Jjaejaepeach

Wanita paruh baya itu dengan langkahnya yang pelan membuka pintu kamar anak bungsunya.

Setelah sebelumnya hanya bisa pasrah saat melihat bungsunya terkena amarah dari sang ayah.

“Adek ....” ucapnya.

Ia tersenyum pelan saat melihat anak bungsu kesayangannya sedang meringkuk.

Ia mendekat, lalu duduk di samping ranjang anaknya itu. Tangannya lalu terulur untuk mengusap pelan pucuk kepala si bungsu.

“Adek ....” ucapnya pelan.

“Maafin mamah, ya? Tadi mamah gak bantuin adek, mamah cuma bisa liatin adek kena marah sama ayah,” ucapnya.

Rechan yang memang belum tertidur lalu mengubah posisinya menghadap wanita paruh baya itu.

Dengan cepat Rechan langsung memeluk wanita paruh baya itu.

Entahlah, tapi Rechan sangat rindu sekali pelukan hangat dari wanita ini.

“Mamah ....” lirih Rechan.

“Maafin adek,” ucapnya membuat wanita paruh baya itu tersenyum.

Ia lalu mengeratkan pelukannya pada anak bungsunya itu.

“Enggak apa-apa adek, tapi jangan di ulang, ya? Ayah itu marah bukan karena benci sama adek, bukan karena mau bandingin adek sama aa. Tapi ayah marah biar adek paham, kalau adek gak bisa terus bergantung sama aa, ayah juga gak mau adek jadi keras kepala, makanya ayah marah,” ucapnya sambil mengusap pelan pucuk kepala si bungsu.

“Mamah, adek nakal pisan, ya?” Ucap Rechan.

“Mamah juga kalo mau marah sama adek mah marah aja weh ....” ucapnya membuat wanita paruh baya itu terkekeh.

“Mamah mah gak marah, tapi mamah gak mau adek kayak gini lagi, apalagi kabur-kaburan. Jangan, ya?”

“Adek kan udah gede, kalau ada masalah itu jangan kabur adek, ya? Meskipun ayah atau aa atau mamah marah sama adek, jangan pernah sekalipun adek ngehindar”

“Kalau adek tau, ayah itu sayang banget sama adek, ayah cuma mau adek mandiri, gak bergantung sama aa. Ayah mau adek bisa jadi laki-laki tangguh, ayah mau adek jadi laki-laki yang bertanggung jawab.”

“Adek kan udah dewasa ya sayang, bukan anak kecil lagi ....” ucapnya sambil mengusap pucuk kepala Rechan.

“Dengerin mamah ....”

“Fasilitas aa di cabut sama ayah, gara-gara aa bilang kalau adek lagi ujian, biar apa coba aa bilang gitu?”

Rechan terdiam.

“Biar adek gak kena marah sama ayah, si aa sayang banget sama adek. Jadi adek juga harus sayang sama aa, ya? Adek harus sopan sama aa, jangan bikin aa marah terus ke adek, ya?” Ucap wanita paruh baya itu lembut.

Rechan menghela napasnya, ia lalu mengeratkan pelukannya.

“Mamah, maafin adek, maaf adek kemarin nakal ....” lirihnya.

Wanita paruh baya itu tersenyum.

“Iya adek, gapapa, jangan di ulang, ok?”

Rechan mengangguk.

“bungsunya mamah, jagoannya ayah, kesayangannya aa. Selamat datang di kehidupan. Adek harus kuat, ya? Jangan lemah, mamah yakin adek mampu.”

“Sekarang adek tidur, besok kuliahnya di anter dulu sama pak Arif ya”

note : aku pake indonesia aja ya biar gampang

-

“Duduk,” ucap Ayah pada si Bungsu yang baru saja sampai.

Di samping ayah juga ada Aa yang tengah menatap adiknya malas.

“Kenap?” Tanya ayah.

Rechan menatap Ayahnya “Apa?”

“Kenapa kamu teh jadi berani kabur-kaburan?”

“Mau jadi anak kurang ajar, iya?” Ucap Ayah pada Rechan.

“Ya si Rechan emang kurang ajar, mentang-mentang bungsu jadi seenaknya” celetuk Amingyu.

Rechan menatap kakaknya itu, “kalo aing kurang ajar, ngapain aa ngebela?” Ucap Rechan.

