Tanpa Keterpaksaan

Ragaf berdecak kesel. Pasalnya, sudah hampir tiga puluh menit ia berdiam diri disana menunggu kedatangan Ezra yang katanya ingin melakukan diskusi perihal pembangunan panti yang memang sedang mereka kerjakan.

Beberapa kali Ragaf menghubungi Ezra, namun nihil. Tidak ada jawaban.

“Becanda banget anjir,” ucapnya.

Ragaf hanya menghela napasnya.

Bisa-bisanya ia selalu menurut jika Ezra memintanya untuk bertemu. Padahal mereka berdua belum terlalu lama dekat.

Netra Ragaf memperhatikan sekitarnya. Kemudian ia memilih untuk memejamkan matanya sejenak.

Disini sejuk, tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. Cukup enak untuk sekedar menenangkan diri.

Hanya ada segelintir orang yang tengah bermain-main bersama orang tersayangnya.

Ragaf tersenyum tipis, kala netranya menangkap dua orang yang sedang asik bercengkrama, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.

Ah, Ragaf jadi merindukan Reyna.

Dulu sekali, ketika ia masih bersama perempuan itu. Ragaf suka mengajak Reyna pergi ketempat seperti ini, walaupun hanya sekedar duduk sambil menatap langit, tapi perempuan itu selalu menyukainya.

Lagi-lagi Ragaf hanya bisa tersenyum tipis. Apalagi jika mengingat bagaimana ia sekarang.

Kesepian.

Ragaf terkekeh, kala memori-memori bersama Reyna tiba-tiba saja terlintas. Seolah suasana kali ini sangat mendukung untuk semua memori itu terputar kembali dipikiran Ragaf.

Tawanya, matanya, hidungnya, senyumnya, aroma tubuhnya. Ragaf masih sangat ingat itu.

Ragaf rindu, rindu sekali.

Seandainya saja dari awal Ragaf sadar, jika Reyna sangat tulus padanya, seandainya saja Ragaf sadar, jika Reyna itu bener-benar dunianya. Mungkin Ragaf tidak akan pernah mengalami penyesalan seperti ini.

Penyesalan karena sempat menyakiti perempuannya.

Jika dipikir, baru sebentar Ragaf menghabiskan waktu bersama Reyna. Namun akhirnya, semesta juga yang memaksa mereka untuk berpisah.

“Becanda banget anjing” ucap Ragaf sembari terkekeh.

Dua tahun, ya?

Sudah dua tahun Ragaf tidak melihat perempuan kesayangannya. Bahkan sekedar kabar terakhir pun hanya sampai Ragaf yang berpamitan pulang saat Reyna masih setia memejamkan matanya.

Jika disuruh memilih. Ingin sekali Ragaf memutar waktu, agar bisa memperbaiki semuanya dari awal.

Agar tidak ada penyesalan yang terlalu menyakitkan. Agar perempuannya itu bahagia.

Ragaf ingin sekali memutar waktu.

Benar kata orang.

Penyesalan selalu datang diakhir. Mau bagaimana-pun itu, yang namanya penyesalan tetap akan jadi penyesalan.

Ragaf menghela napasnya. Kemudian ia beranjak untuk menghirup udara lebih segar. Beranjak untuk sekedar melepaskan sesak yang sebelumnya sempat tertahan.

Ragaf memilih menyusuri tempat itu.

Jika dulu, disampingnya itu selalu ada yang menggenggam dengan hangat.

Sekarang, hanya ada jemari kurus yang tak pernah merasa hangat.

Lagi-lagi Ragaf hanya tersenyum tipis.

Baru saja Ragaf ingin duduk di tepi danau disana, netranya tak sengaja menangkap seseorang yang tengah berdiri dari kejauhan.

Ragaf terpaku. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya ia melihat itu.

Reyna.

Ia melihat Reyna tengah berdiri memperhatikannya dari jauh.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, Ragaf segera menghampiri sosok itu.

“Rey!” Teriaknya.

Perempuan itu buru-buru pergi ketika ia melihat jika Ragaf mendekat ke arahnya.

Melihat itu, Ragaf berlari mengjar.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Tidak, jangan lagi. Jangan lagi ia kehilangan jejak.

“Reyna!” Teriaknya lagi.

Demi apapun, Ragaf benar-benar yakin jika itu Reyna.

Entah mengapa, saat sedang mengejar. Hati Ragaf begitu sakit. Sampai rasanya sesak sekali.

“REYNA! AKU TAU ITU KAMU!” Teriaknya sangat keras, membuat perempuan itu menghentikan langkahnya.

Terlalu sesak, Ragaf hanya bisa meringis sembari memukul kedua lapang dadanya, guna meredakan sesak.

“Aku tau itu kamu .....” lirih Ragaf.

Tanpa sepengetahuan Ragaf, perempuan itu menangis.

Ia menangis.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan ini juga merasakan sesak luar biasa.

“Reyna, tolong ..... jangan pergi lagi .....” lirih Ragaf yang terdengar begitu menyakitkan.

