Janji
-
Tidak ada manusia yang siap akan kehilangan.
Tidak ada manusia yang suka perihal kehilangan.
Tidak ada manusia yang mengharapkan sebuah kehilangan.
Termasuk Rechan.
Seorang lelaki berusia 20 tahun itu tengah berdiri di hadapan gundukan tanah yang terlihat sudah tak beraturan.
Air matanya jatuh, saat tiba-tiba saja semua hal-hal yang pernah ia lalui selama ini terlintas begitu saja di benaknya.
Dari mulai bahagia, amarah, kekecewaan, kesenangan. Semuanya bercampur menjadi satu.
Rechan terduduk, lalu dengan pelan ia mengusap pelan batu nisan itu.
Batu nisan bertuliskan Arga Mingyu Bagaskara.
Rechan tersenyum getir kala ia menatap gundukan tanah itu.
“Jadi akhirnya gini ya, a?” Ucap Rechan sambil tersenyum pelan.
“Jadi akhirnya aa nyerah buat ada di samping Echan?” Ucapnya lagi.
Rechan tersenyum sambil menjatuhkan air matanya.
Hancur, sangat hancur.
Orang yang paling Rechan sayang, orang yang paling Rechan sukai, orang yang selalu bisa melindungi Rechan, orang yang selalu siap memberikan apapun untuk Rechan, kini sudah tidak ada.
Mingyu sudah pergi.
Jiwanya hilang, raganya hilang.
Rechan terisak pelan.
“Aa ....” lirihnya.
“Maafin, adek ....” lirihnya lagi.
Jika saja kalian tahu, siapa orang yang paling kehilangan disini itu siapa.
Jawabannya adalah Rechan.
Amingyu itu salah satu tiang kokoh yang mampu menopang hidup Rechan.
Amingyu itu rumah paling hangat yang selalu Rechan datangi di saat seluruh semesta sedang tidak berpihak padanya.
Amingyu itu adalah pelindung paling kuat di saat orang-orang menyakiti Rechan.
Amingyu itu segalanya bagi Rechan.
Jika Amingyu pergi, kepada siapa Rechan mengadu?
Rechan hanya ingin Amingyu, ia tidak ingin seperti ini.
Tapi kenapa ia malah ditinggalkan? Di saat ia belum benar-benar membalas semua hal yang sudah Amingyu berikan pada Rechan.
“Aa ....” lirihnya lagi.
“Maafin Echan, maaf kalau Echan belum sempet meluk aa, maaf Echan belum sempet minta maaf ke aa, maaf Echan belum bisa jadi adek yang baik buat aa ....” ucap Rechan dengan nada suara yang terdengar sangat menyakitkan.
“Aa, Echan sekarang udah punya cafe. Aa inget enggak? Dulu adek suka bilang kalau adek bakal bikin cafe pake uang adek sendiri?”
“Iya aa, adek berhasil, adek berhasil ....” ucapnya.
“Aa ....”
“Kenapa sih aa harus pergi? Echan belum sempet bahagiain aa, Echan belum sempet ngasih semua hal kayak apa yang selalu aa kasih buat adek ...” Rechan terisak.
Tubuhnya lalu memeluk batu nisan itu. Berusaha merasakan dan membayangkan jika saat ini Rechan tengah berada dalam pelukan sang kakak.
“Aa ...”
“Kalau aa pergi, echan harus gimana?” Isaknya.
“Gimana caranya Echan berdiri? Gimana caranya Echan bangkit kalau disini gak ada aa ....”
Demi apapun, Rechan benar-benar hancur saat ini.
“Aa .... bangun .... Adek mau meluk aa ....” lirih Rechan.
Ia lalu kembali terisak.
Benar sekali, Rechan akan menjadi satu-satunya orang yang paling menyesal, satu-satunya orang yang paling merasa kehilangan.
“Aa .... Echan janji, Echan janji bakal jadi apa yang selalu aa bilang ke Echan. Echan bakal jadi orang sukses yang gak pernah melihat ke atas. Echan bakal jadi orang baik kayak apa yang selalu aa bilang ke Echan ....”
Rechan bangkit dan mengusap air matanya, lalu ia tersenyum pelan.
“Aa, jagain Echan dari atas sana, ya? Kalau Echan nakal, marahin Echan di mimpi, ya a?”
“Rechan sayang banget sama aa, sayang banget ....”
“Aa, makasih buat semuanya, Rechan janji bakal jagain mamah sama ayah, Rechan janji.” Ucapnya.
“Echan pulang dulu, ya? Sekali lagi, maafik Echan, Echan sayang aa ....”
fin