“Emang Echan minta dibela?” Enggak, kan? Gak usah sok paling tersakiti anjing.”

“RECHAN! BERANI KASAR KE AA?” Ucap ayah berteriak pada Rechan.

Pasalnya, lelaki paruh baya itu sangat kaget jika bungsunya ini telah mengatakan sesuatu hal yang menurutnya sangat tidak sopan.

Rechan menghela napasnya, ia lalu menunduk pelan.

“Liat mata ayah,” ucapnya pada Rechan.

Dengan ragu Rechan menatap mata tegas milik ayahnya itu.

“Kenapa kamu jadi ngelunjak gini? Ayah pernah ngajarin Rechan buat jadi kurang ajar sama aa?” Ucap ayah.

Rechan hanya diam.

“Bilang ke ayah. Kenapa Rechan ngambeknya sampe kabur-kaburan segala? Emangnya dengan kamu kabur bisa menyelesaikan masalah? Emangnya kalau kamu kabur, ayah jadi gak marah?”

Lagi-lagi Rechan hanya terdiam.

“Ya emang ngelunjak si Re—“

“Aa diem!” Potong ayah pada Mingyu.

Lelaki paruh baya itu kembali menatap bungsunya.

“Jawab ayah. Sejak kapan kamu jadi kurang ajar? Alasannya apa?”

“Karena aa bilang dia mau ke Aussie? Makanya kamu marah, iya?”

Lagi-lagi Rechan terdiam.

“Kenapa harus marah? Takut aa gak bisa manjain kamu lagi, iya?”

“Takut aa berhenti ngasih uang buat kamu, iya?”

“Mau sampe kapan kamu bergantunh sama si aa?” Ucap ayah yang lagi-lagi membuat Rechan terdiam.

“Kamu tau gak? Fasilitas si aa di cabut sama ayah gara-gara dia bohong sama ayah cuma buat ngelindungin kamu?”

“Gak usah nunduk!” Ucap Ayah saat melihat Rechan yang tiba-tiba saja menundukan kepalanya.

“Kamu sudah gede, mikir atuh dek.”

“Jangan kayak anak kecil. Umur kamu udah 20”

“Jangan mentang-mentang kamu bungsu, kamu bisa seenaknya”

“Liat tuh si aa, dulu dia waktu semumuran kamu udah punya pengajsilan sendiri. Terus sekarang kamu malah enak-enakan aja gitu minta uang? Tau gak? Nyari uang tuh susah.”

“Jangan ngegampangin. Turu—“

“YA UDAH IYA, ECHAN EMANG BEBAN, KAN?” Tiba-tiba saja Rechan memotong ucapan ayah.

“RECHAN!” Teriak ayah.

“APA?! MAU NGEBANDINGIN LAGI SAMA SI AA? SOK LAH BANDINGIN, DA EMANG CUMA SI AA YANG PAKING HEBAT, ECHAN MAH APA? BEBAN KELUARGA, KAN?”

“CHAN!” Sahut Mingyu memberikan pertanda agar Rechan berhenti berteriak di depan ayah.

Rechan menghela napasnya, ia lalu beranjak dari duduknya.

“Udahlah, kalo kayak gini mending Echan gak pulang, toh pulang juga malah di bandingin. Udah di bilanh kan dari dulu kalo Echan gak suka di bandingin.” Ucap Rechan.

Ayah menghela napas, berusaha menahan amarahnya.

“duduk dek.”

“Duduk Rechan!”

Rechan menghela napasnya ia lalu kembali duduk.

“Mulai besok, fasilitas kamu ayah cabut, cari uang sendiri, gak usah minta ke ayah.”

Rechan membulatkan matanya kaget.

“Tap—“

“Ke kamar, gak usah nge bantah!”

Dengan perasaan takutnya, Rechan segera menghampiri Amingyu yang memang berada di kontrakan miliknya

Sejak perjalanan menuju kontrakan, Rechan tidak henti-hentinya merapalkan doa, berharap ia tidak di eksekusi oleh kakaknya.

“Duduk,” ucap Mingyu pada Rechan.

Rechan hanya cengengesan “naon atuh aa ih” ucapnya.

Mingyu menghela napasnya “Kenapa Echan bohong ke aa?” Ucap Mingyu pada Rechan.

“Ih da Echan mah gak bohong,” ucap Rechan.

Lagi-lagi Mingyu menghela napasnya “Kenapa bohong?”

