Jjaejaepeach

.

Kalau ditanya, siapa orang yang paling aku sayang. Aku bakal jawab Ayah.

Kalau ditanya, siapa orang yang paling hebat. Aku bakal jawab Ayah.

Kalau ditanya, siapa yang berhasil jadi tumpuan duniaku. Aku pasti bakal jawab Ayah.

Ayah itu, laki-laki hebat yang aku kenal. Dia baik, tampan, bertanggung jawab, dan pekerja keras.

Dari dulu, ayah itu selalu berusaha untuk memenuhi segala keperluanku. Dia kerja sangat keras demi bisa menafkahi hidupku.

Ayah itu hebat, aku sayang banget sama ayah.

Meskipun ayah enggak pernah lihat aku sebagaimana harusnya.

Meskipun tatapan ayah gak seteduh tatapan ayah lainnya.

Meskipun ayah selalu menganggap aku sebagai pembawa sial. Tapi enggak apa-apa. Ayah itu segalanya buatku.

Ah, aku gak tau. Tapi aku cuma mau bilang. Jangan benci ayah, ya?

Entah sudah berapa lama Jea terduduk di depan tv sendirian. Pandangannya bahkan tidak memancarkan kebahagiaan sama sekali.

Jea rindu ayah. Jea rindu adek. Jea rindu rumahnya.

Tanpa sadar, anak perempuan itu terisak pelan, sambil memeluk tubuh kecilnya.

“Ayah ....” lirih Jea.

Selama disini, di tempat yang katanya adalah rumah sebenarnya. Di tempat yang katanya adalah rumah paling aman, Jea justru tidak merasakan itu.

Perempuam kecil itu hanya ingin pulang, ke rumah Janu—ayah yang mengurusnya sejak bayi. Jea rindu Janu.

Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang mendekatinya.

“Cantik ya papa lagi apa, hmm?” Ucap seseorang itu—Biru.

Jea hanya terdiam.

“Kok diem aja? Enggak mau nonton tv?”

Jea menggeleng pelan.

Biru tersenyum, kemudian ia mengusap pelan pucuk kepala anak itu.

“Jea mau apa? Mau jalan-jalan? Mau beli makanan? Atau mau mai—“

“Jea mau ayah Janu ....” lirih anak itu pelan.

Mendengar itu, raut wajah Biru berubah menjadi datar. Kemudian ia menghela napasnya.

“Udah berapa kali papa bilang, ayah Janj itu bukan ayah kamu. Liat papa, ayah kamu itu papa, papa Biru. Ini, di depan kamu, ini papa.” Ucap Biru dengan menekan setiap kalimatnya.

Jea menggeleng pelan.

“Jea mau pulang papa ....” lirihnya berusaha menahan tangis.

sial

Bahkan sudah satu tahun Biru menyembunyikan Jea, dan berusaha memberikan segalanya, tetap saja. Biru belum bisa mengambil tahta itu.

“Jea, jangan bikin papa marah.” Ucap Biru.

“Rumah kamu disini, ayah kamu itu papa bukan Janu. Paham?”

“Nurut sama papa, Jea cuma anak papa, bukan anak Janu.”

“Kalau Jea bilang mau pulang lagi, papa marah sama Jea. Mau kamu, papa marahin?”

Mendengar itu, dengan perasaan takutnya, Jea mengangguk pelan.

“Jangan nangis.”

Lagi Jea mengangguk.

“Sini ikut, makan sama papa.”

Perempuan itu berdiri di bawah pohon di taman sekolah. Menunggu kedatangan seseorang yang sebelumnya meminta dirinya untuk menunggu.

“Eca!” Teriak seseorang membuat perempuan itu menoleh.

Lengkungan kecil itu tertarik ke atas kala ia mendapati seseorang berlari kecil ke arahnya.

Itu, Adhi.

Iya Adhi, seorang laki-laki yang hampir satu tahun ini ia kenal dengan baik.

Kalau diingat, lucu sekali. Saat pertama kali Adhi meminta Eca untuk berkenalan, serta segala usaha Adhi agar membuat perempuan itu nyaman di dekatnya.

“Hehe, maaf lama,” ucap Adhi pada Eca sambil menampilkan senyum menggemaskannya.

Eca terkekeh pelan, “gapapa,” ucapnya.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Adhi merasa sangat gugup, begitu pula dengan Eca.

Sebenarnya Eca ini tidak terlalu polos untuk mengetahui tujuan Adhi mengajaknya bertemu, setelah acara kelulusan tadi.

Eca tahu, jika lelaki ini sangat ingin sekali menjadikan dirinya sebagai miliknya.

Eca juga tidak bodoh, ia paham betul. Selama ini ia memiliki rasa yang sama pada Adhi. Satu-satunya lelaki yang bisa membuat ia jatuh cinta setelah ayah.

