Jjaejaepeach

“Maaf, maafin aku ....” ucap Adrian pada perempuan di hadapannya, setelah sebelumnya ia memaksa Ellean untuk menemuinya.

Ellean hanya terdiam, tanpa berani menatap Adrian.

Adrian meraih tangan Ellean, lalu mengusapnya “Sayang, maaf, ya? Aku salah, maafin aku ....” ucap Adrian lagi.

Tiba-tiba saja terdengar suara isakan kecil dari perempuan itu.

“El, nangis?” Ucap Adrian membuat isakan itu terdengar semakin jelas.

Tiba-tiba saka Adrian menarik tubuh Ellean agar masuk ke dalam pelukannya.

“Sayang maaf, jangan nangis. Maafin aku ...” ucap Adrian sambil mencium pucuk kepala Ellean.

“Aku takut Ian ....” lirih Ellean.

“Aku cuma takut kamu di ambil Jeje. Aku takut Ian, kamu paham gak sih?!” Ucap Ellean semakin terisak.

Adrian semakin mengeratkan pelukannya, “maaf, maaf, aku gak bakal pergi El, jangan takut. Maafin aku, ya?”

“Aku janji gak bakal gitu lagi, aku janji bakal jaga batasan sama Jeje, maaf ....” ucap Adrian.

“Liat aku,” ucap Adrian sambil menangkup wajah kecil milik perempuaj itu.

“Maaf, ya?” Ucap Adrian.

Ellean menatap sendu netra kecoklatan milik lelaki itu.

Entahlah, tapi tanpa sadar Ellean mengangguk.

“Maaf, ya?” Ucap Adrian sambil mengusap pelan pipi perempuan itu.

“Jangan nangis, aku sayang kamu. Aku gak bakal kemana-mana. Jadi maaf ya kalau aku bikin kamu nangis, maaf banget ....” ucapnya.

Ellean mengangguk, ia lalu kembali memeluk hangat tubuh lelaki itu.

kesayangan kakak

-

Juang terbangun dari tidurnya saat merasakan jika di sampingnya tidak ada Wira.

Dengan keadaan yang masih setengah sadar, Juang berjalan keluar kamar, berniat mencari Wira.

Langkah lelaki itu terhenti saat melihat pintu kamar Bunda terbuka sedikit. Ia lalu melangkah mendekat ke arah kamar itu.

Mata Juang mendadak segar, ketika ia melihat pemandangan di depannya.

Iya, Wira sedang tertidur di samping bunda, sambil memeluk bunda.

Dengan senyum yang melengkung di wajahnya, dengan perlahan Juang mendekat ke arah tempat tidur itu. Ia kemudian menarik selimut dan menutupi kedua orang itu dengan hangat.

Juang tersenyum, tangannya lalu terulur mengusap pelan pucuk kepada Bunda serta Wira secara bergantian.

Juang terkekeh pelan, saat ia memperhatikan jika Wira tengah memeluk lengan sang bunda dengan begitu erat.

“Kangen sama bunda ya Wir?” Gumamnya pelan.

Entah kenapa, melihat pemandangan seperti ini, membuat Juang tiba-tiba saja merasa sendu.

Seandainya, kedua orang tua mereka tidak berpisah, seadainya Wira dan Juang tidak berpisah, seandainya keluarga ini masih utuh. Mungkin Juang akan jadi anak paling bahagia di muka bumi ini.

Juang tersenyum tipis.

“Wira kangen bunda, kakak kangen ayah ....” gumamnya lagi, sambil memperhatikan kedua orang yang tengah tertidur itu.

Rasanya sesak sekali, entah kenapa.

Juang menghela napasnya, berusaha menahan tangis yang tiba-tiba saja memaksa untuk keluar.

Lelaki itu kemudian beranjak dari duduknya, lalu mengecup pelan pucuk kepala Bunda serta Wira.

“Kesayangannya kakak, selamat tidur ....”

Takut

_

“Diem coba kakinya,” ucap Arka pada Ralia.

Perempuan itu hanya terkekeh, “Biarin”

Arka hanya menggelengkan kepalanya.

Ia memperhatikan raut wajah perempuan yang duduk di hadapannya itu.

Terlihat sedang bahagia?