“Ih gak bohong aa” ucap Rechan mengelak.

“Echan.”

“Gak bohong”

“Chan.”

Rechan menghela napasnya “Ya atuh maaf a,” ucap Rechan menunduk.

“Biar apasih Echan bohong gitu ke aa?” Tanya Mingyu.

Rechan diam.

“Echan ....” ucap Mingyu, ia lalu mendekat pada Rechan.

“Aa mah gak bisa marah lama-lama sama Echan. Aa kesel banget tapi,” ucap Mingyu.

Rechan menunduk.

Jujur saja, Rechan tidak berniat ingin membohongi kakaknya seperti tadi. Ah tapi namanya Rechan, tetap saja. Dia itu anak pecicilan yang kadang jalan pikirnya tidak terduga.

“Echan, jangan bohong kayak tadi lagi. Kalau uang abis kan bisa bilang ke aa, ke mamah atau ke si ayah,” ucap Mingyu.

Rechan menatap kakaknya itu, ia lalu terkekeh pelan saat menatap Mingyu.

“Hehe, maafin adek atuh a,” ucapnya.

Mingyu menghela napas.

“Ya, aa maafin.”

“Asal balikin duit.”

Rechan bangkit dari duduknya”

“Bentar ....” ucap Rechan.

Baru saja Mingyu tersenyum, wajahnya kembali muram saat Rechan tiba-tiba saja berlari keluar.

HAMPURA A BUAT RECHAN WE DUITNYA, BABAY!” Teriaknya sambil berlari.

“RECHAN ANJING!”

pagi dan kamu

-

“Makan dong” ucap Angkasa pada Binar yang tengah asik mengaduk buburnya.

Binar menoleh lalu mengangguk “iya.” Ucapnya.

Angkasa terkekeh pelan saat ia tak sengaja melihat pipi kembung menggemaskan perempuan itu saat sedang mengunyah.

Binar, ya?

Dalam diamnya Angkasa tersenyum pelan, matanya bahkan tak bisa lepas dari wajah Binar.

Akhir-akhir ini, Angkasa bahkan tidak mengerti, kenapa ia bisa tiba-tiba saja memberanikan dirinya untuk mendekati perempuan satu ini.

Mungkin aneh bagi Binar, saat waktu itu Angkasa yang tiba-tiba saja datang, kemudian lama-lama menjadi seseorang yang seolah sudah mengenal perempuan itu sejak lama.

Alasan kenapa Angkasa berani mendekati Binar sebenarnya terlalu klasik.

Senyum Binar cantik

Hanya itu.

haha, Angkasa memang Angkasa. Laki-laki dengan tekad yang kuat, ia harus mendapat apapun yang ia mau, seberat apapun itu rintangannya.

“Udah makannya?” Tanya Angkasa ketika melihat Binar tengah meneguk es teh manisnya.

Binar menoleh, lalu mengangguk.

Angkasa tersenyum, lalu tanpa sadar ia mangacak pelan surai hitam milik perempuan itu, membuat si empunya terdiam kaget.

Angkasa terkekeh “Jangan kaget gitu ah, lucu soalnya” ucap Angkasa yang lagi-lagi berhasil membuat Binar terdiam.

Ah, sepertinya hal ini akan jadi kebiasaan baru yang menyenangkan untuk Angkasa. Sarapan pagi, ditemani seseorang yang akhir-akhir ini benar-benar mampu mengisi ruang di hatinya.

“Yaudah, yuk ke kampus.” Ucap Angkasa.

Aming melangkahkan kakinya menuju tempat tongkrongan Tio. Napasnya memburu, tangannya terkepal.

“Anjing!” Umpat Aming sambil melayangkan pukulan pada wajah Tio.

Tio yang memang tidak tahu apa-apa hanya diam membiarkan Aming.

“Bangsat sia! Adek aing anjing!” Ucap Aming.

Baik Adjie, Warih, serta Elang, yang memang ikut kesana segera menahan Amingyu agar menghentikan pukulannya pada Tio.

“Kalem heula” k Adjie pada Aming.

Tio berdiri sambil mengusap-usap pipinya yang terkena pukulan dari Aming.

“Sebentar a’ ini ada apa?”

“Adik apa maksudnya?” Tanya Tio.

Aming menatap Tio dengan tatapan marahnya.

Jika saja Warih dan Adjie tidak menahannya, mungkin saat ini Aming akan terus melayangkan pukulab pada Tio.