“Ecaa ....” ucap Adhi menunduk.

“Apa Adhi?”

“Hehe, sekarang kan kita udah lulus,”

“Hmm, terus?”

“Hehehe ....”

Eca terkekeh melihat tingkah laku lelaki dihadapannya ini.

Ah benar-benar menggemaskan.

“Apa ih?”

“Eca ....”

“Apa Adhi?”

“Adhi suka banget sama Eca, dari kelas sepuluh. Tapi waktu itu Adhi baru berani chat Eca waktu kelas sebelas. Sekarang kan Adhi udah deket banget sama Eca. Kalau pulang juga suka barengan, suka belajar bareng. Pokoknya kita udah deket deh.” Ucap Adhi panjang lebar.

Eca lagi-lagi terkekeh, “iyaa tau, terus kenapa, Adhi?”

“Eca”

“Mau enggak jadi pacarnya Adhi?”

Lelaki berumur delapan belas tahun itu terduduk sambil terus menggenggam sebotol air putih.

Matanya menyipit, kala bibirnya tertarik membentuk lengkung menggemaskan.

Di sebrangnya, ia tengah memperhatikan sosok perempuan yang sejak lama ingin ia dekati.

“ECA SEMANGAT!” Teriak Adhi.

“Alay,” sahut Wangsa—teman sekelas sekaligus sohibnya.

Adhi hanya mendecih, “sirik.”

“ECA SEMANGAT!” Lagi, Adhi berteriak.

Disana, yang diteriaki hanya tersenyum sembari sesekali melambaikan tangannya pada Adhi.

“Cantik banget Ya Allah,” gumam Adhi pada perempuan itu.

Adhi ini tidak pernah sekalipun merasa begitu kagum sekaligus suka pada seorang perempuan.

Tidak, bukan tidak menyukai perempuan. Hanya saja, baru kali ini ia sebegitu jatuhnya pada sosok Eca.

Bahkan, jika boleh jujur. Sudah sejak kelas sepuluh ia diam-diam memperhatikannya.

Adhi hanya bisa tersenyum manis, kala netranya menatap Eca yang tengah tertawa bersama teman-teman teamnya.

Dan lagi, lelaki berusia delapan belas tahun itu kembali jatuh pada pesona Eca.

“Cantik,”

Ragaf berdecak kesel. Pasalnya, sudah hampir tiga puluh menit ia berdiam diri disana menunggu kedatangan Ezra yang katanya ingin melakukan diskusi perihal pembangunan panti yang memang sedang mereka kerjakan.

Beberapa kali Ragaf menghubungi Ezra, namun nihil. Tidak ada jawaban.

“Becanda banget anjir,” ucapnya.

Ragaf hanya menghela napasnya.

Bisa-bisanya ia selalu menurut jika Ezra memintanya untuk bertemu. Padahal mereka berdua belum terlalu lama dekat.

Netra Ragaf memperhatikan sekitarnya. Kemudian ia memilih untuk memejamkan matanya sejenak.

Disini sejuk, tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. Cukup enak untuk sekedar menenangkan diri.

Hanya ada segelintir orang yang tengah bermain-main bersama orang tersayangnya.

Ragaf tersenyum tipis, kala netranya menangkap dua orang yang sedang asik bercengkrama, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Ah, Ragaf jadi merindukan Reyna.

Dulu sekali, ketika ia masih bersama perempuan itu. Ragaf suka mengajak Reyna pergi ketempat seperti ini, walaupun hanya sekedar duduk sambil menatap langit, tapi perempuan itu selalu menyukainya.

Lagi-lagi Ragaf hanya bisa tersenyum tipis. Apalagi jika mengingat bagaimana ia sekarang.

Kesepian.

Ragaf terkekeh, kala memori-memori bersama Reyna tiba-tiba saja terlintas. Seolah suasana kali ini sangat mendukung untuk semua memori itu terputar kembali dipikiran Ragaf.

Tawanya, matanya, hidungnya, senyumnya, aroma tubuhnya. Ragaf masih sangat ingat itu.

Ragaf rindu, rindu sekali.

Seandainya saja dari awal Ragaf sadar, jika Reyna sangat tulus padanya, seandainya saja Ragaf sadar, jika Reyna itu bener-benar dunianya. Mungkin Ragaf tidak akan pernah mengalami penyesalan seperti ini.

Penyesalan karena sempat menyakiti perempuannya.

Jika dipikir, baru sebentar Ragaf menghabiskan waktu bersama Reyna. Namun akhirnya, semesta juga yang memaksa mereka untuk berpisah.

“Becanda banget anjing” ucap Ragaf sembari terkekeh.

Dua tahun, ya?

Sudah dua tahun Ragaf tidak melihat perempuan kesayangannya. Bahkan sekedar kabar terakhir pun hanya sampai Ragaf yang berpamitan pulang saat Reyna masih setia memejamkan matanya.

