Jadi Semestanya Saya, Ya?

Dengan setelan jas hitamnya, lelaki itu berdiri di sebuah altar dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

Jantungnya berdegup dengan kencang, kala ia menunggu seseorang untuk berdiri di sampingnya.

Senyumnya semakin melebar, kala netranya bertemu dengan sosok yang sejak tadi ia tunggu.

Di hadapannya, ada seorang perempuan yang tengah berjalan memakai gaun putih dengan bunga di genggamannya. Di sampingnya, ada seorang lelaki paruh baya yang menuntun dirinya dengan langkah yang sangat pelan.

Biru tersenyum, matanya berkaca-kaca, rasanya sangat bahagia.

Terdengar suara tepuk tangan di tempat itu. Semua orang yang berada disana terdengar sangat bahagia.

Tak butuh waktu lama, perempuan itu kini berdiri di hadapan Biru, dengan senyum indah miliknya. Perempuan itu tersenyum.

Acara di mulai, mereka berdua melewati tahap-tahap pernikahan dengan baik. Hingga akhirnya sampai di waktu pembacaan janji

“Ekhem...” ucap Biru.

Lelaki itu menatap perempuan di hadapannya sambil tersenyum.

”Hai...” ucapnya gugup, Biru terkekeh pelan.

“Umm...”

Lelaki itu menghela napasnya, berusaha menormalkan deguo jantungnya.

“Ekhem, tes satu... dua... tiga...” ucapnya membuat semua orang disana tertawa.

“Hai... saya Samudera Biru...”

Biru menghela napasnya.

“Ah, sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang sudah datang kesini...”

“Hari ini, adalah hari paling penting dalam hidup saya. Iya, hari dimana saya mengikat janji suci dengan perempuan luar biasa pilihan saya”

Biru menatap seorang pria paruh baya yang sedang terduduk.

“Untuk bapak Adi, selaku ayah dari Senjani, perempuan yang berdiri di hadapan saya. Terima kasih, terima kasih karena sudah menjaga dan memberi kasih sayang putri cantiknya dengan sangat baik. Terima kasih sudah rela mengorbankan segala luka dan peluh demi bisa membahagiakan putri kecilnya. Terima kasih sudah menjadi cinta pertama yang hebat untuk putri kecilnya...”

“Dan untuk ibu Ayu, selaku ibu dari Senjani. Terima kasih karena sudah melahirkan dan membesarkan putri kecilnya dan cantik seperti Senjani. Terima kasih karena sudah rela bertaruh nyawa demi melahirkan Senjani, saya amat bersyukur untuk itu. Terima kasih untuk segalanya”

“Sekarang, izinkan saya, ya? Izinkan saya menjadi seseorang yang akan mengambil alih semua tugas itu, tugas untuk menjaga dan membahagiakan putri kecil kalian mulai sekarang dan seterusnya. Izinkan saya menjadi seseorang yang rela mengorbankan segala peluh dan luka untuk putri kecil kesayangan kalian...” ucap Biru berusaha menahan tangisnya.

Di hadapannya, baik orang tua Senja maupun Biru, mereka semua tak kuasa nenahan tangis. Begitu pula Senjani, ia bahkan sudah menangis sejak awal.

Fokus Biru beralih pada perempuan di hadapannya itu, ia lalu tersenyum.

“Dan untuk kamu, Senjani Sekar Ayu, terima kasih, ya? Terima kasih karena sudah datang ke dalam hidup saya. Terima kasih karena kamu sudah memilih saya sebagai pendamping hidup kamu. Terima kasih, karena berkat kamu, saya bisa bertemu dengan keluarga kandung saya...” ucapnya lalu ia menoleh sekilas pada Johnny dan Raya, serta Azri.

“Senjani, terima kasih untuk segalanya... saya sangat menyayangi kamu...”

Biru menghela napasnya, ia lalu mengeluarkan sebuah cincin dan ia menarik pelan lengan mungil milik perempuan di hadapannya.

“Senjani Sekar Ayu, mulai detik ini dan seterusnya, saya akan menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas bahagia dan kebutuhan kamu. Izinkan, ya? Izinkan saya mengikat janji suci ini...”

“Senjani Sekar Ayu, tolong tetap di samping saya, ya?”

“Senja, tolong tetap jadi semestanya saya, ya?”

Senjani mengangguk pelan, dengan tangis haru yang membasahi pipinya.

Biru tersenyum, ia lalu memasangkan sebuah cincin di jari manis perempuan itu. Ia mendekat, lalu mengecup pelan kening Senjani.

“Terima kasih, sayang...”