“Maksudnya sia apaan ngehajar adek aing?

Sia ngotak atuh sia kan panitia ospek, kenapa sia berani nonjok maba cuma gara-gara motor kesenggol?”

Sia gak usah belagu, mentang-mentang sia senior, seenaknya ke maba gitu? Tai”

Tangan Tio terkepal mendengar ucapan Aming, ia lalu melangkahkan kakinya dan menarik kerah Aming.

Sia tau apa, hah?! Adek lo yang belagu!”

Mendengar ucapan itu emosi Aming benar-benar meluap, lalu setelah itu ia balik menarik kerah Tio dan memukulnya beberapa kali, membuat Tio merintih kesakitan.

“Awas lo macem-macem sama adek aing!”

Ah, sudah lama sekali Najendra tidak pulang ke rumah. Kira-kira hampir dua tahun? Haha rindu sekali.

Saat ini, Najendra sedang dalam perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir Dirga. Bersama dengan Arjeno, Karina, Tisya, serta anak-anak mereka.

Selama perjalanan mereka hanya berbincang tentang bagaimana kehidupan mereka setelah menikah.

Tak butuh waktu lama mereka sudah sampai di tempat ini, tempat yang selalu Arjeno juga Najendra rindukan.

“Papa ....” ucap Arjeno sambil mengusap baru nisan yang terlihat sudah usang.

Najendra ikut berjongkok, lalu kemudian ia juga melakukan hal yang sama seperti Arjeno.

“Papa ....” gumamnya.

“Maafin kakak baru dateng,” ucap Najendra.

Arjeno menatap Najendra yang terlihat sedikit berkaca-kaca menahan air matanya.

Di samping Najendra ada Tisya yang tengah menggendong David.

Najendra menoleh lalu ia mengecup pelan pucuk kepala istrinya itu.

Sama halnya dengan Arjeno. Di sampingnya ada Karina yang tengah memangku Sena. Arjeno lalu merangkul istirnya itu.

“Papa liat ....” ucap Arjeno.

“Abang sama kakak udah punya kehidupan masing-masing.” Ucapnya.

“Papa, kenalin ini David, jagoannya kakak, cucunya papa ....” ucap Najendra tersenyum.

“Kenalin juga pah, Sena. Putri kecil kesayangan abang, cucunya papa ....” ucap Arjeno.

Jika saja kalian tahu, ada sesuatu hal yang membuat Arjeno juga Najen merasa sangat sendu.

Seharusnya, di tengah kebahagiaan keluarga kecila mereka ada Dirga disana.

Seharisnya Dirga menyaksikan mereka tumbuh.

Seharusnya Dirga disini, menjadi seorang kakek dari kedua cucunya.

Seharusnya ada Dirga disini bersama mereka.

Mereka rindu Dirga, sangat rindu.

“Papa, kita pulang dulu, ya? Papa gapapa, kan?” Ucap Arjeno.

Najendra terkekeh “Gak bakal di jawab sama papa anjir, yuk pulang aja” ucap Najendra.

Arjeno terkekeh “Yu”.

“Papa, nanti abang sama kakak sama cucu-cucu papa bakal sering jenguk kesini. Jangan khawatir.” Ucap Arjeno.

“Kita pulang dulu ya pah, dadah ...”

Selepas mereka mengunjungi Dirga, kini mereka semua tengah makan malam di sebuah restoran milik Arjeno yang sudah berjalan hampir enak bulan.

“Enak?” Tanya Arjeno.

“Lumayan lah” ucap Najendra yang di balas kekehan oleh Arjeno.

“Yah yayah ....” ucap David memanggil Najendra dengan ucapan yang masih belum jelas.

“Uuu jagoan ayah, sini sama ayah,” ucap Najendra sambil mengambil alih David ke rangkulannya.

“David ganteng juga ya, kayak gue ....” ucap Arjeno.

“Maksud lo?” Ucap Najendra yang di balas kekehan oleh Tisya.

“Eh, David lucu banget sumpah,” ucap Karina yang di balas kekehan oleh Najendra.

“Ya iyalah, gue bapaknya,” ucap Najendra.

“Eh Rin, kedepan yuk ....” ucap Tisya tiba-tiba lalu di balas anggukan oleh Karina.

Bukan apa-apa, Tisya hanya ingin memberi waktu berbicara untuk kedua kakak beradik itu.