Jika disuruh memilih. Ingin sekali Ragaf memutar waktu, agar bisa memperbaiki semuanya dari awal.

Agar tidak ada penyesalan yang terlalu menyakitkan. Agar perempuannya itu bahagia.

Ragaf ingin sekali memutar waktu.

Benar kata orang.

Penyesalan selalu datang diakhir. Mau bagaimana-pun itu, yang namanya penyesalan tetap akan jadi penyesalan.

Ragaf menghela napasnya. Kemudian ia beranjak untuk menghirup udara lebih segar. Beranjak untuk sekedar melepaskan sesak yang sebelumnya sempat tertahan.

Ragaf memilih menyusuri tempat itu.

Jika dulu, disampingnya itu selalu ada yang menggenggam dengan hangat.

Sekarang, hanya ada jemari kurus yang tak pernah merasa hangat.

Lagi-lagi Ragaf hanya tersenyum tipis.

Baru saja Ragaf ingin duduk di tepi danau disana, netranya tak sengaja menangkap seseorang yang tengah berdiri dari kejauhan.

Ragaf terpaku. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya ia melihat itu.

Reyna.

Ia melihat Reyna tengah berdiri memperhatikannya dari jauh.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, Ragaf segera menghampiri sosok itu.

“Rey!” Teriaknya.

Perempuan itu buru-buru pergi ketika ia melihat jika Ragaf mendekat ke arahnya.

Melihat itu, Ragaf berlari mengjar.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Tidak, jangan lagi. Jangan lagi ia kehilangan jejak.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Demi apapun, Ragaf benar-benar yakin jika itu Reyna.

Entah mengapa, saat sedang mengejar. Hati Ragaf begitu sakit. Sampai rasanya sesak sekali.

“REYNA! AKU TAU ITU KAMU!” Teriaknya sangat keras, membuat perempuan itu menghentikan langkahnya.

Terlalu sesak, Ragaf hanya bisa meringis sembari memukul kedua lapang dadanya, guna meredakan sesak.

“Aku tau itu kamu .....” lirih Ragaf.

Tanpa sepengetahuan Ragaf, perempuan itu menangis.

Ia menangis.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan ini juga merasakan sesak luar biasa.

“Reyna, tolong ..... jangan pergi lagi .....” lirih Ragaf yang terdengar begitu menyakitkan.

“Rey—“

Tanpa basa-basi, perempuan itu berbalik, kemudian ia berlari mendekat memeluk tubuh itu. Tubu yang selama ini ia rindukan.

Ragaf terdiam ketika perempuan itu memeluknya.

“Maaf ....” lirih perempuan itu.

“Ragaf, maafin aku ....” lirihnya lagi sambil terisak.

Demi Tuhan. Ragaf sangat merindukan perempuan itu.

“Rey ....” ucapnya, lalu ia mendekap erat tubuh kecil itu, sangat erat sampai ia bisa merasakan sesak.

Ragaf merindukannya, terlalu merindukannya.

“Reyna ....” lirihnya.

“Reyna ....” lagi.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan itu juga semakin mengeratkan dekapannya.

“Ini aku, Gaf. Ini aku ....” ia terisak.

Ragaf memeluk, menatap, kemudia ia mengecup wajah perempuan itu beberapa kali.

“Enggak, enggak ....” Ragaf menggeleng.

“Ini bukan mimpi, kan?”

“Rey? Ini kamu, kan? Aku gak gila, kan? Ini beneran kamu?”

“Reyna jawab, ini beneran kamu, kan?” Ucap Ragaf sebegitunya.

Reyna—perempuan itu terisak, kemudian ia memberanikan diri menatap netra Ragaf.

Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan wajah lelaki itu.

“Iya .... ini aku, aku disini, maaf.”

Persetan dengan rasa malu.

Kali ini Ragaf menangis sangat hebat dipelukan perempuan itu.

Ia lagi-lagi mendekapnya, sangat erat. Seola tidak ingin kehilangan hangatnya lagi.

“Jangan, jangan pergi lagi. Reyna jangan pergi lagi ....” lirihnya.

Reyna terisak, ia kemudian memeluk Ragaf.

“Maaf, maaf karena aku harus bikin kamu ngerasain lagi kehilangan.”

“Maaf aku sempet egois,”

“Ragaf maaf, aku sayang kamu, maaf. Untuk dua tahun terakhir ini aku minta maaf,”

“Ragaf maaf ....”

Reyna hanya bisa menyebut kata maaf.

Entah harus berapa kali. Rasanya sangat tidak cukup.

“Aku pulang, Gaf. Aku pulang ....” lirihnya.

“Maaf karena aku sempet takut untuk pulang, maaf ....”

Ragaf menggeleng pelan.

“aku gak peduli.”

