Kehangatan
Baru saja Haikal akan melangkahkan kaki menuju kamarnya, tiba-tiba saja terdengar suara yang memanggil namanya.
“Haikal, sini,” ucap perempuan paruh baya itu pada Haikal.
Haikal terdiam sejenak, lalu dengan sedikit ragu, Haikal melangkahkan kakinya mendekati Prameswari—perempuan paruh baya yang memanggilnya barusan.
“Iya, ibu?” Ucap Haikal dengan canggung.
Perempuan paruh baya yang disapa ibu itu pun tersenyum, kemudian menepuk tempat kosong disampingnya, “sini duduk sama ibu,” ucapnya.
Haikal menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Lalu dengan canggungnya Haikal duduk di sebelah Prameswati.
Perempuan itu menatap Haikal lekat-lekat, kemudian dengan perlahan jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala Haikal lembut.
“Udah makannya?” Tanyanya yang dibalas anggukan oleh Haikal.
“Banyak gak makannya?”
“Banyak bu, hehe” ucap Haikal canggung.
“Enak?”
Haikal mengangguk pelan, “enak ibu, makasih ....” ucapnya pelan yang lagi membuat Prameswati tersenyum.
Entahlah, ada perasaan ngilu saat Prameswati memperhatikan anak ini.
“Haikal gapapa?” Tanyanya lembut, membuat Haikal yang tadinya hanya menunduk langsung menatap Prameswati sekilas.
Demi apapun, Prameswati merasakan sesak luar biasa ketika ia semakin dalam memperhatikan Haikal.
Anak ini rapuh, anak ini tidak baik-baik saja.
Dengan perlahan jemari Prameswati bergerak merapikan beberapa helaian rambut Haikal yang hampir menutupi matanya.
Haikal terdiam.
Perasaan ini. Perasaan yang selalu Haikal rindukan.
Sentuhan seorang ibu pada putranya, Haikal merindukan ini.
Haikal ini bahkan tidak mengerti, kenapa Prameswati tidak membencinya? Kenapa saat ia menatap Haikal rasanya selalu teduh? Kenapa?
Seharusnya Prameswati membencinya, karena kehadirannya ini sudah membuat keluarganya tak hangat lagi.
“Ibu, maaf ....” ucap Haikal tiba-tiba.
Prameswati mengangkat sebelah alisnya bingung. “Kenapa minta maaf?” Tanyanya.
“Maaf karena Haikal harus lahir dan bikin keluarga ibu enggak baik lagi.”
Sungguh, mendengar ini perasaan Prameswati benar-benar terasa sakit.
Prameswati menggeleng, “enggak jangan minta maaf, ya, nak? Haikal enggak salah, kehadiran Haikal enggak pernah salah.”
Tanpa aba-aba, Prameswati menarik tubuh Haikal agar masuk ke dalam pelukannya. Lalu Prameswati terisak pelan dan mengeratkan pelukan itu pada Haikal.
“Dengerin ibu.”
“Haikal ini enggak pernah jadi kesalahan, gak ada anak yang salah, gak ada.”
“Justru, lahirnya Haikal ini bawa kebahagiaan buat oran-orang. Buat mama Haikal, buat ayah, buat ibu, sama abang ....” ucap Prameswati sembari menahan sesak luar biasa.
Perempuan itu kemudian melepas pelukannya, ia menatap lekat Haikal, lalu jemarinya mengusap wajah Haikal lembut.
“Haikal gak pernah jadi kesalahan. Kelahiran seorang anak itu gak pernah ada yang disebut kesalahan. Meskipun caranya salah, seorang anak itu tetap anugerah sayang ....” ucap Prameswari mengusap Haikal.
“Ibu ....”
“Boleh Haikal tau alasan kenapa ibu gak pernah benci sama hadirnya Haikal? Padahal ibu tau, Haikal ini anak dari perempuan yang udah ngambil ayah dengan cara yang salah.”
Prameswati terdiam sejenak, kemudian ia tersenyum.
“Perempuan itu, perempuan yang udah lahirin Haikal enggak pernah rebut ayah dari ibu ....” ucap Prameswati.
“Maksudnya?”
“Mama Haikal itu enggak pernah ngerebut siapapun. Justru ibu yang udah ambil ayah dari mama kamu ....”
Haikal terdiam.
Maksudnya ini apa? Apa yanh tidak Haikal tau selama ini?
Prameswati tersenyum.
“Ibu ini cuma perempuan yang dijodohkan dengan ayah kamu. Bahkan sebelum kami menikah, dunia ayah itu cuma mama Haikal ....”
Ada perasaan sesak saat mengingat ini.
Prameswati, perempuan yang dipaksa merenggut kebahgiaan perempuan lain demi kepentingan keluarga.
Prameswati, perempuan yang dijodohkan dengan Haksara. Perempuan yang selalu merasa kalau apa yang ia punya sekarang ini tidak seharusnya menjadi milik dia.
“Ibu ...” ucap Haikal yang memang masih tidak menyangka dengan fakta ini.
Prameswati lagi-lagi tersenyum.
“Haikal tau? Waktu ayah bilang ingin membawa Haikal pulang ke rumah ini, ibu senang sekali. Karena sejak dulu, ibu selalu ingin mempunyai putra lagi, tapi sayangnya ibu enggak bisa.”