Merekapun beranjak meninggalkan Arjeno dan Najendra disana.

Arjeno hanya terkekeh pelan saat melihat adiknya itu dengan lahap menyantap makanan.

“Kebiasaan lo kalo makan cepet amat”

Sebelum berbicara, Najendra menghabiskan lebih dulu makanan di mulutnya “Ya gapapa lah ....” ucap Najendra.

Arjeno menghela napasnya “Gimana US?” Tanya Arjeno.

Najendra menoleh “Baik”

“Kerjaan lo?”

“Baik”

Arjeno menghela napasnya lega “Syukur deh.”

“Lo gimana?” Ucap Najendra.

“Ya gini aja, baik,” ucapnya.

“Lo sama Karin baik-baik aja?” Tanya Najendra.

Arjeno mengangguk “Baik,” ucapnya.

Najendra tersenyum “Syukur kalo baik.”

“Lo gak benci gue kan, kak?” Tanya Arjeno yang di balas kekehan oleh Najendra.

“Ngapain gue benci sama lo?”

“Emm .... mungkin karena waktu itu?” Ucapnya.

Najendra tersenyum “Gue gak pernah benci sama lo bang. Walaupun emang gue pernah ngerasa benci, tapi itu cuma bentar kok. Lo tenang aja bang,” ucap Najendra.

“Kak, lo gak bakal ke US lagi, kan?”

Najendra menggeleng “Enggak.”

“Gue bakal tinggal lahi disini,” ucapnya.

Arjeno tersenyum, ia tiba-tiba saka beranjak dan mendekat ke arah Najendra, lalu memeluknya dengan sangat erat.

“Maafin gue, maaf kalau selama ini gue belum bisa jadi abang yang baik buat lo. Maaf karena gue selalu nyakitin lo dengan sikap gue. Gue sayang banget sama lo kak, jangan ninggalin gue lagi, gue masih butuh lo kak ....” ucap Arjeno sambil memeluk erat tubuh adiknya itu.

Dalam pelukan itu, Najendra tersenyum, ia lalu balik memeluk Arjeno dengan sangat erat.

“Gue juga minta maaf karena belum bisa jadi adik yang baik buat lo bang. Maafin gue karena pernah benci sama lo, maafin gue Bang,” ucap Najendra memeluk Arjeno.

Dalam pelukan itu mereka berdua sama-sama meluapkan segala kerinduan yang selama ini selalu mereka sembunyikan.

Mereka itu saling merindukan satu sama lainnya.

Bahkan selama ini Arjeno sering diam-diam menangis sendirian di sudut kamarnya.

“Udah, mending nyusul istri kita ke balkon yuk,” ucap Najendra yang di balas anggukan oleh Arjeno.

Mereka berdua lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah isttrinya masing-masing.

“Udah ngobrolnya?” Tanya Tisya yang di balas anggukan oleh Najendra.

“Lega?” Tanya Tisya lagi.

Najendra tersenyum, ia lalu memeluk Tisya dengan samgat erat “Lega banget ....”

“Makasih ya sayang,” ucap Najendra pada Tisya.

Tisya mengangguk, lalu memeluk tubuh Najendra.

Najendra menoleh ke arah Arjeno dan Karina yang tak jauh dari posisi mereka berdiri.

Najendra tersenyum.

Jadi akhirnya begini?

Baik Arjeno maupun Najendra, kini menemukan kebahagiaannya masing-masing.

Najendra tersenyum kala mengingat bagaimana ia dulu sempat merasakan sakit luar biasa.

Memang benar, ya? Sejauh apapun kita pergi, yang paling di rindukan itu adalah rumah.

Najendra beruntung karena bisa berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan baginya.

Najendra terkekeh pelan saat meluhat Arjeno juga Karina yang tengah tertawa sambil menggendong Sena putri mereka.

Akhirnya seperti ini.

Arjeno juga Najendra kini sudah memiliki jalan hidupnya masing-masing.

Meski mereka masih saja bergantung satu sama lainnya.

Kalian tahu tidak, apa yang membuat mereka bisa bertahan sejauh ini?

Dirga.

Semuanya berkat Dirga.

Didikannya pada kedua anak itu masih tertanam di hidup mereka.

Dirga hebat, bisa membesarkan kedua anak itu dengan sangat baik.