“Jangan minta maaf”

Tidak ada yang bisa mendefinisikan betapa rindunya Ragaf pada perempuan itu.

Ia hampir gila, ia hampir kehilangan arah hanya karena merindukannya.

“Jangan kagi, Rey.” Lirihnya.

“Jangan pergi lagi, aku takut.”

“Jangan hilang lagi”

“Jangan kemana-mana lagi”

Ucap Ragaf sebegitunya.

Kemudian ia kembali mendekap perempuan itu.

Tolong, jangan lagi. Jangan hilang lagi.

Sudah cukup deritanya. Ragaf tidak ingin lagi.

“Kita perbaikin semuanya, ya?”

“Gak peduli tentang kamu yang sempat hilang,” aku gak kau denger lagi.”

“Ayo rey, ayo perbaikin semuanya, jangan kemana-mana lagi, ya?”

Reyna terdiam.

“Rey jawab.”

“Ayo ulang semuanya dari awal,”

Reyna menatap Ragaf sendu, kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf ....” lirih Reyna.

Ragaf terdiam.

“Maaf?”

“Jangan becanda, aku udah gila. Aku gamau lagi kehilangan kamu.”

“Maaf, aku gak bisa ....”

Lagi-lagi sesak menyeruak.

“Gak lucu,”

“Rey gak lucu.”

Reyna menatap netra kecoklatan itu.

Masih sama.

Sama teduhnya, sama tenangnya.

Tatap itu tidak berubah, bahkan setelah dua tahun.

“Reyna jangan gini ....”

“Gak bisa, Ragaf.”

Ragaf terdiam.

Reyna kemudian beranjak.

“Gak bisa ....”

“Aku gak bisa nolak,”

Ragaf membukatkan matanya.

“Maksudnya?”

“Rey! Jangan becanda, enggak lucu”

Reyna tersenyum pelan. Kemudia ia meraih jemari Ragaf.

“Ayo.”

“Ayo mulai dari awal,”

“Jangan lagi ada keterpakaan, ya?”

“Ayo mulai dari awal, aku mau, aku gak akan pergi lagi.”

Tanpa basa-basi, Ragaf memeluk perempuan itu dengan sangat erat.

Akhirnya, akhirnya ini terjadi.

Rumahnya kembali utuh.

Ragaf menemukan kembali pelabuhannya yang sempat hilang.

“Maaf, ya? Untuk semuanya. Mulai sekarang ayo mulai dari awal.”

“Tanpa keterpaksaan.”

.

fin

Ragaf berdecak kesel. Pasalnya, sudah hampir tiga puluh menit ia berdiam diri disana menunggu kedatangan Ezra yang katanya ingin melakukan diskusi perihal pembangunan panti yang memang sedang mereka kerjakan.

Beberapa kali Ragaf menghubungi Ezra, namun nihil. Tidak ada jawaban.

“Becanda banget anjir,” ucapnya.

Ragaf hanya menghela napasnya.

Bisa-bisanya ia selalu menurut jika Ezra memintanya untuk bertemu. Padahal mereka berdua belum terlalu lama dekat.

Netra Ragaf memperhatikan sekitarnya. Kemudian ia memilih untuk memejamkan matanya sejenak.

Disini sejuk, tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. Cukup enak untuk sekedar menenangkan diri.

Hanya ada segelintir orang yang tengah bermain-main bersama orang tersayangnya.

Ragaf tersenyum tipis, kala netranya menangkap dua orang yang sedang asik bercengkrama, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Ah, Ragaf jadi merindukan Reyna.

Dulu sekali, ketika ia masih bersama perempuan itu. Ragaf suka mengajak Reyna pergi ketempat seperti ini, walaupun hanya sekedar duduk sambil menatap langit, tapi perempuan itu selalu menyukainya.

Lagi-lagi Ragaf hanya bisa tersenyum tipis. Apalagi jika mengingat bagaimana ia sekarang.

Kesepian.

Ragaf terkekeh, kala memori-memori bersama Reyna tiba-tiba saja terlintas. Seolah suasana kali ini sangat mendukung untuk semua memori itu terputar kembali dipikiran Ragaf.

Tawanya, matanya, hidungnya, senyumnya, aroma tubuhnya. Ragaf masih sangat ingat itu.

Ragaf rindu, rindu sekali.

Seandainya saja dari awal Ragaf sadar, jika Reyna sangat tulus padanya, seandainya saja Ragaf sadar, jika Reyna itu bener-benar dunianya. Mungkin Ragaf tidak akan pernah mengalami penyesalan seperti ini.

Penyesalan karena sempat menyakiti perempuannya.

Jika dipikir, baru sebentar Ragaf menghabiskan waktu bersama Reyna. Namun akhirnya, semesta juga yang memaksa mereka untuk berpisah.

“Becanda banget anjing” ucap Ragaf sembari terkekeh.

Dua tahun, ya?