“Lo kayaknya lagi seneng banget deh,” tanya Arka pada Ralia.

“Emang.”

“Ada apa?”

Ralia hanya terkekeh dan menggeleng.

“Kepo.”

Arka berdecak malas.

“Arka ....” ucap Ralia tiba-tiba.

“Hmm?”

“Makan yang banyak, badan lo agak kurusan, kantung mata lo item. Jangan banyak begadang juga, ya?”

Arka menatap Ralia, ia lalu tersenyum.

“Gue gak begadang.”

“APAAN! Lo lupa kalo kamar kita sebrangan?”

“Gue tiap tengah malem kebangun, suka denger musik masih nyala dari kamar lo ya, kemarin malem juga lo lagi duduk di balkon sambil main gitar,” ucap Ralia yang hanya di balas kekehan oleh Arka.

“Jangan ah, gue gak suka,”

“Gak suka apa?”

“Gak suka liat lo kurusan, gue takut lo sakit. Jangan, ya?”

Arka tersenyum, ia lalu mengacak pelan pucuk kepala Ralia.

“Iya .... bawel banget lo.”

jangan nakal

-

Dengan perasaan yang sesak, perempuan itu mengusap pelan pipi Wira, anak bungsunya.

Memakaikan jaket tebal pada anak itu, lalu memeluknya dengan sangat erat.

Di sampingnya ada Juang, yang juga tengah mengusap pelan pucuk kepala Wira.

Wira tersenyum kala sang Bunda mengecupnya.

“Adek ....” lirih perempuan itu.

“Nanti, sama ayah adek jangan nakal, ya?” Ucap perempuan itu sambil bersusah payah menahan tangisnya.

Rasanya sesak sekali, saat ia mau tidak mau, harus melepaskan buah hatinya untuk pergi jauh dari pelukannya.

Seandainya saja ia hebat, seandainya saja ia mampu. Rumahnya pasti tidak akan runtuh, rumahnya pasti tidak akan hancur.

Sambil menahan sesaknya, perempuan itu bersusah payah menampilkan senyum pada kedua anak lelakinya itu.

“Bunda .... Juang mau ikut sama adek ....” ucap Juang tiba-tiba.

“Adek sama ayah liburannya lama ya bun?” Tanya Juang.

Perempuan itu beralih mengusap pipi merah merona milik Juang.

“Kakak temani Bunda di rumah, ya?” Ucap perempuan itu.

“Nanti, adek sama ayah mau liburan dulu, nanti adek kalau sudah sampai disana jangan nakal, ya sayang? Jangan bikin ayah sedih, ya?” Ucap perempuan itu.

“Sini, adek sama kakak peluk bunda ....” ucapnya.

Kedua anak berusia 10 tahun itu langsung memeluk erat sang bunda, dengan sangat erat dan hangat.

“Maafin Bunda ya jagoan-jagoannya bunda ....”

“Bunda sayang banget sama kalian ....” lirih perempuan itu sambil menangis pelan di dalam pelukan kedua anaknya.

“Ekhem ....”

“Adek, ayo ikut ayah ....” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu kamar itu.

Wira mengangguk pelan, ia lalu membawa tas berisikan mainan dan juga baju-baju miliknya.

“Dadah bunda, dadah kakak ....” ucap Wira tersenyum.

“Dadah adek!” Ucap Juang tersenyum.

Di sisi lain, perempuan itu hanya bisa menahan sesak saat melihat salah satu putranya pergi meninggalkan dirinya.

Baik Juang maupun Wira, mereka sama-sama belum mengerti apa yang sebenernya terjadi.

Mereka berpisah.

Rumah mereka tidak utuh lagi.

“Kakak, jangan ninggalin Bunda, ya?”

kata Bunda, jangan takut.

-

Sore itu, tepatnya pada tahun 2007. Juang, seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih 10 tahun segera berlari ketika mendengar sebuah teriakan dari dalam rumahnya.

Kaki kecilnya berlari pelan, jantungnya bergetar kencang ketika netra coklatnya melihat seorang lelaki paruh baya yang hampir menampar seorang perempuan di hadapannya.

“Ayah ....” ucap Juang dengan suara yang kelewat kecil, namun masih terdengar.

Kedua orang dewasa itu menoleh.