Banyak sekali hal yang selalu mereka berdua ingat.

Dirga pernah bilang jika mereka berdua harus selalu memafkan sesakit apapun itu.

Meskipun banyak luka dan penderitaan, tapi tidak apa-apa. Hidup harus terus berjalan, bukan? Biar waktu yang menyembuhkan semuanya.

Sekarang, baik Najendra dan Arjeno. Mereka berdua sudah sama-sama berdamai dengan masa lalu.

Terima kasih, Arjeno.

Terima kasih, Najendra.

Kalian berdua hebat, benar-benar hebat.

Di surga sana, Dirga akan selalu bangga pada kalian. Dua anak menggemaskan yang selalu jadi ksayangan Dirga.

Terima kasih Arjeno juga Najendra, untuk perjuangan yang telah kalian lalui selama ini.

Selamat menjalani kehidupan kalian dengan baik, ya?

Sampai jumpa di kehidupan selanjutya Abang dan Kakak.

See u.

- fin

Jalanan kota sore itu terlihat begitu padat. Banyak sekali orang-orang yang baru saja keluar dari kantornya. Entah itu menaiki kendaraan umum, ataupun menaiki kendaraan pribadinya masing-masing. Termasuk Najendra yang kini tengah mengendarai motornya bersama seorang perempuan.

“Macet banget, Jen” ucap Tisya pada Najendra.

Lelaki itu hanya terkekeh “Iya, soalnya pada pulang kerja”

Tisya hanya berdehem pelan.

Perempuan itu tersenyum samar saat ia tak sengaja melihat wajah Najendra dari spion kecil itu.

Ah, rasanya menyenangkan jika ia sedang bersama lelaki ini.

Entahlah, tapi baginya, menaiki motor sambil menikmati udara sore bersama Najendra itu adalah salah-satu hal yang paling ia sukai selama beberapa tahun ini.

Tisya tahu, selama ini kehadirannya di hidup Najendra hanya sekedar teman, tak lebih.

Tisya tidak tahu, kenapa ia bisa sangat menyukai lelaki ini. Tapi seingatnya, dulu, saat mereka pertama kali melakukan ospek di kampus, Tisya tak sengaja melihat Najendra yang tengah duduk di taman belakang saat sedang beristirahat.

Kalau di ingat lucu juga yah. Selama hampir 7 tahun lamanya, Tisya masih saja enggan memberitahukan perihal perasaannya pada lelaki itu.

Najendra itu terlalu luas untuk bisa Tisya genggam.

Najendra itu terlalu manis untuk bisa Tisya rasa.

Najendra itu terlalu khayal untuk bisa Tisya gapai.

Entahlah, ia hanya merasa jika lelaki ini adalah sosok lelaki yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa ia dapatkan.

“Ayo turun,” ucap Najendra sesaat setelah mereka sampai di depan sebuah resort.

“Kok kesini?” Tanya Tisya.

Najendra hanya tersenyum, ia lalu meraih tangan Tisya dan menuntunnya untuk masuk ke dalam tempat itu.

Tisya hanya terdiam saat ia melihat Najendra yang tengah menautkan jemarinya pada sela-sela tangan perempuan itu.

“Ayo duduk” ucap Najendra.

Tisya hanya mengangguk. Tidak mengerti apa yang sebenarnya akan Najendra lakukan.

Najendra menatap perempuan yang kini tengah menikmati pemandangan di hadapannya itu.

“Indah enggak?” Tanya Najendra yang di balas anggukan oleh Tisya.

“Suka?” Ucap Najendra yang kembali di balas anggukan oleh Tisya.

Najendra tersenyum, ia lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi itu.

“Capek juga ya ....”

“Hah?”

Najendra terkekeh “Capek juga nyimpen perasaan lama-lama” ucap Najendra menoleh pada Tisya.

“Maksudnya?”

“Tisya ....” ucap Najendra.

“Maaf, ya?”

“Maaf buat apa Najen?” Ucap Tisya.

Tangan Najendra lalu beralih mengusap pucuk kepala perempuan itu. “Maaf karena selama ini saya cuma jadiin kamu pelampiasan di saat saya lagi sedih. Maaf karena selama ini saya selalu lari dari sakit hati yang saya rasa dengan melibatkan kamu. Maaf juga karena selama ini saya terlalu menutup mata tentang perasaan kamu kepada saya. Saya jahat, ya?” Ucap Najendra.