Sudah dua tahun Ragaf tidak melihat perempuan kesayangannya. Bahkan sekedar kabar terakhir pun hanya sampai Ragaf yang berpamitan pulang saat Reyna masih setia memejamkan matanya.

Jika disuruh memilih. Ingin sekali Ragaf memutar waktu, agar bisa memperbaiki semuanya dari awal.

Agar tidak ada penyesalan yang terlalu menyakitkan. Agar perempuannya itu bahagia.

Ragaf ingin sekali memutar waktu.

Benar kata orang.

Penyesalan selalu datang diakhir. Mau bagaimana-pun itu, yang namanya penyesalan tetap akan jadi penyesalan.

Ragaf menghela napasnya. Kemudian ia beranjak untuk menghirup udara lebih segar. Beranjak untuk sekedar melepaskan sesak yang sebelumnya sempat tertahan.

Ragaf memilih menyusuri tempat itu.

Jika dulu, disampingnya itu selalu ada yang menggenggam dengan hangat.

Sekarang, hanya ada jemari kurus yang tak pernah merasa hangat.

Lagi-lagi Ragaf hanya tersenyum tipis.

Baru saja Ragaf ingin duduk di tepi danau disana, netranya tak sengaja menangkap seseorang yang tengah berdiri dari kejauhan.

Ragaf terpaku. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya ia melihat itu.

Reyna.

Ia melihat Reyna tengah berdiri memperhatikannya dari jauh.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, Ragaf segera menghampiri sosok itu.

“Rey!” Teriaknya.

Perempuan itu buru-buru pergi ketika ia melihat jika Ragaf mendekat ke arahnya.

Melihat itu, Ragaf berlari mengjar.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Tidak, jangan lagi. Jangan lagi ia kehilangan jejak.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Demi apapun, Ragaf benar-benar yakin jika itu Reyna.

Entah mengapa, saat sedang mengejar. Hati Ragaf begitu sakit. Sampai rasanya sesak sekali.

“REYNA! AKU TAU ITU KAMU!” Teriaknya sangat keras, membuat perempuan itu menghentikan langkahnya.

Terlalu sesak, Ragaf hanya bisa meringis sembari memukul kedua lapang dadanya, guna meredakan sesak.

“Aku tau itu kamu .....” lirih Ragaf.

Tanpa sepengetahuan Ragaf, perempuan itu menangis.

Ia menangis.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan ini juga merasakan sesak luar biasa.

“Reyna, tolong ..... jangan pergi lagi .....” lirih Ragaf yang terdengar begitu menyakitkan.

“Rey—“

Tanpa basa-basi, perempuan itu berbalik, kemudian ia berlari mendekat memeluk tubuh itu. Tubu yang selama ini ia rindukan.

Ragaf terdiam ketika perempuan itu memeluknya.

“Maaf ....” lirih perempuan itu.

“Ragaf, maafin aku ....” lirihnya lagi sambil terisak.

Demi Tuhan. Ragaf sangat merindukan perempuan itu.

“Rey ....” ucapnya, lalu ia mendekap erat tubuh kecil itu, sangat erat sampai ia bisa merasakan sesak.

Ragaf merindukannya, terlalu merindukannya.

“Reyna ....” lirihnya.

“Reyna ....” lagi.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan itu juga semakin mengeratkan dekapannya.

“Ini aku, Gaf. Ini aku ....” ia terisak.

Ragaf memeluk, menatap, kemudia ia mengecup wajah perempuan itu beberapa kali.

“Enggak, enggak ....” Ragaf menggeleng.

“Ini bukan mimpi, kan?”

“Rey? Ini kamu, kan? Aku gak gila, kan? Ini beneran kamu?”

“Reyna jawab, ini beneran kamu, kan?” Ucap Ragaf sebegitunya.

Reyna—perempuan itu terisak, kemudian ia memberanikan diri menatap netra Ragaf.

Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan wajah lelaki itu.

“Iya .... ini aku, aku disini, maaf.”

Persetan dengan rasa malu.

Kali ini Ragaf menangis sangat hebat dipelukan perempuan itu.

Ia lagi-lagi mendekapnya, sangat erat. Seola tidak ingin kehilangan hangatnya lagi.

“Jangan, jangan pergi lagi. Reyna jangan pergi lagi ....” lirihnya.

Reyna terisak, ia kemudian memeluk Ragaf.

“Maaf, maaf karena aku harus bikin kamu ngerasain lagi kehilangan.”

“Maaf aku sempet egois,”

“Ragaf maaf, aku sayang kamu, maaf. Untuk dua tahun terakhir ini aku minta maaf,”

“Ragaf maaf ....”

Reyna hanya bisa menyebut kata maaf.

Entah harus berapa kali. Rasanya sangat tidak cukup.

“Aku pulang, Gaf. Aku pulang ....” lirihnya.

