Terlalu Banyak Hal

Butuh waktu enam belas jam untuk lelaki itu sampai disana. Ragaf tidak main-main perihal ia yang akan menyusul Reyna ke Belanda. Tidak peduli seberapa jauh perjalannya, yang ia mau hanya bertemu dengan perempuannya.

Langkahnya melemas ketika ia menyusuri lorong rumah sakit disana. Bau khas yang menusuk indera pemciumannya membuat Ragaf semakin ciut. Bahkan sejak dala perjalanan, berkali-kali ragaf berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Ia harap ini semua hanya mimpi.

Entahlah, ini memang Ragaf yang bodoh atau memang semua orang tidak peduli perihal perasaan dan keberadaan Ragaf terhadap Reyna. Dari awal hanya ia yang tidak tahu mengenai hal ini.

Miris.

Ragaf bahkan tidak pernah tahu, jika perempuan yang saat ini menjadi satu-satunya, ternyata menyimpan sakit luar biasa. Ragaf gagal, gagal menjadi sosok pelindung bagi Reyna.

Langkah lelaki itu terhenti ketika ia melihat sosok lelaki paruh baya tengah terduduk di depan sebuah ruangan. Lelaki itu adalah ayah dari perempuan miliknya. “yah ....” lirih Ragaf, membuat lelaki paruh baya itu menoleh.

Ragaf menganguk kala ia diberi tanda jika Reyna sekarang ada di dalam. Lalu dengan ragu, ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu.

Sesak.

Itu yang pertama kali Ragaf rasakan. Perempuannya terbaring tak berdaya disana.

Tanpa basa-basi, Ragaf kemudian mendekat lalu dengan hati-hati ia mendekap tubuh yang tengah terbaring itu. Berusaha melepas rindu juga kekecewaan yang seketika menyeruak.

“Kenapa enggak bilang, hmm” ucap Ragaf yang kini tengan menggenggam erat jemari perempuan itu.

Sorot matanya mengisyaratkan jika banyak kerinduan sekaligus ketakutan. Ragaf takut akan kehilangan.

“Hei, bangun ....” lirih Ragaf.

“Kenapa enggak pernah bilang sama aku, Rey.”

“Kenapa kamu nyimpen semuanya sendirian ....”

Demi apapun, seperti ada benda tajam yang menghantam, rasanya begitu sakit juga menyesakkan.

Sebulan lamanya Ragaf kehilangan arah, berusaha mencari keberadaan perempuannya ini. Kesana-kemari tanpa memperdulikan jika sebenarnya ia juga perlu rehat.

Sebulan lamanya ia seperti orang bodoh yang tidak mengetahui apapun. Lalu sekarang, tanpa pernah Ragaf duga, ia melihat perempuan miliknya ini terbaring tidak sadarkan diri.

Kenapa?

Kenapa hanya ia yang tidak mengetahui kebenarannya?

Berkali-kali Ragaf mengendalikan napasnya guna meredakan sesak yang menyeruak. Tapi tetap saja, ia tidak sekuat itu.

“Rey, bangun ....” lirihnya lagi.

Jemari Ragaf bergerak untuk mengusap lembut wajah perempuannya itu. Berusaha meyakinkan jika Reyna baik-baik saja, jika semua ketakutannya tidak akan terjadi.

Ragaf mencium pucuk kepala perempuannya itu, serta merapikan helaian rambut yang terlihat tidak rapi.

“Sayang ....”

“Bangun, aku disini loh.”

“bangun, ya? ayo bangun,Rey .....” lirih Ragaf yang kini mulai terisak pelan.

Demi apapun, Ragaf benci melihatnya.

“Hei, mana yang sakit?”

“Ini sakit? atau ini yang sakit?” ucap Ragaf sambil menunjuk beberapa titik pada tubuh Reyna, lalu kemudian mengusapnya sayang.

“Jangan sakit ....” lirihnya terisak.

Jika saja bisa, biar Ragaf saja yang menggantikan Reyna disini. Biar ia yang menanggung rasa sakitnya, biar ia yang menanggung semuanya. Ia rela, asalkan jangan Reyna.

Seandainya saja dari dulu Ragaf tidak egois perihal ia yang berusaha menolak kehadiran Reyna dihidupnya, mungkin sejak awal Ragaf sudah menghabiskan banyak waktu bahagia bersama Reyna.

Lagi-lagi, Ragaf menyalahkan dirinya sendiri.

Egosi.

Bodoh.

Seandainya saja dari awal Ragaf bisa melihat ketulusan Reyna, mungkin Ragaf tidak akan pernah merasakan penyesalan seperti ini..

Baru saja kemarin ia merasakan jika dunia benar-benar indah. Baru saja kemarin ia merasa jika ia adalah lelaki paling beruntung karena memiliki Reyna disampingnya.

Ragaf pikir, ia yang paling tahu tentang apapun yang berkaitan dengan Reyna

Tapi kenyatannya?

Ia yang paling tidak tahu.

Bodoh.

Ia terlalu percaya diri sampai tidak sadar, jika kesempatan untuk merasakan kebahagiaan bersama Reyna hanya sebentar.

Lagi-lagi Ragaf terisak, melihat bagaimana Reyna terpejam tanpa memberikan respon apapun.

Tidak, jangan.

Jangan kehilangan, lagi.

“Rey, aku harus apa biar kamu bangun?”

“Rey, jangan kemana-mana, ya?” lirih Ragaf.

“Aku sayang banget sama kamu .....”

Ragaf terisak dengan jemarinya yang terus bertaut.

Ia bahkan belum bilang, jika sekarang dunianya itu cuma Reyna. Segalanya bagi Ragaf itu hanya Reyna. Ia belum sempat mengatakan jika ia sangat mencintainya.

Terlalu hal yang belum sempat ia katakan, terlalu banyak hal yang belum mereka lakukan.

Ragaf takut, sangat takut.

Sekali ini saja.

Tolong....

Jangan kehilangan, lagi.