tersenyum sambil mengusap pelan batu nisan itu.

“Hai, Bumi...” ucapnya.

“Aku dateng lagi... tapi gak sendiri hehe” ucapnya.

“Kenalin...”

“Ini Jea, cantik gak?” Ucapnya lagi

“Dan ini...” tangan Senjani beralih mengusap perutnya.

“Ini Jae, jagoan kecil yang sebentar lagi bakal datang...” Senjani tersenyum.

Janu yang melihat itu tersenyum tipis, ia lalu mengusap pelan pucuk kepala Senjani.

“Bumi, gue berhasil...”

“Gue berhasil jagain Senjani, kan?”

Senjani menoleh, lalu mengusap pelan tangan milik lelaki itu.

“Mas...”

“Perjuangan gue gak sia-sia, kan?”

“Gue udah wujudin permintaan lo buat jagain Senjani, kan?”

“Mas...”

“Thanks Bum, buat semuanya.”

“Gue janji, gue janji bakal jadi lelaki terbaik buat Senja, gue janji...”

“Janu...”

“Aku sayang kamu Senjani...”

Janu lalu memeluk erat tubuh Senjani.

Dan tanpa mereka sadari, di sampingnya ada Bumi. Ia sedang tersenyum sambil memperhatikan dua insan itu.

”Kalian hebat” Bumi tersenyum

Di bawah rintik hujan kala itu, Senjani terduduk di hadapan sebuah tempat.

“Bumi...” lirihnya.

Tangannya terulur mengusap pelan batu bertuliskan nama seseorang yang bahkan sampai saat ini masih saja tergores di hatinya.

Senjani tersenyum tipis, rasanya sesak. “Bumi... sakit banget” Senjani terisak pelan.

Ia lalu memeluk batu nisan ini, seolah ia sedang memeluk tubuh yang selama ini ia rindukan. Senjani terisak semakin keras.

Lihat, bahkan langit pun tahu, jika disini ada anak hawa yang sedang terluka.

Senjani menangis, berkali-kali ia meraung menyebut nama itu.

“Bumi...“

“Bumi...” ucapnya lirih.

“Kenapa Biru jahat banget? Bumi, sakit banget Bumi...” lirihnya.

Senjani semakin mengeratkan pelukannya, tidak peduli jika tubuhkan kotor dan basah. Ia hanya ingin Bumi, ia ingin pelukannya, ia rindu, sangat rindu.

Senjani terisak sampai-sampai napasnya tak beraturan karena terlalu sesak.

Tiba-tiba saja hujan terasa seperti berhenti mengguyur tubuhnya. Senjani lalu menoleh.

“Janu...?”

Iya, disana ada Janu, dengan membawa sebuah payung guna menghadang guyuran hujan yang menerpa tubuh mungil perempuan itu.

Janu mensejajarkan tubuhnya, lalu memeluk erat Senjani.

“Maaf, maaf aku terlambat” ucapnya

Senjani semakin terisak kala Janu memeluk tubuhnya.

“Janu...” lirihnya.

Demi apapun, sakit sekali rasanya melihat Senjani menangis seperti ini.

“Aku disini, Bumi disini, kita disini Senja...”

“Jangan nangis, aku disinu...” ucapnya semakin mengeratkan pelukannya pada Senjani.

Senjani terisak.

“Ayo pergi, pergi dari sini, dari semuanya. Ayo Senja...” ucap Janu.

Biru bergegas menuju butik milik perempuan kesayangannya, ia benae-benar melajukan kendaraannya dengan sangat cepat.

Tak butuh waktu lama, Biru sudah sampai disana. Dari luar, Biru bisa melihat Senjani yang tersenyum pada pelanggan di dalam sana. Biru tersenyum.

Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya ke dalam Butik.

“Hei...” ucap Biru.

Senjani menoleh pada Biru. Namun ada yang aneh dari tatapan Senjani.

Biru mendekat sambil tersenyum. Ia lalu segera mendekap daksa istrinya itu “Maaf...” ucapnya.

Senjani hanya terdiam, rasanya sesak sekali.

“Biru...”

“Lepasin...” ucapnya Pelan.

Biru melepaskan pelukannya, lalu menatap Senjani heran.

“Masih marah, ya?”

Senjani menggeleng pelan.

“Terus kenapa?”

“Kita obrolin di rumah aja, ya?”

“Enggak, ayo disini aja Ja” ucap Biru

“Biru...”

“Ja.” Biru menatap Senja

Senjani menghela napasnya, ia lalu mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Biru.

Biru meraih ponsel itu, lalu selang beberapa saat lelaki itu diam memaku. Sorot matanya terlihat begitu kaget, ia lalu menatap Senjani.

“Enggak, ini gak bener...” Biru menggeleng.

Senjani hanya terdiam, hatinya begitu sakit.

“Ja, ini gak bener, aku gak ngelakuin itu. Sumpah...” ucap Biru.

“Kapan?” Tanya Senjani.

“Ja, enggak aku gak ngelakuin itu. Sumpah” Ucap Biru.

“Sejak kapan Biru?”

Biru menggeleng dengan kuat, berusaha menyangkal ucapan Senjani.

“Enggak, enggak, kamu salah paham. Aku gak pernah ngelakuin apa-apa. Senja percaya sama aku...”

“Aku tanya sejak kapan Biru, ayo jawab” Mata Senjani memerah, dadanya sesak.

“Eng—“

“KAPAN BIRU?!”

Biru terdiam...

“JAWAB!”

“Waktu aku gak balas pesan kamu semalaman, dan semalam...”

Senjani terdiam, ia lalu menjatuhkan tubuhnya, ia menangis.

Biru terdiam, tiba-tiba saja rasa bersalahnya menyeruak tiba-tiba.

Senjani menatap Biru

“Kamu....”

“Ngelakuin itu dalam keadaan sadar?”

Biru terdiam.

“Jawab Biru...” ucap Senjani lirih.

“Iya...”