“Maaf karena aku sempet takut untuk pulang, maaf ....”

Ragaf menggeleng pelan.

“aku gak peduli.”

“Jangan minta maaf”

Tidak ada yang bisa mendefinisikan betapa rindunya Ragaf pada perempuan itu.

Ia hampir gila, ia hampir kehilangan arah hanya karena merindukannya.

“Jangan kagi, Rey.” Lirihnya.

“Jangan pergi lagi, aku takut.”

“Jangan hilang lagi”

“Jangan kemana-mana lagi”

Ucap Ragaf sebegitunya.

Kemudian ia kembali mendekap perempuan itu.

Tolong, jangan lagi. Jangan hilang lagi.

Sudah cukup deritanya. Ragaf tidak ingin lagi.

“Kita perbaikin semuanya, ya?”

“Gak peduli tentang kamu yang sempat hilang,” aku gak kau denger lagi.”

“Ayo rey, ayo perbaikin semuanya, jangan kemana-mana lagi, ya?”

Reyna terdiam.

“Rey jawab.”

“Ayo ulang semuanya dari awal,”

Reyna menatap Ragaf sendu, kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf ....” lirih Reyna.

Ragaf terdiam.

“Maaf?”

“Jangan becanda, aku udah gila. Aku gamau lagi kehilangan kamu.”

“Maaf, aku gak bisa ....”

Lagi-lagi sesak menyeruak.

“Gak lucu,”

“Rey gak lucu.”

Reyna menatap netra kecoklatan itu.

Masih sama.

Sama teduhnya, sama tenangnya.

Tatap itu tidak berubah, bahkan setelah dua tahun.

“Reyna jangan gini ....”

“Gak bisa, Ragaf.”

Ragaf terdiam.

Reyna kemudian beranjak.

“Gak bisa ....”

“Aku gak bisa nolak,”

Ragaf membukatkan matanya.

“Maksudnya?”

“Rey! Jangan becanda, enggak lucu”

Reyna tersenyum pelan. Kemudia ia meraih jemari Ragaf.

“Ayo.”

“Ayo mulai dari awal,”

“Jangan lagi ada keterpakaan, ya?”

“Ayo mulai dari awal, aku mau, aku gak akan pergi lagi.”

Tanpa basa-basi, Ragaf memeluk perempuan itu dengan sangat erat.

Akhirnya, akhirnya ini terjadi.

Rumahnya kembali utuh.

Ragaf menemukan kembali pelabuhannya yang sempat hilang.

“Maaf, ya? Untuk semuanya. Mulai sekarang ayo mulai dari awal.”

“Tanpa keterpaksaan.”

.

fin

Pergi kesana-kemari demi mencari sosok yang selama ini ia rindukan. Ragaf berlarian menelusuri setiap sudut kota itu, ia bahkan tidak peduli jika banyak pekerjaan yang sedang menunggunya.

persetan dengan kantor

Yang Ragaf mau hanyalah bertemu perempuan itu—Reyna.

“Please Rey, kamu dimana ....” gumamnya sembari menelisik setiap sudut jalanan itu, berharap ia menemukannya.

Ragaf tidak berbohong, saat beberapa hari lalu. Ketika ia bilang jika ia melihat Reyna. Dan itu benar-benar Reyna. Ragaf tidak mungkin berhalusinasi.

Demi apapun, waktu itu, Ragaf seperti orang gila yang langsung berlarian kesana-kemari demi menyusul perempuan itu. Namun nihil, belum sempat Ragaf melihatnya lebih dekat, perempuan itu sudah menghilang.

“Ah gila anjing!” Umpatnya sembari memukul stir mobil.

“Reyna, gue cuma pengen ketem—“

Ucapannya terpotong ketika netranya tak sengaja menangkap seseorang yang tengah berdiri memesan kue di Bakery yang tak jauh dari tempat dimana Ragaf memarkirkan mobilnya.

Itu ....

Reyna ....

Tanpa sadar, air mata itu meluncur tanpa izin. Ragaf menangis ketika ia melihat perempuannya tengah tersenyum pada pemilik toko.

Ya Tuhan.

Ragaf selalu merindukan senyuman itu.

“Reyna .....”

“Itu kamu .....”

Tanpa pikir panjang, Ragaf segera keluar dari mobilnya. Namum belum sempat Ragaf keluar, ponselnya berbunyi pertanda sebuah panggilan masuk.

Ragaf mematikan panggil itu, kemudian netranya kembali menelisik toko itu.

“Ah anjing!” Umpat Ragaf, saat ia tidak menemukan perempuan itu disana.

Semesta lucu sekali, ya? Baru saja kemarin Ragaf mati-matian memperjuangkan Reyna agar ia kembali. Baru saja kemarin ia rela menghabisakan banyak waktu hanya untuk melihat Reyna bangun kembali. Tapi sekarang apa?

