Maafin Rechan
Dengan langkah yang cepat, Rechan segera berlari mencari keberadaan Amingyu di bandara pagi itu.
Rechan bodoh, sangat bodoh. Bisa-bisanya ia kalah oleh ego.
Napasnya tersenggal-senggal, jantungnya berdegup kencang. Ia takut jika ternyata kakaknya itu sudah berangkat.
Sejak tadi, Rechan bahkan tidak berani membuka ponselnya.
Harusnya Rechan tidak seperti ini, harusnya sejak awal Rechab tidak menghindar.
“Bodo anying,” umpat Rechan sambil berlari dan menelusuri setiap pintu keberangkatan.
Demi apapun, Rechan tidak tahu harus ke sebelah mana ia mencari.
Butuh waktu hampir lima belas menit, hingga akhirnya netra anak itu menangkap sosok wanita serta lelaki paruh baya yang tengah berdiri.
Rechan berlari menghampiri mereka.
“Mamah, ayah!” teriak Rechan, membuat kedua orang itu menoleh.
“Aa mana?!” Ucap Rechan sedikit panik.
Lelaki paruh baya itu menghela napasnya.
“Kemana aja?” Ucapnya pada Rechan.
“Aa mana ih?” Ucap Rechan dengan nada suara yang bergetar menahan tangis.
“Aa udah berangkat, lima menit lalu” ucap ayah.
Rechan terdiam, ia lalu berteriak. Tidak peduli jika orang-orang menatapnya aneh.
“MINGYU ANYING, JANGAN PERGI DULU!” Teriaknya, berharap sang kakak bisa mendengarnya.
“AMING! ECHAN DATENG!” Teriaknya lagi.
Namun sayang, sekeras apapun Rechan berteriak, kenyataannya Amingyu sudah berangkat.
Rechan menjatuhkan tubuhnya, ia lalu memangis di hadapan kedua orang tuanya sambil menyebut nama kakak satu-satunya itu.
“Aa, maafin Echan ....” ucap Rechan lirih