Tisya terdiam. Pasalnya ia sedikit kaget saat mendengar Najendra yang tiba-tiba saja menjadi formal seperti ini.

“Najen kamu kenapa?”

Najendra tersenyum, ia lalu meraih kedua tangan Tisya untuk digenggamnya.

“Tisya ....”

“Saya gak akan banyak basa-basi. Tapi, alasan saya bawa kamu kesini karena saya mau bilang sesuatu sama kamu.”

Tisya menatap Najendra “Bilang apa?”

Najendra menghela napasnya, ia lalu menatap netra kecoklatan milik perempuan itu.

Tatapannya terasa sangat teduh.

Najendra tersenyum.

“Tisya ....”

“Iya?”

“Jadi milik saya seutuhnya, ya?”

“Jen .... enggak salah?” Ucap Tisya.

Najendra menggeleng “Enggak ....”

Tisya terdiam.

“Tisya ....”

“Jadi semestanya saya, ya?”

Karena kita hanya sebatas hampir...

-

Kamu bilang kalau pertemuan kita adalah sebuah takdir yang menyenangkan.

Kamu bilang kalau aku adalah seseorang yang mampu membuat kamu paham, bahwa cinta itu benar adanya.

Berkali-kali kamu bilang, kalau segalanya bagimu adalah aku.

Waktu itu, saat kamu pertama kali datang ke dalam duniaku, aku sedang berlari kencang. Berlari untuk bersembunyi dari pahitnya luka.

Kamu yang tiba-tiba saja datang memelukku, dengan segala ketenangan yang ada dalam diri kamu waktu itu.

Kamu yang memintaku untuk kuat meskipun banyak luka yang belum sembuh.

Bahkan kamu yang mampu membuatku kembali berdiri kokoh, seolah luka yang tadinya menganga kembali tertutup.

Waktu itu, kamu bilang kalau kita itu adalah dua orang yang memang harus saling menguatkan, kamu bilang itu Gantara. Tapi kenyataannya apa?

Tiba-tiba saja kamu pergi. Tiba-tiba saja kamu hilang. Seolah kehadiranmu itu hanya sebuah angin lalu.

Tidak ada maaf. Tidak ada pamit.

Aku tidak pernah melarangmu untuk pergi, aku tidak pernah berharap kamu pergi.

Bahkan sampai saat ini, yang aku mau cuma kamu.

Kata orang, merelakan itu adalah salah satu bentuk mencintai paling dalam bukan?

Aku tidak menangis, tenang saja.

Hanya saja...

Aku rindu kamu, rindu sekali.

Tatapan teduhmu, peluk hangatmu, senyum manismu. Aku rindu semuanya Gantara!

Sejauh ini, aku masih ingin kamu, aku ingin pelukmu, aku ingin tatapan teduhmu itu kembali. Tidak pernah ada seseorang yang sedalam kamu.

Kamu dan semua kenangan manismu, semuanya bahkan masih disini, masih tersimpan di dalam kotak yang kini sudah terlihat sangat usang.

Gantara, kita bahkan belum berhasil menggores cerita menyenangkan. Kita bahkan belum berhasil menjadi Kita—yang seutuhnya.

Cerita kita bahkan belum berhasil memasuki garis finish. Hampir saja kita berjalan, hampir saja kita memulai.

Benar kata orang.

Kita itu hanya sebatas hampir yang tidak akan berubah menjadi pernah.

Hampir saja aku dan kamu bersama. Hampir saja aku dan kamu beriringan. Hampir saja aku menjadi duniamu. Hampir saja aku dan kamu menjadi kita.

Ah sudahlah, selamanya kita hanya akan menjadi hampir.

Gantara...

Semoga, hampir milik cerita kita ini ini segera di pertemukan kembali, ya?

Aku merindukanmu!

Arjeno segera pergi ke tempat kecelakaan itu, entah sekencang apa ia mengendarai mobilnya.

Tak butuh waktu lama, Arjeno sampai di lokasi, dan benar saja, disana sudah banyak orang, ambulance, serta polisi.

Arjeno berlari mendekat, kemudian ia melihat sebuah jasad yang sudah di tutup oleh kantung mayat.

Arjeno menerobos masuk tak peduli jika polisi menahannya.

Ia menangis kala membuka kantung jenazah itu.

“Kakak...” ucapnya sambil menangis.