“Anjing, gue gak mau pulang!” Umpat Ragaf di lorong rumah sakit, saat sang Kakak datang menjemputnya.

Lelaki yang terpaut 4 tahun lebih tua dari Ragaf itu menghela napasnya.

“Lo gak denger apa kata orang tua Reyna, hah? Udah gak ada harapan!”

“Lo mau sampai kapan buang-buang waktu disini?”

“Sakit Reyna udah parah, dek. Gak ada harapan lagi, lo denger sendiri apa kata dokter tadi. Tinggal nunggu waktu.”

Napas Ragaf memburu ketika mendengar ucapan kakaknya—Rakhil.

“Buang-buang waktu lo bilang?”

“Bangsat! Lo tau gak gimana rasanya jadi gue?”

“Lo tau gak rasanya nunggu orang yang lo sayang buat sadar? Gak tau anjing!”

“Lo gak bakal tau gimana rasanya ada di posisi gue.”

“Gue tulus, demi Tuhan. Gue cuma pengen liat Reyna sembuh.”

“Tapi lo denger sendiri apa kata dokter tad—“

“Dokter bukan Tuhan, bangsat! Dokter bukan Tuhan yang bisa nentuin kapan Reyna mati.”

Demi apapun, wajah Ragaf begitu merah kala emosinya memuncak.

“Adek ....” ucap Rakhil sambil menghela napasnya.

“Gue ....”

“Cuma pengen liat Reyna bangun, bang ....” ucap Ragaf kemudian ia ambruk terisak dihadapan sang kakak.

“Gue ada salah apa sih, kenapa harus kayak gini.”

“Gue sayang sama Reyna, bang, ge sayang sama dia please .....”

“Reyna pasti bangun,”

“Gue cuma pengen Reyna bangun .....” Ragaf terisak.

Bak tertusuk ribuan duri, rasanya terlalu sesak, sampai-sampai untuk bernapas-pun sulit.

“Abang .....”

“Gue mau Reyna ....” Ragaf terisak.

Rakhil menghela napasnya, kemudia mensejajarkan tubuhnya dengan sang Adik, kemudia ia memeluknya.

“Adek, dengerin abang ....”

“Ikhlas, ya? Masih banyak hal penting lainnya, adek mau liat Reyna sedih?”

“Kita pulang, ya?”

Ragaf menghela napasnya.

Jadi akhrnya seperti ini?

Semuanya selesai begitu saja? Bahkan ketika Ragaf belum sempat bilang, jika dunianya cuma Reyna, segalanya bagi Ragaf itu cuma Reyna.

Ragaf belum sempat mengatakan jika ia sangat mencintai Reyna. Rasanya bahkan tidak cukup hanya dengan mengatakan cinta, tapi lebih dari itu.

Butuh waktu enam belas jam untuk lelaki itu sampai disana. Ragaf tidak main-main perihal ia yang akan menyusul Reyna ke Belanda. Tidak peduli seberapa jauh perjalannya, yang ia mau hanya bertemu dengan perempuannya.

Langkahnya melemas ketika ia menyusuri lorong rumah sakit disana. Bau khas yang menusuk indera pemciumannya membuat Ragaf semakin ciut. Bahkan sejak dala perjalanan, berkali-kali ragaf berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Ia harap ini semua hanya mimpi.

Entahlah, ini memang Ragaf yang bodoh atau memang semua orang tidak peduli perihal perasaan dan keberadaan Ragaf terhadap Reyna. Dari awal hanya ia yang tidak tahu mengenai hal ini.

Miris.

Ragaf bahkan tidak pernah tahu, jika perempuan yang saat ini menjadi satu-satunya, ternyata menyimpan sakit luar biasa. Ragaf gagal, gagal menjadi sosok pelindung bagi Reyna.

Langkah lelaki itu terhenti ketika ia melihat sosok lelaki paruh baya tengah terduduk di depan sebuah ruangan. Lelaki itu adalah ayah dari perempuan miliknya. “yah ....” lirih Ragaf, membuat lelaki paruh baya itu menoleh.

Ragaf menganguk kala ia diberi tanda jika Reyna sekarang ada di dalam. Lalu dengan ragu, ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu.

Sesak.

Itu yang pertama kali Ragaf rasakan. Perempuannya terbaring tak berdaya disana.

Tanpa basa-basi, Ragaf kemudian mendekat lalu dengan hati-hati ia mendekap tubuh yang tengah terbaring itu. Berusaha melepas rindu juga kekecewaan yang seketika menyeruak.

“Kenapa enggak bilang, hmm” ucap Ragaf yang kini tengan menggenggam erat jemari perempuan itu.

Sorot matanya mengisyaratkan jika banyak kerinduan sekaligus ketakutan. Ragaf takut akan kehilangan.

“Hei, bangun ....” lirih Ragaf.