“Juang ....” lirih perempuan paruh baya itu.

“Masuk kamar!” Ucap lelaki itu pada Juang, membuat Juang mengangguk dan segera berlari menuju kamarnya.

Dengan tas kecil bertemakan Thomas, Juang berlari kecil menuju kamarnya.

Peluh akibat cuaca panas sore itu membuat Juang terlihat sedikit lusuh.

Juang membuka pintu kamarnya, matanya berbinar saat ia melihat Wira, adik kecilnya sedang menggambar sesuatu.

“Adek!” Ucap Juang membuat Wira menoleh lalu segera memeluknya.

“Kakak, kakak. Tadi bunda sama ayah teriak tau, Wira takut ih!” Ucap Wira sambil memeluk Juang.

Juang terkekeh “Iya, tadi ayah nyuruh kakak masuk kamar” ucap Juang cengengesan.

Kedua anak yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan itu kemudian duduk di karpet kamarnya.

“Kakak, adek takut denger ayah teriak sama bunda ....” liriu Wira pada Juang.

Juang lalu mencubit pelan pipi adiknya itu.

“Jangan takut! Wira punya kakak, kakak punya Wira, kata Bunda anak cowok jangan takut sama apapun ih!” Ucap Juang lalu ia memeluk erat adiknya itu.

“Kakak, ngegambar yuk”

Gapapa

-

Ralia beranjak dari tidurnya, saat mendengar suara ketukan dari arah balkon.

Perempuan itu menghela napas, saat melihat Arkana yang tengah tersenyum lebar dengan mamakai kaos hitam dan boxer biru-nya.

“Kenapa?” Tanya Ralia malas, membuat Arkana terkekeh.

Lelaki itu kemudian mengacak pelan pucuk kepala Ralia.

“Capek, mau tidur disini,” ucap Arkana.

“HEH ANJIR!” Teriak Ralia.

“Gak, balik lo sana!” Ucapnya membuat Arkana tertawa.

“Galak banget lo, gue cuma mau main aja, kangen. Mau di peluk dong Ra, udah lama enggak,” ucap Arkana.

“Kenapa?”

“Gapapa ....”

“Kenapa Ar?”

Arkana menghela napasnya.

“Ra, gue gagal masuk team,” ucap Arkana.

“Gue gagal masuk team buat ikut pertandingan Ra, gue payah banget ....” lirih Arkana.

Ralia menghela napasnya, ia melangkahkan kakinya lalu mendekap pelan daksa lelaki itu dengan hangat.

“Gapapa .... lo gak payah,” ucap Ralia sambil mengusap pelan pucuk kepala lelaki itu.

Arkana terdiam, ia lalu balik memeluk Ralia dengan erat.

“Ra .... capek ....” lirihnya.

Ralia tersenyum.

“Gapapa Arkana, gagal masuk team bukan berarti lo payah. Jangan nyalahin diri lo sendiri, ok?”

“Lo hebat, selalu hebat, gue bangga. Enggak apa-apa kalau misal sekarang lo gak masuk. Mungkin tahun depan lo bakal dapet hal lain yang lebih bisa bikin lo bahagia? Siapa yang tahu, kan?” Ucap Ralia.

Arkana tersenyum.

Ia selalu suka pelukan dan kalimat-kalimat menenangkan yang di ucapkan perempuan itu.

“Ra, makasih ....”

-

Tidak ada manusia yang siap akan kehilangan.

Tidak ada manusia yang suka perihal kehilangan.

Tidak ada manusia yang mengharapkan sebuah kehilangan.

Termasuk Rechan.

Seorang lelaki berusia 20 tahun itu tengah berdiri di hadapan gundukan tanah yang terlihat sudah tak beraturan.

Air matanya jatuh, saat tiba-tiba saja semua hal-hal yang pernah ia lalui selama ini terlintas begitu saja di benaknya.

Dari mulai bahagia, amarah, kekecewaan, kesenangan. Semuanya bercampur menjadi satu.

Rechan terduduk, lalu dengan pelan ia mengusap pelan batu nisan itu.

Batu nisan bertuliskan Arga Mingyu Bagaskara.

Rechan tersenyum getir kala ia menatap gundukan tanah itu.

