Ini Papa

Entah sudah berapa lama Jea terduduk di depan tv sendirian. Pandangannya bahkan tidak memancarkan kebahagiaan sama sekali.

Jea rindu ayah. Jea rindu adek. Jea rindu rumahnya.

Tanpa sadar, anak perempuan itu terisak pelan, sambil memeluk tubuh kecilnya.

“Ayah ....” lirih Jea.

Selama disini, di tempat yang katanya adalah rumah sebenarnya. Di tempat yang katanya adalah rumah paling aman, Jea justru tidak merasakan itu.

Perempuam kecil itu hanya ingin pulang, ke rumah Janu—ayah yang mengurusnya sejak bayi. Jea rindu Janu.

Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang mendekatinya.

“Cantik ya papa lagi apa, hmm?” Ucap seseorang itu—Biru.

Jea hanya terdiam.

“Kok diem aja? Enggak mau nonton tv?”

Jea menggeleng pelan.

Biru tersenyum, kemudian ia mengusap pelan pucuk kepala anak itu.

“Jea mau apa? Mau jalan-jalan? Mau beli makanan? Atau mau mai—“

“Jea mau ayah Janu ....” lirih anak itu pelan.

Mendengar itu, raut wajah Biru berubah menjadi datar. Kemudian ia menghela napasnya.

“Udah berapa kali papa bilang, ayah Janj itu bukan ayah kamu. Liat papa, ayah kamu itu papa, papa Biru. Ini, di depan kamu, ini papa.” Ucap Biru dengan menekan setiap kalimatnya.

Jea menggeleng pelan.

“Jea mau pulang papa ....” lirihnya berusaha menahan tangis.

sial

Bahkan sudah satu tahun Biru menyembunyikan Jea, dan berusaha memberikan segalanya, tetap saja. Biru belum bisa mengambil tahta itu.

“Jea, jangan bikin papa marah.” Ucap Biru.

“Rumah kamu disini, ayah kamu itu papa bukan Janu. Paham?”

“Nurut sama papa, Jea cuma anak papa, bukan anak Janu.”

“Kalau Jea bilang mau pulang lagi, papa marah sama Jea. Mau kamu, papa marahin?”

Mendengar itu, dengan perasaan takutnya, Jea mengangguk pelan.

“Jangan nangis.”

Lagi Jea mengangguk.

“Sini ikut, makan sama papa.”