“Kenapa enggak pernah bilang sama aku, Rey.”

“Kenapa kamu nyimpen semuanya sendirian ....”

Demi apapun, seperti ada benda tajam yang menghantam, rasanya begitu sakit juga menyesakkan.

Sebulan lamanya Ragaf kehilangan arah, berusaha mencari keberadaan perempuannya ini. Kesana-kemari tanpa memperdulikan jika sebenarnya ia juga perlu rehat.

Sebulan lamanya ia seperti orang bodoh yang tidak mengetahui apapun. Lalu sekarang, tanpa pernah Ragaf duga, ia melihat perempuan miliknya ini terbaring tidak sadarkan diri.

Kenapa?

Kenapa hanya ia yang tidak mengetahui kebenarannya?

Berkali-kali Ragaf mengendalikan napasnya guna meredakan sesak yang menyeruak. Tapi tetap saja, ia tidak sekuat itu.

“Rey, bangun ....” lirihnya lagi.

Jemari Ragaf bergerak untuk mengusap lembut wajah perempuannya itu. Berusaha meyakinkan jika Reyna baik-baik saja, jika semua ketakutannya tidak akan terjadi.

Ragaf mencium pucuk kepala perempuannya itu, serta merapikan helaian rambut yang terlihat tidak rapi.

“Sayang ....”

“Bangun, aku disini loh.”

“bangun, ya? ayo bangun,Rey .....” lirih Ragaf yang kini mulai terisak pelan.

Demi apapun, Ragaf benci melihatnya.

“Hei, mana yang sakit?”

“Ini sakit? atau ini yang sakit?” ucap Ragaf sambil menunjuk beberapa titik pada tubuh Reyna, lalu kemudian mengusapnya sayang.

“Jangan sakit ....” lirihnya terisak.

Jika saja bisa, biar Ragaf saja yang menggantikan Reyna disini. Biar ia yang menanggung rasa sakitnya, biar ia yang menanggung semuanya. Ia rela, asalkan jangan Reyna.

Seandainya saja dari dulu Ragaf tidak egois perihal ia yang berusaha menolak kehadiran Reyna dihidupnya, mungkin sejak awal Ragaf sudah menghabiskan banyak waktu bahagia bersama Reyna.

Lagi-lagi, Ragaf menyalahkan dirinya sendiri.

Egosi.

Bodoh.

Seandainya saja dari awal Ragaf bisa melihat ketulusan Reyna, mungkin Ragaf tidak akan pernah merasakan penyesalan seperti ini..

Baru saja kemarin ia merasakan jika dunia benar-benar indah. Baru saja kemarin ia merasa jika ia adalah lelaki paling beruntung karena memiliki Reyna disampingnya.

Ragaf pikir, ia yang paling tahu tentang apapun yang berkaitan dengan Reyna

Tapi kenyatannya?

Ia yang paling tidak tahu.

Bodoh.

Ia terlalu percaya diri sampai tidak sadar, jika kesempatan untuk merasakan kebahagiaan bersama Reyna hanya sebentar.

Lagi-lagi Ragaf terisak, melihat bagaimana Reyna terpejam tanpa memberikan respon apapun.

Tidak, jangan.

Jangan kehilangan, lagi.

“Rey, aku harus apa biar kamu bangun?”

“Rey, jangan kemana-mana, ya?” lirih Ragaf.

“Aku sayang banget sama kamu .....”

Ragaf terisak dengan jemarinya yang terus bertaut.

Ia bahkan belum bilang, jika sekarang dunianya itu cuma Reyna. Segalanya bagi Ragaf itu hanya Reyna. Ia belum sempat mengatakan jika ia sangat mencintainya.

Terlalu hal yang belum sempat ia katakan, terlalu banyak hal yang belum mereka lakukan.

Ragaf takut, sangat takut.

Sekali ini saja.

Tolong....

Jangan kehilangan, lagi.

Ragaf benar-benar mencari Reyna hari itu, kalang kabut, kesana-kemari hanya untuk mencari keberadaan Reyna. Tapi nihil, dia tidak bisa menemukannya.

Beberapa kali Ragaf berteriak, ia bahkan menghancurkan barang apa saja yang ada di hadapannya.

Tangannya terluka.

“Reyna, lo dimana ....” ucap Ragaf dengan suaranya yang bergetar.

Berkali-kali ia menghubungi Reyna, namun tidak ada jawaban.

“Anjing!” Umpatnya.

Ragaf kembali berteriak.

Demi apapun, Ragaf tidak ingin kehilangan, lagi.

Baru saja Ragaf ingin memeluknya hari itu, memberikan sebuah kalung yang menandakan jika Ragaf adalah pemilik tetap dari perempuannya.

Ragaf seperti orang yang kehilangan arahnya.

Dan lagi, Ragaf kembal kehilangan.

“Anjing!”