“Kenapa, bu?”
“Setelah kelahiran kakakmu itu, ibu gak baik-baik saja yang mengharuskan rahim ibu di angkat.”
Haikal lagi-lagi terdiam.
“Kakakmu itu selalu ingin mempunyai seorang adik, karena dia kesepian.”
“Kesepian?”
Prameswati mengangguk, “Kakakmu dulu, selalu ditinggalkan sama ayah sama ibu untuk kerja. Makanya dulu kakak minta adik sama ibu. Tapi sayangnya, ibu gak bisa ngasih.”
“Ibu ....”
“Tapi harusnya ibu benci Haikal ....”
Prameswati menggeleng, ia kembali mengusap pucuk kepala Haikal.
“Ibu yang menyuruh ayahmu menikah lagi, ibu yang menyuruh ayahmu kembali lagi bersama mama Haikal.”
Lagi, Haikal tidak mengerti. Kenapa bisa serumit ini.
“Haikal ini bukan anak simpanan, Haikal bukan anak dari hasil kesalahan.”
“Ibu ...”
“Kenapa ibu gak pisah aja sama ayah. Ini sakit bu, kenapa ibu milih tinggal sedangkan ibu tahu, dari dulu perasaan ayah gak pernah ada buat ibu, kenapa bu?”
Prameswati lagi-lagi tersenyum.
“Karena ibu sayang ayah kamu, karena ibu punya kakak kamu, jadi ibu enggak boleh nyerah ....” lirihnya dengan sorot mata yang menyiratkan banyak kesakita.!
“Haikal ...”
“Ayah itu menikah dengan mama Haikal, hanya saja semuanya ini kami sembunyikan.”
Demi apapun, Haikal hanya terdiam, berusaha mencerna semua ini.
“Haikal tau? Kenapa ayah enggak pernah nemuin Haikal?”
“Karena ayah gak suka ....”
Prameswati menggeleng.
“Karena keadaan yang memaksa ayah untuk terus menjauh dari Haikal.”
“Karena keluarga ayah tahu, karena keluarga ayah enggak pernah setuju dengan hubungan ayah dengan mama Haikal.”
Prameswati kembali memeluk Haikal.
“Terlalu banyak hal yang belum kamu juga kakak kamu tau. Terlalu banyak hal rumit Haikal.”
“Maaf, ya? Maaf karena ibu enggak bisa ngasih tau semuanya.”
“Tapi, satu hal yang harus Haikal tau. Ibu sama ayah enggak pernah benci sama Haikal. Jangan pernah ngerasa kalau Haikal ini enggak pantes untuk hadir, jangan, ya?” Ucap Prameswati lembut.
“Ibu sayang sekali sama Haikal. Terima kasih karena Haikal sudah mau pulang dan tinggal disini bersama ayah, ibu, kakak.”
“Maaf ya sayang, karena dari dulu ibu enggak berani nunjukin rasa sayang ibu sama kamu, maaf ....”
“Sekarang Haikal enggak sendirian lagi, Haikal punya ibu, Haikal punya ayah, Haikal punya kakak. Jangan pernah ngerasa kalau dunia enggak adil lagi, ya?
Haikal memejamkan matanya dalam pelukan itu. Kemudian tanpa sadar setetes air mengalir dari pelupuk matanya.
“Makasih ya, karena Haikal udah lahir, makasih karea Haikal udah jadi anak yang kuat,”
“Ibu sayang sekali sama Haikal, terima kasih banyak ....” ucap Prameswati yang semakin mengeratkan pelukannya pada Haikal.
Lihat.
Semesta milik Haikal perlahan membaik.
Semesta Haikal perlahan membaik, karena sekarang ia mendapat kehangatan yang selalu ia dambakan dari dulu.
Meskipun ada sebagian dirinya yang hilang bersama kepergian Ralita. Setidaknya rumah Haikal sekarang hangat.
Haikal mengeratkan pelukannya pada Prameswati, sangat erat, seolah ia tidak ingin kehilangan hangatnya peluk seorang ibu.
“Ibu, makasih ba—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Terdengar suara Jerico.
“Wah, wah, apa nih. Pelukan gak ajak-ajak.” Ucapnya dari arah pintu belakang, membuat Prameswati serta Haikal menoleh.
“ABANG JUGA MAU DIPELUK!” Teriak Jerico yang dibalas tawa oleh Prameswati.
“Sini ....” ucap Prameswati, sedangkan Haikal hanya tersenyum.
Perempuan itu kemudian merentangkan tangannya dan memeluk Jerico serta Haikal.
“Ghibahin apa kalian hayo?!” Tanya Jerico dalam pelukan itu.
“Ghibahin lo bang.” Sahut Haikal yang dibalas tawa oleh Prameswati.
Dalam pelukan itu, Haikal tersenyum.
Ternyata, rasanya sehangat ini.
Hangat sekali.
Haikal menyukainya.
Dan tanpa mereka sadari, sejak tadi. Ada Haksara yang tengah memperhatikan mereka sambil terduduk rapuh di balik pintu masuk rumah itu.
“Maafin ayah Haikal ....” lirihnya.