“Jadi akhirnya gini ya, a?” Ucap Rechan sambil tersenyum pelan.

“Jadi akhirnya aa nyerah buat ada di samping Echan?” Ucapnya lagi.

Rechan tersenyum sambil menjatuhkan air matanya.

Hancur, sangat hancur.

Orang yang paling Rechan sayang, orang yang paling Rechan sukai, orang yang selalu bisa melindungi Rechan, orang yang selalu siap memberikan apapun untuk Rechan, kini sudah tidak ada.

Mingyu sudah pergi.

Jiwanya hilang, raganya hilang.

Rechan terisak pelan.

“Aa ....” lirihnya.

“Maafin, adek ....” lirihnya lagi.

Jika saja kalian tahu, siapa orang yang paling kehilangan disini itu siapa.

Jawabannya adalah Rechan.

Amingyu itu salah satu tiang kokoh yang mampu menopang hidup Rechan.

Amingyu itu rumah paling hangat yang selalu Rechan datangi di saat seluruh semesta sedang tidak berpihak padanya.

Amingyu itu adalah pelindung paling kuat di saat orang-orang menyakiti Rechan.

Amingyu itu segalanya bagi Rechan.

Jika Amingyu pergi, kepada siapa Rechan mengadu?

Rechan hanya ingin Amingyu, ia tidak ingin seperti ini.

Tapi kenapa ia malah ditinggalkan? Di saat ia belum benar-benar membalas semua hal yang sudah Amingyu berikan pada Rechan.

“Aa ....” lirihnya lagi.

“Maafin Echan, maaf kalau Echan belum sempet meluk aa, maaf Echan belum sempet minta maaf ke aa, maaf Echan belum bisa jadi adek yang baik buat aa ....” ucap Rechan dengan nada suara yang terdengar sangat menyakitkan.

“Aa, Echan sekarang udah punya cafe. Aa inget enggak? Dulu adek suka bilang kalau adek bakal bikin cafe pake uang adek sendiri?”

“Iya aa, adek berhasil, adek berhasil ....” ucapnya.

“Aa ....”

“Kenapa sih aa harus pergi? Echan belum sempet bahagiain aa, Echan belum sempet ngasih semua hal kayak apa yang selalu aa kasih buat adek ...” Rechan terisak.

Tubuhnya lalu memeluk batu nisan itu. Berusaha merasakan dan membayangkan jika saat ini Rechan tengah berada dalam pelukan sang kakak.

“Aa ...”

“Kalau aa pergi, echan harus gimana?” Isaknya.

“Gimana caranya Echan berdiri? Gimana caranya Echan bangkit kalau disini gak ada aa ....”

Demi apapun, Rechan benar-benar hancur saat ini.

“Aa .... bangun .... Adek mau meluk aa ....” lirih Rechan.

Ia lalu kembali terisak.

Benar sekali, Rechan akan menjadi satu-satunya orang yang paling menyesal, satu-satunya orang yang paling merasa kehilangan.

“Aa .... Echan janji, Echan janji bakal jadi apa yang selalu aa bilang ke Echan. Echan bakal jadi orang sukses yang gak pernah melihat ke atas. Echan bakal jadi orang baik kayak apa yang selalu aa bilang ke Echan ....”

Rechan bangkit dan mengusap air matanya, lalu ia tersenyum pelan.

“Aa, jagain Echan dari atas sana, ya? Kalau Echan nakal, marahin Echan di mimpi, ya a?”

“Rechan sayang banget sama aa, sayang banget ....”

“Aa, makasih buat semuanya, Rechan janji bakal jagain mamah sama ayah, Rechan janji.” Ucapnya.

“Echan pulang dulu, ya? Sekali lagi, maafik Echan, Echan sayang aa ....”

fin

Dengan perasan kalutnya, Rechan berlari menuju rumah sakit.

Kacau sekali, kenapa bisa seperti ini? Baru saja dia ingin memberitahukan hal luar biasa pada Amingyu.

Rechan berlari dengan napasnya yang tak beraturan, ia takut, sangat takut.

“Aa ...” gumamnya selagi ia berlari.

Sorot matanya pun benar-benar memancarkan ketakutan luar biasa.

“Adek!” Teriak seorang pria paruh baya saat melihat Rechan tengah berlari ke arahnya.