“KAKAK INI GAK BENER INI BUKAN LO, BANGUN NAJENDRA!!” Teriak Arjeno.

“KENAPA LO NINGGALIN GUE ANJING, BANGUN!” Arjeno menangis, ia berteriak.

“Maaf, maafin gue kak, maafin gue, bangun Najendra bangun!” Arjeno terisak.

“Jangan ninggalin gue sendirian, Najendra maafin gue. BANGUN KAKAK BANGUN!!” Teriaknya sambil menangis.

“Gue gak punya siapa-siapa lagi, jangan ninggalin gue, please...”

“BANGUN NAJENDRAA BANGUN” teriak Arjeno lagi.

Arjeno benar-benar hancur malam itu, satu-satunya harta berharga yang ia punya, adik kesayangannya, ia melihat itu. Arjeno melihat Najendra yang sudah tak bernyawa.

“Kakak bangun... maafin gue kakak”

“Jangan ninggalin gue sendirian, please...” lirih Arjeno

Najendra terbangun saat tiba-tiba merasakan sebuah usapan pelan pada kepalanya. Lelaki itu terbangun.

“Papa?” Ucapnya saat melihat bahwa orang yang tengah mengusapnya adalah Dirga, papanya.

Dirga tersenyum saat melihat anak bungsunya itu “Iya, ini papa...” ucapnya.

Dengan cepat Najendra langsung menghamburkan pelukan ke tubuh Dirga.

“Papa, kakak kangen...” ucap Najendra sambil memeluk erat tubuh Dirga.

Dirga terkekeh “Papa juga kangen sama kakak” ucap Dirga sambil mengecup pelan pucuk kepala anaknya itu.

“Kakak sama abang kenapa? Kok berantem terus sih?” Ucap Dirga lembut.

Najendra melepaskan pelukannya.

“Papa, semua orang sama aja, gak ada yang bisa kakak percaya termasuk abang”

“Pah, kenapa semenjak papa pergi, orang-orang jadi makin jahat?” Ucap Najendra pada Dirga.

Dirga tersenyum, ia lalu mengusap pelan wajah Najendra dengan sangat lembut.

“Maafin papa, ya?” Ucapnya.

“Maafin papa karena harus pergi, maafin papa gak bisa jaga kakak sama abang lagi”

Tanpa sadar Najendra menangis di hadapan lelaki itu.

Dirga lalu menghapus air mata yang jatuh dari pelupuk mata anaknya itu.

“Jangan nangis kakak, papa gak suka liatnya...”

Najendra lalu memeluk kembali tubuh Dirga. Tubuh yang selalu ia rindukan kehangatannya.

“Papa, kakak mau ikut sama papa...”

Dirga terkekeh.

“Kalau kakak ikut papa, abang disini sama siapa?”

“Kakak gak peduli.”

Lagi-lagi Dirga terkekeh “Jangan gini, ya?”

“Kakak tau enggak, kenapa kakak ngerasa sakit hati kayak gini?”

Najendra menggeleng pelan.

“Karena kakak udah dewasa, banyak banget hal-hal yang bisa bikin kakak hancur, contohnya sekarang.”

“Kak, makin dewasa itu, kita dituntut buat tabah. Mau sesakit dan sesulit apapun masalahnya, mau gak mau kakak harus hadapain itu semuanya, ya? Jangan menghindar”

Najendra terdiam mendengar penuturan Dirga.

Dirga tersenyum.

“Kakak boleh marah sama abang, marah aja gapapa. Tapi inget, ya? Jangan lama-lama kak. Kalian itu gak boleh saling dendam, ya?”

“Kakak mau bikin papa di Surga sedih?”

Najendra menggeleng pelan.

Dirga terkekeh “Sini peluk papa” ucapnya.

Najendra kembali memeluk tubuh lelakit itu.

“Papa, kakak kangen di peluk papa kayak gini...”

Dirga tersenyum “Papa selalu ada sama kakak, papa selalu disini, di hati kamu, papa gak bakal pergi kakak” ucapnya mengecup pelan pucuk kepala Najendra.

“Sekarang tidur, ya? Biarin waktu yang nyembuhin semuanya, oke?”

Nejendra mengangguk pelan.

“Papa”

“Temenin kakak sampe kakak tidur, ya? Jangan pergi dulu, kakak masih mau di peluk papa”

Dirga terkekeh

“Iya, papa disini”