“Rey—“

Tanpa basa-basi, perempuan itu berbalik, kemudian ia berlari mendekat memeluk tubuh itu. Tubu yang selama ini ia rindukan.

Ragaf terdiam ketika perempuan itu memeluknya.

“Maaf ....” lirih perempuan itu.

“Ragaf, maafin aku ....” lirihnya lagi sambil terisak.

Demi Tuhan. Ragaf sangat merindukan perempuan itu.

“Rey ....” ucapnya, lalu ia mendekap erat tubuh kecil itu, sangat erat sampai ia bisa merasakan sesak.

Ragaf merindukannya, terlalu merindukannya.

“Reyna ....” lirihnya.

“Reyna ....” lagi.

Sama halnya dengan Ragaf, perempuan itu juga semakin mengeratkan dekapannya.

“Ini aku, Gaf. Ini aku ....” ia terisak.

Ragaf memeluk, menatap, kemudia ia mengecup wajah perempuan itu beberapa kali.

“Enggak, enggak ....” Ragaf menggeleng.

“Ini bukan mimpi, kan?”

“Rey? Ini kamu, kan? Aku gak gila, kan? Ini beneran kamu?”

“Reyna jawab, ini beneran kamu, kan?” Ucap Ragaf sebegitunya.

Reyna—perempuan itu terisak, kemudian ia memberanikan diri menatap netra Ragaf.

Jemarinya terangkat untuk mengusap pelan wajah lelaki itu.

“Iya .... ini aku, aku disini, maaf.”

Persetan dengan rasa malu.

Kali ini Ragaf menangis sangat hebat dipelukan perempuan itu.

Ia lagi-lagi mendekapnya, sangat erat. Seola tidak ingin kehilangan hangatnya lagi.

“Jangan, jangan pergi lagi. Reyna jangan pergi lagi ....” lirihnya.

Reyna terisak, ia kemudian memeluk Ragaf.

“Maaf, maaf karena aku harus bikin kamu ngerasain lagi kehilangan.”

“Maaf aku sempet egois,”

“Ragaf maaf, aku sayang kamu, maaf. Untuk dua tahun terakhir ini aku minta maaf,”

“Ragaf maaf ....”

Reyna hanya bisa menyebut kata maaf.

Entah harus berapa kali. Rasanya sangat tidak cukup.

“Aku pulang, Gaf. Aku pulang ....” lirihnya.

“Maaf karena aku sempet takut untuk pulang, maaf ....”

Ragaf menggeleng pelan.

“aku gak peduli.”

“Jangan minta maaf”

Tidak ada yang bisa mendefinisikan betapa rindunya Ragaf pada perempuan itu.

Ia hampir gila, ia hampir kehilangan arah hanya karena merindukannya.

“Jangan kagi, Rey.” Lirihnya.

“Jangan pergi lagi, aku takut.”

“Jangan hilang lagi”

“Jangan kemana-mana lagi”

Ucap Ragaf sebegitunya.

Kemudian ia kembali mendekap perempuan itu.

Tolong, jangan lagi. Jangan hilang lagi.

Sudah cukup deritanya. Ragaf tidak ingin lagi.

“Kita perbaikin semuanya, ya?”

“Gak peduli tentang kamu yang sempat hilang,” aku gak kau denger lagi.”

“Ayo rey, ayo perbaikin semuanya, jangan kemana-mana lagi, ya?”

Reyna terdiam.

“Rey jawab.”

“Ayo ulang semuanya dari awal,”

Reyna menatap Ragaf sendu, kemudian ia menggeleng pelan.

“Maaf ....” lirih Reyna.

Ragaf terdiam.

“Maaf?”

“Jangan becanda, aku udah gila. Aku gamau lagi kehilangan kamu.”

“Maaf, aku gak bisa ....”

Lagi-lagi sesak menyeruak.

“Gak lucu,”

“Rey gak lucu.”

Reyna menatap netra kecoklatan itu.

Masih sama.

Sama teduhnya, sama tenangnya.

Tatap itu tidak berubah, bahkan setelah dua tahun.

“Reyna jangan gini ....”

“Gak bisa, Ragaf.”

Ragaf terdiam.

Reyna kemudian beranjak.

“Gak bisa ....”

“Aku gak bisa nolak,”

Ragaf membukatkan matanya.

“Maksudnya?”

“Rey! Jangan becanda, enggak lucu”

Reyna tersenyum pelan. Kemudia ia meraih jemari Ragaf.

“Ayo.”

“Ayo mulai dari awal,”

“Jangan lagi ada keterpakaan, ya?”

“Ayo mulai dari awal, aku mau, aku gak akan pergi lagi.”

Tanpa basa-basi, Ragaf memeluk perempuan itu dengan sangat erat.

Akhirnya, akhirnya ini terjadi.

Rumahnya kembali utuh.

Ragaf menemukan kembali pelabuhannya yang sempat hilang.

“Maaf, ya? Untuk semuanya. Mulai sekarang ayo mulai dari awal.”

“Tanpa keterpaksaan.”

.

fin