Rechan segera memeluk tubuh lelaki paruh baya itu “Ayah ....” lirihnya.

Di sampingnya, ada mamah, yang tengah menangis, Rechan segera menghampiri wanita itu dan memeluknya.

“Mamah ....” ucapnya.

“Kenapa bisa kecelakaan?” Tanya Rechan dengan suaranya yang bergetar.

“Mobilnya hilang kendali” ucap Ayah.

Rechan menjatuhkan tubuhnya di depan ruang operasi itu.

Rechab beranjak saat melihat beberapa orang berlarian sambil membawa sekantung darah.

“Aa ....” lirihnya.

Bodoh, Rechan bodoh.

Ia bahkan belum semoat bertemu dengan Amingyu.

Tiba-tiba saja Rechan menangis.

“Ayah, aa ayah ....” lirih Rechan yang langsung di peluk oleh wanita paruh baya.

“Mamah aa ....” lirih Rechan.

-

Sudah hampir satu jam mereka menunggu disana, hingga tiba-tiba seseorang keluar dari ruangan itu.

“Dok, anak saya bagaimana?” Tanya Ayah.

Dokter itu menghela napasnya.

“Maaf .... pasien kehilangan banyak darah ....”

Rechan tertegun, jantungnya berdetak sangat kencang.

“Pasien dinyatakan meninggal ....”

deg

Tubuh Rechan melemas.

Tiba-tiba saja langitnya runtuh, dunianya hancur.

“Aa ....” lirih Rechan.

“AA!” Teriak Rechan yang langsung menghampiri Amingyu yang tengah terbaring disana.

“AA BANGUN AA!” Teriaknya sambil berusaha membangunkan Amingyu yang tengah memejamkan matanya.

“Bangun anjing bangun!” Teriaknya lagi.

Rechan berteriak, ia meraung, dunianya benar-benar hancur.

Kenapa jadi begini?

“Aa bangun ....” isakan terdengar sangat menyakitkan.

“Aa Echan baru aja selesai bikin cafe ....”

“Iya, Echan sibuk gara-gara ngurus ini. Aa, maafin Echan, maaf” Lirih Rechan.

“Aa bangun ....”

“Aa ....”

“AA BANGUN AA!” Rechan kembali berteriak sambil menangis.

“Aa, adek belim ketemu aa, adek belum sempet meluk aa, adek belum sempet liat aa ketawa. Aa bangun aa ....” ucap Rechan sambil memeluk tubuh pucat Amingyu.

“Aa, harusnya adek gak egois, harusnya adek ketemu aa, harusnya aa disni. Aa bangun ...” lirihnya.

Demi apapun, dunia Rechan benar-benar hancur saat ini.

Hari dimana harusnya ia berbahagia, hari dimana harusnya ia sedang bersama keluarga serta temannya, kini menjadi hari paling hancur yang pernah Rechan lalui.

Satu hal yang akan selalu Rechan sesali.

Menuruti egonya untuk tidak bertemu Amingyu di saat terakhir kali lelaki itu akan berangkat ke Aussie, hari dimana Rechan memilih untuk tidak menemui Amingyu.

Jika saja Rechan tau, jika hari itu adalah hari terakhir ia bertemu kakaknya, ia pasti akan melarang Amingyu untuk pergi, ia pasti akan menahannya, ia akan memeluknya.

Jika saja Rechan tau, ia tidak akan marah, ia tidak akan melakukan hal nodoh dengan memilih untuk menghindar.

Dan jika saja Rechan ingat, jika hari ini adalah hari bahagianya, ia tidak akan pernah sekalipun menolak ajakan Amingyu, ia pasti akan datang dan merayakan kebahagiaan ini bersama Amingyu.

Rechan menoleh saat Adjie, teman baik Amingyu menghampirinya.

“Echan, ini ....” ucap Adjie sambil memberikan sebuah surat yang sudah sedikit lusuh.

“Ini ada di tangan Aming sejak tadi ....”

“Baca ya.” Ucap Adjie sebelum akhirnyaboergi darisana.

Dengan pelan Rechan membuka surat itu.

Rechan terisak saat membaca setiap kata dari surat itu. bahkan tubuhnya pun sudah lelah karena terlalu lama menangis.

“Aa maaf, maafin adek ....” lirihnya lalu memeluk Amingyu dengan sangat eratz

Dan tepat pukul 22.40, Arga Mingyu Bagaskara, putra sulung keluarga Aryono Bagaskara, kakak kesayangan Rechan, menghembuskan napas terakhirnya.

“Aa ....”

“Rechan sayang pisan sama aa ....”

Dengan perasaan senangnya, Amingyu sangat bersemangat, lantaran hari ini adalah hari dimana salah satu orang tersayangnya berulanh tahun.

Iya benar, Rechan Bagaskara, putra bungsu sekaligus adik kesayangan Amingyu berulang tahun hari ini.

Meskipun sebenarnya Amingyu baru saja sampai di indonesia, setelah beberapa belas jam perjalanan lintas benua, tapi ia tidak peduli. Yang ada dipikiran Amingyu saat ini adalah hanya Rechan, adik kesayangannya.

Mingyu sangat suka melihat adik satu-satunya itu tertawa, apalagi jika alasan Rechan tertawa adalah dirinya.

Entahlah, Amingyu bahkan tidak mengerti, kenapa bisa ia sesayang ini pada bungsunya.

“Udah siap semua?” Tany Amingyu pada semua orang.

Hari ini, baik teman-teman Rechan, serta Amingyu benar-benar datang dan membantu Amingyu mempersiapkan kejutan untuk adik tersayanganya.

“Udah a” ucap Jafar yang memang paling banyak berkontribusi dalam persiapan kejutan ini.

“Rechan kapan kesini?” Sahut Warih teman Amingyu

“Barusan mah katanya mau sekarang” sahut Mingyu.

“A AMING!” Teriak Tegar tiba-tiba membuat Amingyu menoleh.

“Kadonya mana?”

Amingyu menepuk jidatnya.

“Lupa anjir, belum di bawa dari toko” ucap Amingyu.

“Bentar atuh ya aing ambil dulu. Untung aja di toko si ayah belinya” Ucapnya yang di balas anggukan oleh semua.

“Mau di anter a?” Sahut Bayu.

“Gak usah, sendirian aja” ucap Amingyu sambil berlari keluar menuju mobil.

“Hati-hati Ming!” Teriak Adjie.

Dengan langkah yang cepat, Rechan segera berlari mencari keberadaan Amingyu di bandara pagi itu.

Rechan bodoh, sangat bodoh. Bisa-bisanya ia kalah oleh ego.

Napasnya tersenggal-senggal, jantungnya berdegup kencang. Ia takut jika ternyata kakaknya itu sudah berangkat.

Sejak tadi, Rechan bahkan tidak berani membuka ponselnya.

Harusnya Rechan tidak seperti ini, harusnya sejak awal Rechab tidak menghindar.

“Bodo anying,” umpat Rechan sambil berlari dan menelusuri setiap pintu keberangkatan.

Demi apapun, Rechan tidak tahu harus ke sebelah mana ia mencari.

Butuh waktu hampir lima belas menit, hingga akhirnya netra anak itu menangkap sosok wanita serta lelaki paruh baya yang tengah berdiri.

Rechan berlari menghampiri mereka.

“Mamah, ayah!” teriak Rechan, membuat kedua orang itu menoleh.

“Aa mana?!” Ucap Rechan sedikit panik.

Lelaki paruh baya itu menghela napasnya.

“Kemana aja?” Ucapnya pada Rechan.

“Aa mana ih?” Ucap Rechan dengan nada suara yang bergetar menahan tangis.

“Aa udah berangkat, lima menit lalu” ucap ayah.

Rechan terdiam, ia lalu berteriak. Tidak peduli jika orang-orang menatapnya aneh.

“MINGYU ANYING, JANGAN PERGI DULU!” Teriaknya, berharap sang kakak bisa mendengarnya.

“AMING! ECHAN DATENG!” Teriaknya lagi.

Namun sayang, sekeras apapun Rechan berteriak, kenyataannya Amingyu sudah berangkat.

Rechan menjatuhkan tubuhnya, ia lalu memangis di hadapan kedua orang tuanya sambil menyebut nama kakak satu-satunya itu.

“Aa, maafin Echan ....” ucap Rechan lirih